Suara tangisan bayi laki-laki demikian menggema di seluruh ruangan. Tubuh mungilnya telah terlepas dari banyaknya selang dan peralatan medis lainnya.
Satu bulan sudah usianya.
Akmal setiap hari selalu menyambangi keberadaan putranya itu.
Kini, Dhini juga telah di perbolehkan pulang.
Hubungan Dhini dan Akmal tak juga menemui kejelasan. Bagi Dhini, Haidar putranya hanya miliknya seorang.
Akmal sudah jelas-jelas tak lagi peduli akan keberadaan Haidar semenjak enam bulan lalu.
Hari ini, Akmal akan kembali datang ke rumah Dhini dengan mengajak serta ibunya, orang tua Akmal yang masih tersisa. Ayah Akmal telah tiada semenjak sebelas tahun yang lalu, mewariskan sebuah perusahaan pada putra satu-satunya.
Beruntung, Akmal dapat mengembangkan perusahaan warisan mendiang ayahnya itu.
"Kau benar-benar telah memikirkan hal ini matang-matang, Akmal?
Benarkah Arini tak keberatan menerima keberadaan Haidar, nanti?".
Ningsih......
Wanita paruh baya itu bertanya dengan hati-hati.
"Mau tak mau Arini harus bersedia, ma.
Masa depan Ara yang akan menjadi taruhannya bila ia menentang pernikahanku nanti dengan Andhini."
Tegas Akmal kemudian.
"Akan tetapi biar bagaimana pun juga, kedudukan Arini jauh lebih kuat sebagai istrimu.
Bahkan Arini juga memiliki hak untuk menerima ataupun menentang pernikahan kedua mu nanti.
Bagaimana andai nanti Arini menolak memberikan restu?
Pikirkanlah baik-baik. Arini juga telah membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi istri yang baik untukmu. Nyaris tak ada cacat dan cela dalam diri Arini selama pernikahan kalian".
"Andai Arini nanti menolak, aku tak keberatan untuk meninggalkannya, ma. Selama ini, hidup Arini terjamin selama menjadi istriku.
Aku tak yakin dia akan bisa hidup seadanya setelah ini. Latar belakang keluarganya juga berasal dari kalangan bawah".
Tukas Akmal santai.
Ningsih tak berdaya bila sudah begini.
Sosok Akmal yang keras kepala itu, sangat mustahil untuk mengalahkannya dalam perdebatan.
"Terserah padamu saja".
Tukas Ningsih kemudian tanpa menatap Akmal.
**
“Asaalamu alaikum,"
Suara Ningsih terdengar lembut menyapa gendang telinga Dhini dan ibunya, Masitah.
Entah untuk yang ke berapa kalinya, Akmal datang dan selalu menawarkan pernikahan.
Rasa takut dan trauma telah membuat Andhini demikian enggan untuk kembali terjerat hubungan apapun itu dengan Akmal. Dirinya seolah membenci Akmal saat ini.
Beberapa luka dan lebam dalam tubuh Dhini belum juga sepenuhnya hilang.
Mungkinkah Dhini di paksa demikian rupa untuk mendampingi hidup Akmal?
Mungkinkah Akmal termasuk dalam pria yang memiliki pol pikir tak normal?
Mungkinkah Akmal akan mengikat Dhini dalam ikatan pernikahan, membuangnya dengan sangat kejam setelahnya?
Dhini tak tau lagi.
"W*'alaikum salam".
Masitah tampak tak gentar saat membuka pintu. Wanita paruh baya bertubuh kurus dan ringkih itu, menyambut kedatangan tamu mereka pagi ini dengan wajah berbicara dan seramah mungkin.
"Silahkan duduk".
Masitah mempersilahkan tamunya itu untuk rehat sejenak di sofa ruang tamu.
Sesaat, mata Akmal menatap dua buah koper tergeletak di ujung ruang tamu. Kemudian menatap Dhini dengan pandangan bertanya-tanya.
"Bagaimana kabarmu sekarang, dhin?".
Tanya Akmal pelan.
Semenjak kejadian sebulan lalu, Akmal semakin sulit mendekati Dhini. Dhini selalu menutup diri. Bahkan sebulan terakhir, Dhini tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun sekedar untuk menjawab Akmal.
Alih-alih menjawab, Dhini lebih suka menghindarinya, kemudian menangis seorang diri di kamarnya.
Sepulang nya dari rumah sakit, Dhini semakin menjaga jarak dari siapapun.
Ia lebih sering menutup diri dan sering kali menangis seorang diri.
Tragedi yang menimpanya sebulan lalu, menyisakan trauma luar dalam pada dirinya.
Pintu kamar tamu tertutup rapat dengan bunyi brak keras.
Akmal dan semua orang hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Bu, apa yang akan anda dan Dhini lakukan? Mengapa ada dua koper di sana?".
"Kami akan kembali hidup di kampung, nak Akmal. Sebagai satu-satunya wali dari Andhini, ibu memiliki hak untuk membawanya pulang karna dia sekarang telah menjadi hak ibu sepenuhnya.
