Tanpa terduga, Soma langsung melancarkan serangan terhadap Ki Ronggo. Demikian pula dengan Santika, ia langsung bergerak cepat dengan menyabetkan pedang ke arah Ki Wori, hingga pertarungan tersebut tidak dapat terelakkan lagi.
Empat orang pendekar sakti saling menyerang dengan kekuatan penuh dan mengerahkan jurus-jurus andalan mereka. Pukulan dan tendangan kaki mereka jauh lebih berbahaya daripada sambaran pedang atau golok, angin pun menderu-deru ketika mereka saling melancarkan pukulan sehingga rumput dan daun-daun dari pepohonan yang ada di sekitaran tempat itu bergoyang seperti diamuk badai!
"Luar biasa sekali kemampuan mereka," desis Saketi terus mengamati pertarungan itu.
"Mereka adalah para pendekar sakti, jika mereka mau bergabung dengan pihak kerajaan tentu akan menambah kekuatan pasukan kita. Tapi sayang, mereka lebih memilih jalan sendiri," kata Senapati Lintang menanggapi perkataan dari sang pangeran.
Dengan gagahnya Ki Wori dan Ki Ronggo bertarung melawan sepasang pendekar iblis merah. Kedua orang tua itu tampak gagah berani, dan tidak merasa gentar dalam menghadapi kedua lawannya, meskipun usia mereka sudah di atas kepala seratus.
Kekuatan yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo ternyata lebih kuat dari dua pendekar iblis merah. Sehingga, mereka tidak berani ambil sikap untuk melawan dalam jarak dekat.
Gerakan-gerakan yang diperagakan oleh dua orang tua itu, tampak seperti sebuah serangan hantu. Begitu sukar untuk dideteksi, sehingga membuat lawan mereka kewalahan.
"Kita jangan ikut campur. Biarkan saja mereka bertarung sesuka hati mereka!" desis Senapati Lintang mengarah kepada Saketi dan para pengawalnya.
"Iya, Paman. Kita tunggu saja siapa di antara mereka yang berhasil memenangkan pertandingan ini!" jawab Saketi langsung duduk di sebuah bebatuan besar yang ada di sekitar tempat tersebut.
Senapati Lintang dan sang pangeran serta dua puluh prajurit pengawal hanya menjadi penonton saja yang menyaksikan detik-detik pertarungan para pendekar sakti itu.
Begitu pula dengan para pendekar dari kedua belah pihak, mereka masih berada di pinggir arena pertarungan itu. Tak ada seorang pun dari mereka yang berani melibatkan diri dalam sengitnya pertarungan tersebut, karena mereka belum mendapatkan perintah dari pemimpin mereka.
"Apa kau yakin, kedua orang itu mampu mengalahkan guru kita?" tanya salah seorang dari kubu Ki Ronggo dan Ki Wori.
"Aku rasa mereka tidak akan pernah bisa mengalahkan guru kita, kau lihat saja! Mereka sudah kewalahan," sahut kawannya.
Pertarungan tampak semakin sengit saja, kedua belah pihak saling dorong dan saling memukul satu sama lain. Tampak jelas Soma dan Santika mulai terdesak. Namun mereka kembali bergerak secepat kilat maju lagi dan kembali melanjutkan pertarungan mereka dengan kedua pendekar tua itu.
"Berhati-hatilah, Santika! Kita tidak boleh lengah, mereka memiliki kemampuan tinggi," desis Soma kembali melancarkan serangan dari jarak jauh ke arah Ki Wori dan Ki Ronggo.
Saat itu, memang diakui oleh sebagai kalangan pendekar dari rimba persilatan bahwa kelompok rajawali merupakan sebuah kelompok yang kuat, mereka sudah muncul sejak bangsa Tonggon melakukan serangan terhadap kerajaan Kuta Waluya yang sebagian kecil wilayahnya kini dikuasai oleh kerajaan Sanggabuana. Kelompok rajawali dulunya merupakan para tentara bayaran yang diberi tugas menyerang pihak kerajaan Kuta Waluya.
Mereka berasal dari kerajaan Kuta Tandingan yang kini sudah merubah nama menjadi kerajaan Sanggabuana. Namun, keadaan justru sebaliknya, ketika kerajaan Sanggabuana berperang melawan pasukan dari kerajaan Kundar, kelompok rajawali yang berbasis di Conan Utara justru hanya berdiam diri di dalam hutan dan enggan untuk terlibat dalam peperangan besar itu. Entah apa alasan mereka yang tidak mau melibatkan diri membela bangsa mereka sendiri?
