Petaka Mendua
Part1"Tega kamu ya, Mas." Aku menangis meraung-raung, didepan semua orang, tepatnya di depan mas Yusuf, suamiku. "Ya Allah, ini tidak seperti yang kalian duga ..., Kami tidak melakukan apapun." Mas Yusuf mencoba membela diri."Benar, kami tidak melakukan apapun, kak Karin, tolong jangan salah paham!" ucap Aisyah, adik tiriku."Bohong, jika kalian tidak macam-macam, mereka tidak mungkin membawa kalian ke rumah ini," bentakku, dengan suara masih parau. Hatiku hancur rasanya, mendapati kejadian ini. Kemudian Bapak datang, disusul Ibu Hanum, Ibu dari Aisya. Sedangkan ibuku, ia telah lama berpulang, saat aku masih berumur sepuluh tahun.Saat ini, ingin rasanya aku menangis dipelukan Ibuku, dan mengadukan padanya semua keresahan hatiku.
Semenjak Bapak memutuskan menikah lagi, dia tidak lagi begitu memperhatikanku. Aku harus belajar mengerti, dan dipaksa dewasa oleh keadaan.
Jujur, saat aku menginjak usia dua belas tahun. Aku pernah menolak keinginan Bapak untuk menikah lagi, bagiku, almarhumah Ibu adalah sosok satu-satunya wanita dan Ibu terbaik bagiku.
Namun Bapak bersikeras, dengan alasan demi kebaikanku. Meskipun Ibu Hanum begitu baik, juga Aisya, anak bawaannya dari suaminya terdahulu. Bagiku, tidak ada yang boleh menggantikan posisi Ibuku di hati Bapak.Namun kenyataannya, suka tidak suka, aku tetap harus menerima kenyataan itu."Ada apa ini? Kenapa rame-rame?" tanya Bapak, yang baru datang dari kebun bersama Ibu Hanum. Wajah lelah keduanya nampak jelas terlihat.Aisya dan Mas Yusuf, dibawa ke rumah Bapak. Sedangkan aku, memang tadinya dari pasar, dan mampir ke rumah Bapak."Ini anak kalian, digrebek warga di rumah Karin, berduaan dengan Mas Yusuf," jawabku, dengan mata berkaca-kaca.Bapak memandangi Aisya yang berlumur tomat dan telur, sedangkan mas Yusuf menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Pakaiannya dirusak warga yang menggrebek mereka berdua tadi.Mereka berdua berpenampilan benar-benar dalam keadaan kacau, dan bau."Yusuf, jelaskan sama Bapak! Apa yang terjadi sebenarnya?" titah Bapak yang mulai menatap datar wajah menantunya itu."Pak, Yusuf dan Aisya tidak melakukan apapun, mereka hanya salah paham!" elak mas Yusuf."Salah paham bagaimana? Kamu sama Aisya berduaan di dalam rumah. Sedangkan Karin nggak ada di rumah, kamu kan paham sendiri, laki-laki yang berduaan di dalam rumah, padahal bukan mahram itu rentan menimbulkan fitnah." Mas Yusuf terpojok dengan penuturan telak dari mas Alif, Pemilik konter HP Android terbesar, yang ada di kampungku.Konter Hp miliknya itu berdekatan dengan rumah sederhana kami.Aku dan mas Yusuf menikah baru lima bulan, aku sangat menyukainya, selain tampan, dia juga ramah dan merupakan pemilik toko furniture yang lumayan ramai. Dengan dua cabang, satu di kampung sebelah yang di kelola oleh kedua orang tuanya. Sedangkan satunya lagi di kampung kami, semua rintisan dari Mas Yusuf."Mas Alif, kami beneran tidak melakukan apapun, Aisya cuma ke rumah Mbak Karin, mengantarkan makanan.""Bohong ..., Itu bisa saja akal-akalan kamu, kan!" tuduhku. Aisya menangis, ia memandangi Ibunya dengan mengiba, berharap wanita itu menolongnya."Aisya, Bapak kecewa sama kamu! Harusnya kamu bisa menjaga nama baik keluarga ini." Bentakan Bapak, untuk yang pertama kalinya pada