Tanpa terduga anak buah Soma dan puluhan murid Ki Wori mulai maju sambil menghunus pedang mendesak ke arah sang pangeran.
Melihat anak buahnya mulai bergerak, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu membentak anak buahnya, "Mundur kalian! Dia adalah putra mahkota, kalian tetap di tempat. Jangan ikut campur!" Alis lentiknya tampak naik tinggi.
"Baik, Nyai," jawab salah seorang dari mereka.
Dengan segera, mereka langsung surut dan kembali ke tempat semula. Mereka sangat patuh dengan apa yang diperintahkan oleh Santika—pimpinan mereka.
"Sratttt! Sing ... sing ... sing!"
Para pendekar dari kelompok rajawali juga sudah menghunus pedang mereka masing-masing.
Salah seorang murid Ki Ronggo kelihatan sangat bingung melihat pemandangan seperti itu, lalu mengangkat tangan memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur.
"Mundurlah! Belum ada perintah dari guru."
Setelah murid-muridnya mundur, Ki Ronggo menjura dan berkata kepada Santika dan Soma, "Aku harap kita semua bisa menahan diri, dan jangan larut dalam amarah. Ingat, kita mempunyai tugas masing-masing!"
Soma dan istrinya tetap diam tak mengindahkan perkataan dari Ki Ronggo. Hanya Saketi yang berani menyela ucapan orang tua itu.
"Maksudmu bagaimana? Bukankah kau sendiri yang menghendaki pertempuran ini terjadi?" tanya sang pangeran tegas tanpa rasa takut sedikit pun terhadap orang tua yang diketahui memiliki ilmu sakti tinggi itu. "Kita mempunyai tugas masing-masing. Sebaiknya kita selesaikan masalah ini dengan jantan, siapa yang tangguh itu yang berhak mengatur semuanya!" sambung Saketi memberikan tantangan.
Ada siasat terselubung dalam diri sang pangeran. Sejatinya, ia ingin melakukan tindakan adu domba terhadap para pendekar itu, agar kedua kubu tersebut bentrok dan saling menjatuhkan.
Mendengar apa yang diusulkan oleh Saketi, orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Lalu berkata lagi, "Maksudmu adu kekuatan?" tanya Ki Ronggo menatap tajam wajah sang pangeran.
Ki Ronggo masih belum percaya jika pemuda yang ada di hadapannya itu benar-benar putra mahkota kerajaan Sanggabuana. Jika dirinya percaya dan mengenal Saketi, kemungkinan besar hal tersebut tidak akan ia lakukan, karena dirinya sangat menghormati Prabu Erlangga meskipun kelompoknya berada di luar pemerintah kerajaan.
"Ya, seperti itu maksudku. Apakah kalian siap?" jawab Saketi balas melontar pertanyaan.
Ki Ronggo dan Ki Wori tampak geram dengan sikap yang ditunjukkan oleh Saketi yang secara tegas dan berani telah menantang mereka. Namun, mereka akhirnya menyetujui usulan dari Saketi.
"Baiklah, aku setuju dengan usulanmu, Anak muda," jawab Ki Ronggo. "Siapa yang ingin lebih dulu menghadapi kami?" tanya Ki Ronggo menambahkan.
"Aku!" sahut wanita paruh baya itu langsung menghunus pedangnya dan melangkah maju mendekati Ki Ronggo.
Ki Ronggo dan Ki Wori saling berpandangan, kemudian mengangguk sebagai tanda sepakat dengan tantangan dari wanita paruh baya itu.
"Silakan kalian bertarung! Pemenang dalam pertarungan ini, akan langsung berhadapan denganku," kata Saketi mundur beberapa langkah ke belakang memberikan ruang bagi kedua pendekar itu untuk melakukan pertarungan mereka.
"Siasatmu sangat hebat sekali, Pangeran," bisik Senapati Lintang sambil tersenyum-senyum.
"Kita lihat saja, Paman. Siapa di antara mereka yang akan memenangi pertarungan ini?!" desis Saketi tersenyum-senyum.
Ki Ronggo memberi isyarat kepada Ki Wori untuk maju lebih dulu. Dengan demikian, Ki Wori pun langsung melangkah beberapa maju. Ia mulai berhadap-hadapan dengan Santika yang sudah menggenggam sebilah pedang di tangan kanannya.
Dua bola mata Ki Wori bergulir ke sekeliling tempat tersebut, mengamati lokasi yang hendak dijadikan sebagai arena pertarungannya dengan Santika.