Selama perang berlangsung, kelompok tersebut tidak mau keluar dan tetap bersembunyi di dalam hutan. Bahkan, diam-diam mereka mulai menghimpun kekuatan dan memperdalam ilmu silat.
"Lihatlah! Pergerakan dua orang tua itu, sama persis dengan jurus yang sering digunakan oleh mendiang Ki Jasukarna!" bisik Senapati Lintang kepada sang pangeran.
Saketi mengerutkan keningnya, dan terus mengamati gerak-gerik kedua orang tua itu yang sedang bertarung melawan dua pendekar iblis merah.
Lantas, ia pun berpaling ke arah Senapati Lintang, "Apa ada kaitannya. Antara kedua orang tua itu dengan mendiang Ki Jasukarna, Paman?" tanya Saketi tampak penasaran menatap tajam wajah sang panglima.
Senapati Lintang menarik napas dalam-dalam. Lalu menjawab pertanyaan dari sang pangeran, "Beberapa tahun yang lalu, kelompok rajawali mempunyai basis terkuat di wilayah Conan Utara dan sebagian juga ada yang berbasis di wilayah kerajaan Kundar sebelah timur yang berbatasan langsung dengan kerajaan Sirnabaya. Mereka awalnya baik dan berpihak kepada kerajaan, namun semenjak ada pergantian dari pimpinan pusat mereka, keadaan jadi berbalik. Mereka secara terang-terangan merubah kelompoknya menjadi sebuah kelompok yang mandiri dan tidak mau turut campur dalam persoalan kerajaan," tutur Senapati Lintang menerangkan.
Saketi hanya mengangguk-anggukkan kepala sambil tak hentinya mengamati pertarungan empat orang pendekar sakti itu.
Lantas, sang senapati kembali menuturkan kepada Saketi, "Bertahun-tahun lamanya kelompok rajawali dipimpin oleh seorang pendekar yang gagah dan perkasa. Pimpinan mereka memiliki ilmu silat yang sangat tinggi. Ilmu silat yang ia miliki merupakan ilmu keturunan dari sepuh mereka yang sakti, yaitu Ki Belut Putih. Dia adalah buyut Ki Jasukarna dan kedua orang tua itu adalah saudara sepupu Ki Jasukarna!"
"Mereka mungkin hanya generasi kedua, namun tingkat keilmuan mereka sangat dahsyat," desis Saketi berdecak kagum.
"Ya, memang seperti itu. Jika Pangeran dapat mengalahkan mereka, itu tandanya Pangeran akan menjadi seorang kesatria yang ditakuti oleh sebagian pendekar dari rimba persilatan. Mereka akan tunduk kepada Pangeran," kata sang panglima.
"Butuh waktu lama untuk berlatih agar bisa mengalahkan mereka, Paman," sahut Saketi sambil menghela napas dalam-dalam.
Setelah itu, keduanya kembali fokus menyaksikan pertarungan sengit empat pendekar sakti itu.
"Pukul kepala pendekar itu! Kelemahannya ada di bagian atas kepalanya," bisik Ki Ronggo kepada Ki Wori.
"Baiklah, aku akan mencobanya," jawab Ki Wori.
Dengan gerakan yang sangat cepat, tubuhnya melesat tinggi ke udara. Tanpa terduga, dari ketinggian sekitar beberapa meter di atas arena, Ki Wori melesat ke bawah dan langsung menghantam kepala Soma dengan pukulan yang sangat keras. Alhasil, pendekar Iblis Merah itu jatuh dan memekik kesakitan.
"Kurang ajar!" bentak Santika, ia langsung menghampiri suaminya dan membantunya untuk bangkit.
"Bertahanlah, Suamiku! Kita pasti bisa mengalahkan mereka," kata Santika kepada Soma.
Namun, Ki Ronggo tidak membiarkan begitu saja. Ia langsung melakukan pergerakan dengan melancarkan serangan dari jarak jauh tepat mengarah kepada Santika.
Pukulan tenaga dalam jarak jauh menghantam dada Santika, hingga tubuhnya terpental beberapa tombak dan langsung jatuh menimpa sebuah pohon besar yang ada di tempat tersebut. Dari mulut dan hidungnya mengeluarkan darah segar mengalir deras membuat dirinya lemah tak berdaya.
