Putri Dewi Gayatri menatap Mayang dan Sekar Pandan yang baru saja datang. Wajah gadis berwajah manis itu tampak lebih segar dan bersih. Kain pun telah diganti oleh pemilik rumah dengan kain bersih. Dia baru saja mandi di pakiwan yang ada di belakang rumah. Selasih hanya melirik sekilas pada Mayang. Mereka melanjutkan makan dengan tanpa bicara.
Malam harinya, Raden Prana Kusuma mengajak semua temannya untuk duduk bersama. Pemilik rumah menyediakan sebuah balai kosong yang ada di samping rumah utama. Sambil duduk bersila beralaskan tikar pandan, mereka mulai mengobrol. Sebenarnya Raden Prana Kusuma hanya ingin mengajak Sekar Pandan membicarakan masalah perguruan Tangan Seribu, tetapi di tempat itu ada Mayang. Gadis itu satu-satunya orang dari perguruan tersebut yang hadir di tempat ini. Rasanya sayang kalau tidak diikut sertakan.Begitu juga dengan Selasih. Dia juga berhubungan dengan komplotan Elang Gunung. Sedangkan untuk Ludro Gempol dan Putri Dewi Gayatri, dia rPutri Dewi Gayatri terdidik dengan pembiasaan dan adat seputar istana sejak kecil. Walaupun hatinya masih ingin membahas Sekar Pandan, dia tetap melangkah pergi diikuti Ludro Gempol dengan penuh kepatuhan. Raden Prana Kusuma menghela napas panjang. Pemuda itu duduk bersila dan memejamkan mata. Dalam sepenginangan sirih, pemuda berdada bidang itu telah memusatkan pikiran dan perasaan untuk masuk ke alam hening, semadi.Putri Dewi Gayatri masuk ke dalam kamar Sekar Pandan. Di sana tidak ada gadis yang dicari. Dia hanya menemukan Selasih yang tengah berbincang dengan Mayang. Keduanya segera menghentikan obrolan mereka."Di mana Sekar Pandan?" tanyanya dengan wajah tegang. Gadis itu ingin berbicara langsung dengan Sekar Pandan. Dia ingin tahu sendiri bagaimana perasaan gadis itu pada Raden Prana Kusuma, teman masa kecil sekaligus pemuda yang digadang-gadang akan dijodohkan dengan dirinya."Dia belum masuk kamar, Nini Gayatri," jawab Selasih."Kalian t
Sekar Pandan menyelimuti tubuh Mayang yang telah minum ramuan obat buatannya. Gadis itu kini tidur nyenyak. Sakit di dadanya telah reda. Sekar Pandan menatap lekat wajah cantik Mayang yang lelap. Wajah itu seperti tertekan. Kehidupan yang tiba-tiba berubah drastis membuat jiwanya goyah dan penyakitnya kambuh.Penyakit bawaan sejak kecil itu yang membuat keluarganya sangat mengkhawatirkan dirinya. Mereka tidak pernah mengizinkan siapapun, untuk membicarakan semua hal tentang perguruan dan pembinasaan orang-orang dari perkumpulan Sapu Tangan Merah. Itu Dewa Jari Maut lakukan karena hati Mayang polos dan lembut. Dia tidak ingin kepolosan anak gadisnya berubah karena berita-berita kejahatannya. Perubahan itu jelas akan memengaruhi keadaan Mayang yang mengidap penyakit.Banyak tabib atau dukun yang dipanggil untuk mengobati, tetapi tidak ada yang bisa menyembuhkan. Mereka hanya bisa mengusahakan penyakit itu agar tidak sering kambuh. Seumur hidup, Mayang akan bersama pe
"Dia memang gadis kabur kanginan, tapi dia gadis baik. Hatinya bersih tanpa dikotori kedudukan, derajat, dan pangkat," bela Raden Prana Kusuma. Dia tidak suka jika ada yang menjelekkan Sekar Pandan, walaupun gadis itu memang memiliki kekurangan.Mendengar itu, gadis berselendang kuning itu menahan tawa. "Bersih tanpa dikotori kedudukan, derajat, dan pangkat. Aku ingin bertanya padamu. Apakah dia tahu siapa diri Kangmas?""Tahu.""Itu artinya dia tahu. Jika dia menikah denganmu akan mendapat kehormatan. Makanya dia selalu menggodamu dengan bau harum tubuhnya itu.""Aku tidak menyangka. Pikiranmu tentang dia seburuk itu, Nimas. Kurasa tidak ada yang perlu kita bicarakan." Raden Prana Kusuma berlalu dari hadapan Putri Dewi Gayatri. Hatinya kecewa dengan gadis itu."Kangmas!" Putri Dewi Gayatri memanggil. Dadanya naik turun menahan gejolak kemarahan. Langkah Raden Prana Kusuma tidak berhenti. Putri Dewi Gayatri merasa bersalah karena telah me
Sekar Pandan bangun dari tempat tidur. Wajahnya meringis menahan nyeri di punggung. Luka itu akhir-akhir ini sering mengeluarkan darah kembali setiap dia banyak gerak. Gadis itu mendekati pintu kamar karena samar-samar mendengar orang berbicara di luar. Telinganya ditempelkan di daun pintu.Di balik pintu kamar, dua pelayan rumah yang ditempati Sekar Pandan dan lelaki bernama Zhang menginap, tengah ngobrol. Dua lelaki muda berbadan kurus dan berkulit gelap karena terbakar cahaya matahari itu tengah menatap pintu kamar Sekar Pandan."Besuk kita akan dimarahi Ki Sarpo kalau ketahuan kita menerima tamu berbadan kotor dan bau seperti gadis itu." Pelayan bertubuh paling tinggi berkata dengan khawatir. Temannya yang bergigi besar-besar segera menimpali."Jangan khawatir. Besuk pagi-pagi gadis itu pasti sudah pergi. Jadi kita bisa secepatnya membersihkan tempat tidurnya.""Gadis itu sangat aneh. Wajahnya cantik tapi otaknya miring. Masa melumuri tubuh de