"Tempat ini sangat sempit, semak-belukar dan pepohonan yang ada di sini harus disingkirkan terlebih dahulu," desisnya.
Para pasukan pendekar dari kedua belah pihak sudah mulai surut jauh, dan setengah bersembunyi di dalam hutan yang suasananya sudah mulai redup, karena waktu sudah menjelang senja.
"Apa yang kau pikirkan, Orang tua? Apakah kau ragu bertarung denganku?" tanya Santika dengan sikap angkuhnya.
"Hahaha ...." Ki Wori tertawa lepas mendengar perkataan dari wanita paruh baya itu. Seakan-akan ia merasa lucu disebut ragu oleh lawannya itu. Lantas Ki Wori berkata, "Kau jangan meremehkan aku!"
"Lantas, apa yang kau pikirkan? Bukannya bertarung langsung, kau malah diam saja. Seakan-akan kau takut melawanku." Santika mulai memancing amarah pria senja yang sudah ada di hadapannya.
"Menurutku tempat ini kurang luas dan kurang menarik untuk dijadikan tempat pertarungan," ujar orang tua itu sambil melangkah menghampiri tumpukkan bebatuan besar yang ada di sekitar tempat tersebut.
Santika hanya diam saja, ia terus mengamati gerak-gerik Ki Wori yang sudah melangkah mendekati gundukan batu padas yang berukuran besar.
'Apa yang akan dilakukan oleh orang tua ini?' batin Santika sambil mengamati tingkah Ki Wori.
Sungguh luar biasa dan membuat orang tercengang melihatnya. Ki Wori dengan segenap kemampuannya langsung menendang satu-persatu batu-batu padas berukuran besar yang ada di tempat tersebut. Tampak begitu enteng dan sangat mudah sekali, bebatuan berukuran besar itu pecah dan berhamburan ke dalam hutan.
"Sungguh luar biasa sekali kemampuan orang tua ini," desis Senapati Lintang berdecak kagum melihat pemandangan langka itu.
Begitu juga yang dirasakan oleh Saketi, ia tampak kaget dan merasa kagum melihat kekuatan yang dimiliki oleh Ki Wori. Usianya sudah renta akan tetapi memiliki tenaga yang super kuat.
"Orang tua ini seperti bukan manusia, dia berhasil melawan kodrat manusia. Kekuatannya bak sesosok Dewa," kata Saketi penuh kekaguman.
Begitu pula yang dilakukan oleh Ki Ronggo, ia turut membantu kawannya dengan kekuatan penuh, batu-batu besar tersebut berhasil disingkirkan dengan mudah oleh kedua kakek berusia senja yang sangat mustahil dapat dilakukan oleh orang-orang biasa jika tidak memiliki ilmu tenaga dalam yang tinggi.
Murid-murid dari kelompok rajawali pun bertepuk tangan, suasana pun menjadi bergemuruh. Mereka ikut menyemangati kedua guru mereka dalam menyingkirkan bebatuan besar yang ada di tempat tersebut.
Namun, berbeda dengan sikap kedua pasangan pendekar iblis merah. Mereka tampak sinis dan mentertawakan tingkah laku kedua pria senja yang sudah pamer kekuatan di hadapan mereka.
"Hahaha! Ilmu kalian hanya seujung kuku saja sudah sombong," kata Santika geram melihat kelakuan lawannya.
Demikianlah, keduanya pun langsung melakukan hal yang sama, pohon-pohon besar di sekitaran tempat tersebut langsung mereka singkirkan dengan tendangan kaki yang berkekuatan besar, menyapu pepohonan tersebut hingga roboh satu-persatu.
Hanya dalam waktu sekejap saja, tempat tersebut menjadi terang, tersorot cahaya rembulan yang bersinar tanpa tertutup lagi oleh rimbunnya dedaunan. Tidak terasa suasana malam pun semakin mencekam, Santika langsung melangkah maju.
"Mari kita mulai pertarungan ini!" tantang Santika mulai pasang kuda-kuda.
"Ya, tempat ini sudah menjadi luas, majulah!" sahut Ki Wori menerima tantang tersebut. Tampak sekali dari raut wajahnya, ia bersikap seperti menyepelekan kekuatan lawannya itu.