Tampaknya perkelahian itu akan segera berakhir, karena dua pasangan pendekar iblis merah sudah mengalami luka dalam yang cukup parah. Sehingga mereka sudah tidak mampu lagi untuk melanjutkan pertarungan tersebut.
"Hai, Iblis Merah! Apakah kalian sudah menyerah?" bentak Ki Ronggo berbicara dengan nada tinggi sambil bertulak pinggang.
Dua pendekar itu tidak menghiraukan perkataan dari orang tua tersebut. Mereka bangkit, kemudian menghilang dan lenyap dari hadapan dua pria senja itu. Begitu pula dengan pasukannya, mereka sudah menghilang tanpa jejak. Entah ke mana perginya?
"Pengecut kalian, Pendekar iblis!" teriak Ki Wori tampak kesal.
* * *
Sejatinya, Soma dan Santika merupakan sepasang pendekar hebat yang dijuluki pendekar iblis merah. Namun, mereka tidak dapat melanjutkan pertarungan tersebut. Karena mereka kalah segalanya dari kedua orang tua itu. Tingkatan ilmu mereka masih amat rendah dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki oleh Ki Wori dan Ki Ronggo yang berasal dari keluarga besar pendekar sakti turun temurun. Setelah itu, Saketi langsung bangkit, kemudian meloncat tinggi, dan mendarat sempurna di hadapan kedua pria renta itu. "Sekarang giliran aku yang akan menghadapi kalian," ujar Saketi menghunus pedangnya dan bersiap untuk melakukan serangan terhadap kedua orang tua tersebut. Pertarungan kembali berlangsung dengan sengit, dan tak ada seorang pun di antara mereka yang ingat akan keris pusaka yang sedang mereka perdebatkan itu. Keris pusaka tersebut, merupakan benda bersejarah peninggalan dari mendiang Prabu Sanjaya—ayahanda Prabu Erlangga yang tiada lain merupakan kakek sang pangeran. Awal kedatangan Saketi d
Saketi dan Ki Ronggo bangkit setelah terdorong oleh kekuatan tenaga dalam yang mengalir dari kedua tangan Jawirta yang tidak bisa ditahan oleh mereka, karena memiliki kekuatan yang sangat dahsyat. Dengan demikian, pertarungan itu pun terhenti. Ki Ronggo dan Saketi langsung meluruskan pandangan mereka ke arah Jawirta. "Kenapa kau melerai pertarungan ini?" tanya Ki Ronggo di antara deru napasnya. Jiwa dan pikirannya diselimuti kabut amarah yang begitu tebal. "Tenang dulu, Ki!" jawab Jawirta tersenyum dan bersikap ramah terhadap pria senja itu. Begitu juga dengan Saketi, ia sangat marah terhadap Jawirta yang sudah menghentikan pertarungannya dengan Ki Rangga. "Ada urusan apa Ki Sanak menghentikan kami yang sedang bertarung?" tanya Saketi raut wajahnya tampak memerah. "Mohon maaf sebelumnya. Aku terpaksa melerai pertarungan kalian, karena masih ada jalan lain untuk berdamai. Lantas, kenapa harus menempuh cara seperti ini?" jawab Jawirta balas bertanya, pandangannya tajam mengarah kepa
"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Di lain tempat, tepatnya di perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya, rupanya sedang terjadi pertempuran yang cukup sengit. Mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut adalah kelompok pemberontak dari hutan yang berada di wilayah kerajaan Sirnabaya. Para pemberontak itu adalah anak buah Daryana yang sudah berkhianat kepada pihak kerajaan Sirnabaya yang menetap di hutan tersebut. Tentu saja, para petinggi istana kerajaan Sirnabaya merasa kecewa terhadap Daryana yang merupakan punggawa andalan di kerajaan tersebut. Mereka berharap Daryana mau menghentikan aksinya, dan membiarkan rakyat yang hidup di perbatasan wilayah dua kerajaan tersebut damai dan tentram tanpa gangguan para pemberontak itu. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Daryana dan ratusan anak buahnya. Namun, Daryana tidak mau patuh dan terus melanjutkan aksinya dalam meneror para prajurit kerajaan yang bertugas di perbatasan, dan juga tidak segan-segan melakukan perampokan terhadap pa