Aisya. Selama ini, aku selalu saja menjadi bahan sasaran dan kemarahan Bapak. Aku merasa dianak tirikan, oleh Bapak kandung sendiri."Sumpah, demi Allah, Kak." "Stop ..., jangan bawa-bawa nama Allah, Ais. Seharusnya kamu tidak melakukan ini, di rumah tanggaku!" kataku, dengan suara serak."Sudah cukup! Baiklah jika kalian memaksa, saya akan menikahi Aisya."Dengan lugas dan jelas, tanpa rasa bersalah maupun kikuk, mas Yusuf berkata dengan lantang. Beberapa mata warga membelalak terkejut dengan ucapan suamiku, yang tanpa perasaan itu.Ada sedikit nyeri dihati, mendapati laki-lakiku berkata seperti itu, di depan semua orang.Bapak bergegas mendekati Yusuf. Plakk ... satu tamparan keras Bapak layangkan.Bapak menatap dingin wajah mas Yusuf."Kamu pikir kedua anak saya ini koleksi kamu? Jangan karena mereka tidak sedarah, lalu kamu berniat memadu anak-anakku." Mas Yusuf memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan keras dari Bapak."Puas kamu Aisya? Kamu senang?" tanyaku dengan suara bergetar."Kak Karin, maafkan Aisya." Aisya memandangku dengan penuh penyesalan, Isak tangisnya terdengar begitu lirih."Aisya, Ibu kecewa sama kamu, Nak.""Bu, Aisya tidak melakukan apapun, ini murni kesalah pahaman."Aisya masih mencoba membela diri, namun sayangnya, sikap mas Yusuf barusan, menciptakan praduga kembali."Menikahlah dengan Aisya, dan segera urus perceraian kita!" ucapku pelan, dengan menyeka air mata."Karin," sela Bapak."Biarlah, Pak. Karin ikhlas, mungkin mas Yusuf menyukai Aisya," sindirku. Mas Yusuf menatap datar kepadaku, begitulah dia selama ini. Selama pernikahan kami, ia bahkan seakan tidak menganggapku ada.Berbeda dengan Aisya, setiap ia melihat Aisya, ia seakan memiliki energi kehidupan baru yang bersinar. "Aisya, apakah kamu mau menikah dengan Yusuf?" tanya Bapak datar. Aisya menatapku, kemudian ia menatap wajah Ibunya. Namun Ibu Hanum membuang muka, nampak sekali kini ia sangat kecewa dengan kejadian ini."Kak Karin, apakah Aisya menyakiti hati kakak? Aisya tidak bermaksud seperti ini," imbuhnya, dengan suara pelan."Ibu malu dan kecewa pada kamu, Aisya!" Ibu Hanum berlalu pergi, meninggalkan rasa kecewa mendalam pada Aisya. Ini awal Aisya, silahkan kamu awali hubungan kalian, dengan jalan yang memalukan.Meskipun Aisya dan mas Yusuf tidak melakukan kesalahan yang di tuduhkan, tapi mereka melakukan kesalahan itu denganku.Petaka MenduaPart2💞 Flashback 💞Aku yang saat itu sibuk membersihkan rumah, saat umur pernikahan kami menginjak dua bulan. Selama dua bulan itu juga, mas Yusuf bersikap datar, tidak selayaknya pengantin baru.Aku mencoba memahami, sebab aku dan mas Yusuf, menikah karena di jodohkan kedua orang tua kami.Siapa yang tidak bahagia, bisa menikahi anak orang terpandang di kampung ini. Anak Haji Syamsudin. dan Hajjah Siti Jenar.Iya lulusan terbaik di universitas Muhammadiyah Surabaya.Kini, aku dengannya tinggal di rumah minimalis miliknya. Ia memang sudah mandiri dan mapan di usia mudanya.Namun tiba-tiba rasanya tenggorokanku tercekat, mataku rasanya panas, desiran aliran darah naik turun. Hatiku nyeri dan seakan di pukul palu godam, remuk dan hancur.Secarik kertas usang yang aku temukan di dalam tas kerjanya, membuat babak baru dalam rumah tanggaku, yang menjadi simbol kebahagiaanku saat ini.
