Petaka Mendua
Part3"Para warga sekalian, biarlah semua ini saya dan keluarga selesaikan. Terimakasih atas segala bentuk perhatian kalian, saya selaku orang tua mereka semua, memohon maaf atas kekacauan ini."
"Tolong menantu dan Putrinya di urus dengan benar! Jangan sampai mengotori kampung kita!" celetuk Ibu Andin, tetangga depan rumahku.
"Iya, masa yang bukan mahram bebas berduaan dalam rumah! Apa nanti kata anak gadis kami, mereka bisa saja mencontoh hal buruk itu." Ibu Daung menimpali, ia merupakan pemilik toko sembako yang berdekatan lokasinya dengan toko HP milik mas Alif.
"Iya, insyaAllah, semua tidak akan terulang lagi."
Bapak menjawab dengan getir, ia seakan menahan rasa malu.
Mereka pun akhirnya pergi, tinggalah aku, Mas Yusuf, Aisya dan Ibu, serta Bapak.
Kami semua duduk di atas karpet, rumah Bapak memang tidak menyediakan sofa untuk tamu."Tolong percayalah, kami tidak melakukan apapun, Kak."
Aisya masih mengiba.
"Maafkan Aisya, Kak. Andai Aisya tidak selalu datang berkunjung, hal ini pasti tidak akan terjadi, ini kesalahan Aisya. Sekali lagi, maaf.""Kamu memahami itu? Seharusnya kamu pikirkan ini dari awal. Aku bukan tidak pernah mengingatkan kamu, tapi kamu yang tidak mau mendengarkan perkataanku."
Aisya terdiam, menunduk tanpa berani melihatku yang terlanjur emosi berat.
Aku menghela napas panjang, berusaha menyabarkan diri."Assalamualaikum," ucap suara diambang pintu.
Ibu mertua datang bersama Bapak mertua."W*'alaikumsallam!" jawab kami serentak.
"Silahkan masuk!" sambut Bapak seraya berdiri, kemudian kami semua menyusul berdiri, mengekor Bapak.
Kami semua pun bersalaman, tanpa terkecuali. Mereka berdua di persilahkan masuk ke dalam, dan ikut bergabung bersama kami.
"Pak, kami berdua terkejut mendengar kabar, mengenai Yusuf dan Aisya, yang katanya di giring warga ke rumah ini."
Ibu mertua mengawali pembicaraan.
"Itu salah paham sebenarnya, Ummi." Yusuf menyahut pertanyaan Ibu mertua kepada Bapakku.
Ibu mertua menatap dingin pada Mas Yusuf.
"Saya pun sebenarnya belum begitu paham dengan masalah mereka ini," jawab Bapak. "Sebaiknya kalian jelaskan dengan kami semua!" lanjut Bapak, seraya memandang mereka berdua bergantian.
"Aisya hanya datang untuk membagi sayur dan ikan yang Ais masak! Untuk kak Karin dan mas Yusuf."
"Betul, Pak, Bu, Ummi dan Abah. Kami tidak melakukan seperti yang di tuduhkan warga."
Mas Yusuf mencoba ikut membela perkataan Aisya, yang sejatinya memang benar adanya.
"Bukankah kalian kepergok berduaan di rumah, saat aku tidak ada! Dan kamu Ais, Kakak kan sudah bilang, tidak usah datang membawakan apapun."
"Maafkan, Ais. Ais hanya kangen sama Kakak, di rumah ini sepi, Ais nggak punya teman."
"Akal-akalan kamu saja!" cetusku, kemudian aku memberikan kepada Bapak, surat-menyurat milik dua sejoli yang sok polos ini.
Mas Yusuf tercengang, wajahnya memucat, ia bahkan berkali-kali menyeka keringatnya.
Aisya, ia yang menundukkan kepalanya, tidak menyadari sesuatu yang Bapak pegang."Ais, jelaskan ini!" titah Bapak, seraya melempar kasar surat dari Aisya, untuk mas Yusuf, sebulan yang lalu.
