Setelah pamit kepada sang raja dan sang ratu, Sami Aji langsung pamit kepada kedua orang tuanya. Begitu juga dengan Saketi, ia sungkem kepada Mahapatih Randu Aji yang tiada lain adalah pamannya sendiri. Setelah itu, Ratu Arimbi kembali memanggil putranya, "Saketi, kemarilah!" Dengan cepat, Saketi langsung menghampiri sang ratu. "Ada apa, Bunda?" "Sebaiknya kamu pamit dulu kepada calon istrimu, Nak!" bisik Arimbi mengarah kepada putranya. "Iya, Bunda," sahut Saketi lirih. Dengan demikian, Saketi langsung melangkah menghampiri Yunada yang kebetulan ikut berkumpul di ruang utama istana kerajaan. "Aku pamit, Yunada," ucap Saketi suaranya terdengar berat. Seakan-akan, ia merasa sedih harus meninggalkan Yunada dalam waktu yang cukup lama. "Iya, Kakang. Aku harap, Kakang tidak melupakan aku!" jawab Yunada lirih sambil melontarkan senyum manisnya. Akan tetapi, wajahnya tampak mendung, seakan-akan ada rasa sedih menyelimut jiwa dan pikirannya kala itu. Begitu pun dengan apa yang dirasak
Tanpa banyak basa-basi lagi, para penjahat itu bangkit dan langsung membawa kawan mereka yang sudah tewas di tangan Sami Aji. Mereka pun bergegas meninggalkan tempat tersebut, langsung masuk ke dalam hutan. Sami Aji berpaling ke arah Saketi. "Kau tidak apa-apa, Pangeran?" tanya Sami Aji lirih. "Aku baik-baik saja," jawab Saketi tersenyum lebar. "Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan. Sebentar lagi kita akan tiba di kadipaten Kuta Gandok!" ajak Sami Aji lirih. Dengan demikian, kedua kesatria muda itu kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke arah timur. Tepatnya menuju kadipaten Kuta Gandok. Setibanya di kadipaten tersebut, Saketi langsung mengajak Sami Aji untuk beristirahat sejenak di sebuah warung makan yang ada di pinggiran jalan utama kuta tersebut. "Kata ayahandaku, kadipaten ini dulunya merupakan kadipaten pertama yang berdiri di masa terbentuknya kerajaan Sanggabuana," terang Saketi berkata kepada Sami Aji dengan meluruskan dua bola matanya ke arah saudara sepupuny
Dengan demikian, Saketi langsung bangkit dan segera melangkah masuk ke dalam saung perkemahan yang berukuran kecil, cukup untuk tidur dua orang dewasa saja. Sementara Sami Aji masih tetap duduk di depan api unggun sambil menikmati ubi yang baru saja ia bakar. Sami Aji sangat menghormati saudara sepupunya itu. Karena Saketi usianya lebih tua satu tahun darinya, ia tetap berlaku sopan terhadap Saketi, walau bagaimanapun Saketi adalah putra mahkota yang harus dihormati dan ia lindungi. Keselamatannya adalah tanggung jawab Sami Aji. Beberapa saat kemudian, Saketi sudah terlelap tidur begitu juga dengan Sami Aji, ia sudah mulai dilanda rasa ngantuk makanan dalam pegangannya pun tidak sempat ia habiskan. Lantas, ia pun tertidur pulas. Mereka tampak begitu kelelahan, setelah seharian menempuh perjalanan yang cukup jauh. Ditambah lagi dengan melakukan sebuah pertarungan dengan sekelompok orang-orang tidak dikenal, sudah barang tentu sangat menguras tenaga mereka. Ketika malam sudah mulai s
