Arin kini membantu Catherine di salonnya. Selepas mengetahui fakta Devan yang sudah menikah, dia jadi jarang keluar-keluar. Membuat Cathie khawatir. Takutnya sahabatnya ini bakal mengalami depresi.
"Nanti malam hang out yok Rin," ajak Cathie."Malas ah," tukasnya."Aish. Lagi lagi. Kita udah lama loh gak hang out. Gak kangen apa?"Arin acuh tak acuh. Memulas kukunya dengan cat kuku berwarna silver bertabur bling bling.Cathie menghampirinya dan merangkul bahu Arin."Ayok ya, please!"Arin mendesah malas. Apalagi melihat Cathie yang mengerjap-ngerjapkan mata dengan wajah yang dibuat imut-imut, justru malah membuatnya terlihat aneh."Please, Arin. Yayaya," rengeknya."Aish! Iya iya," jawabnya pada akhirnya."Yeay! Makasih Arin. Emuach! Emuaach!""Lepas... Ish. Cathie! Risih tahu!" Ujarnya melepas pelukan Cathie. Cathie tertawa puas. Melihat wajah Arin yang menatapnya jijik malah membuatnya bersorak senang. Setidaknya ekspresi"Ma, pengen ke kantor papa," tukas Rara. Memainkan Chimmy di tangannya."Em, papa kan sedang kerja sayang.""Pengen main aja ma. Rara gak ganggu kok. Beneran," ujarnya, mendongak menatap Kiara dengan tatapan polosnya."Ya udah. Tapi telepon papa dulu ya, minta izin.""Yeeay. Makasih ma," sorak Rara. Kiara tersenyum. Lalu menekan nomor Devan. Beberapa saat tak ada jawaban. Hanya berdering saja.Dia coba beberapa kali tetap saja begitu. Kiara beralih ke nomor Nadia. Satu kali panggilan langsung tersambung."Halo, Ra. Ada apa?""Em, Devan ada di kantor gak?""Wah, kayaknya tadi keluar sama Satrio. Tapi gak tahu juga kemana. Memang kenapa? Ada hal pentingkah?""Gak papa kok. Ntar kalau dia sudah balik kabari ya?""Asyyiiiap. Tenang aja. Eh, kenapa gak lo telpon langsung aja," tukas Nadia dari seberang."Udah. Ya udah ya, makasih Nad.""Oke."Call ended.Kiara menoleh ke Rara yang memainkan Chimmy dengan mulut mungilnya ya
"Rara kangen," ujar Kiara, begitu Rara pindah di gendongan sang papa, dan Devan menoleh, mengangguk."Ya udah, ke ruangan aja," ajaknya. Kiara mengikuti langkah Devan ke ruangannya."Tadi dari mana?""Ninjau proyek.""Sama emm, Satrio?"Devan mengangguk. Mendudukkan Rara di sofa dalam ruangannya."Bagaimana proyeknya? Lancar?"Kiara menghempaskan pantatnya di samping Rara."Syukurlah. Kini semua pedagang sudah menandatangani persetujuan.""Kok bisa?" Reflek Kiara. Devan sontak menoleh, agak kesal juga sih saat pertanyaan itu muncul. Dia menghela napas."Ya bisa dong. Kan aku udah bilang dari awal. Pasti semuanya lancar," ucapnya agak ngegas. Kiara yang menyadari intonasi Devan agak menaik, nyengir."Hehe, maksudnya gimana caranya sayang. Kan waktu itu hampir delapan puluh persen mereka nolak."Devan melonggarkan dasinya dan melepas dua kancing kemejanya bagian atas. Gerah, padahal ac nya sudah dia nyalakan."Tentunya usaha keras dong, Yang. Aku juga menjamin mereka bisa menempati mall
"Ya ampun, aku ngajak kamu keluar itu bukan buat sedih-sedih Arin," tukas Cathie gemas. Bagaimana tidak, Arin tetap saja murung. Sengaja dia mengajaknya ke club. Gila gak sih si Cathie?Tapi gimana lagi, dia hilang akal rasanya menghadapi Arin yang terdiam seperti ini. Club bisa menjadi solusi bagi mereka-mereka yang sedang buntu pikirannya."Ya elo, aneh sih. Ngapain ngajakin gue ke tempat kayak ginian?" Kesal Arin. Kirain mau diajak jalan kemana gitu, eh malah di tempat yang bising dan bau alkohol seperti ini."Hehe, ya gimana, elo murung mulu deh. Disini kan rame, lo bisa tuh buang stress lo disini."Arin mendengkus. Tak menyentuh minuman yang disajikan. Dia sudah lama tak minum alkohol sejak tahu Devan tak menyukai minuman keras tersebut."Terus gimana? Udah terlanjur nyampek sini loh, ya kali mau pergi lagi. Gue juga kangen, dah lama gak minum.""Serah lo deh. Awas aja sampek teler.""He, gak janji deh. Kan ada elo nanti yang bawa pulang."Arin mendesah kesal. Sementara Cathie mu
