"Ya ampun, aku ngajak kamu keluar itu bukan buat sedih-sedih Arin," tukas Cathie gemas. Bagaimana tidak, Arin tetap saja murung. Sengaja dia mengajaknya ke club. Gila gak sih si Cathie?Tapi gimana lagi, dia hilang akal rasanya menghadapi Arin yang terdiam seperti ini. Club bisa menjadi solusi bagi mereka-mereka yang sedang buntu pikirannya."Ya elo, aneh sih. Ngapain ngajakin gue ke tempat kayak ginian?" Kesal Arin. Kirain mau diajak jalan kemana gitu, eh malah di tempat yang bising dan bau alkohol seperti ini."Hehe, ya gimana, elo murung mulu deh. Disini kan rame, lo bisa tuh buang stress lo disini."Arin mendengkus. Tak menyentuh minuman yang disajikan. Dia sudah lama tak minum alkohol sejak tahu Devan tak menyukai minuman keras tersebut."Terus gimana? Udah terlanjur nyampek sini loh, ya kali mau pergi lagi. Gue juga kangen, dah lama gak minum.""Serah lo deh. Awas aja sampek teler.""He, gak janji deh. Kan ada elo nanti yang bawa pulang."Arin mendesah kesal. Sementara Cathie mu
"Kok diam aja, katanya mau lepas sendiri?""Ya, kamu berbalik dulu sana!"Kiara mendorong Devan, memaksanya untuk membalikkan badan."Kenapa sih Yang. Lagian nanti kan aku juga lihat.""Gak mau, balik badan dulu. Atau gak jadi nih.""Iya iya," ucap Devan pada akhirnya. Pasrah. Daripada gak sama sekali.Padahal sebenarnya dia punya niat tersembunyi di balik alasan mengajak istrinya mandi bareng. Apalagi kalau bukan..."Udah?""Ish! Sabar kenapa sih!"Kiara menggerutu, sebenarnya dia sedari tadi belum bergerak sedikitpun. "Oke. Bareng ya?""Maksudnya?""Kamu lepas baju, aku juga. Bareng. Satu... dua... tiga..." Devan membuka kancing kemejanya satu persatu. Melepaskannya hingga membuat tubuh bagian atasnya telanjang. Masih Kiara pantau.Namun kini dia beranjak menurunkan resleting celananya."Kyaaa! Devan! Kau gila!" Pekiknya sembari menutup matanya."Eh, aku gila? kenapa?" Ucapnya bingung."Janga
Dengan perginya Devan ke kantor dan Kiara yang mengantar Rara ke sekolahnya, rumah kembali sepi. Hanya menyisakan Nina dan bi Tinah serta satpam di depan."Apa kamu sedang tidak sehat nak Nina?" tanya bi Tinah, menelisik pandang ke Nina."Ah? Aa... gak kok bi," jawabnya, tersenyum."Kok bibi perhatikan kamu jalannya agak susah? Apa ada bagian yang luka, disana?"Bola mata Nina bergerak ke kiri dan kanan. Ternyata ada yang memperhatikannya. Sialan! Wanita tua itu pasti mencurigainya. Insting seorang wanita tua biasanya sangat kuat. Memang, bagian bawahnya nyeri. Wajar saja, bertahun-tahun dia tidak bermain. Dan boleh di bilang tadi malam adalah permainan pertamanya setelah sekian lama. Tentu saja rasanya kembali sakit."Bibi buatkan jamu ya? Ini pertama kalinya kan?"Nina bergerak gelisah. Tatapan bi Tinah berbeda, rasanya seperti menguliti dirinya.Bi Tinah beranjak dan memeriksa persedian kunyit di rak bumbu dapur. Mengambil beberapa dan m
"Kenapa, Van, tumben banget ngubungin papa."Ya, Devan justru menelepon pak Dedi, papanya. Lelaki yang tentunya bisa dia tanyai hal privasi seperti ini.Pria tampan itu nyengir. Meski kenyataannya papanya juga gak bakal melihat cengirannya."Em, itu, Devan mau tanya pa. Tapi jangan di ledek ya?"Moodnya seketika berubah seperti anak muda. Dihadapan papanya, seringkali seorang anak laki-laki akan menunjukkan sisi rapuhnya. Begitu juga Devan, dia masih tetap seorang anak dimata papanya. Jadi terkadang sifatnya masih nampak."Tergantung dong. Memang ada apa? Jangan-jangan masalah ranjang ini kayaknya?" Kekeh papanya dari seberang.Devan mendengkus, tapi kenapa tepat sekali. Dasar insting seorang ayah."Dulu waktu mama mengandung Devan, mama kayak gimana pa?""Ya kagak gimana-gimana lah. Paling cuma perutnya yang makin gede. Jadi susah tuh buat di peluk. Haha.""Pa, serius," decaknya lumayan kesal. Dia sedang tidak ingin di be
