"Kalian ke ruangan itu dulu. Aku masih harus bekerja," ujar Catherine. Dia tahu, bakal ada perang dunia ketiga kali ini. Terasa hawa panas menyengat. Dan Catherine tak mau membuat salonnya menjadi lokasi kegemparan."Rin, kau antar mereka berdua," pungkasnya tegas. Arin mengangguk. Lalu melangkah menuju ruang yang di tunjuk Cathie. Ya, itu ruang kedap suara. Karena Cathie sudah menduga, pasti akan ada perang dunia. Dia tak mau ada pelanggannya yang mendengar keributan."Duduklah," ucap Arin sembari tersenyum tipis. Devan dan Kiara duduk berdampingan, meski terlihat sekali Kiara ingin menjaga jarak. Bukan Devan namanya kalau membiarkan Kiara menjauh. Dia bahkan langsung menarik pinggang Kiara, membuat tubuh mereka saling berhimpitan sekarang."Rin, sekarang tolong jelaskan hubungan kita. Dia salah paham," tukas Devan. Kiara mendengkus pelan. Membuang wajahnya ke arah lain.Percuma. Palingan juga mereka sudah berkompromi dari kemarin kan, bisa saja.
Sekitar setengah jam kemudian, Catherine selesai dengan urusannya. Dia berniat untuk bergabung. Namun malah mendapati Arin yang termenung di sofa depan ruangannya."Loh, kok di luar? Devan sama Kiara?""Mereka di dalam," jawab Arin dengan tatapan kosongnya."Maksudnya?"Arin tak menjawab.Catherine tak sabar. Membuka knop pintu. Wajahnya berubah kaget dengan apa yang dilihatnya."Sialan Devan. Dia kira ini kantornya. Seenaknya berbuat di ruangan gue," omel Cathie. Meski bagaimanapun wajahnya memerah melihat hal yang seharusnya tak dilihatnya.Dia kembali menghampiri Arin. Menarik gadis itu dalam pelukannya."Sudahlah. Ikhlaskan Devan. Dia sudah bahagia dengan wanita pilihannya.""Tapi rasanya berat, Cath. Gue kudu gimana? Hiks ...."Cathie mengelus surai panjang Arin. Dia tahu bagaimana perasaan Arin. Karena selama ini dialah tempat curhat Arin. Cinta yang teramat dalam terbalas dengan penolakan yang lebih dari sekedar
Lima belas menit perjalanan, Devan sebenarnya bingung. Dia tidak tahu tempat tinggal Taki sekarang. Jadi dia hanya melajukan mobilnya tak tentu arah. "Kok ... arahnya sini sih, Van?" Kiara mengernyitkan dahinya. Devan meringis, menoleh pada Kiara."Aku gak tahu apartemennya," ringisnya."Aih. Aku kira kamu tahu. Gimana sih," ujarnya kesal. Dia kira Devan tahu. Ternyata hanya pura-pura tahu."Ya kan kita lost kontak udah cukup lama Kiara ....""Ya udah. Gue hubungi dia dulu."Devan mengangguk. Sedangkan Kiara mengetik sebuah nama dan menekan tombol panggil. Terdengar dering tanda tersambung."Iya, Ra.""Hai Ki. Lo dimana sekarang?""Gue di butik. Kenapa? Apa ada hal penting?""Em ... gak. Lo sibuk gak?""Gak sih. Cuma mantau aja tadi. Mau ketemu?""Iya. Kalau lo gak sibuk sih.""Oke. Gimana kalau di restoran atas aja ya. Gue tunggu disana.""Oke."Call ended.Devam menoleh. Meski menguping, dia tak terla
"Ra, gue minta maaf."Kedua alis Kiara bertaut. Saat ini dia sedang bersama Nadia. Selepas dari pertemuan Devan dan Taki, dia ngeloyor pergi. Membiarkan Devan dan Taki mengurus masalahnya sendiri. Sementara dia menghubungi Nadia untuk menemuinya."Gara-gara gue kalian marahan," ucap Nadia lagi. Wajahnya kelihatan sekali dia tak enak hati atas kekacauan yang terjadi kemarin."Haha. Santai kali, Nad. Kirain apa, weh.""Tapi kan, gue jadi gak enak sama kalian. Pasti pak Devan marah banget ya?"Kiara hanya mengangkat alisnya. Menyeruput minumannya. Mereka sekarang di cafe omong-omong."Biarin aja. Lagian dia juga aneh. Marah-marah gak jelas. Taki juga kan cuma temen gue.""Apa mungkin mereka punya masalalu buruk ya? Tapi Taki bilang sama gue, kalau dia temennya pak Devan loh. Masak iya, setelah ketemu kok malah kayak musuhan," jelas Nadia."Iya. Kayaknya gitu. Ah, biarin saja. Itu urusan mereka. Biarkan di selesaikan sendiri. Udah dewa