Sedangkan surat mas Yusuf, yang di tuju untuk Aisya, Bapak berikan kepada Ibu mertuaku.
Ibu mertua nampak beristighfar berkali-kali, sambil menggelengkan kepalanya.
"Apa yang salah dengan cinta, Pak?" Aisya berkata dengan lembut, sambil meremas pelan surat miliknya.
"Jelas salah Aisya, laki-laki ini suami Karin, kakak kamu sendiri. Jangan kamu redupkan cahaya rumah tangga mereka, dengan cara tidak terpuji seperti ini!" bentak Bapak.
"Kamu harus tahu, mencintai suami Kakak mu itu perbuatan yang memalukan. Dan hanya di lakukan orang yang tidak berakal." Ibu Hanum menimpali.
"Bapak, Ibu, bukankah sudah jelas, kalau mas Yusuf hanya mencintai Aisya?"
Aisya berkata dengan mata berkaca-kaca, namun ia menatap tajam kepada Bapak.
"Aisya, kamu sadar nggak Nak? Cinta kalian jelas salah. Dan kamu Yusuf, seharusnya bisa bertanggung jawab terhadap Karin. Bukannya malah merayu adiknya, tolong jangan rusak keluarga kami."
Ibu Hanum berkata dengan suara lirih dan serak.
Aisya hanya terdiam, ia mendadak membeku.
"Yusuf, Ummi malu dan kecewa terhadap kamu," ungkap Ummi. Ia menatap dalam wajah anaknya, yang ia kenal begitu salehah.
Namun kini, justru ia mencoreng nama baik Ibu dan Bapaknya."Maafkan Yusuf, Ummi, Abah. Demi kebaikan bersama, izinkan Yusuf, menikahi Aisya."
Semua tercengang mendengar penuturannya lagi.
"Silahkan, Mas. Tapi ceraikan aku dahulu!" pintaku dengan mata berkaca-kaca.
"Tidak, Ummi tidak setuju," jawab Ibu mertua.
Ibu mertua mulai terisak, begitupun denganku.
"Yusuf, ini pernikahan, Nak. Jangan kamu mempermainkannya! kamu rusak ikatan suci tali pernikahan, hanya demi keinginan sesaat. Ingat, Karin itu perempuan sama seperti Ummi. Ia juga pasti sakit hati, dengan perbuatan kamu, yang seakan tidak berperasaan."Ibu mertua kemudian memandangi Aisya lekat.
"Aisya, berhentilah bersikap manis, Ummi tidak suka, wanita yang membiarkan harga dirinya jatuh, di depan lelaki yang bukan mahramnya."
Aisya tercengang, mendengar penuturan Ibu mertuaku, setidaknya ini pelajaran pertama yang aku berikan untuk kalian.
❤️ Terimakasih ❤️
Petaka MenduaPart4"Yusuf tidak berniat menceraikan Karin, dia Istri yang sempurna, nyaris tanpa cela. Namun, hati ini akan amat berdosa, jika terus membayangkan Aisya, yang bukan mahram.""Jadi, kamu berniat memiliki kedua anak kami?" tanya Ibu Hanum dengan suara serak, ia berusaha mengatur laju napasnya."InsyaAllah, Yusuf mampu dan sanggup berbuat adil kepada mereka.""Maaf, mas. Aku tidak berminat, aku tidak mau melanjutkan pernikahan ini lagi. Apalagi, kepada laki-laki yang hatinya tertaut pada wanita lain.""Karin, bukankah Surga istri ada pada ridho suaminya! Bukankah kata Ummi. Pernikahan adalah ikatan suci, lalu mengapa kamu berniat merusaknya, dengan kata perpisahan. Cerai itu di benci Allah, Karin.""Bijak dan terdengar berwibawa kata-kata kamu, Mas. Padahal kamu lupa, kamu lah yang merusak pernikahan ini. Hatimu berkhianat, meskipun kalian tidak berselingkuh secara fisik, tapi jelas! Kalian berseling
