Bab105
Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin.
"Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman.
"Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung.
"Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak.
"Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu."
"Apa? Maksudnya apa?"
"Ya, kam
Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi
Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu
Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.
Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata
Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it
Petaka MenduaPart1"Tega kamu ya, Mas." Aku menangis meraung-raung, didepan semua orang, tepatnya di depan mas Yusuf, suamiku."Ya Allah, ini tidak seperti yang kalian duga ..., Kami tidak melakukan apapun." Mas Yusuf mencoba membela diri."Benar, kami tidak melakukan apapun, kak Karin, tolong jangan salah paham!" ucap Aisyah, adik tiriku."Bohong, jika kalian tidak macam-macam, mereka tidak mungkin membawa kalian ke rumah ini," bentakku, dengan suara masih parau. Hatiku hancur rasanya, mendapati kejadian ini.Kemudian Bapak datang, disusul Ibu Hanum, Ibu dari Aisya. Sedangkan ibuku, ia telah lama berpulang, saat aku masih berumur sepuluh tahun. Saat ini, ingin rasanya aku menangis dipelukan Ibuku, dan mengadukan padanya semua keresahan hatiku. Semenjak Bapak memutuskan menikah lagi, dia tidak lagi begitu memperhatikanku. Aku harus belajar mengerti, dan dipaksa dewasa oleh keadaan. Jujur, saat aku menginjak u
Petaka MenduaPart2💞 Flashback 💞Aku yang saat itu sibuk membersihkan rumah, saat umur pernikahan kami menginjak dua bulan. Selama dua bulan itu juga, mas Yusuf bersikap datar, tidak selayaknya pengantin baru.Aku mencoba memahami, sebab aku dan mas Yusuf, menikah karena di jodohkan kedua orang tua kami.Siapa yang tidak bahagia, bisa menikahi anak orang terpandang di kampung ini. Anak Haji Syamsudin. dan Hajjah Siti Jenar.Iya lulusan terbaik di universitas Muhammadiyah Surabaya.Kini, aku dengannya tinggal di rumah minimalis miliknya. Ia memang sudah mandiri dan mapan di usia mudanya.Namun tiba-tiba rasanya tenggorokanku tercekat, mataku rasanya panas, desiran aliran darah naik turun. Hatiku nyeri dan seakan di pukul palu godam, remuk dan hancur.Secarik kertas usang yang aku temukan di dalam tas kerjanya, membuat babak baru dalam rumah tanggaku, yang menjadi simbol kebahagiaanku saat ini.
Petaka MenduaPart3 "Para warga sekalian, biarlah semua ini saya dan keluarga selesaikan. Terimakasih atas segala bentuk perhatian kalian, saya selaku orang tua mereka semua, memohon maaf atas kekacauan ini." "Tolong menantu dan Putrinya di urus dengan benar! Jangan sampai mengotori kampung kita!" celetuk Ibu Andin, tetangga depan rumahku. "Iya, masa yang bukan mahram bebas berduaan dalam rumah! Apa nanti kata anak gadis kami, mereka bisa saja mencontoh hal buruk itu." Ibu Daung menimpali, ia merupakan pemilik toko sembako yang berdekatan lokasinya dengan toko HP milik mas Alif. "Iya, insyaAllah, semua tidak akan terulang lagi." Bapak menjawab dengan getir, ia seakan menahan rasa malu. Mereka pun akhirnya pergi, tinggalah aku, Mas Yusuf, Aisya dan Ibu, serta Bapak.Kami semua duduk di atas karpet, rumah Bapak memang tidak menyediakan sofa untuk tamu. "Tolong percayalah, kami tidak melakukan apapun, Kak."