Junada pun bercerita, bahwa dirinya sudah hampir satu tahun berkelana mencari keberadaan putranya yang telah hilang secara misterius. Meskipun, ia sudah tahu kabar, bahwa putranya dibawa oleh siluman serigala. Namun, Junada masih penasaran dan terus melakukan pencarian. Setelah hampir satu tahun lamanya mencari keberadaan putranya yang hilang, Junada mendapat kabar dari seorang pria senja yang bernama Ki Ronggo, orang tua itu menyatakan bahwa putranya telah tewas menjadi tumbal ritual kesaktian petinggi istana. Namun, Ki Ronggo tidak menyebutkan siapa orangnya yang telah berbuat sedemikian rupa. Berkat informasi dari Ki Ronggo, akhirnya Junada mulai menghentikan usahanya dalam mencari keberadaan putranya, karena sudah putus harapan. Ia yakin kabar dari Ki Ronggo memang benar adanya. "Ki Ronggo?!" desis Saketi saling berpandangan dengan Sami Aji. "Ya, Ki Ronggo. Beliau adalah penasihat istana kerajaan Kuta Tandingan di masa kekuasaan Prabu Sanjaya kakek Pangeran," tandas Junada. Sa
Junada kembali berpaling ke arah makhluk tersebut. Dengan sikap sempurna, ia mulai memusatkan perhatian terhadap lawannya itu. Kaki kanannya melebar ke samping, lalu menghentakkan tubuhnya dan meluncur ke udara. Satu serangan sudah dimulai oleh Junada melalui arah yang tak terduga oleh makhluk tersebut. Junada meluncur ke bawah dengan kecepatan tinggi sambil menjulurkan tangan hendak menyasar kepala makhluk tersebut. Walau demikian, makhluk itu sangat peka terhadap serangan Junada. Ia mengelak dan berusaha untuk menghantam pundak Junada dengan pukulan berkekuatan tinggi. "Awas, Paman!" teriak Sami Aji memberitahu Junada ketika makhluk itu hendak memukulnya. Namun, Junada sudah tak dapat menepis serangan tersebut. Sehingga ia pun terjatuh akibat sentuhan tangan dari makhluk tersebut yang menyebabkan dirinya jatuh bergelimpangan hingga jarak yang sangat jauh. "Paman!" teriak Sami Aji cemas. Sami Aji pun mulai bersiap untuk segera melakukan perlawanan terhadap makhluk itu. Namun, S
Mereka terus berbincang hangat, sambil menunggu matahari terbit. Hari itu, mereka akan melanjutkan perjalanan menuju utara wilayah kepatihan Waluya Jaya. "Sebaiknya kita harus mencari jalan yang lebih aman lagi. Jangan menyusuri jalan yang ini!" kata Junada menyarankan, pandangannya terarah ke sebuah jalan yang ada di pinggiran hutan tersebut. "Kita akan sampai ke daerah mana jika melewati jalur lain, Paman?" tanya Sami Aji mengerutkan kening sambil menatap wajah pria paruh baya itu. "Setelah melewati jalur yang hendak kita tuju, kita akan langsung tiba di sebuah desa kecil yang ada di wilayah utara kepatihan Waluya Jaya dan akan langsung tiba di sebuah padepokan yang ada di desa selanjutnya, setelah melewati desa kecil itu!" jawab Junada menerangkan. "Tapi kalian jangan kaget! Ketika para pendekar sakti yang ada di desa tersebut menyambut kita dengan sikap penuh kecurigaan. Tentu mereka akan berhati-hati terhadap tamu yang tidak mereka kenali," tambah Junada menuturkan. Saketi dan
Pria paruh baya itu tidak lantas menjawab pertanyaan dari sang pangeran. Ia justru merasa kaget dan tercengang dengan kehadiran tiga orang yang tidak dikenalnya itu. Tak dapat dipungkiri bahwa "Tenang, Ki Sanak! Kami para pendekar pengelana, Ki Sanak tidak usah takut! Kami bukan orang jahat." Saketi berusaha meyakinkan pria paruh baya itu. Dengan demikian, pria paruh baya itu mulai bernapas lega. Ia maju dua langkah mendekati Saketi, lantas pria paruh baya itu balas bertanya, "Kalian berasal dari mana, Raden?" Saat itu bukanlah Saketi yang menjawab. Akan tetapi Junada, ia melangkah maju, kemudian menjawab lirih pertanyaan dari pria paruh baya itu dengan sikap ramahnya, "Mohon maaf, Ki Sanak. Kami adalah tiga pendekar pengembara. Tujuan kami datang ke desa ini hanya untuk singgah barang sebentar, karena kami hendak membeli seekor kuda untuk melanjutkan perjalanan kami ke wilayah kepatihan Waluya Jaya," timpal Junada dengan suara lirihnya. "Ya, aku percaya. Tampang kalian tidak menun
