"Kenapa, Van, tumben banget ngubungin papa."
Ya, Devan justru menelepon pak Dedi, papanya. Lelaki yang tentunya bisa dia tanyai hal privasi seperti ini.Pria tampan itu nyengir. Meski kenyataannya papanya juga gak bakal melihat cengirannya."Em, itu, Devan mau tanya pa. Tapi jangan di ledek ya?"Moodnya seketika berubah seperti anak muda. Dihadapan papanya, seringkali seorang anak laki-laki akan menunjukkan sisi rapuhnya. Begitu juga Devan, dia masih tetap seorang anak dimata papanya. Jadi terkadang sifatnya masih nampak."Tergantung dong. Memang ada apa? Jangan-jangan masalah ranjang ini kayaknya?" Kekeh papanya dari seberang.Devan mendengkus, tapi kenapa tepat sekali. Dasar insting seorang ayah."Dulu waktu mama mengandung Devan, mama kayak gimana pa?""Ya kagak gimana-gimana lah. Paling cuma perutnya yang makin gede. Jadi susah tuh buat di peluk. Haha.""Pa, serius," decaknya lumayan kesal. Dia sedang tidak ingin di be"Ka-kamu... haha, jangan bercanda Nin. A-apa yang kamu katakan, kamu gak serius kan sama ucapanmu?"Devan tertawa canggung dan bingung. Indira? Nina bercanda. Bagaimana mungkin dia Indira, Indira sudah pergi.Nina menggeleng. Melangkah mendekat ke Devan. Menyentuh lengan pria itu. Bulir bening mengalir sejak dia mengatakan pengakuan tersebut."Aku tidak bercanda, Van. Aku memang Indira. Wanita mu dulu."Devan menggeleng."Gak mungkin. Indira sudah meninggal. Dia sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana bisa kamu mengaku-aku jadi dia? Hah! Indira juga wajahnya tidak seperti kamu. Jangan mengada-ngada.""Hiks... aku masih hidup. Siapa yang mengatakan padamu kalau aku sudah meninggal? Dodikah? Atau Taki?""Ba-bagaimana kamu tahu mereka?""Karena aku ini Indira! Harus dengan cara apa agar kamu percaya, Van? Hiks... wajahku memang berubah. Dan itu gara-gara pria brengsek itu. Hiks.. hiks..." Nina menutup wajahnya dengan kedua tela
"Sial! Kenapa dia tak mempercayaiku? Percuma sekali aku nangis-nangis dihadapannya tadi," rutuk Nina. Dia menghempas kasar pantatnya di ranjang. Menggigit jemarinya dan mata bergerak ke kanan dan kiri, berfikir."Apa aku kurang meyakinkan? Kenapa dia seolah tak tergerak. Huh! Apa wanita bodoh itu berhasil merasuki Devan? Sial! Aku pikir dia masih mencintai Indira. Nyatanya bulshit! Dasar pria, saat dia berhasil menemukan pengganti, begitu mudah melupakan orang yang dicintainya. Lalu aku harus apa, kalau dia saja tak peduli dengan kehadiran Indira lagi? Aish! Menyebalkan!" Omelnya.Percuma, padahal dia tadi sudah memberi obat tidur pada penghuni rumah untuk membuat mereka lelap, demi melancarkan aksinya, tapi malah reaksi Devan di luar perkiraannya."Argh! Sial! Kalau sudah begini, aku harus bagaimana? Mengembalikan wajah yang dulu? Itu sangat tidak mungkin. Aish! kenapa tidak dari dulu aku mengakuinya, pasti sikap Adam tidak akan seperti ini."Nina men
"Ma, kok papa dari tadi diam aja sih."Kiara mengikuti arah pandang Rara, menatap pria yang sudah beberapa bulan ini menjadi suaminya."Mungkin papa lagi puasa ngomong sayang," jawabnya sembari tersenyum. Senyum terpaksa lebih tepatnya."Hehe. Rara kira papa sakit gigi. Papa sih diam aja. Rara tanyain malah kaget. Papa aneh," tambah bocah itu.Kiara tersenyum. Mengusap pelan bahu Rara. Namun netranya tak lepas dari mobil Devan yang melaju keluar gerbang."Yuk, lanjut lagi sarapannya. Abis itu berangkat sekolah," ajak Kiara, menggandeng jemari mungil Rara dan menuntunnya masuk rumah. Rara mengangguk semangat.Memang aneh, Kiara perhatikan Devan sedari tadi diam saja. Cenderung melamun malah. Setiap dia tanya, pria itu seperti kaget. Aneh sekali. Padahal niatnya Kiara mau meledeki pria itu perkara tespeck yang dia temukan di depan kamar tadi malam. Tapi, melihat Devan seperti itu, selera untuk menggoda Devan menguap begitu saja.
