Hening.
Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Devan. Netranya terarah ke wanita yang tertunduk di depannya. Nina sempat terisak tadi, namun Devan biarkan saja. Dia bingung untuk bersikap. Tak peduli dengan pasang mata yang mengarah ke mereka. Karena pada kenyataannya mereka juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan untung saja cafe tidak terlalu ramai. Ini kan bukan jam istirahat kerja."Jelaskan," ucap Devan datar. Dia palingkan wajahnya ke arah lain.Perlahan Nina mengangkat wajahnya. Bulir bening sisa tangisnya tadi masih membekas."Van ... aku...""Huft."Nina kembali terdiam. Helaan napas berat Devan terasa menusuknya. Dia menarik napas panjang. Memberi kesempatan pada otaknya untuk merancang rencana. Ini kesempatan bagus bukan. Devan mengajak ketemuan berarti pria itu masih penasaran dengan dirinya. Dan kali ini dia tidak akan membiarkannya lepas lagi.Minuman yang mereka pesan dibiarkan tak terjamah. Ada hal lainIndira menatap ngeri pada setruman listrik yang di pegang Dodi. Tapi sayang, tubuhnya sudah sangat melemah. Karena sedari tadi mendapat perlakuan kasar dari Dodi, tamparan berkali-kali mendarat di pipi mulusnya. Jambakan kasar di rambut panjangnya. Juga makian dan juga celaan mampir dan melukai perasaannya. Entahlah, dia tak dapat berfikir jernih lagi. Tetes dari di sudut bibirnya belum kering. Panasnya pipi yang terkena tamparan belum mendingin. Dia tak tahu harus berbuat apalagi untuk melawan Dodi. Lakbannya memang sudah di buka. Tapi ikatan di tangan dan kakinya belum di lepas. Dia kini justru malah di ikat di kursi.Devan, ia justru teringat Devan. Berharap Devan akan menolongnya, meski rasanya sekedar angan. Mungkinkah adegan yang sering dia lihat di tv itu akan jadi kenyataan? Ah, mustahil sekali. Pasti saat ini Devan akan mengiranya sedang lelap tidur."Bagaimana? Masih tak menyadari kesalahanmu, wanita bodoh!" Seringai Dodi seraya menampilkan sengatan perci
Berhari-hari Indira kehilangan kesadarannya. Dia bangun di hari ke empat. Tapi, semenjak itu dia mengalami trauma yang amat sangat. Kejadian itu sangat membekas. Jangankan melihat benda tajam, mendengar derik hujan saja dia sudah ketakutan. Untung saja dia di tangani dokter yang mumpuni. Terapi dan segala macam dijalaninya. Tentunya dengan biaya sepenuhnya dari Dodi. Dan semenjak itu pula pemuda itu tidak pernah menampakkan diri. Dia hanya mengutus seorang wanita paruh baya untuk menjagai Indira. Wanita yang kini dia aku sebagai ibunya.Wajah Indira rusak dan tak dapat di kenali lagi. Setelah perawatan fisik dan psikis selesai, dia di bawa ke Singapura untuk operasi wajahnya. Dan cukup sulit untuk mengembalikan ke wajah aslinya. Karena luka yang di deritanya cukup parah.Indira pulih, tapi dengan wajah barunya. Dan kini dia kembali untuk merebut hati Devan kembali. Sayangnya, dia masih tak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan identitas dirinya yang as
Sekolah Rara. Rombongan anak-anak dan orang tua keluar dari gerbang sekolah. Ini sudah jam pulang. Diantara rombongan itu, terlihat Kiara menggandeng tangan Rara. Mereka tertawa-tawa entah apa yang dibicarakan. "Mama! Itu papa!"Devan tersenyum kecil. Melambaikan tangannya. Senyum sumringah Rara terlukis jelas. Dia berlari kecil menghampirinya dan Kiara yang mengikuti dari belakang."Papa!" Pekiknya, memeluk kaki Devan. Devan dengan sigap meraih tubuh mungil Rara dan menggendongnya, tersenyum pada sang istri yang menghampirinya."Kok? Ada apa? Tumben kesini tanpa diminta?""Ya gak papalah sayang. Pengen ngerasain lah jemput istri sama anak.""Kantor?""Tenang aja. Gak lagi sibuk kok. Lagian kan aku bossnya."Kiara mengangguk paham. Devan membawa Rara ke dalam mobil di ikuti Kiara. Rara duduk di kursi belakang, memainkan ponsel Kiara. Sementara Kiara duduk di samping Devan."Langsung pulang?" .Kiara mengangguk.
