Suara tangisan bayi laki-laki demikian menggema di seluruh ruangan. Tubuh mungilnya telah terlepas dari banyaknya selang dan peralatan medis lainnya.
Satu bulan sudah usianya.
Akmal setiap hari selalu menyambangi keberadaan putranya itu.
Kini, Dhini juga telah di perbolehkan pulang.
Hubungan Dhini dan Akmal tak juga menemui kejelasan. Bagi Dhini, Haidar putranya hanya miliknya seorang.
Akmal sudah jelas-jelas tak lagi peduli akan keberadaan Haidar semenjak enam bulan lalu.
Hari ini, Akmal akan kembali datang ke rumah Dhini dengan mengajak serta ibunya, orang tua Akmal yang masih tersisa. Ayah Akmal telah tiada semenjak sebelas tahun yang lalu, mewariskan sebuah perusahaan pada putra satu-satunya.
Beruntung, Akmal dapat mengembangkan perusahaan warisan mendiang ayahnya itu.
"Kau benar-benar telah memikirkan hal ini matang-matang, Akmal?
Benarkah Arini tak keberatan menerima keberadaan Haidar, nanti?".
Ningsih......
Wanita paruh baya itu bertanya dengan hati-hati.
"Mau tak mau Arini harus bersedia, ma.
Masa depan Ara yang akan menjadi taruhannya bila ia menentang pernikahanku nanti dengan Andhini."
Tegas Akmal kemudian.
"Akan tetapi biar bagaimana pun juga, kedudukan Arini jauh lebih kuat sebagai istrimu.
Bahkan Arini juga memiliki hak untuk menerima ataupun menentang pernikahan kedua mu nanti.
Bagaimana andai nanti Arini menolak memberikan restu?
Pikirkanlah baik-baik. Arini juga telah membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi istri yang baik untukmu. Nyaris tak ada cacat dan cela dalam diri Arini selama pernikahan kalian".
"Andai Arini nanti menolak, aku tak keberatan untuk meninggalkannya, ma. Selama ini, hidup Arini terjamin selama menjadi istriku.
Aku tak yakin dia akan bisa hidup seadanya setelah ini. Latar belakang keluarganya juga berasal dari kalangan bawah".
Tukas Akmal santai.
Ningsih tak berdaya bila sudah begini.
Sosok Akmal yang keras kepala itu, sangat mustahil untuk mengalahkannya dalam perdebatan.
"Terserah padamu saja".
Tukas Ningsih kemudian tanpa menatap Akmal.
**
“Asaalamu alaikum,"
Suara Ningsih terdengar lembut menyapa gendang telinga Dhini dan ibunya, Masitah.
Entah untuk yang ke berapa kalinya, Akmal datang dan selalu menawarkan pernikahan.
Rasa takut dan trauma telah membuat Andhini demikian enggan untuk kembali terjerat hubungan apapun itu dengan Akmal. Dirinya seolah membenci Akmal saat ini.
Beberapa luka dan lebam dalam tubuh Dhini belum juga sepenuhnya hilang.
Mungkinkah Dhini di paksa demikian rupa untuk mendampingi hidup Akmal?
Mungkinkah Akmal termasuk dalam pria yang memiliki pol pikir tak normal?
Mungkinkah Akmal akan mengikat Dhini dalam ikatan pernikahan, membuangnya dengan sangat kejam setelahnya?
Dhini tak tau lagi.
"W*'alaikum salam".
Masitah tampak tak gentar saat membuka pintu. Wanita paruh baya bertubuh kurus dan ringkih itu, menyambut kedatangan tamu mereka pagi ini dengan wajah berbicara dan seramah mungkin.
"Silahkan duduk".
Masitah mempersilahkan tamunya itu untuk rehat sejenak di sofa ruang tamu.
Sesaat, mata Akmal menatap dua buah koper tergeletak di ujung ruang tamu. Kemudian menatap Dhini dengan pandangan bertanya-tanya.
"Bagaimana kabarmu sekarang, dhin?".
Tanya Akmal pelan.
Semenjak kejadian sebulan lalu, Akmal semakin sulit mendekati Dhini. Dhini selalu menutup diri. Bahkan sebulan terakhir, Dhini tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun sekedar untuk menjawab Akmal.
Alih-alih menjawab, Dhini lebih suka menghindarinya, kemudian menangis seorang diri di kamarnya.
Sepulang nya dari rumah sakit, Dhini semakin menjaga jarak dari siapapun.
Ia lebih sering menutup diri dan sering kali menangis seorang diri.
Tragedi yang menimpanya sebulan lalu, menyisakan trauma luar dalam pada dirinya.
Pintu kamar tamu tertutup rapat dengan bunyi brak keras.
Akmal dan semua orang hanya bisa menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Bu, apa yang akan anda dan Dhini lakukan? Mengapa ada dua koper di sana?".
"Kami akan kembali hidup di kampung, nak Akmal. Sebagai satu-satunya wali dari Andhini, ibu memiliki hak untuk membawanya pulang karna dia sekarang telah menjadi hak ibu sepenuhnya.
Haidar juga akan kami jemput dan kami akan berangkat ke kampung hari ini juga.
Ini..... atas permintaan mutlak Andhini."
Masitah menjawab dengan raut wajah sendu.
Ada kepiluan yang tersirat dalam nada suaranya. Sebagai seorang ibu, Ningsih bisa merasakan apa yang telah melanda hati seorang Masitah.
