"Aku baru pertama mendapatkan tugas dari ayahanda. Akan tetapi, sudah bertemu dengan para pendekar hebat," jawab Saketi. "Bahkan berkesempatan menjajal ilmu kanuragan dengan para pendekar tersebut. Tentu ini sangat berkesan bagi perjalanan hidupku, Paman," sambungnya. "Ya, mereka tadi memang para pendekar hebat. Tapi ini belum seberapa, kelak kau akan dipertemukan lagi dengan para pendekar yang lebih hebat lagi. Bahkan melebihi kehebatan mereka, jika kau sudah mengarungi dunia persilatan," kata Senapati Lintang. "Akan tetapi, menurutku Ki Ronggo adalah orang tua yang sangat sakti, karena selama puluhan tahun dia menjadi pelayan kakekmu. Teruji kesetiaannya yang begitu tinggi, bahkan setelah sekian lamanya kakekmu meninggal, dia tetap setia dalam menjaga keris pusaka peninggalan kerajaan," sambung Senapati Lintang. "Apakah seperti Ki Jasukarna yang memiliki ilmu seperti Dewa?" tanya Saketi sedikit berpaling ke arah Senapati Lintang sambil mengerutkan keningnya. Kemudian, pandangannya
Di lain tempat, tepatnya di perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana dengan wilayah kerajaan Sirnabaya, rupanya sedang terjadi pertempuran yang cukup sengit. Mereka yang terlibat dalam pertempuran tersebut adalah kelompok pemberontak dari hutan yang berada di wilayah kerajaan Sirnabaya. Para pemberontak itu adalah anak buah Daryana yang sudah berkhianat kepada pihak kerajaan Sirnabaya yang menetap di hutan tersebut. Tentu saja, para petinggi istana kerajaan Sirnabaya merasa kecewa terhadap Daryana yang merupakan punggawa andalan di kerajaan tersebut. Mereka berharap Daryana mau menghentikan aksinya, dan membiarkan rakyat yang hidup di perbatasan wilayah dua kerajaan tersebut damai dan tentram tanpa gangguan para pemberontak itu. Hal tersebut sudah ia sampaikan kepada Daryana dan ratusan anak buahnya. Namun, Daryana tidak mau patuh dan terus melanjutkan aksinya dalam meneror para prajurit kerajaan yang bertugas di perbatasan, dan juga tidak segan-segan melakukan perampokan terhadap pa
Raut wajahnya tampak semringah, seakan-akan merasa senang karena tugas yang ia berikan sudah dilaksanakan dengan baik hanya dalam waktu singkat saja, oleh Senapati Lintang dan juga putranya. Dengan demikian, Senapati Lintang pun langsung menuturkan semua peristiwa yang dialaminya ketika menjalankan tugas tersebut. Setelah itu, Saketi langsung menunjukkan keris pusaka yang ia dapatkan dari Ki Ronggo. "Apakah Ayahanda kenal dengan keris pusaka ini?" Saketi menyerahkan keris tersebut kepada sang raja. Sang raja hanya tersenyum sambil mengamati keris pusaka itu, kemudian meraihnya dari tangan Saketi. Prabu Erlangga berkata lirih, "Ini adalah keris pusaka Naga Geni milik mendiang kakekmu," terang sang raja lirih. "Ki Ronggo adalah orang kepercayaan mendiang kakekmu. Lantas, kenapa kalian tidak mengajaknya untuk tinggal di istana?" tanya sang raja menyambung perkataannya. "Hamba sudah mengajaknya. Akan tetapi Ki Ronggo dan Ki Wori menolak dan langsung pamit," terang Senapati Lintang menj
Tujuh hari kemudian, di depan istana kepatihan Kuta Tandingan barat, ada seorang anak muda berperilaku aneh dan tidak sopan. Secara tiba-tiba, ia melakukan tindakan tidak terpuji, berteriak-teriak memanggil nama Patih Aryadana. "Gusti Patih Aryadana! Keluarlah!" teriak anak muda itu, tampak penuh amarah. Berdiri angkuh di depan pintu gerbang istana kepatihan. Sehingga memicu kemarahan dari para prajurit penjaga istana kepatihan. "Siapa dia?" tanya seorang prajurit penjaga istana kepatihan mengarah kepada kawannya. "Entahlah, sebaiknya kita keluar dan usir pemuda itu!" jawab kawannya langsung melangkah keluar dari saung keamanan yang berada di dalam area istana tidak jauh dari pintu gerbang istana tersebut. Dengan demikian, para prajurit penjaga istana kepatihan itu langsung menghampiri pemuda tersebut yang merupakan tamu tidak diundang yang sudah datang dengan sikap tidak sopan dan berperilaku sombong. "Lancang sekali kau ini!" bentak salah seorang prajurit. "Apakah kau tidak memp