"Heh, ini tidak seberapa dibanding sama kerusakan yang elo buat."Tak ada bentakan, namun sangat dingin dan menghujam. Devan berlalu meninggalkan Taki yang terpekur. Ia rasa, Devan makin membencinya.Taki bersandar ke kursi. Memijit pelipisnya dengan baju yang basah bagian atasnya.Tak lama, Devan datang bersama dengan Nadia. Tawanya bahkan terdengar di telinga Taki. Tapi untuk beranjak, rasanya dia tak ada semangat lagi."Ya Ampun Taki! Lo kenapa? Kok basah gini?"Kiara panik melihat keadaan Taki. Lupa kalau ada Nadia. "Gue gak papa, Ra," jawabnya."Pasti ulah Devan 'kan? Aish! Nyebelin banget sih dia," gerutunya."Gue gak papa, beneran?""Gak papa gimana? Basah gini. Devan keterlaluan banget sih!"Kiara memberi isyarat pada Nadia, meminta tisu. Lalu dia menyeka bagian Taki yang basah."Ra, gue minta jangan marah sama dia ...""Eh, gak bisa. Dia keterlaluan Ki. Enak saja gak boleh dimarahin. Ck
Kiara pulang diantar oleh Taki dan Nadia. Tentu saja hanya sampai gerbang depan. Takutnya kalau sampai Devan tahu, dia akan lebih marah."Thanks ya Ki."Taki mengangguk."Gue minta maaf," tambahnya.Kiara hanya tersenyum tipis."Gue masuk dulu, Ki, Nad."Sembari melangkah, Kiara kepikiran dengan cerita Taki tadi. Entah, dia tak bisa memberi penilaian untuk membela siapa. Devan berhak marah, tapi di sisi lain, Taki tak sepenuhnya salah. Eh, tapi dia salah juga sih. Huft, jadi persahabatan mereka hancur karena perkara rumit mereka dimasa lalu. Yang mengakibatkan seseorang yang Devan cintai sampai meninggal. Memang parah sih. Dan wajar saja Devan begitu menyimpan dendam."Apa gue harus menghibur dia? Tapi gimana. Hish, padahal baru aja baikan."Rumah sepi. Tak ada suara Rara ataupun Nina. Mungkin saja Nina mengajaknya main keluar. Kaki Kiara menapaki satu persatu tangga menuju lantai atas. Dan bukan menuju kamarnya, melaink
"Papa jahil. Haha, kasihan mama tahu pa."Devan justru terkekeh. Mencium pipi kiara sekilas. Lalu menjauhkan tubuhnya dari Kiara."Devan!" Pekik Kiara. Bisa-bisanya dia menciumnya di depan Rara."Tuh kan, mama marah.""Gak mungkin sayang. Mama gak mungkin marah sama papa. Papa kan ganteng," ucapnya pede."Emang kalau ganteng, gak bakal dimarah ya pa?" "Coba tanya sama mamamu.""Emang iya ma?" Tanya Rara, menoleh ke Kiara."Kalau papa jahil lagi, ya mama marahlah.""Hii... papa boong. Makanya jangan jahil pa. Mama cemberut kan."Devan melirik Kiara. Dia tahu, Kiara bukan marah dalam artian sebenarnya. Makanya dia santai saja."Bobok yok sayang.""Ayok ma. Rara juga kangen pengen bobok sama mama dan papa.""Tapi ini baru jam berapa sayang," ucap Kiara akhirnya."Tidur-tiduran aja ma. Ayolah ma..."Kiara memutar bola matanya malas. Ada apa sih dengan Devan. Kenapa dia jadi manja begini.Akhirnya mereka berbaring, dengan R
Di kantin, Kiara, Ayu dan Nadia makan siang bersama. Sengaja, lama sekali mereka tak kumpul bareng seperti ini. Maksudnya, kalau Kiara dan Nadia sih lumayan sering, tapi kalau dengan Ayu, jarang sekali. Bukan karena beda frekuensi, hanya saja memang belum ada waktu yang memungkinkan untuk ketemu ber-tiga.Mereka bercanda dan di selingi tawa tentu saja. Apalagi Ayu paling konyol diantara mereka. Dia yang sering melontarkan jokes-jokes yang nyeleneh.Memang jika bersama Ayu, suasana yang serius bisa jadi rusak karena sifat Ayu tersebut."Bener nih, gak apa-apa lo gabung sama kita?" tukas Ayu memastikan pada Kiara. Ya seperti yang kalian ketahui, Kiara lebih sering makan siang bersama suaminya, Devan, sang Ceo mereka."Gak. Santai aja. Gue udah bilang tadi," jawabnya."Iya lah. Sesekali harus kayak gini. Lama tahu kita gak kumpul bareng. Apalagi semenjak elo nikah sama pak Devan.""Hehe, sory. Ya gimana, katanya kan harus nurut suami. Ye kan