"Kalian pendekar yang tidak punya malu. Mengeroyok gadis remaja yang tidak punya salah dan dosa pada kalian." Raden Prana Kusuma berhenti tepat di bawah cahaya bulan. Sinar lembut sang Candra memancarkan kewibawaan cucu Guru Agung Anuradha itu. Sepasang matanya yang teduh berubah tajam menusuk. Pemuda itu muak dengan tingkah laku para pendekar yang termakan kabar tidak benar.
Balungwesi mencoba mengenali pemuda di depannya. Pemuda itu memiliki wajah sangat tampan. Tubuhnya tegap dan kekar. Balungwesi tidak menemukan senjata apapun di pinggang Raden Prana Kusuma. Hanya dengan menggunakan ranting dia berani menyombongkan diri. Pemuda itu memang telah menyingkirkan satu lawan, bukan berarti dia tangguh. Dia tetapi itu tanpa melalui adu kesaktian.Balungwesi yang tidak mengakui tingginya gunung segera berkata lantang. "Pemuda kemarin sore ingin menantang. Apa yang akan kau gunakan untuk melawan kami? Ranting yang masih berdaun itu? Kau terlalu meremehkan kami, Anak mudTubuh Ki Surabang terhempas di rerumputan kering. Tertatih-tatih dia menyeret tubuhnya mundur seraya memegangi dadanya, saat pemuda yang telah mengalahkan dirinya dengan ranting itu mendekat. Urat-urat lehernya tegang karena menahan sakit luar biasa di dada.Sinar matahari pagi yang menerobos celah dedaunan dan ranting menerpa wajah pucatnya."Aku tidak akan menyakitimu selama kau tidak menyakiti gadis itu, Kisanak. Perlu kau tahu, ayah Sekar Pandan telah lama meninggal. Orang yang meninggal tidak mungkin melakukan kejahatan. Hanya orang-orang yang dibutakan amarah saja yang menuduh Pendekar Pedang Sulur Naga melakukan kejahatan lewat tangan ketua perguruan Tangan Seribu. Ini sudah jelas. Pelaku satu-satunya adalah ketua baru itu."Ki Surabang meludah dengan jijik."Kau jangan asal bicara, Anak muda. Kau tidak tahu apa-apa tentang kejahatan Pendekar Pedang Sulur Naga. Pedang itu sebelumnya telah diwariskan kepada Paksi Jingga. Sebelum meninggal di
Setelah mereka menyantap masakan bersantan dari pemilik rumah, mereka berkemas meninggalkan dusun kecil yang ramai itu. Kuda mereka berlari menyusuri jalan berbatu. Terik matahari di musim kemarau tidak menghalangi mereka melakukan perjalanan. Debu di belakang empat kuda itu membubung tinggi."Jika Nini Sekar Pandan kembali ke rumah itu, dia tidak bisa bertemu kita, Prana Kusuma," ujar Ludro Gempol yang berada di samping kuda Raden Prana Kusuma.Pemuda gagah itu menatap lurus ke depan. Tubuhnya terguncang-guncang di atas punggung kuda hitam. Ada rasa cemburu di hatinya setiap mengingat Sekar Pandan meninggalkan dirinya dan justru pergi bersama laki-laki lain. "Biarkan saja," jawabnya kemudian. Ludro Gempol terperanjat dengan jawaban enteng itu. Ini tidak seperti Raden Prana Kusuma yang dia kenal. Biasanya pemuda itu akan bingung jika mencemaskan keadaan Sekar Pandan di dunia persilatan. Bahkan dia rela meminta tugas ke luar kerajaan demi memasti
"Siapa dia, Mayang?" Raden Prana Kusuma bertanya karena karena hanya gadis itu yang ada di tempat ini. Mayang menggeleng."Dia bertanya tentang temannya," jawab Mayang ketus. Gadis itu segera merebahkan tubuhnya ke tanah kering yang sudah retak. Melihat itu, Raden Prana Kusuma tidak ingin bertanya lagi. Dia tahu Mayang butuh istirahat cukup setelah terguncang di atas panggung kuda."Apakah tidak lebih baik kita ajak dia ke sini, Prana Kusuma?" usul Ludro Gempol. Raden Prana Kusuma setuju dengan usul pengawalnya. Maka Ludro Gempol menghampiri Mahisa Dahana yang menghangatkan diri di pancaran hangatnya api unggun."Maaf, Kisanak. Siapa namamu dan dari mana asalmu?" tanya Ludro Gempol berdiri di depan api unggun. Mahisa Dahana mendongak. Pemuda yang terlihat masa bodoh itu memindai tubuh Ludro Gempol yang gagah. Tubuh orang itu berkulit bersih tidak seperti para pendekar. Pasti berasal dari kota. Bisa jadi dia penggawa kerajaan yang menyamar."Mahi