Hening.Tak ada sepatah katapun yang keluar dari bibir Devan. Netranya terarah ke wanita yang tertunduk di depannya. Nina sempat terisak tadi, namun Devan biarkan saja. Dia bingung untuk bersikap. Tak peduli dengan pasang mata yang mengarah ke mereka. Karena pada kenyataannya mereka juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan untung saja cafe tidak terlalu ramai. Ini kan bukan jam istirahat kerja."Jelaskan," ucap Devan datar. Dia palingkan wajahnya ke arah lain.Perlahan Nina mengangkat wajahnya. Bulir bening sisa tangisnya tadi masih membekas."Van ... aku...""Huft."Nina kembali terdiam. Helaan napas berat Devan terasa menusuknya. Dia menarik napas panjang. Memberi kesempatan pada otaknya untuk merancang rencana. Ini kesempatan bagus bukan. Devan mengajak ketemuan berarti pria itu masih penasaran dengan dirinya. Dan kali ini dia tidak akan membiarkannya lepas lagi.Minuman yang mereka pesan dibiarkan tak terjamah. Ada hal lain
Indira menatap ngeri pada setruman listrik yang di pegang Dodi. Tapi sayang, tubuhnya sudah sangat melemah. Karena sedari tadi mendapat perlakuan kasar dari Dodi, tamparan berkali-kali mendarat di pipi mulusnya. Jambakan kasar di rambut panjangnya. Juga makian dan juga celaan mampir dan melukai perasaannya. Entahlah, dia tak dapat berfikir jernih lagi. Tetes dari di sudut bibirnya belum kering. Panasnya pipi yang terkena tamparan belum mendingin. Dia tak tahu harus berbuat apalagi untuk melawan Dodi. Lakbannya memang sudah di buka. Tapi ikatan di tangan dan kakinya belum di lepas. Dia kini justru malah di ikat di kursi.Devan, ia justru teringat Devan. Berharap Devan akan menolongnya, meski rasanya sekedar angan. Mungkinkah adegan yang sering dia lihat di tv itu akan jadi kenyataan? Ah, mustahil sekali. Pasti saat ini Devan akan mengiranya sedang lelap tidur."Bagaimana? Masih tak menyadari kesalahanmu, wanita bodoh!" Seringai Dodi seraya menampilkan sengatan perci
Berhari-hari Indira kehilangan kesadarannya. Dia bangun di hari ke empat. Tapi, semenjak itu dia mengalami trauma yang amat sangat. Kejadian itu sangat membekas. Jangankan melihat benda tajam, mendengar derik hujan saja dia sudah ketakutan. Untung saja dia di tangani dokter yang mumpuni. Terapi dan segala macam dijalaninya. Tentunya dengan biaya sepenuhnya dari Dodi. Dan semenjak itu pula pemuda itu tidak pernah menampakkan diri. Dia hanya mengutus seorang wanita paruh baya untuk menjagai Indira. Wanita yang kini dia aku sebagai ibunya.Wajah Indira rusak dan tak dapat di kenali lagi. Setelah perawatan fisik dan psikis selesai, dia di bawa ke Singapura untuk operasi wajahnya. Dan cukup sulit untuk mengembalikan ke wajah aslinya. Karena luka yang di deritanya cukup parah.Indira pulih, tapi dengan wajah barunya. Dan kini dia kembali untuk merebut hati Devan kembali. Sayangnya, dia masih tak mempunyai keberanian untuk mengungkapkan identitas dirinya yang as
Sekolah Rara. Rombongan anak-anak dan orang tua keluar dari gerbang sekolah. Ini sudah jam pulang. Diantara rombongan itu, terlihat Kiara menggandeng tangan Rara. Mereka tertawa-tawa entah apa yang dibicarakan. "Mama! Itu papa!"Devan tersenyum kecil. Melambaikan tangannya. Senyum sumringah Rara terlukis jelas. Dia berlari kecil menghampirinya dan Kiara yang mengikuti dari belakang."Papa!" Pekiknya, memeluk kaki Devan. Devan dengan sigap meraih tubuh mungil Rara dan menggendongnya, tersenyum pada sang istri yang menghampirinya."Kok? Ada apa? Tumben kesini tanpa diminta?""Ya gak papalah sayang. Pengen ngerasain lah jemput istri sama anak.""Kantor?""Tenang aja. Gak lagi sibuk kok. Lagian kan aku bossnya."Kiara mengangguk paham. Devan membawa Rara ke dalam mobil di ikuti Kiara. Rara duduk di kursi belakang, memainkan ponsel Kiara. Sementara Kiara duduk di samping Devan."Langsung pulang?" .Kiara mengangguk.
Devan menggeliat pelan saat mendengar dering ponselnya. Menarik tangannya yang menjadi sandaran bagi Kiara. Terasa kebas, tapi tak masalah.Dia beringsut dan bersandar di head board ranjang. Meletakkan kepala Dinda di pangkuannya. Waniat itu menggeliat, mungkin merasa terganggu. "Stt... stt...."Devan menepuk-nepuk pelan punggung Kiara membuatnya nyaman kembali.Barulah dia ambil ponselnya dan menjawab telepon."Hmm, ada info apa?"Ya, informannya lah yang menelepon dirinya. Kesal sebenarnya karena tidurnya menjadi terganggu."Saya dapat info baru pak terkait wanita itu." "Benarkah? Tunggu sebentar."Devan membenarkan duduknya. Dia kembali semangat mendengar penuturan dari informannya. Mengambil headset yang kebetulan berada di atas nakas dan memasangkannya di ponsel dan telinga kirinya. Khawatir Kiara akan terbangun dan mendengar percakapannya."Bagaimana?" tanyanya lagi, antusias."Jadi setelah saya lacak. Wani