Senapati Lintang langsung memberikan isyarat kepada Saketi dan para prajuritnya, agar mereka diam dan tetap bersembunyi. Sebelah tangannya ia angkat sambil terus fokus mengamati gerak-gerik empat orang pendekar bertubuh kekar yang ada di depan rumah tua itu.
"Itu hanya perasaanmu saja, tidak mungkin ada orang yang berani datang ke tempat ini," kata pendekar lainnya.
"Tapi aku merasakan ada gerakan manusia di sekitar tempat ini."
"Mungkin itu hanya pergerakan binatang yang menghuni hutan ini," sahut kawannya.
Dengan demikian, pendekar itu pun kembali mundur ke tempat semula. Keempat pendekar itu berdiri tegak di depan pintu rumah kosong tersebut.
Saketi dan Senapati Lintang, terus memperhatikan gerak-gerik keempat orang pendekar. Pedang panjang menyanggul dipunggung mereka, menandakan bahwa mereka merupakan orang-orang yang lekat dengan kekerasan yang terbiasa menganiaya lawan-lawannya dengan senjata tersebut. Kemudian, mereka kembali masuk ke dalam rumah tua itu.
"Pangeran, apakah kita tidak salah? Apa benar rumah kosong ini yang dimaksud ayahandamu?" tanya Senapati Lintang tampak ragu.
"Iya, Paman. Ini adalah tempatnya," jawab Saketi. "Ini adalah satu-satunya rumah tua di sekitar hutan ini," sambung Saketi meyakinkan sang senapati.
Senapati Lintang mengerutkan kening, kemudian berkata lagi, "Tapi, mengapa rumah itu kosong? Kata gusti prabu, ini adalah rumah padepokan silat."
"Aku juga bingung, bagaimana mungkin kita bisa berjumpa dengan Ki Wiradana, sedangkan tempat ini sudah kosong, dan dijaga oleh orang-orang yang tidak kita kenali," sahut Saketi.
"Paman rasa, rumah ini sudah ditinggalkan lama oleh penghuninya," kata Senapati Lintang berkesimpulan.
"Bagaimana kalau kita hampiri saja para pendekar itu, Paman! Kita tanya kepada mereka, ke mana para penghuni rumah itu. Siapa tahu mereka adalah orang-orang Ki Wiradana," saran Saketi lirih.
"Baiklah, tapi ingat! Kita harus hati-hati!" jawab Senapati Lintang.
Kemudian, Saketi berpaling ke arah belakang. Ia menggerakkan tangan kepada para prajurit yang ikut dengannya sambil berkata dengan suara rendah, "Kalian ikut semua. Tapi, kalian harus berpencar!"
"Baik, Pangeran," sahut salah seorang dari para pengawalnya.
Demikianlah, para prajurit itu langsung melangkah maju, dan segera berpencar ke segala penjuru arah. Gerakan mereka sangat gesit dan ringan sekali.
Dalam waktu sekejap saja, rumah kosong itu telah dikepung oleh sepuluh prajurit khusus pengawal pribadi sang pangeran.
"Hai, Ki Sanak. Keluarlah!" teriak Senapati Lintang berdiri gagah di halaman rumah tua itu.
Mendengar seruan dari Senapati Lintang, akhirnya keempat orang pendekar itu bergegas keluar.
"Siapa kalian? Apakah kalian mau cari mati datang ke tempat ini?" bentak salah seorang dari mereka tampak jemawa sambil berdiri angkuh menghadap ke arah Senapati Lintang dan Saketi.
"Maaf, Ki Sanak. Kami datang ke sini bukan untuk mencari musuh, kami hanya ingin mempertanyakan tentang keberadaan para penghuni rumah ini," jawab Senapati Lintang masih tetap bersikap tenang
Namun, para pendekar itu justru bersikap sebaliknya, mereka malah membentak sang senapati dengan kasarnya.
"Bedebah! Kami tidak peduli dengan apa yang kalian katakan. Pokoknya setiap yang datang ke tempat ini, itu tandanya mau setor nyawa!" tegas pria yang mengenakan ikat kepala merah sesumbar dengan suara lantang.
"Langsung serang saja mereka, Paman!" pinta Saketi, ia merasa geram mendengar perkataan orang tersebut.