"Jika aku harus mati karena pukulanmu, paling tidak aku mati untuk membela Kakangku.""Bagus. Kuhargai bakti dan kesetiaanmu."Raden Prana Kusuma berdiri tegak. Dia memusatkan tenaga dalam pada tangan kanannya. Tujuannya memukul hanya untuk memberi pelajaran pada pemuda lugu itu agar tidak membela saudaranya yang telah melenceng dari kebenaran. Sekali melompat ke depan, kepalan tangan senopati muda itu menghantam telak dada bidang Mahisa Dahana.Des!Tubuh Mahisa Dahana hanya goyah sedikit. Raden Prana Kusuma merasakan tubuh Mahisa Dahana bagai karet. Mahisa Dahana menyombongkan diri ingin menjadi tameng bagi saudaranya karena dia memiliki sebuah ilmu bernama Ajian Raga Pitu. Dia tidak akan tumbang hanya sekali pukul. Ajian itu akan melindungi dirinya, seperti orang yang memiliki banyak nyawa.Raden Prana Kusuma memasang kuda-kuda lagi. Jika tadi dia hanya menggunakan separuh tenaga dalamnya, saat ini dia akan menambah tenaganya. Pemuda
Raden Prana Kusuma merasa khawatir jika harus mengajak Putri Dewi Gayatri ke perguruan Tangan Seribu. Di sana akan berkumpul banyak pendekar yang memiliki watak aneh-aneh. Dia tidak ingin gadis itu mendapat masalah.Merasa diperhatikan Raden Prana Kusuma dari samping, gadis berkulit putih itu mengulum senyum. Hatinya berdegup indah. Semangatnya untuk mengikuti pemuda itu makin besar. Bagai bara api yang diberi kayu jerami.Di setengah perjalanan, mereka mendengar denting senjata beradu. Mereka dapat mengira bahwa tengah terjadi pertarungan di depan sana."Selasih, jangan kau lepaskan Mayang. Ludro Gempol, jaga Nimas Gayatri dengan baik.""Kau akan pergi, Kangmas? Aku ikut denganmu." Putri Dewi Gayatri berkata dengan semangat. Pemuda itu hanya menatapnya sekilas setelah itu mempercepat lari kudanya. Mahisa Dahana tidak ingin ketinggalan, pemuda itu pun segera menepuk kudanya agar berlari kencang menyusul kuda Raden Prana Kusuma.Putri Dewi
Mahisa Dahana pun tidak tinggal diam. Adik Paksi Jingga itu berkelit ke kiri dan kanan dari serangan Kolongpati."Kau boleh juga, Anak muda. Tapi sebentar lagi kau tidak akan bisa berkutik menghadapi permainan pedangku," kata Kolongpati sombong.Ucapan orang itu tidak omong kosong. Setelah itu dia mengubah jurus-jurus yang digunakan. Gerakannya selalu berputar dan cepat, membuat lawan setangguh apapun akan bingung dan akhirnya lengah. Itu juga dialami Mahisa Dahana. Kepalanya mulai pusing melihat pedang Kolongpati yang berputar-putar di sekitar tubuhnya. Saat dia lengah, mata pedang Kolongpati berhasil menebas ujung kain yang melindungi pinggang ke bawah. Mahisa Dahana terkesiap karena senjata lawan berhasil menyentuh pakaiannya.Kolongpati terkekeh senang melihat raut Mahisa Dahana yang terkejut saat dia bisa menebas pakaiannya. "Tidak hanya kain itu yang tertebas. Sebentar lagi lehermu yang akan menyusul, Anak muda!"Mahisa Dahana jen