Dengan demikian, Ki Burilang pun langsung menceritakan semua kejadian tersebut kepada Saketi dan yang lainnya yang pada kesempatan itu tengah duduk bersamanya di beranda rumah tersebut. Ki Burilang pun menceritakan peristiwa terbunuhnya Lungkiwa—Pendekar Serigala Hitam dan hilangnya pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang penduduk desa tersebut, para tokoh masyarakat mulai saling mencurigai, saling menyelidik satu sama lain. Bahkan di antara mereka ada yang saling tuduh, hingga menimbulkan perpecahan di antara kelompok para pendekar dan juga warga desa itu. Kericuhan pun terjadi dalam segala hal.Walau demikian, pusaka-pusaka yang telah raib itu tak pernah dapat ditemukan lagi dan jejak pelakunya pun tidak diketahui oleh para penduduk dan pihak prajurit khusus dari kerajaan yang sengaja diutus dari kepatihan Waluya Jaya untuk menyelidiki kasus tersebut. Mendengar apa yang telah dituturkan oleh orang tua yang merupakan tokoh masyarakat yang sangat dihormati di desa itu, Junada pun sud
Prabu Erlangga menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab lirih pertanyaan putra mahkota dari kerajaan musuh itu."Kembalilah ke istanamu! Berbuatlah kebaikan, tunjukkan kepada ayahandamu bahwa apa yang kau lakukan sangat disukai rakyat kerajaanmu! Niscaya, ayahandamu akan menilai sendiri kebaikan yang ada padamu.""Mohon maaf, Gusti Prabu. Apakah hal seperti ini mampu merubah sikap dan pemikiran ayahanadaku?" tanya Jula Karna lirih."Bisa, tapi secara perlahan," jawab sang raja. "Karena semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan, kau harus sabar! Niscaya, lambat-laun ayahandamu akan mengikuti jejakmu jika dia tidak ingin kehilangan kedudukannya," sambung sang raja penuh nasihat."Terima kasih, Gusti Prabu. Aku sangat berharap ayahandaku bisa berubah," ucap Jula Karna.Prabu Erlangga dan Mahapatih Randu Aji tersenyum lebar melihat sikap Jula Karna, mereka merasa kagum karena sikapnya sungguh berbeda dengan sikap ayahandanya.Demikianlah, maka Jula Karna pun paham dan sangat meng
"Dia adalah Prabu Serta Madya yang semasa menjadi prajurit kerajaan Sirnabaya lebih dikenal dengan nama Rintang Lingga Husaini," jawab Uluma.Pemuda itu menjelaskan sebagaimana yang ia ketahui dari berbagai sumber, karena semua rakyat di kerajaan tersebut sudah mengetahui bahwa pemimpin kerajaan Hoda Buana adalah seorang prajurit biasa yang menjelma menjadi seorang pahlawan kuat hingga berhasil membebaskan rakyat Hoda Buana dari jerat pemerintahan zalim kerajaan Sirnabaya."Sungguh aku sangat tertarik dengan cerita ini. Jika berkenan, apakah kau sudi menceritakan semua kepada kami?!" kata Jula Karna penuh harap.Dengan senang hati, Uluma pun langsung menceritakan tentang kisah perjalanan hidup Prabu Serta Madya atau Rintang Lingga Husaini. Semua berdasarkan pengetahuan dari ayahnya yang mengetahui keseluruhan perjalanan hidup Rintang Lingga Husaini sebelum menjadi seorang raja di kerajaan Hoda Buana."Terima kasih, Uluma. Kau sudah banyak memberikan keterangan untuk kami, dan kami san