"Baik, Pangeran." Senapati Lintang mengangkat tangan sebagai isyarat, agar para prajuritnya segera menyerbu empat orang pendekar itu.
Demikianlah, maka para prajurit itu langsung menyerang dengan melontarkan senjata yang sangat mematikan. Tampak sinar-sinar merah melesat dari bagian depan dan belakang rumah tersebut.
Sambaran sinar tersebut sangat berbahaya, karena itu merupakan senjata rahasia yang terbuat dari baja yang sangat tajam dan beracun yang dilontarkan oleh para prajurit pengawal sang pangeran.
Empat pendekar itu, tampak kaget sekali dengan datangnya serangan mendadak. Dengan cepat, mereka langsung menghunus pedang masing-masing, dan langsung menangkis serangan tersebut dengan pedang-pedang mereka.
Trang! Trang! Trang! Terdengar gaduh suara logam berbenturan, pedang-pedang para pendekar itu menangkis serangan senjata rahasia yang dilontarkan oleh para prajurit pengawal.
Namun ternyata, kekuatan pedang mereka kalah dengan kekuatan senjata rahasia dari para prajurit Sanggabuana. Pedang-pedang itu dengan mudahnya dapat dipatahkan oleh senjata kecil milik para prajurit itu.
Kemudian terdengar suara pekikan keras dari keempat pendekar itu. Mereka tak kuasa menahan gempuran senjata rahasia yang dilontarkan oleh para prajurit pengawal, sehingga mereka tidak dapat menghindari serangan senjata-senjata mematikan yang menyerang deras ke arah mereka.
Akhirnya empat orang pendekar bertubuh kekar itu langsung berjatuhan, sekujur tubuh mereka bersimbah darah. Karena senjata-senjata tajam dari sepuluh prajurit khusus sudah menancap di dahi dan perut mereka, racunnya pun dengan sangat cepat menjalar ke seluruh aliran darah para pendekar itu. Hingga pada akhirnya, empat orang pendekar itu tak dapat bertahan lama, saat itu juga mereka langsung meregang nyawa.
“Pengawalmu sungguh luar biasa, Pangeran,” kata Senapati Lintang memberikan pujian kepada para prajurit pengawal yang sudah berhasil mengalahkan empat orang pendekar tersebut.
“Mereka digembleng langsung oleh paman maha patih atas perintah ayahanda. Di antara ribuan prajurit, hanya dua puluh orang yang terpilih, dan sepuluh prajurit ini dikhususkan mengawalku, sisanya mengawal Sami Aji,” terang sang pangeran.
Sejatinya dari kesepuluh prajurit tersebut merupakan pengawal pribadi sang pangeran yang ditugaskan oleh Prabu Erlangga untuk mengawal putranya yang sedang menjalankan tugas darinya.
“Kemampuan mereka setara dengan pasukan khusus Tonggon yang pernah membantai pasukan kerajaan Kundar Buana di masa lalu,” kata Senapati Lintang berdecak kagum.
Saketi hanya tersenyum. Belum sempat berkata, tiba-tiba dari arah belakang rumah tersebut keluar dua orang pria tua sambil tertawa lepas, "Hahaha...!"
Mereka meloncat tinggi, kemudian mendarat sempurna di hadapan Saketi dan Senapati Lintang.Salah seorang dari mereka berkata, “Ambuing-ambuing, begitu mudahnya kalian membunuh anak buahku dan juga murid-murid kesayangan kawanku ini." Pria tua itu menatap tajam wajah Saketi dan Senapati Lintang.
"Kalian sangat luar biasa, kalian adalah orang-orang hebat!” kata pendekar tua itu. "Tapi, harus kalian ketahui. Mereka itu tidak tewas, hanya raga mereka saja yang gugur!" sambungnya sambil terkekeh-kekeh.
Senapati Lintang dan Saketi serta sepuluh orang prajuritnya tampak bersiaga, mereka tidak paham dengan apa yang diucapkan oleh pria tua itu. Meskipun demikian, mereka tidak terhanyut oleh ucapan tersebut, mereka hanya diam tidak menyahut sepatah kata pun.
“Para pendekar muda yang masih bau kencur berani bersaing dengan kita? Sungguh menjengkelkan!” kata pria tua yang satunya lagi sambil menoleh ke arah kawannya yang tampak lebih renta darinya.
