Bab108
"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.
Namun Hanung mencegahnya.
"Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang.
"Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.
Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih.
"Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.
Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia.
"Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.
Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."
Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih.
"Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.
Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata
Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it
Petaka MenduaPart1"Tega kamu ya, Mas." Aku menangis meraung-raung, didepan semua orang, tepatnya di depan mas Yusuf, suamiku."Ya Allah, ini tidak seperti yang kalian duga ..., Kami tidak melakukan apapun." Mas Yusuf mencoba membela diri."Benar, kami tidak melakukan apapun, kak Karin, tolong jangan salah paham!" ucap Aisyah, adik tiriku."Bohong, jika kalian tidak macam-macam, mereka tidak mungkin membawa kalian ke rumah ini," bentakku, dengan suara masih parau. Hatiku hancur rasanya, mendapati kejadian ini.Kemudian Bapak datang, disusul Ibu Hanum, Ibu dari Aisya. Sedangkan ibuku, ia telah lama berpulang, saat aku masih berumur sepuluh tahun. Saat ini, ingin rasanya aku menangis dipelukan Ibuku, dan mengadukan padanya semua keresahan hatiku. Semenjak Bapak memutuskan menikah lagi, dia tidak lagi begitu memperhatikanku. Aku harus belajar mengerti, dan dipaksa dewasa oleh keadaan. Jujur, saat aku menginjak u
Petaka MenduaPart2💞 Flashback 💞Aku yang saat itu sibuk membersihkan rumah, saat umur pernikahan kami menginjak dua bulan. Selama dua bulan itu juga, mas Yusuf bersikap datar, tidak selayaknya pengantin baru.Aku mencoba memahami, sebab aku dan mas Yusuf, menikah karena di jodohkan kedua orang tua kami.Siapa yang tidak bahagia, bisa menikahi anak orang terpandang di kampung ini. Anak Haji Syamsudin. dan Hajjah Siti Jenar.Iya lulusan terbaik di universitas Muhammadiyah Surabaya.Kini, aku dengannya tinggal di rumah minimalis miliknya. Ia memang sudah mandiri dan mapan di usia mudanya.Namun tiba-tiba rasanya tenggorokanku tercekat, mataku rasanya panas, desiran aliran darah naik turun. Hatiku nyeri dan seakan di pukul palu godam, remuk dan hancur.Secarik kertas usang yang aku temukan di dalam tas kerjanya, membuat babak baru dalam rumah tanggaku, yang menjadi simbol kebahagiaanku saat ini.
Petaka MenduaPart3 "Para warga sekalian, biarlah semua ini saya dan keluarga selesaikan. Terimakasih atas segala bentuk perhatian kalian, saya selaku orang tua mereka semua, memohon maaf atas kekacauan ini." "Tolong menantu dan Putrinya di urus dengan benar! Jangan sampai mengotori kampung kita!" celetuk Ibu Andin, tetangga depan rumahku. "Iya, masa yang bukan mahram bebas berduaan dalam rumah! Apa nanti kata anak gadis kami, mereka bisa saja mencontoh hal buruk itu." Ibu Daung menimpali, ia merupakan pemilik toko sembako yang berdekatan lokasinya dengan toko HP milik mas Alif. "Iya, insyaAllah, semua tidak akan terulang lagi." Bapak menjawab dengan getir, ia seakan menahan rasa malu. Mereka pun akhirnya pergi, tinggalah aku, Mas Yusuf, Aisya dan Ibu, serta Bapak.Kami semua duduk di atas karpet, rumah Bapak memang tidak menyediakan sofa untuk tamu. "Tolong percayalah, kami tidak melakukan apapun, Kak."
Petaka MenduaPart4"Yusuf tidak berniat menceraikan Karin, dia Istri yang sempurna, nyaris tanpa cela. Namun, hati ini akan amat berdosa, jika terus membayangkan Aisya, yang bukan mahram.""Jadi, kamu berniat memiliki kedua anak kami?" tanya Ibu Hanum dengan suara serak, ia berusaha mengatur laju napasnya."InsyaAllah, Yusuf mampu dan sanggup berbuat adil kepada mereka.""Maaf, mas. Aku tidak berminat, aku tidak mau melanjutkan pernikahan ini lagi. Apalagi, kepada laki-laki yang hatinya tertaut pada wanita lain.""Karin, bukankah Surga istri ada pada ridho suaminya! Bukankah kata Ummi. Pernikahan adalah ikatan suci, lalu mengapa kamu berniat merusaknya, dengan kata perpisahan. Cerai itu di benci Allah, Karin.""Bijak dan terdengar berwibawa kata-kata kamu, Mas. Padahal kamu lupa, kamu lah yang merusak pernikahan ini. Hatimu berkhianat, meskipun kalian tidak berselingkuh secara fisik, tapi jelas! Kalian berseling
Petaka MenduaPart5Ketukan pelan di pintu kamarku menggema, kuseka air mata, beringsut turun dari ranjang.Kubuka pelan handle pintu kamar, sosok bu Hanum berdiri di depan pintu.Ia memelukku, namun aku tak bergeming."Maafkan Aisya, Nak. Mungkin saat ini dia khilaf, namun Ibu mohon! Jangan akhiri rumah tangga kalian."Tangis Ibu sambungku ini begitu terdengar lirih. Ia melonggarkan pelukannya, kemudian menatapku penuh harap.Aku berusaha tersenyum, meski rasanya sesak didada."Apapun yang terjadi dengan rumah tanggaku, itu murni keputusanku, Bu. Tidak sehat, jika di paksakan pernikahan kami, namun hatinya bukan untukku.""Nak, wajar dalam pernikahan itu ada masalah, tujuannya untuk menguatkan, juga mendewasakan.""Tidak untuk sebuah hati yang sudah tega menipu dan berselingkuh secara batin. Meskipun tidak dengan fisik."Aku menghela napas berat. "Biarkan Aisya mencapa
Petaka MenduaPart6Sepulang Ibu mertua dan Bapak, aku tidak menunggu waktu lama. Hari ini semua harus jelas, agar aku mendapat kepastian."Mas, aku akan mengemasi barang-barangku hari ini, setelah itu, mas pulangkan aku ke rumah Bapak."Mas Yusuf menghela napas berat. "Rin, mas nggak tahu harus seperti apa? Ummi begitu menyayangi kamu! Mereka akan murka pada Mas, jika kita bercerai.""Mas, itu resiko dalam pilihan. Siap nggak siap, mas harus terima itu.""Karin, pernikahan ini belum ada setahun, apakah kamu yakin, ingin mengakhirinya?" tanya Mas Yusuf, dengan suara bergetar."Yakin, insyaAllah ini yang terbaik. Mas jangan egois, menahanku dengan status istri, namun menginginkan Aisya juga. Jujur, itu buruk! Mempermainkan hati wanita, hanya demi menyenangkan hati sendiri.""Mas tidak bermaksud seperti itu, mas mencintai Aisya dengan tulus! Jauh sebelum kita menikah," jawabnya lugas dan sangat jelas.&nb