Sekar Pandan terus mendekati Iblis Penyedot Nyawa. Lelaki yang telah kehilangan gigi-giginya itu mendengkus marah. Dia memang tokoh dari golongan dunia persilatan yang membingungkan. Dilihat dari tingkah polahnya pada wanita, sudah dipastikan dia dari golongan hitam. Namun, semua temannya dari golongan putih. Bahkan bicaranya seolah membela tokoh-tokoh persilatan yang menjunjung tinggi nilai-nilai budi luhur dan kehormatan seorang pendekar.
Tangan kanannya yang terhalang meja kayu berputar pelan. Saat tangan itu berputar, sebuah asap hitam tipis keluar dari sela jarinya. Bola mata hitamnya terus mengawasi gerak gerik gadis remaja yang makin mendekat dengan senyum mengejek. Itu bukan senyum kawan yang ingin bergabung untuk menghukum Pendekar Pedang Sulur Naga."Siapa kau, Gadis kecil?" desisnya dengan mulut berdarah.Sekar Pandan tetap tersenyum manis padanya. Langkahnya ringan. Semua mata memperhatikan gadis itu. Nyimas Tunjung yang penasaran dengan Sekar"Kalian tidak akan bisa lari dari kami!" Ki Pring Ireng berjumpalitan di atas kepala Raden Prana Kusuma dan Sekar Pandan yang terluka. Lelaki berkulit gelap karena panas matahari itu berdiri tegak di hadapan mereka. Tidak lama kemudian Pendekar Tongkat Genta Emas juga telah sampai.Dua pendekar tangguh ini memiliki ilmu berlari cepat di atas para pendekar yang lain. Ki Pring Ireng menatap Sekar Pandan yang terhuyung karena luka di punggungnya."Kau Dewi Bunga Malam?" tanyanya. Sekar Pandan meringis menahan sakit. Gadis itu merasakan bahwa pisau yang masih menancap di punggungnya mengandung racun. Dia mencari sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Gadis berkalung kerang itu menelan sebutir obat pulung yang bisa menawarkan racun."Kau pemilik Pedang Sulur Naga. Jangan-jangan kau dan Mahisa Aji telah bekerja sama untuk membantu Paksi Jingga merebut perguruan Tangan Seribu." Pendekar Tongkat Genta Emas menuduh Sekar Pandan dengan suara lantang.Nyimas
Sekar Pandan merapikan rambut panjangnya setelah itu digelung jadi satu ke atas. Sebuah ranting kering yang ia temukan di dekat kakinya, disematkan ke gelungan ala kadarnya. Melihat itu, Raden Prana Kusuma teringat cara Putri Dewi Gayatri menggelung rambutnya hingga terlihat rapi.Tanpa meminta persetujuan si gadis, tangannya melepas gelung rambut Sekar Pandan. Sekar Pandan melotot tak suka."Diamlah. Aku hanya ingin merapikan gelung rambutmu." Pemuda berkulit bersih itu mulai memainkan tangannya untuk membuat rambut panjang dan tebal itu rapi. Menggelung rambut wanita ternyata tidak semudah perkiraan. Pikirannya terus mengingat gerakan tangan teman kecilnya saat menggelung rambut. Berkali-kali rambut itu digelung, berkali-kali juga rambut Sekar Pandan terlepas kembali.Sekar Pandan segera meraih tangan Raden Prana Kusuma untuk berhenti. Gadis itu menggeleng. "Tenang saja. Aku pasti bisa merapikan rambutmu. Hanya saja ... kau harus diam dan bersabar."
Sekar Pandan menatap iba pada Mayang. Selama ini pasti dia hidup terlunta-lunta di luar rumah. Dia bisa merasakan kepedihan hidup yang dialami gadis itu. Bedanya, dia hanya kehilangan satu orang yang telah dia anggap saudara. Sedangkan gadis berwajah cantik dan manis itu mungkin lebih dari dirinya."Kita tidak boleh terlalu lama di tempat ini. Mereka bisa menemukan kita. Ayo, kita pergi," ajak Raden Prana Kusuma bangkit berdiri. Dia menengok ke segala arah, seperti khawatir ada musuh yang tiba-tiba datang."Nini Mayang, ikutlah bersama kami." Mayang ragu. Sekar Pandan segera menggamit lengan gadis itu dan mengajak pergi. Mereka menyusuri semak belukar yang rapat. Raden Prana Kusuma berjalan paling depan dengan membawa kayu kering sebesar lengan anak kecil. Pemuda itu bertugas menyibak semak untuk membuat jalan. Sekar Pandan yang berjalan paling akhir pun membawa kayu kering untuk melakukan hal yang sama dengan Raden Prana Kusuma. Sesekali tangan
"Kau ... " Kata-kata itu tidak dilanjutkan Mayang. Gadis itu tidak percaya sekaligus iba pada nasib Sekar Pandan. Wajah cantik itu menatap tidak percaya pada Sekar Pandan. "Bagaimana bisa kau mengalami ini, Sekar Pandan?"Sekar Pandan menjawab pertanyaan gadis itu dengan tersenyum. Baginya, bisa berbicara atau tidak sekarang tidak penting. Yang paling penting dalam hidupnya saat ini hanya mengembalikan nama baik ayahnya karena ulah Paksi Jingga. Entah kenapa dia merasa malas menemui Elang Gunung. Corah yang telah membubuhi minumannya dengan racun warangan dan mencuri pedang pusakanya.Sekarang sudah jelas. Semua kejadian yang menimpanya disebabkan oleh Paksi Jingga. Bisa jadi dia meminta corah licin, seperti komplotan Elang Gunung untuk mengambil Pedang Sulur Naga dan meracuninya. Orang itu memang culas. Isi kepalanya hanya balas dendam. Dia tidak perduli dengan keselamatan orang lain. Padahal dia tahu, Sekar Pandan banyak berjasa pada perkumpulan Sapu Tangan Merah