Setelah selesai makan siang dan beristirahat sebentar, sang raja dan para punggawanya kembali melanjutkan perjalanan menuju sebuah desa yang berada di pinggiran kadipaten Kunadapa. Selanjutnya mereka akan meneruskan perjalanan tersebut kembali memasuki hutan agar segera sampai di kuta utama Randakala.Senapati Lintang merasa senang, bahwa dirinya sudah bisa menjadi bagian dari pasukan kerajaan Sanggabuana meskipun bukan tumpah darah nenek moyangnya, karena Randakala adalah tumpah darah dirinya yang sebenarnya."Terima kasih banyak Gusti Prabu, karena hamba sudah diajak dalam misi ini. Hari ini hamba bisa kembali melihat pemandangan indah di tanah kelahiran hamba," ucap Senapati Lintang tampak semringah."Apakah Senapati masih memiliki sanak saudara di kerajaan ini? Jika masih, alangkah baiknya nanti kita mampir saja terlebih dahulu.""Sudah tidak ada, Gusti Prabu. Keluarga hamba sudah tewas semua semenjak peristiwa agresi yang dilakukan oleh pihak kerajaan Tonggon," jawab Senapati Lin
Prabu Erlangga hanya diam menyimak perbincangan para pengawalnya dengan pemuda tersebut. Ia khawatir jika terlalu banyak bicara, Burama tentu akan mengetahui tentang penyamarannya itu, sehingga Prabu Erlangga lebih memilih diam dan menyimak dengan santai penuturan dari pemuda desa tersebut."Apakah raja tidak bertindak tegas terhadap pihak yang bersekutu dengan pemerintah kerajaan Kuta Waluya?" tanya Senapati Lintang."Sang raja hanya diam saja, entah kenapa? Aku pun tidak mengerti apa yang ada dalam pikirkan sang raja. Seakan-akan, dirinya seperti bersembunyi di dalam terang," jawab Burama lirih."Kau jangan berprasangka buruk terhadap pemimpin kerajaan ini. Bisa jadi, itu semua dikarenakan adanya kesimpangsiuran, karena aku yakin bahwa pemimpin kerajaan ini sungguh menyayangi rakyatnya," timpal Senapati Lintang.Burama hanya tersenyum menanggapi perkataan Senapati Lintang. Lalu berkata lagi, "Ketika terjadi pertentangan yang menabur benih perpecahan, aku sebagai rakyat kecil lebih m
Sembilan hari berikutnya ....Prabu Erlangga bersama ratusan prajurit pengawal, sudah berada di wilayah kerajaan Randakala. Hampir satu pekan lamanya, mereka melakukan perjalanan dari kerajaan Sanggabuana menuju wilayah kerajaan tersebut.Perjalanan itu dimulai dari istana menuju kepatihan Kuta Gandok, kepatihan Waluya Jaya, dan terakhir masuk ke wilayah kerajaan Randakala melalui jalur timur kepatihan Waluya Jaya."Kita ini sudah masuk ke wilayah kadipaten Kunadapa," kata sang raja sedikit memperlambat laju kudanya. "Di masa lalu aku pernah berkelana di tempat ini, dan itu berlangsung hampir dua tahun lamanya bersama Paman Landuka," lanjut sang raja berkata kepada Senapati Lintang dan para prajurit lainnya.Tempat yang indah dengan panorama alam yang sungguh menakjubkan, memukau pandangan. Tampak bukit-bukit menjulang tinggi dengan pepohonan lebat menghijau menambah warna bagi keindahan alam di kerajaan tersebut, yang sebagian besar dihuni oleh suku yang sama dengan yang ada di keraj
Di ruang utama istana, Prabu Erlangga sedang berbincang dengan Mahapatih Randu Aji dan juga para penasihat istana. Mereka sedang membahas tentang keamanan batas wilayah yang berbatasan langsung dengan wilayah kerajaan Kuta Waluya.Di wilayah tersebut setiap harinya sering terjadi penyelundupan barang-barang ilegal dari para penduduk kerajaan Kuta Waluya. Mereka masuk tanpa izin melewati jalur-jalur tikus yang ada di dalam hutan di sepanjang perbatasan.Mereka sangat cerdik dan pintar ketika melancarkan aksi mereka, sehingga pihak prajurit keamanan tidak dapat mendeteksi pergerakan mereka."Seharusnya, kita ini sudah membangun tembok raksasa sebagai pembatas wilayah kerajaan, agar para penyusup dari Kuta Waluya tidak mudah memasuki wilayah kerajaan ini!" ujar Prabu Erlangga di sela perbincangannya dengan para petinggi istana."Benar, Gusti Prabu. Saat ini memang sudah waktunya kita untuk membangun tembok raksasa di sepanjang perbatasan wilayah kerajaan Kuta Waluya," sahut Anggadita men