Petaka MenduaPart5Ketukan pelan di pintu kamarku menggema, kuseka air mata, beringsut turun dari ranjang.Kubuka pelan handle pintu kamar, sosok bu Hanum berdiri di depan pintu.Ia memelukku, namun aku tak bergeming."Maafkan Aisya, Nak. Mungkin saat ini dia khilaf, namun Ibu mohon! Jangan akhiri rumah tangga kalian."Tangis Ibu sambungku ini begitu terdengar lirih. Ia melonggarkan pelukannya, kemudian menatapku penuh harap.Aku berusaha tersenyum, meski rasanya sesak didada."Apapun yang terjadi dengan rumah tanggaku, itu murni keputusanku, Bu. Tidak sehat, jika di paksakan pernikahan kami, namun hatinya bukan untukku.""Nak, wajar dalam pernikahan itu ada masalah, tujuannya untuk menguatkan, juga mendewasakan.""Tidak untuk sebuah hati yang sudah tega menipu dan berselingkuh secara batin. Meskipun tidak dengan fisik."Aku menghela napas berat. "Biarkan Aisya mencapa
Petaka MenduaPart6Sepulang Ibu mertua dan Bapak, aku tidak menunggu waktu lama. Hari ini semua harus jelas, agar aku mendapat kepastian."Mas, aku akan mengemasi barang-barangku hari ini, setelah itu, mas pulangkan aku ke rumah Bapak."Mas Yusuf menghela napas berat. "Rin, mas nggak tahu harus seperti apa? Ummi begitu menyayangi kamu! Mereka akan murka pada Mas, jika kita bercerai.""Mas, itu resiko dalam pilihan. Siap nggak siap, mas harus terima itu.""Karin, pernikahan ini belum ada setahun, apakah kamu yakin, ingin mengakhirinya?" tanya Mas Yusuf, dengan suara bergetar."Yakin, insyaAllah ini yang terbaik. Mas jangan egois, menahanku dengan status istri, namun menginginkan Aisya juga. Jujur, itu buruk! Mempermainkan hati wanita, hanya demi menyenangkan hati sendiri.""Mas tidak bermaksud seperti itu, mas mencintai Aisya dengan tulus! Jauh sebelum kita menikah," jawabnya lugas dan sangat jelas.&nb
Petaka MenduaPart7Aisya bersimpuh di depan Ibu. Ibu tak bergeming, wajahnya terlihat begitu berusaha tegar, dengan mata yang terus berkaca-kaca."Aisya, meskipun kamu anak kandungku! Jika kamu berada di jalan yang salah, Ibu tidak akan membela kamu sama sekali.""Bu, tolong jangan sakiti Aisya! Semua ini murni kesalahan, Yusuf."Ibu menatap tajam wajah Mas Yusuf. Sedangkan aku dan Bapak masih terdiam, menatap mereka bertiga."Kamu memang salah! Sangat salah, Yusuf."Ibu menarik napas berat, lalu menghembuskannya dengan kasar."Asal kamu tahu, meskipun aku hanyalah seorang Ibu sambung. Cintaku untuk Aisya dan Karin itu sama! Aku dan Bapaknya, membesarkan mereka berdua dengan cinta. Kamu menyakiti Karin, itu sama menyakitiku."Ibu berkata dengan menepuk-nepuk kasar dadanya, suaranya
Petaka MenduaPart8"Ada apa? Bagaimana hasilnya?" tanya Ibu dari luar.Kubuka pintu, kuperlihatkan hasil tastpack milikku itu."Ya Allah, selamat anakku! Aku ..., Aku akan segera nimang cucu. Terimakasih sayang!" Ibu begitu bahagia, berulang kali ia memelukku.Sedangkan aku, aku bingung harus bagaimana? Antara bahagia dan juga bersedih hati.Bahagianya, aku akan memiliki bayi, rumah ini akan menjadi ramai dengan suaranya. Melihat kebahagiaan Ibu, hatiku semakin dilema."Sayang! Kok kamu terlihat bingung?" tanya Ibu, seraya melonggarkan pelukannya.Aku menunduk. "Bu, anak ini akan besar, tanpa sosok Ayah. Disaat sidang perceraian tengah di gelar, ia malah hadir."Ibu tersenyum simpul. "Anakku, kamu tidak perlu bersedih. Ada Ibu dan Bapak yang akan memberikannya kasih sayang. Dia adalah anugerah, yang patut kamu sukuri."Ibu benar, banyak diluaran sana, yang menginginkan seorang anak, na