Gadis itupun segera menyingkirkan perasaan alaminya sebagai seorang gadis pada pemuda."Seseorang? Dia juga anggota mereka?" tanya Raden Prana Kusuma penasaran. Sejak tadi dia tidak melihat orang lain."Pemuda aneh. Tentu saja dia bukan anggota mereka. Dia seorang gadis berusia sama dengan diriku, tapi dia bisu," omel gadis itu kesal. Setelah ngomel dia menunduk, tidak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.Raden Prana Kusuma terkesiap. Jika gadis itu adalah Sekar Pandan, berarti dia baru saja dari sini. "Bisu? Ke mana dia pergi, Nini?""Ke sana." Gadis itu menunjuk arah perginya gadis yang tidak lain adalah Sekar Pandan."Terima kasih petunjukmu, Nini." Raden Prana Kusuma berlari menghampiri kudanya yang saat itu aman di tangan Mahisa Dahana. Tanpa berkata apapun, pemuda itu menggebah kudanya bagai kesetanan menyusul Sekar Pandan.Dari belakang, rombongan Putri Dewi Gayatri mulai mendekat. Mereka memacu kuda melewati deretan
Wajah Sekar Pandan tampak gelisah."Kau kenapa?" Sekar Pandan menatap Putri Dewi Gayatri yang melompat turun dari kudanya. Begitu juga sebaliknya. Gadis itu menggeram saat melihat Sekar Pandan bersama Raden Prana Kusuma."Rupanya gara-gara gadis bau busuk itu," gerutu gadis berselendang kuning itu jengkel."Kenapa kau menyusulku, Nimas?"Putri Dewi Gayatri memberengut. "Kangmas. Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku calon istrimu, tentu khawatir padamu. Kau melarikan kudamu seperti orang kesetanan. Tentu saja aku khawatir." Wajahnya sinis saat melihat Sekar Pandan."Aku begitu senang saat mendengar Sekar Pandan masih ada di sekitar sini. Karena itulah aku memacu kudaku bagai kesetanan. Kuharap kau tahu maksudku, Sekar." Sekar Pandan makin tertunduk. Perlahan dia mengangguk. Dia tidak meragukan ketulusan hati Senopati Prana Kusuma terhadap dirinya. "Jangan dekat-dekat dengan gadis bau busuk itu, Kangmas." Putri Dewi Gaya
Istri kepala dusun dan Nyai Kriwil merawat Sekar Pandan dengan baik sehingga kesehatan gadis itu pulih dengan cepat. Pagi-pagi sekali, keduanya berpamitan kepada orang-orang baik itu untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja Majapahit. Sebelum meninggalkan rumah kepala dusun, Raden Prana Kusuma memberikan seikat gobog kepada Ki Kriwil.Lelaki tua itu hanya menatap gobog di tangan pemuda gagah itu dengan tatapan heran. " Untuk apa uang itu, Raden?""Pondok Ki Kriwil telah rusak karena kami. Ini ada sedikit ....""Tidak perlu. Pondok yang rusak bisa diperbaiki secara gotong royong. Di dusun ini banyak ditumbuhi bambu, dengan kerjasama beberapa warga pondok itu akan cepat selesai. Raden lebih membutuhkan gobog itu daripada kami karena harus menempuh perjalanan jauh." Dengan tersenyum penuh pengertian Ki Kriwil mendorong tangan Raden Prana Kusuma yang menyodorkan gobog."Kami terbiasa mengembara, Ki. Seorang pengembara tidak akan kelaparan di tengah
Jantung Raden Prana Kusuma berdesir. Tatapannya nanar pada lelaki yang memiliki tinggi yang sama dengannya itu.Dengan wajah kebingungan pemuda itu bertanya, "Kau tahu namaku?""Bagaimana aku tidak tahu diriku sendiri." Jawaban lelaki berambut putih panjang itu makin membuat Raden Prana Kusuma diliputi pertanyaan. Selama ini mereka tidak pernah bertemu. Orang itu tadi mengatakan apa? Dia adalah dirinya? Alis pemuda Majapahit itu berkerut. Pikirannya masih sulit mencerna.Dalam kebingungannya, dia hanya diam saat lelaki tampan berambut putih itu menggeser tempatnya. Tanpa menunggu persetujuan Raden Prana Kusuma, lelaki itu menyingkirkan kain penutup tubuh Sekar Pandan pelan. Tubuh itu seperti tidak terluka apapun karena istri kepala dusun telah membelitkan selembar ken atau jarit ke tubuh Sekar Pandan."Hm, bagaimana mungkin kau akan meninggalkan dunia ini, jika anak kita belum lahir." Raden Prana Kusuma kurang jelas dengan gumaman lelaki
