Sulit menerima jika Gia menyukai Sandra. Orang yang harusnya Gia jauhi tapi malah mudah untuk akrab dengan Gia.
Apakah nantinya, Gia akan menerima Sandra sebagai ibu tiri?
Vania menatap langit gelap dari jendela. Rasanya cobaan datang bertubi-tubi.
Tapi, selagi Gavi menolak, maka pernikahan itu hanya sebatas mimpi bagi Sandra.
Bukannya Vania tak membaca situasi, bahwa keinginan Sandra bisa terwujud, hanya jika Gavi setuju.
‘’Nyonya!’’
Lamunan Vania teralihkan oleh suara teriakan.
Ketika melihat ke dapur, Lia s
Mata bulat indah mempesona. Tubuh bagus bak gitar spanyol. Tinggi semampai layaknya model ibu kota.Itulah Sandra di mata Vania.Tak ada kecacatan di fisik namun cacat dimoral.Seandainya Sandra tidak terang-terangan menginginkan jadi istri Gavi yang lain, mungkin Vania akan mengagumi kemolekan wanita ini.Mata Sandra turun dari atas ke bawah. Melihat penampilan Vania, Sandra terlihat sangat terganggu.‘’Ada apa kamu kemari?’’‘’Vania, boleh aku bicara empat mata?’’Vania pun mempersilakan Sa
Berulang kali Vania mengatakan…‘’Gav, baiknya aku tidak menjenguk mama. Kamu saja, ya?’’Namun berulang kali juga Gavi menjawab…‘’Tidak baik bersikap begitu, Sayang. Biarkan mama dengan sifat buruknya, kamu jangan ikut-ikutan.’’‘’Tapi—’’‘’Percayalah. Mama hanya sementara saja begitu. Tidak akan selamanya.’’Namun bagi Vania sudah sangat lama. Bahkan secercah sikap bila Yura akan berubah pun tidak kelihatan sama sekali. Tapi khirnya, di sanalah Vania berada. Berdampingan dengan Gavi di depan kamar sang mertua.Yura tengah tidur dengan Lia yang menjaga. Lega sekali napas Vania, karena tak perlu berkontak mata sekaligus bertatapan wajah.Kalimat tanya yang telah disiapkan pun tampaknya tak perlu keluar dari mulut Vania.‘’Bagaimana mama?’’‘’Tuan,’’ Lia melirik Vania sekilas. ‘’Nyonya membaik, Tuan.’’ Sebenarnya ada yang ingin Lia sampaikan. Namun tak enak mengatakannya. ‘’Ada apa? Katakan saja,’’ seru Gavi melihat gelagat takut di mimik sang art.‘’Anu, Tuan. Itu… tadi…’’ ‘’Bibi
Tut!Bersama tarikan napas pendek, Vania menutup telepon dari Gavi.Sebenarnya masih ingin berlama-lama. Tetapi, Vania tak bisa menolak karena sudah berkunjung sejak tadi pagi.Gia yang tengah asik bermain dengan Inah dan Pak Sena pun, mau tak mau harus Vania interupsi.‘’Papa menelepon. Kita harus segera pulang.’’‘’Yah, padahal Gia, kan, baru main sebentar, Ma,’’ serunya tak ingin beranjak.‘’Pak Sena sama Inah sudah lelah, Nak. Nanti kita main lagi, ya?’’‘’Kapan, Ma?” ‘’Kalau Gia libur,’’ seru Vania dengan seulas senyum menjanjikan.‘’Kenapa Bi Inah dan Pak Sena tidak kita bawa saja, Ma?’’‘’Waduh, memangnya bibi dan Pak Sena ini barang?’’ celetuk Inah sembari terkekeh.‘’Aku sih enggak. Kalau kamu memang iya, Nah,’’ balas laki-laki tua itu tak mau kalah.‘’Dasar aki-aki bau tanah. Pergi sana siram kebun.’’ Dilemparnya boneka panda ke muka Pak Sena.‘’Aduh. Enak saja. Aku sudah tadi pagi. Gantian dong!’’ Pak Sena jadi sewot. Lalu balas melempar boneka barbie. Tepat mengenai kepala