Haidar juga akan kami jemput dan kami akan berangkat ke kampung hari ini juga.
Ini..... atas permintaan mutlak Andhini."
Masitah menjawab dengan raut wajah sendu.
Ada kepiluan yang tersirat dalam nada suaranya. Sebagai seorang ibu, Ningsih bisa merasakan apa yang telah melanda hati seorang Masitah.
"Kedatangan kami kemari, datang dengan tujuan yang sama, yakni untuk meminang putri anda, Bu Masitah".
Suara Ningsih tetiba ikut andil.
Bagi Ningsih, hal kini harus segera di ungkap secepatnya.
"Beri Dhini waktu, Nyonya.
Bukan hanya kondisi fisik Dhini saja yang terluka dari Dhini, melainkan psikisnya juga ikut terluka".
"Baiklah, Bu. Bila memang begitu, saya bersedia. Asal Dhini menemui saya barang sebentar saja".
Tak ada yang bisa menandingi kerinduan Akmal terhadap Dhini.
Katakanlah....
Akmal pria brengsek yang tak bertanggung jawab.
Tapi sungguh, sebulan terakhir semenjak Akmal melihat banyak jejak noda darah milik Andhini di tangannya, membuat kerinduan dan rasa bersalah Akmal meronta kuat.
Pria macam apa yang tega menyakiti dan melukai wanita yang tengah mengandung anaknya?
Bahkan binatang pun tak akan tega, jantan memangsa betina saat betina tengah mengandung.
"Biar ibu panggilkan".
Akmal tak tau lagi harus bagaimana.
"Kau sungguh mencintainya, Akmal?"
Tanya Ningsih secara tiba-tiba.
"Aku mencintainya, Bu.".
"Kuharap kau benar mencintainya, bukan hanya karna rasa iba dan rasa bersalah.
Kau telah dewasa, nak. Putuskan segala sesuatu jangan hanya berdasarkan logika, namun juga libatkan hati di dalamnya.”
Akmal tertegun.
Apa yang Ningsih katakan memang sebuah kebenaran.
"Maaf, nak Akmal. Dhini masih enggan bersamamu".
Suara Masitah tetiba menjeda perbincangan pelan ibu dan anak ini.
"Biar saya sendiri yang akan menemuinya, Bu".
Akmal segera bangkit dan menghampiri kamar tamu yang di tempati Dhini.
Semenjak tragedi enam bulan lalu, Dhini tak mau menempati sama sekali meski hanya sekedar melihat kamar utama yang dulu ia dan Akmal tempati.
Terlalu banyak kenangan indah bersama Akmal yang tersimpan di sana.
Karna Dhini tak mau lagi mengingat kenangan itu. Kenangan yang hanya menyisakan luka.
"Dhini.....
Bila kau tak siap menjawab oinangaynkh sekarang, aku tak mengapa.
Setidaknya, kau menemuiku. Mari kita bicara baik-baik perihal anak kita dan ma......."
"Pergi dari sini, pergi!!".
Suara beling pecah terdengar berasal dari kamar Dhini.
Ningsih dan Masitah pun membuntuti Akmal.
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya.".
Dhini bergetar hebat.
Suara Akmal demikian kuat mendominasi ruangan, berhasil mengguncang hati Dhini dan meluluh lantakkan dunianya sebenarnya sudah hancur.
**
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya." Dhini membeku mendengarnya. Haidar? Di bawa pergi? Oh ya tuhan.... Pria macam apa si Akmal ini? Tidak bisakah ia memikirkan perasaan Andhini sedikit saja? Setelah Dhini di perlakukan dengan sangat kasar, kini..... Akmal akan membawa paksa bayinya pergi. Lama Dhini termenung dan mencerna kata-kata yang di lontarkan Akmal. Pintu terbuka dengan kasar. Sayangnya......... Terlambat.
Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini. Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris
Andini tak pernah membayangkan hari-harinya akan menemui titik terang hingga sampai pada Jalan ini. Ke-putus asa'an yang semula menggeluti hati dan jiwanya, menguap dengan perlahan. Tak pernah Andhini bayangkan, ia tiba pada masa dimana ia mendapat jalan untuk segera merebut kembali putranya. Akmal Sanjaya...... Entahlah..... Andhini tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi pada Akmal. Yang ia tau, saat ini, dulu dirinya hanyalah di jadikan objek pelampiasan nafsu semata oleh Akmal. Tidak lebih. Sebuah kebodohan yang pernah ia miliki dimasa lalu. Dua jam lalu, Masitah menentang habis-habisan keputusannya untuk kembali menjadi istri simpanan. Meski ia merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi dirinya sudah terlanjur menyetujui kesepakatan antara dirinya dengan Tristan seminggu yang lalu.Beruntung, Andra mendukung apa yang ingin Andini lakukan. Dirinya hanya ingin yang terbaik untuk sa