Kepala dusun segera menyahut dan mempersilakan mereka beristirahat di rumahnya. Pagi itu, Raden Prana Kusuma membawa Sekar Pandan ke rumah kepala dusun untuk mengobati lukanya. Pedang Sulur Naga yang menjadi penyebab semua itu diambil Ki Kriwil dengan rasa takut.Di rumah kepala dusun, Sekar Pandan dirawat Raden Prana Kusuma siang dan malam tanpa henti. Hasilnya belum ada tanda kalau gadis itu akan sadar. Dengan wajah penuh kegelisahan, Raden Prana Kusuma duduk di tepi balai-balai yang beralaskan selembar tikar pandan. Matanya tidak ingin beralih dari wajah pucat di depannya.Keadaannya sendiri cukup berbahaya karena setiap saat harus menyalurkan hawa murni ke tubuh Sekar Pandan. Jika diteruskan, tidak mustahil pemuda itu akan cidera bahkan bisa tewas. Akan tetapi, tidak ada yang sanggup mencegah seandainya ada yang tahu hal itu. Kepala dusun memang pernah sedikit belajar tentang ilmu kanuragan. Mengenai hal detail itu dia belum banyak mengerti. Yang dia ketahui ha
"Prana ... Prana Kusuma, kau ... Pemuda hebat! Aku mengaku ... ka-kalah!" Dari mulut Hang Dineshcarayaksa menyembur cairan merah yang sama. Dia menoleh sekilas. Sosok di atasnya tampak buram dan berubah bayang-bayang. Raden Prana Kusuma menahan tangannya di udara."Tapi aku puas. Setelah aku ... tiada, dia juga pasti tiada, kau tidak akan bisa bersama ... gadis itu," ujarnya terbata. Senyum licik tersungging di bibir. Kemarahan pemuda Majapahit itu sudah sampai ubun-ubun. Ditatapnya lawan lemah tidak berdaya di bawah kakinya. Lawan itu ingin segera dihabisi karena telah mencelakai Sekar Pandan."Kau memang telah kalah. Kalah oleh keserakahanmu sendiri, Kisanak. Bersiaplah menjemput maut. Maut yang kau kejar sampai ke tempat ini. Sekar Pandan akan selamat karena aku tidak akan membiarkan sesuatu terjadi padanya," lirihnya menahan geram.Wajah tampan Raden Prana Kusuma mengeras dengan gigi geraham menggertak kuat. Sepasang mata yang biasanya teduh menenangka
Terbukti, pundaknya telah mengeluarkan darah. Berkali-kali dia menggeram dan meraung layaknya hewan buas.Dua anak muda itu saling pandang, seolah telah menyepakati sebuah rencana bagus untuk mengalahkan lawan. Ikatan batin yang telah terjalin selama hampir dua tahun membuat mereka mampu mengartikan jalan pikiran masing-masing. Tubuh Sekar Pandan melesat dari satu pohon ke pohon lainnya membentuk lingkaran sambil terus menghujani Hang Dineshcarayaksa dengan pukulan Ajian Ombak Memecah Karang.Sinar kekuningan yang melesat dari tangan Sekar Pandan bagai hujan bintang dari langit. Setiap sinar tidak mengenai sasaran, maka akan menghantam apa saja yang ada di depannya. Suara keras disusul robohnya pohon mengubah malam yang awalnya tenang menjadi neraka.Sementara itu, Keris Naga Kemala juga masih terus menyerang tanpa henti. Kali ini keris itu berhasil melukai pinggang Hang Dineshcarayaksa."Aaaaarrgg!"Raungan sang penguasa dasar jurang Hun