Tak boleh menggoda. Sandra telah berjanji. Tak boleh lagi mencari perhatian Gavi. Hidup ikhlas tanpa bayang-bayang seseorang. Sekalipun rasa cintanya tumbuh begitu besar, namun Sandra berusaha berkomitmen menjalankannya.Namun hari ini, tanpa perlu melakukan hal yang telah Sandra batasi, Gavi malah mendatanginya. Kini bahkan saling bertatapan dalam. Memeluknya erat.Sandra segera tersadar ketika handuk yang melilit akan terlepas dan menarik diri secepatnya.Beruntung sempat tertahan meski gunung kembar itu sempat terlihat setengah.Gavi menelan ludah dan Sandra menjadi salah tingkah.‘’Aku kemari ingin melihat mama. Maaf tidak tahu kalau kamu…’’‘’Bukan salahmu, Gav. Aku yang salah keluar dengan kondisi begini,’’ serunya dengan wajah menunduk. Bagaimana tidak? Rasa malu membuncah di dalam dada.‘’Aku akan segera keluar. Sekali lagi maaf.’’Sandra menarik napas dalam-dalam begitu Gavi sudah menghilang. Jantungnya berdegup kencang. Sementara Gavi, juga merasakan hal yang sama. ‘’Gav
‘’Jangan menangis.’’ Telunjuk bersama jari tengah berbarengan mengusap tumpahan air dari pipi sang lawan bicara. Namun Sandra tak kuasa menerima perlakuan semanis itu. Sehingga hanya mampu menundukkan kepala. Tak ingin berharap lebih seperti yang sudah-sudah. Tetapi air mata tak kunjung reda. ‘’Jawabanmu akan mempengaruhi berapa lama aku di sini,’’ seru Gavi lagi.‘’Apa maksudnya?’’Gavi mengangkat wajah itu lewat tangannya yang turun ke dagu. Hingga kembali saling menatap. Jauh di dalam diri Gavi, ada hasrat yang menggebu-gebu untuk mencumbu. Sejak melihat area sensitif itu, Gavi terus-menerus memikirkan Sandra. Sempat mengelak, namun kini tak bisa menghindar lagi.Sedangkan Sandra, wanita itu hanya tak mau merasakan sakitnya bertepuk sebelah tangan. Lelah berusaha. Bahkan sampai bersikap rendah. Tetapi ujungnya, tetap saja bagai pungguk merindukan rembulan.Mata Sandra berbinar penasaran. Juga bibir tebal menggoda milik Sandra sedikit terbuka.Sial. Gavi sangat tak kuasa untuk
‘’Sandra, kamu baik-baik saja?’’Begitulah seseorang jika punya salah. Lewat tatapan pun langsung bisa terbaca.‘’Oh, Vania. Tidak, tidak. Aku hanya heran kenapa kamu ke kamarku sepagi ini?’’Sandra menelan ludah. Dadanya masih bergemuruh parah. Seperti pencuri yang sedang didakwa.‘’Ah, aku mencari suamiku. Aku penasaran, apa kamu tahu di mana dia?’’Maafkan aku, Vania. Aku tak mungkin berkata bahwa kami telah menghabiskan malam bersama. ‘’Kamu tanya Gavi sama aku, Van?’’ Berlagak kaget dibarengi tawa kaku.‘’Soalnya, aku nggak nemuin Gavi di rumah ini. Di kamar mama juga tidak ada.’’ Vania melihat ke dalam. Tapi yang dilihatnya banyak baju bercecer di lantai.Otak Vania berpikir cepat. Maniknya langsung tertuju pada Sandra. Mengamati dari ujung kaki hingga kepala. Dalam hati mengatakan, bahwa Sandra sedang tidak memakai apapun.Dan wanita itu menyadari. Sehingga segera mencari cara untuk mengalihkan.‘’Nah, itu Gavi,’’ serunya tiba-tiba. Seketika Vania menoleh dan Gavi baru saja m
Tak kuasa menahan— tanpa sepengetahuan siapapun, Vania masuk ke kamar Gia dan menangis sejadi-jadinya.Menumpahkan sakit hati tertahan, yang sangat menyesakkan dada.Padahal bukan sekali dua kali mendapatkan perlakuan dan juga kata-kata buruk dari Yura. Namun kali ini, Vania merasa sangat terhina. Salahkah menjadi istri yang perhatian? Mengingatkan dikala suami lupa? Dan lagi, ada apa dengan Gavi? Mengapa Gavi seperti tak memiliki hati? Sudah beberapa hari ini Vania mengulik sikapnya. Kesalahan yang membuat Gavi seperti itu tak jua Vania temukan penyebabnya.Memang benar apa kata orang-orang. Tinggal di rumah ibu sendiri bagaikan surga. Sedangkan di rumah mertua bagai neraka.Yang membuat Vania bertahan adalah Gavi dan Gia. Tapi kini, Vania seperti sudah kehilangan salah satunya.‘’Sandra, antar Gavi keluar, Nak. Mana ini Vania. Bukannya mengantar suami pergi kerja, eh malah masuk ke kamar,’’ gerutu Yura dari kamar yang tidak tertutup itu.‘’Apa nggak tunggu Vania saja, Ma?’’ ‘’Ja