Petaka MenduaPart3 "Para warga sekalian, biarlah semua ini saya dan keluarga selesaikan. Terimakasih atas segala bentuk perhatian kalian, saya selaku orang tua mereka semua, memohon maaf atas kekacauan ini." "Tolong menantu dan Putrinya di urus dengan benar! Jangan sampai mengotori kampung kita!" celetuk Ibu Andin, tetangga depan rumahku. "Iya, masa yang bukan mahram bebas berduaan dalam rumah! Apa nanti kata anak gadis kami, mereka bisa saja mencontoh hal buruk itu." Ibu Daung menimpali, ia merupakan pemilik toko sembako yang berdekatan lokasinya dengan toko HP milik mas Alif. "Iya, insyaAllah, semua tidak akan terulang lagi." Bapak menjawab dengan getir, ia seakan menahan rasa malu. Mereka pun akhirnya pergi, tinggalah aku, Mas Yusuf, Aisya dan Ibu, serta Bapak.Kami semua duduk di atas karpet, rumah Bapak memang tidak menyediakan sofa untuk tamu. "Tolong percayalah, kami tidak melakukan apapun, Kak."
Petaka MenduaPart4"Yusuf tidak berniat menceraikan Karin, dia Istri yang sempurna, nyaris tanpa cela. Namun, hati ini akan amat berdosa, jika terus membayangkan Aisya, yang bukan mahram.""Jadi, kamu berniat memiliki kedua anak kami?" tanya Ibu Hanum dengan suara serak, ia berusaha mengatur laju napasnya."InsyaAllah, Yusuf mampu dan sanggup berbuat adil kepada mereka.""Maaf, mas. Aku tidak berminat, aku tidak mau melanjutkan pernikahan ini lagi. Apalagi, kepada laki-laki yang hatinya tertaut pada wanita lain.""Karin, bukankah Surga istri ada pada ridho suaminya! Bukankah kata Ummi. Pernikahan adalah ikatan suci, lalu mengapa kamu berniat merusaknya, dengan kata perpisahan. Cerai itu di benci Allah, Karin.""Bijak dan terdengar berwibawa kata-kata kamu, Mas. Padahal kamu lupa, kamu lah yang merusak pernikahan ini. Hatimu berkhianat, meskipun kalian tidak berselingkuh secara fisik, tapi jelas! Kalian berseling
Petaka MenduaPart5Ketukan pelan di pintu kamarku menggema, kuseka air mata, beringsut turun dari ranjang.Kubuka pelan handle pintu kamar, sosok bu Hanum berdiri di depan pintu.Ia memelukku, namun aku tak bergeming."Maafkan Aisya, Nak. Mungkin saat ini dia khilaf, namun Ibu mohon! Jangan akhiri rumah tangga kalian."Tangis Ibu sambungku ini begitu terdengar lirih. Ia melonggarkan pelukannya, kemudian menatapku penuh harap.Aku berusaha tersenyum, meski rasanya sesak didada."Apapun yang terjadi dengan rumah tanggaku, itu murni keputusanku, Bu. Tidak sehat, jika di paksakan pernikahan kami, namun hatinya bukan untukku.""Nak, wajar dalam pernikahan itu ada masalah, tujuannya untuk menguatkan, juga mendewasakan.""Tidak untuk sebuah hati yang sudah tega menipu dan berselingkuh secara batin. Meskipun tidak dengan fisik."Aku menghela napas berat. "Biarkan Aisya mencapa