Sekar Pandan membawa pedang di tangannya demikian lincah. Menyelinap di bagian tubuh Hang Dineshcarayaksa yang terbuka tanpa perlindungan. Senyum yang semula lebar pada Hang Dineshcarayaksa kini berubah cemas.Pasalnya, pedang itu seperti bernyawa di tangan pemiliknya. Berkali-kali, mata pedang hampir melukai kulit gelap sang penguasa dasar jurang Hung Leliwungan."Sontoloyo! Gadis ini sekarang lebih hebat dari sebelumnya," gumam laki-laki tinggi besar itu.Hang Dineshcarayaksa melompat ke belakang dan terus melayang menggunakan ilmu meringankan tubuh, sementara Pedang Sulur Naga yang ujungnya mengarah ke dadanya terus mengejar tanpa ampun.Dia memutar tubuhnya kemudian mengayunkan ujung tulang di tangannya ke punggung Sekar Pandan. Gadis itu terkesiap. Cekatan tubuhnya membungkuk lalu melemparkan ujung selendang dari jarak dekat ke lawan.Tangan kiri Hang Dineshcarayaksa menangkap ujung selendang dengan cepat, memutar, dan menarik kuat k
Raden Prana Kusuma memerhatikan tulang itu. Dia tahu, itu bukan tulang biasa. Tokoh sakti seperti Hang Dineshcarayaksa tidak mungkin membawa tulang biasa. Tulang panjang di tangan Hang Dineshcarayaksa adalah tulang yang menjadi senjata pusaka kelompok mereka. Kekuatan dan kekerasan tulang itu tidak jauh beda dengan tembaga yang menjadi bahan senjata pada umumnya. Walaupun tidak seperti senjata sakti. Tulang manusia yang mereka gunakan sebagai senjata adalah tulang manusia pilihan. Manusia yang memiliki tulang kuat layaknya tulang para pendekar, yang mereka korbankan. Mereka melakukan upacara khusus agar tulang-tulang itu dapat digunakan sebagai senjata pusaka. Tidak hanya dengan upacara, tulang-tulang itupun masih menyimpan kekuatan ruh pemiliknya. Ruh yang telah berubah jahat karena dipengaruhi iblis."Tulang di tanganmu itu kurasa adalah senjata yang sangat hebat. Untuk apa kau menginginkan keris ini dan juga pedang milik Sekar Pandan?" Kedu
Sekar Pandan melompat ke arah tubuh Ki Kriwil yang masih pingsan di tengah halaman. Tubuh renta itu tergeletak tak sadarkan diri di dekat tubuh Bimala dan Elakshi. Serangkum angin serangan dari belakang tiba-tiba menerjang tubuh ramping Sekar Pandan. Rupanya Hang Dineshcarayaksa tidak ingin gadis itu menyelematkan orang yang dia lempar ke halaman. Dia juga ingin Sekar Pandan tewas karena telah melumpuhkan Bimala dan Elakshi.Merasakan serangan, gadis itu membuang tubuhnya ke samping. Dia bergulingan sejenak sebelum melompat tinggi sambil mengirimkan pukulan tangan kosong ke Hang Dineshcarayaksa. Ajian Ombak Memecah Karang melabrak tubuh besar penguasa dasar jurang Hung Leliwungan.Hang Dineshcarayaksa yang mendapat pukulan balasan dengan kekuatan besar berteriak nyaring sambil melompat tinggi. Demikian pula dengan Raden Prana Kusuma. Pemuda itu juga menghindar dari serangan Sekar Pandan. Cahaya kuning kemerahan bablas dan menghantam sebatang pohon pisang.
Mendengar suara keras dari atap pondok, anak dan istri Ki Kriwil terbangun. Dengan muka pucat karena ketakutan, mereka menuju asal suara keras tersebut. Wajah tiga wanita itu terkesiap saat melihat ke atas.Atap pondok mereka jebol dan rusak. Kayu-kayu jatuh berserakan di bawahnya.Anak bungsu Ki Kriwil bergegas menuju pintu yang sebagian daunnya telah rusak. Gadis berbadan kurus dengan rambut tergerai sebahu itu menjerit sekuatnya. Di halaman pondok, dia melihat ayahnya tengah tergeletak dan dihampiri sosok tinggi besar berambut kriting gimbal."Ada apa, Nduk?" Ibunya bertanya.Gadis itu langsung memeluk ibunya dengan ketakutan. Air matanya telah jatuh dari tadi. "Ayah," lirihnya.Anak sulung Ki Kriwil segera berlari ke luar menghampiri tubuh ayahnya yang pingsan."Ayah." Dia menghambur dan memeluk tubuh kurus Ki Kriwil.Sosok laki-laki tinggi besar itu mendengkus. Tubuhnya membungkuk. Jari-jarinya yang berukuran b