Gavi, aku mau kita pindah ke rumah mama sekarang juga.Melihat pesan Vania, Gavi segera menelepon. ‘’Kenapa tiba-tiba?’’‘’Aku bertengkar dengan mama. Rasanya aku sudah tidak bisa bertahan walau sehari di sini, Gav.’’ Vania berusaha tenang walau sebenarnya emosi masih terjaga.‘’Mama sedang sakit kamu ajak bertengkar?’’ Intonasi Gavi naik satu tingkat.‘’Kamu sudah tahu seperti apa mama, Gav. Tidak perlu dijelaskan siapa yang mencari gara-gara pun, seharusnya kamu sudah paham.’’ ‘’Tidak bisa. Kita tidak bisa pindah.’’ Gavi menolak keras.Padahal sempat berpikir bila Gavi akan setuju. Karena selama ini, Gavi selalu menuruti kemauan Vania. Tapi apa? Vania salah menduga.Di saat yang sama, Gavi menerima pesan dari Sandra. Sebuah foto berisi testpack dengan dua garis merah.Seketika Gavi terdiam.‘’Kenapa kamu nggak mau? Bukankah kamu bilang akan menuruti apa yang aku mau?’’Tidak ada jawaban. ‘’Gav, kamu dengar aku? Halo!’’‘’Kita bicara di rumah nanti.’’Tut. Lalu telepon terputus.
Selain itu, walau dulunya sering bertengkar, kini Rian sangat menyayangi Gia. Tidak ada lagi aksi nakal hingga Gia menangis.Rian sudah bisa menerima Gia.Bahkan memanggil Gia dan Alia dengan julukan si kembar kedua.‘’Nggak nyangka, ya, kita jadi kakak adik.’’ Rian tersenyum pada Gia, mungkin itu untuk pertama kalinya. Entahlah, mungkin sejak lama Rian sudah peduli dan sayang pada Gia tetapi terlalu malu menunjukkannya karena Gia bukan Alia. Alias sang adik.Tetapi kini sudah resmi. Sehingga Rian tidak menutup apapun lagi.‘’Iya. Semoga kamu jadi kakak yang baik seperti baiknya kamu ke Alia.’’ Gia pun membalas senyuman tersebut. ‘’Kalau mas nggak baik, kasih tau aku saja. Nanti aku laporin ke Papi Leo,’’ celetuk Alia walau mata dan tanganya sibuk menata boneka.Ketiganya tengah main bersama. Tak lama si kembar datang bersama orang tua mereka.‘’Rian, mana kedua mami sama papimu?’’ seru Delia.‘’Di kamar, Tante.’’‘’Ngapain?’’ Alin kini yang bertanya. Padahal mereka sekeluarga beren
Beberapa hari setelahnya…Vania, Valerie dan Leo kompak menuju rumah sakit jiwa. Melihat Gavi tidak sendiri di dalam dunianya. Sandra dan Elsa menemani, satu ruangan berisi tiga orang.Elsa kehilangan bayinya saat di rumah sakit dan berakhir seperti Sandra yang terobsesi pada Gavi.Hingga kini pun Sandra memanggil nama Gavi.Elsa menyebut nama Rendi.Dan Gavi menyebut nama Vania.‘’Apa ada kemungkinan bisa sembuh?’’ tanya Vania pada perawat yang mendampingi.‘’Bisa. Tapi tidak bisa sembuh total. Hanya jika gejalanya diredakan, mereka akan kembali normal. Tetapi, kemungkinan kambuhnya juga akan sangat tinggi.’’Vania tidak menyangka jika kembalinya dirinya pada Leo adalah penyebabnya. ‘’Lebih baik jangan diredakan. Dia itu kriminal. Kalaupun disembuhkan untuk menjalani pemeriksaan biar bisa dikurung di penjara.’’ Leo masih memendam dendam yang belum terlampiaskan.‘’Dia sudah mendapat hukuman setimpal. Mungkin bukan penjara tempatnya dihukum, tapi di sini.’’ Valerie menepuk bahu Vani