Petaka MenduaPart6Sepulang Ibu mertua dan Bapak, aku tidak menunggu waktu lama. Hari ini semua harus jelas, agar aku mendapat kepastian."Mas, aku akan mengemasi barang-barangku hari ini, setelah itu, mas pulangkan aku ke rumah Bapak."Mas Yusuf menghela napas berat. "Rin, mas nggak tahu harus seperti apa? Ummi begitu menyayangi kamu! Mereka akan murka pada Mas, jika kita bercerai.""Mas, itu resiko dalam pilihan. Siap nggak siap, mas harus terima itu.""Karin, pernikahan ini belum ada setahun, apakah kamu yakin, ingin mengakhirinya?" tanya Mas Yusuf, dengan suara bergetar."Yakin, insyaAllah ini yang terbaik. Mas jangan egois, menahanku dengan status istri, namun menginginkan Aisya juga. Jujur, itu buruk! Mempermainkan hati wanita, hanya demi menyenangkan hati sendiri.""Mas tidak bermaksud seperti itu, mas mencintai Aisya dengan tulus! Jauh sebelum kita menikah," jawabnya lugas dan sangat jelas.&nb
Petaka MenduaPart7Aisya bersimpuh di depan Ibu. Ibu tak bergeming, wajahnya terlihat begitu berusaha tegar, dengan mata yang terus berkaca-kaca."Aisya, meskipun kamu anak kandungku! Jika kamu berada di jalan yang salah, Ibu tidak akan membela kamu sama sekali.""Bu, tolong jangan sakiti Aisya! Semua ini murni kesalahan, Yusuf."Ibu menatap tajam wajah Mas Yusuf. Sedangkan aku dan Bapak masih terdiam, menatap mereka bertiga."Kamu memang salah! Sangat salah, Yusuf."Ibu menarik napas berat, lalu menghembuskannya dengan kasar."Asal kamu tahu, meskipun aku hanyalah seorang Ibu sambung. Cintaku untuk Aisya dan Karin itu sama! Aku dan Bapaknya, membesarkan mereka berdua dengan cinta. Kamu menyakiti Karin, itu sama menyakitiku."Ibu berkata dengan menepuk-nepuk kasar dadanya, suaranya
Petaka MenduaPart8"Ada apa? Bagaimana hasilnya?" tanya Ibu dari luar.Kubuka pintu, kuperlihatkan hasil tastpack milikku itu."Ya Allah, selamat anakku! Aku ..., Aku akan segera nimang cucu. Terimakasih sayang!" Ibu begitu bahagia, berulang kali ia memelukku.Sedangkan aku, aku bingung harus bagaimana? Antara bahagia dan juga bersedih hati.Bahagianya, aku akan memiliki bayi, rumah ini akan menjadi ramai dengan suaranya. Melihat kebahagiaan Ibu, hatiku semakin dilema."Sayang! Kok kamu terlihat bingung?" tanya Ibu, seraya melonggarkan pelukannya.Aku menunduk. "Bu, anak ini akan besar, tanpa sosok Ayah. Disaat sidang perceraian tengah di gelar, ia malah hadir."Ibu tersenyum simpul. "Anakku, kamu tidak perlu bersedih. Ada Ibu dan Bapak yang akan memberikannya kasih sayang. Dia adalah anugerah, yang patut kamu sukuri."Ibu benar, banyak diluaran sana, yang menginginkan seorang anak, na
Petaka MenduaPart9Dua hari berlalu, kini pagi sekali Ummi datang berkunjung, ia hanya seorang diri. Ummi membawakanku susu Ibu hamil, buah-buahan juga baju- baju untuk Ibu hamil."Kamu harus jaga kesehatan, dan jangan stress ya Nak. Ummi sudah tau segalanya, Yusuf benar-benar mengecewakan."Aku memegang telapak tangan Ummi. "Tidak apa-apa, jangan di bahas lagi, Ummi. Kita buka lembaran baru, demi dia!" kataku, sambil menunjuk keperut buncitku."Karin, kamu sudah siap? Nak."Ibu yang dari belakang langsung terkejut, melihat kehadiran Ummi sepagi ini."Bu Hajjah," sapa Ibu."Mau kemana? Sudah pada cantik?" tanya Ummi dengan ramah."Mau ke pasar subuh, Ummi. Menyiapkan keperluan sore ini, untuk tujuh bulanan Karin.""Ikut dong! Ummi kan pengen juga terlibat mengurus calon cucu."Aku dan Ibu tersenyum. Kemudian kami bertiga naik angkutan umum, menuju pasar subuh.