Putri Dewi Gayatri menatap Mayang dan Sekar Pandan yang baru saja datang. Wajah gadis berwajah manis itu tampak lebih segar dan bersih. Kain pun telah diganti oleh pemilik rumah dengan kain bersih. Dia baru saja mandi di pakiwan yang ada di belakang rumah. Selasih hanya melirik sekilas pada Mayang. Mereka melanjutkan makan dengan tanpa bicara. Malam harinya, Raden Prana Kusuma mengajak semua temannya untuk duduk bersama. Pemilik rumah menyediakan sebuah balai kosong yang ada di samping rumah utama. Sambil duduk bersila beralaskan tikar pandan, mereka mulai mengobrol. Sebenarnya Raden Prana Kusuma hanya ingin mengajak Sekar Pandan membicarakan masalah perguruan Tangan Seribu, tetapi di tempat itu ada Mayang. Gadis itu satu-satunya orang dari perguruan tersebut yang hadir di tempat ini. Rasanya sayang kalau tidak diikut sertakan.Begitu juga dengan Selasih. Dia juga berhubungan dengan komplotan Elang Gunung. Sedangkan untuk Ludro Gempol dan Putri Dewi Gayatri, dia r
Putri Dewi Gayatri terdidik dengan pembiasaan dan adat seputar istana sejak kecil. Walaupun hatinya masih ingin membahas Sekar Pandan, dia tetap melangkah pergi diikuti Ludro Gempol dengan penuh kepatuhan. Raden Prana Kusuma menghela napas panjang. Pemuda itu duduk bersila dan memejamkan mata. Dalam sepenginangan sirih, pemuda berdada bidang itu telah memusatkan pikiran dan perasaan untuk masuk ke alam hening, semadi.Putri Dewi Gayatri masuk ke dalam kamar Sekar Pandan. Di sana tidak ada gadis yang dicari. Dia hanya menemukan Selasih yang tengah berbincang dengan Mayang. Keduanya segera menghentikan obrolan mereka."Di mana Sekar Pandan?" tanyanya dengan wajah tegang. Gadis itu ingin berbicara langsung dengan Sekar Pandan. Dia ingin tahu sendiri bagaimana perasaan gadis itu pada Raden Prana Kusuma, teman masa kecil sekaligus pemuda yang digadang-gadang akan dijodohkan dengan dirinya."Dia belum masuk kamar, Nini Gayatri," jawab Selasih."Kalian t
Sekar Pandan menyelimuti tubuh Mayang yang telah minum ramuan obat buatannya. Gadis itu kini tidur nyenyak. Sakit di dadanya telah reda. Sekar Pandan menatap lekat wajah cantik Mayang yang lelap. Wajah itu seperti tertekan. Kehidupan yang tiba-tiba berubah drastis membuat jiwanya goyah dan penyakitnya kambuh.Penyakit bawaan sejak kecil itu yang membuat keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Mereka tidak pernah mengizinkan siapapun, untuk membicarakan semua hal tentang perguruan dan pembinasaan orang-orang dari perkumpulan Sapu Tangan Merah. Itu Dewa Jari Maut lakukan karena hati Mayang polos dan lembut. Dia tidak ingin kepolosan anak gadisnya berubah karena berita-berita kejahatannya. Perubahan itu jelas akan memengaruhi keadaan Mayang yang mengidap penyakit.Banyak tabib atau dukun yang dipanggil untuk mengobati, tetapi tidak ada yang bisa menyembuhkan. Mereka hanya bisa mengusahakan penyakit itu agar tidak sering kambuh. Seumur hidup, Mayang akan bersama pe
"Dia memang gadis kabur kanginan, tapi dia gadis baik. Hatinya bersih tanpa dikotori kedudukan, derajat, dan pangkat," bela Raden Prana Kusuma. Dia tidak suka jika ada yang menjelekkan Sekar Pandan, walaupun gadis itu memang memiliki kekurangan.Mendengar itu, gadis berselendang kuning itu menahan tawa. "Bersih tanpa dikotori kedudukan, derajat, dan pangkat. Aku ingin bertanya padamu. Apakah dia tahu siapa diri Kangmas?""Tahu.""Itu artinya dia tahu. Jika dia menikah denganmu akan mendapat kehormatan. Makanya dia selalu menggodamu dengan bau harum tubuhnya itu.""Aku tidak menyangka. Pikiranmu tentang dia seburuk itu, Nimas. Kurasa tidak ada yang perlu kita bicarakan." Raden Prana Kusuma berlalu dari hadapan Putri Dewi Gayatri. Hatinya kecewa dengan gadis itu."Kangmas!" Putri Dewi Gayatri memanggil. Dadanya naik turun menahan gejolak kemarahan. Langkah Raden Prana Kusuma tidak berhenti. Putri Dewi Gayatri merasa bersalah karena telah me