‘’Kamu biadab!’’Gavi ingin sekali melayangkan tamparan, tetapi…‘’Jangan bergerak!’’ Polisi berteriak tegas.Kenyataan itu membuat peluh bercucuran membasahi tubuhnya. Penyesalan menyeruak masuk, menusuk kalbu. Berawal dari cinta dan abadi menjadi benci.Baru terasa bila memilih Sandra adalah kesalahan terbesar seumur hidup. Dan dirinya menyia-nyiakan Vania. Yang tidak sadar makin tidak ada orangnya makin Gavi jatuh cinta.Pipinya basah meneteskan air mata penyesalan.Mengapa semua diketahui ketika sudah terlambat?Apakah tidak ada lagi kesempatan kedua untuknya dan Vania bahagia dengan anak mereka?Gavi hanya ingin lepas. Bebas dari sini dan menjemput Vania dengan mulut terucap meminta maaf dan kedua tangan menangkup memohon ampun.Seorang suami pun hanya manusia biasa tidak ada yang sempurna.‘’Aku harus bertemu Vania.’’ Itulah yang terucap dari bibir Gavi.‘’Tidak akan ku biarkan kau mendekati adik iparku lagi.’’ Rendi mendesis sinis.Adik ipar?Tetapi sayangnya belum resmi. Gavi
‘’Apa-apaan…’’‘’Gav, ini anak-anak kita. Aku membawanya karena bayi kita telah gugur. Dan ini sebagai penggantinya. Lihat, lihat,’’ Sandra menarik si kembar ke depan Gavi yang kebingungan dan dua bocah itu semakin takut. ‘’Aku bisa memberimu anak. Mereka lucu juga menggemaskan. Artinya, kita tidak bercerai, bukan?’’Saat ini Sandra terlihat seperti wanita gila. Takut ditinggalkan, membutuhkan kepastian. Ternyata perkataan Gavi membuatnya putus asa sehingga menculik anak orang untuk diakui. ‘’Jika kamu tidak bisa memberiku anak, maka aku akan menceraikanmu,’’ Sandra mengulang kalimat yang pernah Gavi ucapkan. ‘’Dan mereka adalah alasan kamu tidak bisa menceraikan aku, Gav.’’Gavi kian geram dengan tingkah Sandra. Perkataannya sudah kemana-mana.‘’Yang aku maksud dari rahimmu. Bukan dari rahim orang lain!’’ desisnya. Andai bisa berteriak tentu dibarengi kekerasan. Tapi ini rumah sakit. Di mana dirinya sedang bersembunyi untuk menjalankan rencana.‘’Ini anakku, Gav. Mereka adalah anak
Senja di sore hari. Pemandangan indah untuk dinikmati dengan mata telanjang. Di saat orang-orang baru pulang dari lelahnya mencari uang, Gavi berdiri di balkon dengan earphone yang baru saja dihancurkan olehnya.Penyadap yang diletakkan di jendela tempat Vania dirawat meremukkan hatinya menghancurkan rencana yang telah disusun matang.Rasanya tidak mungkin secepat itu Vania memutuskan menikah lagi. Mungkinkah dengan trauma yang diberikannya Vania bisa membangun rumah tangga dalam waktu dekat? Apalagi menikah lagi dengan mantan suami pertama.Tidakkah Vania merasa malu?Tidakkah Vania berpikir sampai ke sana?Setelah Vania keluar dari rumah sakit, dirinya akan menculik Vania dan juga putri mereka tinggal bersamanya.Di rumah yang dibelinya ketika melihat gelagat Vania tidak mau lagi serumah dengan Yura.Gavi tidak sudi, putrinya memanggil Leo sebutan papa padahal Gia adalah anaknya.Mungkinkah Gia dipaksa? Gia dicuci otaknya agar lupa padanya yang kini menyesal menyia-nyiakan anak dan
‘’Gia kangen dipeluk. Dicium. Dibacakan dongeng sebelum tidur.’’ Betapa bayangan Gavi mencuat ke relung hati. Tangisan itu tidak lagi tentang keinginan melainkan tentang kerinduan.Rindu dengan sang ayah.Mulai dari caranya bicara.Mengajaknya bercanda.Menyuapinya.Dada Gia kian terasa sesak, menyadari kalau itu semua tinggal kenangan. Luka yang dicurahkan sang ayah sudah terlalu dalam, mengobati pun akan percuma karena tidak akan bisa sembuh.‘’Gia mau ketemu sama papa, Nak?’’ Terasa berat sekali bertanya. Tetapi sebrengsek apapun mantan suaminya itu, tetaplah ayah bagi putrinya.Namun dengan tegas Gia menggeleng.Valerie dan Vania pun dibuat heran.Gia angkat kepala yang menyembunyikan air matanya. Lalu menyeka walau airnya masih saja keluar. Terlalu sakit sehingga butuh sedikit lebih lama untuk kembali bicara.‘’Gia nggak mau papa Gavi.’’ Intinya, Gia cukup ingat kenangannya dengan Gavi tapi tidak mau papanya Gavi lagi. Traumanya sudah mendarah daging. Gia bisa mengingat dengan