* * *
Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi. Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai! "Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu. "Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran. Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pend
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa
"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Di lain tempat, tepatnya di perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya, rupanya sedang terjadi pertempuran yang cukup sengit. Mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut adalah kelompok pemberontak dari hutan yang berada di wilayah kerajaan Sirnabaya. Para pemberontak itu adalah anak buah Daryana yang sudah berkhianat kepada pihak kerajaan Sirnabaya yang menetap di hutan tersebut. Tentu saja, para petinggi istana kerajaan Sirnabaya merasa kecewa terhadap Daryana yang merupakan punggawa andalan di kerajaan tersebut. Mereka berharap Daryana mau menghentikan aksinya, dan membiarkan rakyat yang hidup di perbatasan wilayah dua kerajaan tersebut damai dan tentram tanpa gangguan para pemberontak itu. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Daryana dan ratusan anak buahnya. Namun, Daryana tidak mau patuh dan terus melanjutkan aksinya dalam meneror para prajurit kerajaan yang bertugas di perbatasan, dan juga tidak segan-segan melakukan perampokan terhadap pa
Raut wajahnya tampak semringah, seakan-akan merasa senang karena tugas yang ia berikan sudah dilaksanakan dengan baik hanya dalam waktu singkat saja, oleh Senapati Lintang dan juga putranya. Dengan demikian, Senapati Lintang pun langsung menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika menjalankan tugas tersebut. Setelah itu, Saketi langsung menunjukkan keris pusaka yang ia dapatkan dari Ki Ronggo. "Apakah Ayahanda kenal dengan keris pusaka ini?" Saketi menyerahkan keris tersebut kepada sang raja. Sang raja hanya tersenyum sambil mengamati keris pusaka itu, kemudian meraihnya dari tangan Saketi. Prabu Erlangga berkata lirih, "Ini adalah keris pusaka Naga Geni milik mendiang kakekmu," terang sang raja lirih. "Ki Ronggo adalah orang kepercayaan mendiang kakekmu. Lantas, kenapa kalian tidak mengajaknya untuk tinggal di istana?" tanya sang raja menyambung perkataannya. "Hamba sudah mengajaknya. Akan tetapi Ki Ronggo dan Ki Wori menolak dan langsung pamit," terang Senapati Lintang menj
Tujuh hari kemudian, di depan istana kepatihan Kuta Tandingan barat, ada seorang anak muda berperilaku aneh dan tidak sopan. Secara tiba-tiba, ia melakukan tindakan tidak terpuji, berteriak-teriak memanggil nama Patih Aryadana. "Gusti Patih Aryadana! Keluarlah!" teriak anak muda itu, tampak penuh amarah. Berdiri angkuh di depan pintu gerbang istana kepatihan. Sehingga memicu kemarahan dari para prajurit penjaga istana kepatihan. "Siapa dia?" tanya seorang prajurit penjaga istana kepatihan mengarah kepada kawannya. "Entahlah, sebaiknya kita keluar dan usir pemuda itu!" jawab kawannya langsung melangkah keluar dari saung keamanan yang berada di dalam area istana tidak jauh dari pintu gerbang istana tersebut. Dengan demikian, para prajurit penjaga istana kepatihan itu langsung menghampiri pemuda tersebut yang merupakan tamu tidak diundang yang sudah datang dengan sikap tidak sopan dan berperilaku sombong. "Lancang sekali kau ini!" bentak salah seorang prajurit. "Apakah kau tidak memp
Demikianlah, mereka langsung bangkit dan mendorongkan kedua tangan ke depan, tangan mereka saling mengapit satu sama lain. Pijakkan kaki mereka tampak kuat dengan posisi kedua kaki mereka sedikit melebar. Dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi, mereka langsung menyerang Patih Aryadana dengan pukulan jarak jauh menggempur pertahanan sang patih. Pancaran sinar merah keluar dari tangan-tangan pendekar tersebut, dan langsung menyambar ke arah Patih Aryadana. Meskipun demikian, Patih Aryadana tak goyah barang sedikit pun. "Aku kembalikan pukulan kalian ini. Terimalah!" bentak sang patih. Sang patih langsung mendorong energi dari jurus musuhnya yang tertahan oleh kekuatan jurus darinya. Kemudian, ia segera mengembalikan kekuatan tersebut ke arah kedua lawannya. Sinar merah itu melesat kembali menuju ke arah dua pendekar itu. Mereka memekik keras, merasakan panas di sekujur tubuh. Kemudian, tubuh mereka terpental jauh. Namun, keduanya kembali bangkit dan merayap dengan raut wajah beruba