Tut!Bersama tarikan napas pendek, Vania menutup telepon dari Gavi.Sebenarnya masih ingin berlama-lama. Tetapi, Vania tak bisa menolak karena sudah berkunjung sejak tadi pagi.Gia yang tengah asik bermain dengan Inah dan Pak Sena pun, mau tak mau harus Vania interupsi.‘’Papa menelepon. Kita harus segera pulang.’’‘’Yah, padahal Gia, kan, baru main sebentar, Ma,’’ serunya tak ingin beranjak.‘’Pak Sena sama Inah sudah lelah, Nak. Nanti kita main lagi, ya?’’‘’Kapan, Ma?” ‘’Kalau Gia libur,’’ seru Vania dengan seulas senyum menjanjikan.‘’Kenapa Bi Inah dan Pak Sena tidak kita bawa saja, Ma?’’‘’Waduh, memangnya bibi dan Pak Sena ini barang?’’ celetuk Inah sembari terkekeh.‘’Aku sih enggak. Kalau kamu memang iya, Nah,’’ balas laki-laki tua itu tak mau kalah.‘’Dasar aki-aki bau tanah. Pergi sana siram kebun.’’ Dilemparnya boneka panda ke muka Pak Sena.‘’Aduh. Enak saja. Aku sudah tadi pagi. Gantian dong!’’ Pak Sena jadi sewot. Lalu balas melempar boneka barbie. Tepat mengenai kepala
Tak boleh menggoda. Sandra telah berjanji. Tak boleh lagi mencari perhatian Gavi. Hidup ikhlas tanpa bayang-bayang seseorang. Sekalipun rasa cintanya tumbuh begitu besar, namun Sandra berusaha berkomitmen menjalankannya.Namun hari ini, tanpa perlu melakukan hal yang telah Sandra batasi, Gavi malah mendatanginya. Kini bahkan saling bertatapan dalam. Memeluknya erat.Sandra segera tersadar ketika handuk yang melilit akan terlepas dan menarik diri secepatnya.Beruntung sempat tertahan meski gunung kembar itu sempat terlihat setengah.Gavi menelan ludah dan Sandra menjadi salah tingkah.‘’Aku kemari ingin melihat mama. Maaf tidak tahu kalau kamu…’’‘’Bukan salahmu, Gav. Aku yang salah keluar dengan kondisi begini,’’ serunya dengan wajah menunduk. Bagaimana tidak? Rasa malu membuncah di dalam dada.‘’Aku akan segera keluar. Sekali lagi maaf.’’Sandra menarik napas dalam-dalam begitu Gavi sudah menghilang. Jantungnya berdegup kencang. Sementara Gavi, juga merasakan hal yang sama. ‘’Gav
‘’Jangan menangis.’’ Telunjuk bersama jari tengah berbarengan mengusap tumpahan air dari pipi sang lawan bicara. Namun Sandra tak kuasa menerima perlakuan semanis itu. Sehingga hanya mampu menundukkan kepala. Tak ingin berharap lebih seperti yang sudah-sudah. Tetapi air mata tak kunjung reda. ‘’Jawabanmu akan mempengaruhi berapa lama aku di sini,’’ seru Gavi lagi.‘’Apa maksudnya?’’Gavi mengangkat wajah itu lewat tangannya yang turun ke dagu. Hingga kembali saling menatap. Jauh di dalam diri Gavi, ada hasrat yang menggebu-gebu untuk mencumbu. Sejak melihat area sensitif itu, Gavi terus-menerus memikirkan Sandra. Sempat mengelak, namun kini tak bisa menghindar lagi.Sedangkan Sandra, wanita itu hanya tak mau merasakan sakitnya bertepuk sebelah tangan. Lelah berusaha. Bahkan sampai bersikap rendah. Tetapi ujungnya, tetap saja bagai pungguk merindukan rembulan.Mata Sandra berbinar penasaran. Juga bibir tebal menggoda milik Sandra sedikit terbuka.Sial. Gavi sangat tak kuasa untuk
‘’Sandra, kamu baik-baik saja?’’Begitulah seseorang jika punya salah. Lewat tatapan pun langsung bisa terbaca.‘’Oh, Vania. Tidak, tidak. Aku hanya heran kenapa kamu ke kamarku sepagi ini?’’Sandra menelan ludah. Dadanya masih bergemuruh parah. Seperti pencuri yang sedang didakwa.‘’Ah, aku mencari suamiku. Aku penasaran, apa kamu tahu di mana dia?’’Maafkan aku, Vania. Aku tak mungkin berkata bahwa kami telah menghabiskan malam bersama. ‘’Kamu tanya Gavi sama aku, Van?’’ Berlagak kaget dibarengi tawa kaku.‘’Soalnya, aku nggak nemuin Gavi di rumah ini. Di kamar mama juga tidak ada.’’ Vania melihat ke dalam. Tapi yang dilihatnya banyak baju bercecer di lantai.Otak Vania berpikir cepat. Maniknya langsung tertuju pada Sandra. Mengamati dari ujung kaki hingga kepala. Dalam hati mengatakan, bahwa Sandra sedang tidak memakai apapun.Dan wanita itu menyadari. Sehingga segera mencari cara untuk mengalihkan.‘’Nah, itu Gavi,’’ serunya tiba-tiba. Seketika Vania menoleh dan Gavi baru saja m