Dari arah selatan, cahaya-cahaya keperakan melesat menuju Sekar Pandan yang tengah melancarkan serangan pada Balungwesi. Dengan gerakan cepat luar biasa, Tuan muda Zhang meloloskan sesuatu dari balik bajunya. Benda itu terkembang dan mengibaskan benda keperakan yang menyerang Sekar Pandan. Benda-benda itu seketika runtuh ke tanah.Bersama jatuhnya senjata rahasia yang dikirim musuh, dari arah selatan, jungkir balik dua bayangan merah menyerang Tuan muda Zhang. Lelaki muda berusia tiga puluh tahun itu bergerak cepat memapak pukulan dua penyerangnya dengan kipas terkembang. Bertemunya dua kekuatan yang berbeda mengakibatkan dua orang berkain merah terjajar ke belakang. Dada mereka yang memakai kain menyilang berwarna merah turun naik. Mereka menekan dada yang terasa sesak akibat benturan tenaga dalam."Gadis itu memiliki teman yang sakti, Kakang," bisik orang pertama. Orang kedua meludah ke tanah. Saat cahaya bulan mengintip dari celah dedaunan dan mengenainya, tern
"Kalian pendekar yang tidak punya malu. Mengeroyok gadis remaja yang tidak punya salah dan dosa pada kalian." Raden Prana Kusuma berhenti tepat di bawah cahaya bulan. Sinar lembut sang Candra memancarkan kewibawaan cucu Guru Agung Anuradha itu. Sepasang matanya yang teduh berubah tajam menusuk. Pemuda itu muak dengan tingkah laku para pendekar yang termakan kabar tidak benar.Balungwesi mencoba mengenali pemuda di depannya. Pemuda itu memiliki wajah sangat tampan. Tubuhnya tegap dan kekar. Balungwesi tidak menemukan senjata apapun di pinggang Raden Prana Kusuma. Hanya dengan menggunakan ranting dia berani menyombongkan diri. Pemuda itu memang telah menyingkirkan satu lawan, bukan berarti dia tangguh. Dia tetapi itu tanpa melalui adu kesaktian.Balungwesi yang tidak mengakui tingginya gunung segera berkata lantang. "Pemuda kemarin sore ingin menantang. Apa yang akan kau gunakan untuk melawan kami? Ranting yang masih berdaun itu? Kau terlalu meremehkan kami, Anak mud
Tubuh Ki Surabang terhempas di rerumputan kering. Tertatih-tatih dia menyeret tubuhnya mundur seraya memegangi dadanya, saat pemuda yang telah mengalahkan dirinya dengan ranting itu mendekat. Urat-urat lehernya tegang karena menahan sakit luar biasa di dada.Sinar matahari pagi yang menerobos celah dedaunan dan ranting menerpa wajah pucatnya."Aku tidak akan menyakitimu selama kau tidak menyakiti gadis itu, Kisanak. Perlu kau tahu, ayah Sekar Pandan telah lama meninggal. Orang yang meninggal tidak mungkin melakukan kejahatan. Hanya orang-orang yang dibutakan amarah saja yang menuduh Pendekar Pedang Sulur Naga melakukan kejahatan lewat tangan ketua perguruan Tangan Seribu. Ini sudah jelas. Pelaku satu-satunya adalah ketua baru itu."Ki Surabang meludah dengan jijik."Kau jangan asal bicara, Anak muda. Kau tidak tahu apa-apa tentang kejahatan Pendekar Pedang Sulur Naga. Pedang itu sebelumnya telah diwariskan kepada Paksi Jingga. Sebelum meninggal di
Setelah mereka menyantap masakan bersantan dari pemilik rumah, mereka berkemas meninggalkan dusun kecil yang ramai itu. Kuda mereka berlari menyusuri jalan berbatu. Terik matahari di musim kemarau tidak menghalangi mereka melakukan perjalanan. Debu di belakang empat kuda itu membubung tinggi."Jika Nini Sekar Pandan kembali ke rumah itu, dia tidak bisa bertemu kita, Prana Kusuma," ujar Ludro Gempol yang berada di samping kuda Raden Prana Kusuma.Pemuda gagah itu menatap lurus ke depan. Tubuhnya terguncang-guncang di atas punggung kuda hitam. Ada rasa cemburu di hatinya setiap mengingat Sekar Pandan meninggalkan dirinya dan justru pergi bersama laki-laki lain. "Biarkan saja," jawabnya kemudian. Ludro Gempol terperanjat dengan jawaban enteng itu. Ini tidak seperti Raden Prana Kusuma yang dia kenal. Biasanya pemuda itu akan bingung jika mencemaskan keadaan Sekar Pandan di dunia persilatan. Bahkan dia rela meminta tugas ke luar kerajaan demi memasti