Singkat cerita ....Senapati Lintang dan rombongannya sudah berhasil menangkap Sukara yang selama ini menjadi buruan pihak kerajaan Sanggabuana. Namun, ketika dalam perjalanan menuju pulang ke Sanggabuana. Sukara nekat melarikan diri, pada akhirnya dua prajurit pengawal dengan terpaksa melemparkan tombak ke tubuh Sukara, hingga penjahat itu pun tewas dan tubuhnya jatuh ke jurang."Tidak apa-apa dia tewas juga, yang terpenting keris ini sudah berhasil kita ambil," kata Saketi lirih sambil menggenggam sebilah keris pusaka milik Kyai Bagaswara.Keris tersebut akan dibawa ke istana, dan akan disimpan di museum kerajaan. Semua berdasarkan restu Kyai Bagaswara yang sudah menghibahkan keris pusaka miliknya kepada pihak kerajaan Sanggabuana."Dia nekat melarikan diri, karena takut jika tiba di istana akan dijatuhi hukuman mati oleh sang raja," kata Senapati Lintang."Benar, Paman. Sehingga Sukara nekat mengambil keputusan seperti itu," sahut Saketi.Beberapa hari kemudian ....Abdullah dan be
Senapati Lintang dan semua yang ada di tempat tersebut, mengerutkan kening. Mereka merasa heran dengan sikap pemerintah kerajaan tersebut. Mengapa tidak menghukum Sukara yang sudah jelas telah melakukan tindakan melawan hukum."Ada apa dengan Sukara? Kenapa pihak pemerintah kerajaan tidak menjatuhi hukuman untuknya, Ki?" tanya Saketi mengerutkan keningnya menatap wajah pria senja itu."Entahlah, kami pun tidak mengetahui alasan tersebut. Namun, yang paling membuat kami kecewa adalah, Raja justru menjadikan Sukara sebagai seorang punggawa. Meski pada akhirnya, di dipecat karena sudah melakukan kesalahan besar."Apa yang dikatakan oleh Ki Rustapa tentang Sukara memang senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Jundaka beberapa hari lalu kepada Saketi dan yang lainnya.Tidak terasa, perbincangan mereka tiba di waktu tengah malam. Dengan demikian, Ki Rustapa langsung mempersilakan para tamunya itu untuk segera beristirahat.***Di tempat terpisah tepatnya di sebelah timur dari kediaman
Apa yang ada dalam benak sang senapati, ternyata senada dengan apa yang dipikirkan oleh Saketi dan Sami Aji. Mereka khawatir jika Salima dan Ki Rustapa tahu tentang jati diri mereka yang sesungguhnya. Sudah barang tentu, keduanya akan kecewa dan bahkan akan melaporkan semuanya kepada pihak prajurit kerajaan Kuta Waluya.Meskipun seperti itu, Senapati Lintang pun akhirnya tetap mengizinkan Salima untuk ikut bersama rombongannya. Senapati Lintang sudah memiliki rencana, dirinya akan mengatakan hal yang sebenarnya kepada pemuda itu ketika mereka sudah tiba di kademangan Duri Jaya.Dengan raut wajah berbinar-binar, Salima kemudian berkata kepada Senapati Lintang sembari merangkapkan kedua telapak tangannya."Bagaimana, Paman. Apakah Paman mengizinkan aku untuk ikut bersama rombongan ini?" tanya Salima penuh hormat.Dari raut wajahnya terpancar asa yang begitu besarnya. Dia sangat berharap agar Senapati Lintang menyetujui keinginannya itu.Setelah mempertimbangkan semuanya, maka Senapati L