Kedua pria berusia senja itu berkacak pinggang mengamati empat mayat yang bergeletakan di hadapannya.
“Mereka hanya mati jasadnya saja,” desis salah seorang dari mereka.
Senapati Lintang terus mengamati gerak-gerik kedua orang tua itu.
“Kira-kira siapa mereka, Pangeran?” tanya Senapati Lintang berbisik lirih kepada Saketi.* * *Saketi pun menjawab, “Entahlah, Paman. Tentu selain dua orang tua ini masih ada lagi musuh lain yang akan menyulitkan kita di tempat ini. Ayahanda berpesan agar kita hati-hati!” “Pesan ayahandamu itu memang benar, menandakan bahwa di tempat ini, tentu terdapat banyak pendekar sakti,” kata Senapati Lintang berkesimpulan. "Kehadiran mereka pasti akan mengancam jiwa kita," sambungnya. Setelah itu, mereka kembali fokus kepada dua orang pendekar tua yang ada sudah berhadap-hadapan dengan mereka. Tampak jelas dari lengan dan dada kurus kedua orang tua itu, seperti ada sebuah gambar rajawali yang menandakan mereka berasal dari kelompok pendekar rajawali yang tersohor akan kesaktiannya, dan sangat disegani oleh para pendekar lain di rimba persilatan. Dalam kurun waktu seratus tahun silam, para pendekar dari kelompok pendekar rajawali sudah banyak menggemparkan dunia persilatan. Mereka adalah Ki Wori dan Ki Ronggo yang sudah berusia senja, diperkirakan umur mereka sudah menginjak satu abad l
Senapati Lintang dan Saketi serta para prajuritnya hanya diam menyaksikan detik-detik adu kekuatan senjata dari kedua belah pihak. Namun, satu pihak yang melakukan serangan tersebut masih belum menampakkan diri. Mereka pun sangat penasaran menunggu kemunculan para pendekar itu, yang secara tiba-tiba menyerang kedua orang tua renta yang memiliki kesaktian sangat luar biasa. "Kau lihat saja! Pendekar apa lagi yang akan datang ke tempat ini?" bisik Senapati Lintang mengarah kepada Saketi. "Banyak sekali para pendekar yang datang ke tempat ini. Sebenarnya apa maksud mereka, Paman?" tanya Saketi penasaran. Keningnya mengerut dalam sebagai tanda bahwa dirinya tidak memahami keinginan para pendekar yang secara tiba-tiba saja adu kekuatan di tempat itu. "Entahlah, kita lihat saja!" jawab Senapati Lintang. Beberapa saat kemudian, kedua pasangan pendekar muncul dari balik semak belukar. Mereka adalah seorang pria paruh baya dan seorang wanita yang masih terlihat cantik meskipun usianya tida
Tidak lama setelah itu, terdengar suara yang sama seseorang menyahut dari dalam hutan, disusul oleh suara lainnya hingga terdengar gaduh saling bersahutan. Setelah itu, keluarlah beberapa orang pria dewasa. Mereka berloncatan dari persembunyian mereka di balik semak-semak yang ada di hutan itu. Orang-orang itu langsung menghampiri Soma dan Santika. "Baguslah, kalian sudah kumpul semua," desis Soma tersenyum lebar menyambut kedatangan anak buahnya. Salah seorang dari mereka bertanya kepada Soma, "Apa yang harus kami lakukan, Ki?" "Jangan bertindak dulu sebelum aku memberikan perintah kepada kalian!" jawab Soma. Orang-orang yang berpenampilan aneh itu menjura kepada Soma dan Santika lalu mereka mundur dua langkah. Ki Ronggo dan Ki Wori tampak kaget dengan kedatangan orang-orang tersebut. Mereka sangat aneh, berpenampilan layaknya para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa lalu. "Kau perhatikan mereka! Mereka mirip dengan para prajurit kerajaan Kuta Tandingan di masa silam!" bisi
Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran. Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi. "Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka. Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka. "Sratttt! Sing ... sing ... sing!" Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing. Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur. "Mundurlah! Belum ada perintah dari guru." Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa men
Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai! "Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu. "Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran. Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pend
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa
"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L