‘’Kamu mau menikah lagi?’’Begitulah yang didengar Leo.Valerie mendesah panjang. Membuatnya harus mengulang lagi. Mengatakannya saja sudah sangat sulit apalagi ini sampai dua kali.Wanita kuat sekalipun akan rapuh bila meminta sang suami mendua.‘’Dengar, nggak? Tolong nikahi Mbak Van,’’ ucapnya lemah tanpa berkedip.Kata-kata itu membuat Leo membesarkan matanya. Sekaligus menggelengkan kepala. Lalu tertawa merasa tidak masuk akal.‘’Sayang, pikiran kamu nggak beres di sini. Sebaiknya kita pulang ke Kalimantan. Mas pesan tiket sekarang.’’ Leo mengambil ponsel dan langsung membuka aplikasi pemesanan penerbangan, tetapi, Valerie menurunkannya.‘’Valerie serius!’’ Cara bicara Valerie bukanlah cara bicara yang biasanya. Leo merasa permintaan itu sangat konyol. Karena tidak sama seperti meminta permen ataupun tas mahal. Leo mengira jika menurut apa yang diinginkan Valerie semua akan lebih mudah ke depannya. Tetapi dugaannya salah.Dirinya pun sampai hati tidak mau membantu Vania lagi.
‘’Iya, Ma. Tapi Gia takut kalau nanti di sekolah ada Tante Sandra lagi. Boleh nggak, Gia bawa om-om itu besok?’’ Gia menunjuk pengawal di depan ruangan.Sebagai ibu, Vania sedih anaknya jadi merasa terancam. Seolah keselamatannya berada di ujung tanduk.Seharusnya Vania menjadi tameng terdepan untuk melindungi, tetapi di saat Gia membutuhkannya Vania malah terbaring sakit.Dan ketika bangun penyerangan itu sudah terjadi.‘’Gimana, Ma? Boleh, nggak?’’ pintanya penuh harap.‘’Jangan om itu, ya. Om lain saja. Gimana kalau Pak Sena?’’ Vania tidak mau merepotkan Valerie. Takutnya Valerie kian benci padanya.Sudah bagus Valerie ada bersamanya walau tidak berkata apapun sejak dirinya bangun. Meski sebenarnya Vania mengharapkan pelukan hangat juga beberapa kalimat dari sang adik. ‘’Tentu boleh. Gia mau yang mana?’’ Valerie mendekati ponakannya, seolah menawarkan mainan boneka.Sejak tadi menunggu waktu yang tepat, akhirnya ada pembicaraan yang bisa membuatnya terlibat.Vania menatap Valerie d
‘’Siapa yang nggak punya otak, Al?’’ Tiba-tiba saja Rian sudah berada di sebelah Rico.‘’Itu tuh, Mas.’’ Menunjuk si kembar dengan mulut yang dimajukan.‘’Kalian apakan adikku?’’ ‘’Jangan salah paham, Sepupu. Kami hanya bercanda.’’ Raffi cengengesan lalu menyenggol lengan Rico untuk ikut tertawa. ‘’Dasar kalian!’’ Alia menggeleng-geleng tetapi sesaat kemudian sudah berdamai lagi.Rian melihat sedikit embun di mata Gia, tetapi tidak berkata apapun. Ingin berempati namun kelakuannya selama ini membuatnya malu untuk tiba-tiba memberi perhatian.‘’Kamu sudah nggak sedih lagi, kan?’’ ‘’Sedikit,’’ jawab Gia pelan.‘’Ayo kita main. Nanti papa aku jemput, terus ngajak kita main di mall,’’ jabar Alia dengan rasa bahagia.Lili dan Nathan sudah menganggap Gia juga sebagai anak mereka. Sangat tidak tega melihat Gia sendirian bertemankan Pak Sena dan Inah saja. Apalagi Alia sering bercerita, betapa sedihnya Gia selama sekolah.Tidak adanya kemajuan tentang Vania, berpengaruh besar pada sang pu