"Kok diam aja, katanya mau lepas sendiri?""Ya, kamu berbalik dulu sana!"Kiara mendorong Devan, memaksanya untuk membalikkan badan."Kenapa sih Yang. Lagian nanti kan aku juga lihat.""Gak mau, balik badan dulu. Atau gak jadi nih.""Iya iya," ucap Devan pada akhirnya. Pasrah. Daripada gak sama sekali.Padahal sebenarnya dia punya niat tersembunyi di balik alasan mengajak istrinya mandi bareng. Apalagi kalau bukan..."Udah?""Ish! Sabar kenapa sih!"Kiara menggerutu, sebenarnya dia sedari tadi belum bergerak sedikitpun. "Oke. Bareng ya?""Maksudnya?""Kamu lepas baju, aku juga. Bareng. Satu... dua... tiga..." Devan membuka kancing kemejanya satu persatu. Melepaskannya hingga membuat tubuh bagian atasnya telanjang. Masih Kiara pantau.Namun kini dia beranjak menurunkan resleting celananya."Kyaaa! Devan! Kau gila!" Pekiknya sembari menutup matanya."Eh, aku gila? kenapa?" Ucapnya bingung."Janga
Dengan perginya Devan ke kantor dan Kiara yang mengantar Rara ke sekolahnya, rumah kembali sepi. Hanya menyisakan Nina dan bi Tinah serta satpam di depan."Apa kamu sedang tidak sehat nak Nina?" tanya bi Tinah, menelisik pandang ke Nina."Ah? Aa... gak kok bi," jawabnya, tersenyum."Kok bibi perhatikan kamu jalannya agak susah? Apa ada bagian yang luka, disana?"Bola mata Nina bergerak ke kiri dan kanan. Ternyata ada yang memperhatikannya. Sialan! Wanita tua itu pasti mencurigainya. Insting seorang wanita tua biasanya sangat kuat. Memang, bagian bawahnya nyeri. Wajar saja, bertahun-tahun dia tidak bermain. Dan boleh di bilang tadi malam adalah permainan pertamanya setelah sekian lama. Tentu saja rasanya kembali sakit."Bibi buatkan jamu ya? Ini pertama kalinya kan?"Nina bergerak gelisah. Tatapan bi Tinah berbeda, rasanya seperti menguliti dirinya.Bi Tinah beranjak dan memeriksa persedian kunyit di rak bumbu dapur. Mengambil beberapa dan m
"Kenapa, Van, tumben banget ngubungin papa."Ya, Devan justru menelepon pak Dedi, papanya. Lelaki yang tentunya bisa dia tanyai hal privasi seperti ini.Pria tampan itu nyengir. Meski kenyataannya papanya juga gak bakal melihat cengirannya."Em, itu, Devan mau tanya pa. Tapi jangan di ledek ya?"Moodnya seketika berubah seperti anak muda. Dihadapan papanya, seringkali seorang anak laki-laki akan menunjukkan sisi rapuhnya. Begitu juga Devan, dia masih tetap seorang anak dimata papanya. Jadi terkadang sifatnya masih nampak."Tergantung dong. Memang ada apa? Jangan-jangan masalah ranjang ini kayaknya?" Kekeh papanya dari seberang.Devan mendengkus, tapi kenapa tepat sekali. Dasar insting seorang ayah."Dulu waktu mama mengandung Devan, mama kayak gimana pa?""Ya kagak gimana-gimana lah. Paling cuma perutnya yang makin gede. Jadi susah tuh buat di peluk. Haha.""Pa, serius," decaknya lumayan kesal. Dia sedang tidak ingin di be
"Ka-kamu... haha, jangan bercanda Nin. A-apa yang kamu katakan, kamu gak serius kan sama ucapanmu?"Devan tertawa canggung dan bingung. Indira? Nina bercanda. Bagaimana mungkin dia Indira, Indira sudah pergi.Nina menggeleng. Melangkah mendekat ke Devan. Menyentuh lengan pria itu. Bulir bening mengalir sejak dia mengatakan pengakuan tersebut."Aku tidak bercanda, Van. Aku memang Indira. Wanita mu dulu."Devan menggeleng."Gak mungkin. Indira sudah meninggal. Dia sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana bisa kamu mengaku-aku jadi dia? Hah! Indira juga wajahnya tidak seperti kamu. Jangan mengada-ngada.""Hiks... aku masih hidup. Siapa yang mengatakan padamu kalau aku sudah meninggal? Dodikah? Atau Taki?""Ba-bagaimana kamu tahu mereka?""Karena aku ini Indira! Harus dengan cara apa agar kamu percaya, Van? Hiks... wajahku memang berubah. Dan itu gara-gara pria brengsek itu. Hiks.. hiks..." Nina menutup wajahnya dengan kedua tela
"Sial! Kenapa dia tak mempercayaiku? Percuma sekali aku nangis-nangis dihadapannya tadi," rutuk Nina. Dia menghempas kasar pantatnya di ranjang. Menggigit jemarinya dan mata bergerak ke kanan dan kiri, berfikir."Apa aku kurang meyakinkan? Kenapa dia seolah tak tergerak. Huh! Apa wanita bodoh itu berhasil merasuki Devan? Sial! Aku pikir dia masih mencintai Indira. Nyatanya bulshit! Dasar pria, saat dia berhasil menemukan pengganti, begitu mudah melupakan orang yang dicintainya. Lalu aku harus apa, kalau dia saja tak peduli dengan kehadiran Indira lagi? Aish! Menyebalkan!" Omelnya.Percuma, padahal dia tadi sudah memberi obat tidur pada penghuni rumah untuk membuat mereka lelap, demi melancarkan aksinya, tapi malah reaksi Devan di luar perkiraannya."Argh! Sial! Kalau sudah begini, aku harus bagaimana? Mengembalikan wajah yang dulu? Itu sangat tidak mungkin. Aish! kenapa tidak dari dulu aku mengakuinya, pasti sikap Adam tidak akan seperti ini."Nina men