"Ka-kamu... haha, jangan bercanda Nin. A-apa yang kamu katakan, kamu gak serius kan sama ucapanmu?"Devan tertawa canggung dan bingung. Indira? Nina bercanda. Bagaimana mungkin dia Indira, Indira sudah pergi.Nina menggeleng. Melangkah mendekat ke Devan. Menyentuh lengan pria itu. Bulir bening mengalir sejak dia mengatakan pengakuan tersebut."Aku tidak bercanda, Van. Aku memang Indira. Wanita mu dulu."Devan menggeleng."Gak mungkin. Indira sudah meninggal. Dia sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana bisa kamu mengaku-aku jadi dia? Hah! Indira juga wajahnya tidak seperti kamu. Jangan mengada-ngada.""Hiks... aku masih hidup. Siapa yang mengatakan padamu kalau aku sudah meninggal? Dodikah? Atau Taki?""Ba-bagaimana kamu tahu mereka?""Karena aku ini Indira! Harus dengan cara apa agar kamu percaya, Van? Hiks... wajahku memang berubah. Dan itu gara-gara pria brengsek itu. Hiks.. hiks..." Nina menutup wajahnya dengan kedua tela
"Sial! Kenapa dia tak mempercayaiku? Percuma sekali aku nangis-nangis dihadapannya tadi," rutuk Nina. Dia menghempas kasar pantatnya di ranjang. Menggigit jemarinya dan mata bergerak ke kanan dan kiri, berfikir."Apa aku kurang meyakinkan? Kenapa dia seolah tak tergerak. Huh! Apa wanita bodoh itu berhasil merasuki Devan? Sial! Aku pikir dia masih mencintai Indira. Nyatanya bulshit! Dasar pria, saat dia berhasil menemukan pengganti, begitu mudah melupakan orang yang dicintainya. Lalu aku harus apa, kalau dia saja tak peduli dengan kehadiran Indira lagi? Aish! Menyebalkan!" Omelnya.Percuma, padahal dia tadi sudah memberi obat tidur pada penghuni rumah untuk membuat mereka lelap, demi melancarkan aksinya, tapi malah reaksi Devan di luar perkiraannya."Argh! Sial! Kalau sudah begini, aku harus bagaimana? Mengembalikan wajah yang dulu? Itu sangat tidak mungkin. Aish! kenapa tidak dari dulu aku mengakuinya, pasti sikap Adam tidak akan seperti ini."Nina men
"Ma, kok papa dari tadi diam aja sih."Kiara mengikuti arah pandang Rara, menatap pria yang sudah beberapa bulan ini menjadi suaminya."Mungkin papa lagi puasa ngomong sayang," jawabnya sembari tersenyum. Senyum terpaksa lebih tepatnya."Hehe. Rara kira papa sakit gigi. Papa sih diam aja. Rara tanyain malah kaget. Papa aneh," tambah bocah itu.Kiara tersenyum. Mengusap pelan bahu Rara. Namun netranya tak lepas dari mobil Devan yang melaju keluar gerbang."Yuk, lanjut lagi sarapannya. Abis itu berangkat sekolah," ajak Kiara, menggandeng jemari mungil Rara dan menuntunnya masuk rumah. Rara mengangguk semangat.Memang aneh, Kiara perhatikan Devan sedari tadi diam saja. Cenderung melamun malah. Setiap dia tanya, pria itu seperti kaget. Aneh sekali. Padahal niatnya Kiara mau meledeki pria itu perkara tespeck yang dia temukan di depan kamar tadi malam. Tapi, melihat Devan seperti itu, selera untuk menggoda Devan menguap begitu saja.
Hening.Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Devan. Netranya terarah ke wanita yang tertunduk di depannya. Nina sempat terisak tadi, namun Devan biarkan saja. Dia bingung untuk bersikap. Tak peduli dengan pasang mata yang mengarah ke mereka. Karena pada kenyataannya mereka juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan untung saja cafe tidak terlalu ramai. Ini kan bukan jam istirahat kerja."Jelaskan," ucap Devan datar. Dia palingkan wajahnya ke arah lain.Perlahan Nina mengangkat wajahnya. Bulir bening sisa tangisnya tadi masih membekas."Van ... aku...""Huft."Nina kembali terdiam. Helaan napas berat Devan terasa menusuknya. Dia menarik napas panjang. Memberi kesempatan pada otaknya untuk merancang rencana. Ini kesempatan bagus bukan. Devan mengajak ketemuan berarti pria itu masih penasaran dengan dirinya. Dan kali ini dia tidak akan membiarkannya lepas lagi.Minuman yang mereka pesan dibiarkan tak terjamah. Ada hal lain