Devan menggeliat pelan saat mendengar dering ponselnya. Menarik tangannya yang menjadi sandaran bagi Kiara. Terasa kebas, tapi tak masalah.Dia beringsut dan bersandar di head board ranjang. Meletakkan kepala Dinda di pangkuannya. Waniat itu menggeliat, mungkin merasa terganggu. "Stt... stt...."Devan menepuk-nepuk pelan punggung Kiara membuatnya nyaman kembali.Barulah dia ambil ponselnya dan menjawab telepon."Hmm, ada info apa?"Ya, informannya lah yang menelepon dirinya. Kesal sebenarnya karena tidurnya menjadi terganggu."Saya dapat info baru pak terkait wanita itu." "Benarkah? Tunggu sebentar."Devan membenarkan duduknya. Dia kembali semangat mendengar penuturan dari informannya. Mengambil headset yang kebetulan berada di atas nakas dan memasangkannya di ponsel dan telinga kirinya. Khawatir Kiara akan terbangun dan mendengar percakapannya."Bagaimana?" tanyanya lagi, antusias."Jadi setelah saya lacak. Wani
Canggung. Itulah yang terjadi semenjak Nina mengutarakan siapa dirinya. Setiap kali bertemu, Devan lebih sering membuang pandangan. Bukan karena membenci.Bahkan tadi pas makan malam, Devan tak berucap sepatah katapun pada Nina. Dia hanya melirik canggung. Untung saja hanya ada dirinya dan Rara di meja makan. Kiara makan di kamar. Karena tiba-tiba dia tak enak badan."Pa, tadi di sekolah Rara punya temen baru," tutur Rara sambil memainkan boneka dinosaurus yang lama tak disentuhnya. Dia dipangku papanya dan mereka kini di tengah setelah makan malam."Oh ya? Siapa namanya?""Dino. Haha, lucu ya pa. Masak namanya Dino. Kayak Dinosaurus aja," ujarnya, tertawa kecil. Tangannya tak henti memencet-mencet boneka empuk tersebut.Devan mengacak pelan rambut Rara. Aneh-aneh saja pemikiran putri kecilnya itu."Gak boleh gitu sayang. Nama itu bukan buat ledekan," nasehatnya."Gak kok pa. Pas dia perkenalan, Rara tiba-tiba aja kepikiran Dinosa
Pukul 23:26.Tenggorokan Devan terasa kering. Jadi dia akhirnya memutuskan untuk mengambil air minum di bawah. Biasanya Kiara sudah menyiapkannya. Berhubung dari tadi istrinya sedang gak enak badan, jadi dia lupa untuk menyiapkannya.Tangga bawah sepi dan gelap. Devan menyalakan lampu dapur. Membuatnya lebih terang. Dia tuangkan segelas air dan menenggaknya santai. Tiba-tiba saja sebuah tangan halus melingkar di perutnya. Devan tersenyum, memegang tangan itu dan mengusapnya lembut."Kamu kebangun ya sayang, maaf deh ganggu kamu tidur," tukasnya.Tapi tak ada sahutan. Devan mengernyit heran. Dia seperti menyadari sesuatu. Ini bukan tangan Kiara. Juga bukan aroma tubuh istrinya. Lalu, siapa kiranya. Apa jangan-jangan...Devan menoleh. Kaget saat mengetahui si pemilik tangan tersebut."I-Indira."Indira atau Nina memanyunkan bibirnya, kesal karena bukan Devan tak mengenalinya dan malah mengira wanita itu."Kok kamu
A-aku merindukannya. Bolehkan?"Devan tak menjawab. Kini Indira justru melepas kancing bagian atas Devan, memperlihatkan kulit polos ptia itu.Tangan Indira mainkan dada bagian atasnya, mengusap-usapnya lembut."A-aku... aku hanya merindukanmu. Tak bolehkah aku sedikit menyentuhmu? La-lagipula hanya..."Indira menggigit bibir bawahnya. Sedang Devan mati-matian menahan sesuatu. Merasa tak ada penolakan, Indira melayangkan bibirnya di leher sang pria, menyesapnya.Aktifitasnya masih berlanjut, karena entah kenapa, Devan sama sekali tak bereaksi. Huh, lagipula dulu mereka juga pernah melakukannya, meski tidak sampai tuntas."Aku harap kita selamanya begini Van," ucapnya. Devan meringis, raut wajahnya berubah. Indira tersenyum menyeringai, merasakan sesuatu yang mengganjal dan keras dibawah sana. Makin gencarlah dia melayangkan ciumannya."S-sory, Ra. Aku harus kembali ke kamar. T-takut Kiara terbangun."Devan mendorong
Kiara merasa tubuhnya tak fit. Dari kemarin dia mual mual terus. Tubuhnya juga meriang. Jadi hari ini dia di rumah saja. Rara diantar Nina dan Devan. Sebenarnya Devan berniat untuk tak berangkat ke kantor, tapi dia larang. Lagian ada bibi Tinah di rumah."Bibi buatin jamu ya, Nya."Kiara mengangguk. Dia berbaring di ranjang. Pusing rasanya untuk sekedar bangun saja. Tak berapa lama bi Tinah datang lagi, membawakan segelas jamu."Di minum, Nya.""Makasih Bi."Kiara menerima gelas jamu dan menenggaknya pelan. Bi Tinah memijat leher Kiara."Kok bibi rasa Nyonya sedang hamil ya," tukas bi Tinah.Kiara hanya tersenyum tipis menanggapi."Masak sih Bi.""Iya Nya. Dulu saya juga seperti Nyonya. Persis banget malah. Bibi ini lebih pengalaman Nya. Hehe."Bi Tinah menerima gelas kosong dari tangan Kiara dan meletakkan di meja nakas."Kenapa gak periksa saja, Nya. Kan lebih baik kalau tahu sakitnya apa. Biar jelas.""