Demikianlah, mereka langsung bangkit dan mendorongkan kedua tangan ke depan, tangan mereka saling mengapit satu sama lain. Pijakkan kaki mereka tampak kuat dengan posisi kedua kaki mereka sedikit melebar. Dengan kekuatan tenaga dalam yang tinggi, mereka langsung menyerang Patih Aryadana dengan pukulan jarak jauh menggempur pertahanan sang patih. Pancaran sinar merah keluar dari tangan-tangan pendekar tersebut, dan langsung menyambar ke arah Patih Aryadana. Meskipun demikian, Patih Aryadana tak goyah barang sedikit pun. "Aku kembalikan pukulan kalian ini. Terimalah!" bentak sang patih. Sang patih langsung mendorong energi dari jurus musuhnya yang tertahan oleh kekuatan jurus darinya. Kemudian, ia segera mengembalikan kekuatan tersebut ke arah kedua lawannya. Sinar merah itu melesat kembali menuju ke arah dua pendekar itu. Mereka memekik keras, merasakan panas di sekujur tubuh. Kemudian, tubuh mereka terpental jauh. Namun, keduanya kembali bangkit dan merayap dengan raut wajah beruba
Di tempat terpisah, Yunada sangat geram ketika diganggu oleh dua pemuda asing ketika ia sedang berjalan-jalan di pusat keramaian kuta, tepatnya di pusat alun-alun kuta utama Kuta Tandingan yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Sanggabuana. "Hai, Gadis manis!" ucap salah seorang pemuda mulai menggoda Yunada. "Wajahmu seperti Dewi Kahyangan. Bolehkah kami berkenalan denganmu," sambungnya penuh rayuan. Dua pemuda itu terus menggoda Yunada sambil membuntuti langkah gadis cantik itu. Mereka tidak mengetahui jika Yunada itu adalah putri Senapati Lintang, sehingga mereka berani menggodanya dan terus mengikuti langkah Yunada. Awalnya Yunada memang bersikap ramah dan tidak menampakkan kemarahan. Namun, tiba-tiba saja salah seorang dari dua pemuda tersebut dengan tidak sopan memegang lengan Yunada. Dengan demikian, Yunada langsung menghantam kepala pemuda itu dengan begitu kerasnya. Tindakan Yunada sontak membuat pemuda yang satunya lagi geram dan langsung mendekati Yunada yang bernyali b
Setelah pamit kepada sang raja dan sang ratu, Sami Aji langsung pamit kepada kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Saketi, ia sungkem kepada Mahapatih Randu Aji yang tiada lain adalah pamannya sendiri. Setelah itu, Ratu Arimbi kembali memanggil putranya, "Saketi, kemarilah!" Dengan cepat, Saketi langsung menghampiri sang ratu. "Ada apa, Bunda?" "Sebaiknya kamu pamit dulu kepada calon istrimu, Nak!" bisik Arimbi mengarah kepada putranya. "Iya, Bunda," sahut Saketi lirih. Dengan demikian, Saketi langsung melangkah menghampiri Yunada yang kebetulan ikut berkumpul di ruang utama istana kerajaan. "Aku pamit, Yunada," ucap Saketi suaranya terdengar berat. Seakan-akan, ia merasa sedih harus meninggalkan Yunada dalam waktu yang cukup lama. "Iya, Kakang. Aku harap, Kakang tidak melupakan aku!" jawab Yunada lirih sambil melontarkan senyum manisnya. Akan tetapi, wajahnya tampak mendung, seakan-akan ada rasa sedih menyelimut jiwa dan pikirannya kala itu. Begitu pun dengan apa yang dirasak
Tanpa banyak basa-basi lagi, para penjahat itu bangkit dan langsung membawa kawan mereka yang sudah tewas di tangan Sami Aji. Mereka pun bergegas meninggalkan tempat tersebut, langsung masuk ke dalam hutan. Sami Aji berpaling ke arah Saketi. "Kau tidak apa-apa, Pangeran?" tanya Sami Aji lirih. "Aku baik-baik saja," jawab Saketi tersenyum lebar. "Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan. Sebentar lagi kita akan tiba di kadipaten Kuta Gandok!" ajak Sami Aji lirih. Dengan demikian, kedua kesatria muda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke arah timur. Tepatnya menuju kadipaten Kuta Gandok. Setibanya di kadipaten tersebut, Saketi langsung mengajak Sami Aji untuk beristirahat sejenak di sebuah warung makan yang ada di pinggiran jalan utama kuta tersebut. "Kata ayahandaku, kadipaten ini dulunya merupakan kadipaten pertama yang berdiri di masa terbentuknya kerajaan Sanggabuana," terang Saketi berkata kepada Sami Aji dengan meluruskan dua bola matanya ke arah saudara sepupuny