Petaka MenduaPart9Dua hari berlalu, kini pagi sekali Ummi datang berkunjung, ia hanya seorang diri. Ummi membawakanku susu Ibu hamil, buah-buahan juga baju- baju untuk Ibu hamil."Kamu harus jaga kesehatan, dan jangan stress ya Nak. Ummi sudah tau segalanya, Yusuf benar-benar mengecewakan."Aku memegang telapak tangan Ummi. "Tidak apa-apa, jangan di bahas lagi, Ummi. Kita buka lembaran baru, demi dia!" kataku, sambil menunjuk keperut buncitku."Karin, kamu sudah siap? Nak."Ibu yang dari belakang langsung terkejut, melihat kehadiran Ummi sepagi ini."Bu Hajjah," sapa Ibu."Mau kemana? Sudah pada cantik?" tanya Ummi dengan ramah."Mau ke pasar subuh, Ummi. Menyiapkan keperluan sore ini, untuk tujuh bulanan Karin.""Ikut dong! Ummi kan pengen juga terlibat mengurus calon cucu."Aku dan Ibu tersenyum. Kemudian kami bertiga naik angkutan umum, menuju pasar subuh.
Petaka MenduaPart10Hati manusia memang mudah berubah. Perpisahan yang nyaris sudah 6 bulan lamanya, ternyata tidak membuat Mas Yusuf fokus pada Aisya istri barunya.Bisa saja, kini baru dia menyadari, bahwa hatinya, sudah tertaut kepadaku. Namun sayangnya, semua sudah terlambat."Ummi, to--long ..., biar bagaimanapun, Aisya sekarang menantu Ummi."Aisya berkata dengan serak, ia menarik napas dalam, kemudian menghembuskannya pelan, seraya menyeka air matanya."Aisya juga berharap, Ummi bisa menyayangi Aisya," lirihnya.Ummi menarik napas dalam-dalam, serta menatap dingin wajah Aisya, yang sedari tadi menunduk."Aisya, bagaimana kamu bisa meminta kasih sayang saya? Sedangkan kamu dan Yusuf, menikah tanpa restu kami? Apakah kamu merasa itu sudah benar?" tanya Ummi, masih dengan ramah, namun penuh penekanan."Maaf Um, Aisya tahu kami bersalah. Tetapi semua sudah terjadi, Aisy
Petaka MenduaPart11"Bismillah walhamdulillah was sholaatu wassalam'ala Rasulillah," ucap Pak Ustadz."Talak saat hamil itu sah, hanya saja masa iddahnya berakhir saat wanita itu melahirkan."Mas Yusuf terdiam, namun ia menatap nanar kearahku."Bagaimana Nak Yusuf? Apakah itu cukup membantu?" tanya Ustadz."Iya Ustadz, terimakasih!" ucap mas Yusuf."Makanya Suf, jangan marukloh! Istri cantik model si Karin disia-siakan, heran."Lagi-lagi Bu Daung kembali menyerang mas Yusuf, dengan kata-kata pedasnya."Aaaaa ...." Terdengar suara teriakan dari belakang, Ibu berdiri dari duduknya, dan berlari kecil menuju ke belakang. Aku dan Ummi pun menyusul Ibu."Astaghfirullah," lirih Ummi, melihat Aisya pingsan. Sepertinya ia terpleset, ketika menuju kamar mandi.Ibu memeluk Aisya, sambil terisak. Sedangkan Ummi kembali ke dalam memanggil mas Yusuf."Ra