Tak kuasa menahan— tanpa sepengetahuan siapapun, Vania masuk ke kamar Gia dan menangis sejadi-jadinya.Menumpahkan sakit hati tertahan, yang sangat menyesakkan dada.Padahal bukan sekali dua kali mendapatkan perlakuan dan juga kata-kata buruk dari Yura. Namun kali ini, Vania merasa sangat terhina. Salahkah menjadi istri yang perhatian? Mengingatkan dikala suami lupa? Dan lagi, ada apa dengan Gavi? Mengapa Gavi seperti tak memiliki hati? Sudah beberapa hari ini Vania mengulik sikapnya. Kesalahan yang membuat Gavi seperti itu tak jua Vania temukan penyebabnya.Memang benar apa kata orang-orang. Tinggal di rumah ibu sendiri bagaikan surga. Sedangkan di rumah mertua bagai neraka.Yang membuat Vania bertahan adalah Gavi dan Gia. Tapi kini, Vania seperti sudah kehilangan salah satunya.‘’Sandra, antar Gavi keluar, Nak. Mana ini Vania. Bukannya mengantar suami pergi kerja, eh malah masuk ke kamar,’’ gerutu Yura dari kamar yang tidak tertutup itu.‘’Apa nggak tunggu Vania saja, Ma?’’ ‘’Ja
Gavi, aku mau kita pindah ke rumah mama sekarang juga.Melihat pesan Vania, Gavi segera menelepon. ‘’Kenapa tiba-tiba?’’‘’Aku bertengkar dengan mama. Rasanya aku sudah tidak bisa bertahan walau sehari di sini, Gav.’’ Vania berusaha tenang walau sebenarnya emosi masih terjaga.‘’Mama sedang sakit kamu ajak bertengkar?’’ Intonasi Gavi naik satu tingkat.‘’Kamu sudah tahu seperti apa mama, Gav. Tidak perlu dijelaskan siapa yang mencari gara-gara pun, seharusnya kamu sudah paham.’’ ‘’Tidak bisa. Kita tidak bisa pindah.’’ Gavi menolak keras.Padahal sempat berpikir bila Gavi akan setuju. Karena selama ini, Gavi selalu menuruti kemauan Vania. Tapi apa? Vania salah menduga.Di saat yang sama, Gavi menerima pesan dari Sandra. Sebuah foto berisi testpack dengan dua garis merah.Seketika Gavi terdiam.‘’Kenapa kamu nggak mau? Bukankah kamu bilang akan menuruti apa yang aku mau?’’Tidak ada jawaban. ‘’Gav, kamu dengar aku? Halo!’’‘’Kita bicara di rumah nanti.’’Tut. Lalu telepon terputus.
‘’Sial!’’Memikirkan bahwa tak seharusnya masuk ke kamar Sandra malam itu, Gavi mengumpat tiada henti.Pepatah memang tak pernah salah. Penyesalan memang selalu datang belakangan, benar adanya.Kini Gavi merutuki diri karena telah menghamili Sandra. Sekalipun dilandasi atas suka sama suka. Tetapi tak menghilangkan perasaan buruk tersebut.Dan menyetir di tengah kondisi hati dan pikiran sedang tidak-tidak baik saja, hampir membuat Gavi tertabrak lantaran menerobos lalu lintas.Klakson-klakson dari pengendara kesal saling bersahutan memperingatkan. Seandainya saja bisa mendengar dari jarak jauh, mungkin juga bersama makian dari setiap para pengemudi yang melihat kegilaan Gavi.Kini bahkan hampir menabrak pengendara sepeda motor.Membuatnya menginjak rem hingga terdengar bunyi ngilu.Tiiiiiiiiiiiiitttt…Suara ban yang dipaksa berhenti berdecit nyaring. ‘’Heh, kalau nyetir yang benar! Bodoh dipelihara!’’ umpat orang yang hampir menjadi korban. Bersama gebrakan kasar pada kap mobil.‘’Maa
‘’Cukup!’’ Yura mengangkat satu tangannya hingga keduanya terdiam. Sandra menunduk dan Gavi membuang wajah ke sembarang arah.‘’Mama tidak mau tahu. Kamu harus nikahi Sandra secepatnya.’’ ‘’Tapi, Ma! Gavi sudah punya Vania dan Gia. Gavi tidak butuh istri ataupun anak tambahan.’’‘’Lalu malam itu kamu datang ke kamarku, Gav? Kenapa?’’ serunya lirih.‘’Jangan salahkan aku. Karena kalau waktu itu kau menolak, aku pasti tak akan berani melakukan itu.’’Hancur sehancur-hancurnya menjadi Sandra. Sudah tak diakui, kini disalahkan padahal Sandra telah menyerahkan seluruh harga dirinya.Wanita itu menunduk, membendung air mata yang ditahan namun tetap keluar airnya tersebut.Mengusap beberapa kali. Berusaha tegar menghadapi kenyataan. ‘’Aku…’’ Diliriknya Sandra dan Yura bergantian. Namun, Gavi tetap berterus terang sekalipun sakit untuk didengar. ‘’Aku hanya melampiaskan hasratku.’’Degh.Ternyata semua pria memang sama saja.Dari luar boleh berbeda. Tapi sifat alami mereka? Sudah terbukti