Raut wajahnya tampak semringah, seakan-akan merasa senang karena tugas yang ia berikan sudah dilaksanakan dengan baik hanya dalam waktu singkat saja, oleh Senapati Lintang dan juga putranya. Dengan demikian, Senapati Lintang pun langsung menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika menjalankan tugas tersebut. Setelah itu, Saketi langsung menunjukkan keris pusaka yang ia dapatkan dari Ki Ronggo. "Apakah Ayahanda kenal dengan keris pusaka ini?" Saketi menyerahkan keris tersebut kepada sang raja. Sang raja hanya tersenyum sambil mengamati keris pusaka itu, kemudian meraihnya dari tangan Saketi. Prabu Erlangga berkata lirih, "Ini adalah keris pusaka Naga Geni milik mendiang kakekmu," terang sang raja lirih. "Ki Ronggo adalah orang kepercayaan mendiang kakekmu. Lantas, kenapa kalian tidak mengajaknya untuk tinggal di istana?" tanya sang raja menyambung perkataannya. "Hamba sudah mengajaknya. Akan tetapi Ki Ronggo dan Ki Wori menolak dan langsung pamit," terang Senapati Lintang menj
Tujuh hari kemudian, di depan istana kepatihan Kuta Tandingan barat, ada seorang anak muda berperilaku aneh dan tidak sopan. Secara tiba-tiba, ia melakukan tindakan tidak terpuji, berteriak-teriak memanggil nama Patih Aryadana. "Gusti Patih Aryadana! Keluarlah!" teriak anak muda itu, tampak penuh amarah. Berdiri angkuh di depan pintu gerbang istana kepatihan. Sehingga memicu kemarahan dari para prajurit penjaga istana kepatihan. "Siapa dia?" tanya seorang prajurit penjaga istana kepatihan mengarah kepada kawannya. "Entahlah, sebaiknya kita keluar dan usir pemuda itu!" jawab kawannya langsung melangkah keluar dari saung keamanan yang berada di dalam area istana tidak jauh dari pintu gerbang istana tersebut. Dengan demikian, para prajurit penjaga istana kepatihan itu langsung menghampiri pemuda tersebut yang merupakan tamu tidak diundang yang sudah datang dengan sikap tidak sopan dan berperilaku sombong. "Lancang sekali kau ini!" bentak salah seorang prajurit. "Apakah kau tidak memp
Demikianlah, mereka langsung bangkit dan mendorongkan kedua tangan ke depan, tangan mereka saling mengapit satu sama lain. Pijakkan kaki mereka tampak kuat dengan posisi kedua kaki mereka sedikit melebar. Dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi, mereka langsung menyerang Patih Aryadana dengan pukulan jarak jauh menggempur pertahanan sang patih. Pancaran sinar merah keluar dari tangan-tangan pendekar tersebut, dan langsung menyambar ke arah Patih Aryadana. Meskipun demikian, Patih Aryadana tak goyah barang sedikit pun. "Aku kembalikan pukulan kalian ini. Terimalah!" bentak sang patih. Sang patih langsung mendorong energi dari jurus musuhnya yang tertahan oleh kekuatan jurus darinya. Kemudian, ia segera mengembalikan kekuatan tersebut ke arah kedua lawannya. Sinar merah itu melesat kembali menuju ke arah dua pendekar itu. Mereka memekik keras, merasakan panas di sekujur tubuh. Kemudian, tubuh mereka terpental jauh. Namun, keduanya kembali bangkit dan merayap dengan raut wajah beruba
Di tempat terpisah, Yunada sangat geram ketika diganggu oleh dua pemuda asing ketika ia sedang berjalan-jalan di pusat keramaian kuta, tepatnya di pusat alun-alun kuta utama Kuta Tandingan yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sanggabuana. "Hai, Gadis manis!" ucap salah seorang pemuda mulai menggoda Yunada. "Wajahmu seperti Dewi Kahyangan. Bolehkah kami berkenalan denganmu," sambungnya penuh rayuan. Dua pemuda itu terus menggoda Yunada sambil membuntuti langkah gadis cantik itu. Mereka tidak mengetahui jika Yunada itu adalah putri Senapati Lintang, sehingga mereka berani menggodanya dan terus mengikuti langkah Yunada. Awalnya Yunada memang bersikap ramah dan tidak menampakkan kemarahan. Namun, tiba-tiba saja salah seorang dari dua pemuda tersebut dengan tidak sopan memegang lengan Yunada. Dengan demikian, Yunada langsung menghantam kepala pemuda itu dengan begitu kerasnya. Tindakan Yunada sontak membuat pemuda yang satunya lagi geram dan langsung mendekati Yunada yang bernyali b