"Heh, ini tidak seberapa dibanding sama kerusakan yang elo buat."
Tak ada bentakan, namun sangat dingin dan menghujam. Devan berlalu meninggalkan Taki yang terpekur. Ia rasa, Devan makin membencinya.Taki bersandar ke kursi. Memijit pelipisnya dengan baju yang basah bagian atasnya.Tak lama, Devan datang bersama dengan Nadia. Tawanya bahkan terdengar di telinga Taki. Tapi untuk beranjak, rasanya dia tak ada semangat lagi."Ya Ampun Taki! Lo kenapa? Kok basah gini?"Kiara panik melihat keadaan Taki. Lupa kalau ada Nadia."Gue gak papa, Ra," jawabnya."Pasti ulah Devan 'kan? Aish! Nyebelin banget sih dia," gerutunya."Gue gak papa, beneran?""Gak papa gimana? Basah gini. Devan keterlaluan banget sih!"Kiara memberi isyarat pada Nadia, meminta tisu. Lalu dia menyeka bagian Taki yang basah."Ra, gue minta jangan marah sama dia ...""Eh, gak bisa. Dia keterlaluan Ki. Enak saja gak boleh dimarahin. CkKiara pulang diantar oleh Taki dan Nadia. Tentu saja hanya sampai gerbang depan. Takutnya kalau sampai Devan tahu, dia akan lebih marah."Thanks ya Ki."Taki mengangguk."Gue minta maaf," tambahnya.Kiara hanya tersenyum tipis."Gue masuk dulu, Ki, Nad."Sembari melangkah, Kiara kepikiran dengan cerita Taki tadi. Entah, dia tak bisa memberi penilaian untuk membela siapa. Devan berhak marah, tapi di sisi lain, Taki tak sepenuhnya salah. Eh, tapi dia salah juga sih. Huft, jadi persahabatan mereka hancur karena perkara rumit mereka dimasa lalu. Yang mengakibatkan seseorang yang Devan cintai sampai meninggal. Memang parah sih. Dan wajar saja Devan begitu menyimpan dendam."Apa gue harus menghibur dia? Tapi gimana. Hish, padahal baru aja baikan."Rumah sepi. Tak ada suara Rara ataupun Nina. Mungkin saja Nina mengajaknya main keluar. Kaki Kiara menapaki satu persatu tangga menuju lantai atas. Dan bukan menuju kamarnya, melaink
"Papa jahil. Haha, kasihan mama tahu pa."Devan justru terkekeh. Mencium pipi kiara sekilas. Lalu menjauhkan tubuhnya dari Kiara."Devan!" Pekik Kiara. Bisa-bisanya dia menciumnya di depan Rara."Tuh kan, mama marah.""Gak mungkin sayang. Mama gak mungkin marah sama papa. Papa kan ganteng," ucapnya pede."Emang kalau ganteng, gak bakal dimarah ya pa?" "Coba tanya sama mamamu.""Emang iya ma?" Tanya Rara, menoleh ke Kiara."Kalau papa jahil lagi, ya mama marahlah.""Hii... papa boong. Makanya jangan jahil pa. Mama cemberut kan."Devan melirik Kiara. Dia tahu, Kiara bukan marah dalam artian sebenarnya. Makanya dia santai saja."Bobok yok sayang.""Ayok ma. Rara juga kangen pengen bobok sama mama dan papa.""Tapi ini baru jam berapa sayang," ucap Kiara akhirnya."Tidur-tiduran aja ma. Ayolah ma..."Kiara memutar bola matanya malas. Ada apa sih dengan Devan. Kenapa dia jadi manja begini.Akhirnya mereka berbaring, dengan R
Di kantin, Kiara, Ayu dan Nadia makan siang bersama. Sengaja, lama sekali mereka tak kumpul bareng seperti ini. Maksudnya, kalau Kiara dan Nadia sih lumayan sering, tapi kalau dengan Ayu, jarang sekali. Bukan karena beda frekuensi, hanya saja memang belum ada waktu yang memungkinkan untuk ketemu ber-tiga.Mereka bercanda dan di selingi tawa tentu saja. Apalagi Ayu paling konyol diantara mereka. Dia yang sering melontarkan jokes-jokes yang nyeleneh.Memang jika bersama Ayu, suasana yang serius bisa jadi rusak karena sifat Ayu tersebut."Bener nih, gak apa-apa lo gabung sama kita?" tukas Ayu memastikan pada Kiara. Ya seperti yang kalian ketahui, Kiara lebih sering makan siang bersama suaminya, Devan, sang Ceo mereka."Gak. Santai aja. Gue udah bilang tadi," jawabnya."Iya lah. Sesekali harus kayak gini. Lama tahu kita gak kumpul bareng. Apalagi semenjak elo nikah sama pak Devan.""Hehe, sory. Ya gimana, katanya kan harus nurut suami. Ye kan
"A-aku minta maaf." Bukannya menjawab, wanita itu malah mengulangi ucapannya dengan terisak."Maaf? Untuk apa? Kau tidak punya salah apa-apa sayang," ucap Devan lembut."Aku... aku salah. Harusnya aku lebih mengkhawatirkanmu, tapi kenapa aku malah nanyain keadaan Taki. Aku kejam kan, Van?"Sejenak Devan tertegun. Menatap wajah wanitanya itu tanpa berkedip. Namun sedetik kemudian dia menarik Kiara dalam pelukannya. Terkekeh dengan ucapan wanita itu barusan."Kamu itu ngomong apa sih? Aku gak marah. Meskipun kamu mau menanyakan tentang Taki, bertemu pria itu, ataupun mengkhawatirkannya, aku tidak masalah," ujar Devan."Se-serius?" Pria itu mengangguk."Aku tidak marah, sayang. Lagipula untuk apa marah. Gak penting juga kan? Yang penting kamu cintanya sama aku, udah. Itu udah cukup bagiku.""Hiks. Devan," Kiara mengeratkan pelukannya seraya merengek. Sementara Devan tersenyum. Menciumi puncak kepala sang istri. Wanita itu masih terisak dalam
Rara berjongkok dan mengambil Chimmy yang jatuh di lantai basah. Bibirnya mengerucut nanar melihat boneka kesayangannya itu basah."Kak," ucapnya sembari menatap Nina. Diacungkannya boneka tersebut."Ya ampun, kok basah sayang?"Nina mengambil boneka chimmy dari tangan Rara. Menepuk-nepuk Chimmy."Iya Kak. Rara gak sengaja jatuhin tadi," sesalnya. Padahal dia sedang bosan. Dan siapa lagi temannya kalau bukan Chimmy."Ya udah. Kak Nina cuciin sekalian ya, Rara mainan sama Momoy dulu."Rara mengangguk.Nina membawa Boneka Chimmy ke belakang untuk mencucinya.Selepas Nina pergi, Rara mengambil Momoy. Dan bermain dengan boneka berbentuk sapi tersebut.Namun hanya bertahan tidak lebih dari lima belas menit. Rara benar-benar sedang bosan.Dia akhirnya melempar Momoy. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Menangkap pintu yang terbuka. Mata bulatnya mengerjap pelan. Lama sekali dia tidak keluar dari rumah kalau bukan karena diajak keluar. Dia ba
"Ya ampun sayang, kamu kemana aja, kakak bingung nyariin kamu," Nina bergegas memeluk Rara begitu Rara masuk ke rumah."Kamu gak papa kan? Gak ada yang jahatin Rara? Ada yang sakit?" Tanya Nina beruntun. Dia memeriksa bagian tubuh Rara. Mematikan gadis kecil itu baik-baik saja."Rara gak papa kak. Tadi Rara cuma main ke depan kok."Nina menghela napas. Terang saja dia khawatir. Dia mencari Rara kemana-mana. Kalau ada apa-apa juga, dia yang tanggung jawab."Lain kali kalau mau pergi-pergi bilang kakak ya? Kakak takut Rara kenapa-napa," ucap Nina sembari menangkup wajah mungil tersebut.Rara mengangguk."Maaf ya kak. Rara udah bikin khawatir.""Iya. Tapi lain kali jangan di ulangi ya?""Iya kak."Nina membelai lembut surai panjang Rara."Ya udah. Sekarang mandi dulu. Terus nungguin mama sama papa ya."Rara mengangguk semangat."Oke kak," tukasnya sumringah. Kedatangan mama dan papanya adalah hal yang selalu dia nanti-nant
Devan melirik ke arah jarum jam. Tepatnya dimana Rara sedang di pangku Kiara, dibacakan dongeng-dongeng apalah. Devan tak faham. Dia mendecak lirih. Jadwalnya kan malam ini harusnya dia...Ah, tapi ada Rara. Dan tak mungkin baginya untuk marah pada Rara. Apalagi menyuruh Rara kembali ke kamarnya. Tidak mungkin. Kelihatannya Rara akan tidur bersama mereka malam ini.Devan akhirnya merebahkan dirinya ke ranjang lebih dulu. Netranya mengarah ke kedua perempuan yang di sayanginya itu. Sesekali sudut bibirnya tertarik melihat interaksi ke duanya.Ah, mungkin malam ini dia tahan dulu hasratnya. Untuk saat ini membiarkan Rara dan Kiara bercengkrama lebih penting.Senyumnya sedikit memudar saat teringat misteri yang belum terpecahkan. Mengenai mama kandung Rara. Seandainya saja, mama Rara yang sebenarnya adalah Kiara mungkin tak ada perasaan yang mengganjal itu.Dia hanya takut semuanya hancur saat wanita itu datang meminta Rara, atau yang lebih parah jika
Arin kini membantu Catherine di salonnya. Selepas mengetahui fakta Devan yang sudah menikah, dia jadi jarang keluar-keluar. Membuat Cathie khawatir. Takutnya sahabatnya ini bakal mengalami depresi."Nanti malam hang out yok Rin," ajak Cathie."Malas ah," tukasnya."Aish. Lagi lagi. Kita udah lama loh gak hang out. Gak kangen apa?"Arin acuh tak acuh. Memulas kukunya dengan cat kuku berwarna silver bertabur bling bling.Cathie menghampirinya dan merangkul bahu Arin."Ayok ya, please!"Arin mendesah malas. Apalagi melihat Cathie yang mengerjap-ngerjapkan mata dengan wajah yang dibuat imut-imut, justru malah membuatnya terlihat aneh."Please, Arin. Yayaya," rengeknya."Aish! Iya iya," jawabnya pada akhirnya."Yeay! Makasih Arin. Emuach! Emuaach!""Lepas... Ish. Cathie! Risih tahu!" Ujarnya melepas pelukan Cathie. Cathie tertawa puas. Melihat wajah Arin yang menatapnya jijik malah membuatnya bersorak senang. Setidaknya ekspresi