"Kedatangan kami kemari, datang dengan tujuan yang sama, yakni untuk meminang putri anda, Bu Masitah".
Suara Ningsih tetiba ikut andil.
Bagi Ningsih, hal kini harus segera di ungkap secepatnya.
"Beri Dhini waktu, Nyonya.
Bukan hanya kondisi fisik Dhini saja yang terluka dari Dhini, melainkan psikisnya juga ikut terluka".
"Baiklah, Bu. Bila memang begitu, saya bersedia. Asal Dhini menemui saya barang sebentar saja".
Tak ada yang bisa menandingi kerinduan Akmal terhadap Dhini.
Katakanlah....
Akmal pria brengsek yang tak bertanggung jawab.
Tapi sungguh, sebulan terakhir semenjak Akmal melihat banyak jejak noda darah milik Andhini di tangannya, membuat kerinduan dan rasa bersalah Akmal meronta kuat.
Pria macam apa yang tega menyakiti dan melukai wanita yang tengah mengandung anaknya?
Bahkan binatang pun tak akan tega, jantan memangsa betina saat betina tengah mengandung.
"Biar ibu panggilkan".
Akmal tak tau lagi harus bagaimana.
"Kau sungguh mencintainya, Akmal?"
Tanya Ningsih secara tiba-tiba.
"Aku mencintainya, Bu.".
"Kuharap kau benar mencintainya, bukan hanya karna rasa iba dan rasa bersalah.
Kau telah dewasa, nak. Putuskan segala sesuatu jangan hanya berdasarkan logika, namun juga libatkan hati di dalamnya.”
Akmal tertegun.
Apa yang Ningsih katakan memang sebuah kebenaran.
"Maaf, nak Akmal. Dhini masih enggan bersamamu".
Suara Masitah tetiba menjeda perbincangan pelan ibu dan anak ini.
"Biar saya sendiri yang akan menemuinya, Bu".
Akmal segera bangkit dan menghampiri kamar tamu yang di tempati Dhini.
Semenjak tragedi enam bulan lalu, Dhini tak mau menempati sama sekali meski hanya sekedar melihat kamar utama yang dulu ia dan Akmal tempati.
Terlalu banyak kenangan indah bersama Akmal yang tersimpan di sana.
Karna Dhini tak mau lagi mengingat kenangan itu. Kenangan yang hanya menyisakan luka.
"Dhini.....
Bila kau tak siap menjawab oinangaynkh sekarang, aku tak mengapa.
Setidaknya, kau menemuiku. Mari kita bicara baik-baik perihal anak kita dan ma......."
"Pergi dari sini, pergi!!".
Suara beling pecah terdengar berasal dari kamar Dhini.
Ningsih dan Masitah pun membuntuti Akmal.
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya.".
Dhini bergetar hebat.
Suara Akmal demikian kuat mendominasi ruangan, berhasil mengguncang hati Dhini dan meluluh lantakkan dunianya sebenarnya sudah hancur.
**
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya." Dhini membeku mendengarnya. Haidar? Di bawa pergi? Oh ya tuhan.... Pria macam apa si Akmal ini? Tidak bisakah ia memikirkan perasaan Andhini sedikit saja? Setelah Dhini di perlakukan dengan sangat kasar, kini..... Akmal akan membawa paksa bayinya pergi. Lama Dhini termenung dan mencerna kata-kata yang di lontarkan Akmal. Pintu terbuka dengan kasar. Sayangnya......... Terlambat.
Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini. Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris
Andini tak pernah membayangkan hari-harinya akan menemui titik terang hingga sampai pada Jalan ini. Ke-putus asa'an yang semula menggeluti hati dan jiwanya, menguap dengan perlahan. Tak pernah Andhini bayangkan, ia tiba pada masa dimana ia mendapat jalan untuk segera merebut kembali putranya. Akmal Sanjaya...... Entahlah..... Andhini tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi pada Akmal. Yang ia tau, saat ini, dulu dirinya hanyalah di jadikan objek pelampiasan nafsu semata oleh Akmal. Tidak lebih. Sebuah kebodohan yang pernah ia miliki dimasa lalu. Dua jam lalu, Masitah menentang habis-habisan keputusannya untuk kembali menjadi istri simpanan. Meski ia merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi dirinya sudah terlanjur menyetujui kesepakatan antara dirinya dengan Tristan seminggu yang lalu.Beruntung, Andra mendukung apa yang ingin Andini lakukan. Dirinya hanya ingin yang terbaik untuk sa
Tak ada yang sanggup mengalikan mood seorang Tristan saat ini. Satu sisi, ia seolah trauma akibat pengkhianatan Celine. Namun, disisi lainnya dirinya seolah berbisik bahwa Andin yang penurut dan mengerti dirinya, harus dipertahankan bagaimana pun caranya. Bisakah Tristan tidak usah memilih saja? Di seluruh penjuru dunia, Tristan percaya pasti ada wanita yang sanggup mencintai dengan ketulusan kadar tinggi. Hanya saja keretakan di hatinya membuat Tristan dilema, seolah tak ada lagi makhluk berjenis wanita yang memiliki setia paling tinggi. Sanggupkah dirinya bertahan dalam pengkhianatan ini? Sanggupkah ia menjalani hari tanpa bayangan pengkhianatan istri tercinta? Sanggupkah ia menutup mata dan telinga agar ia tidak jauh dari Celine? Baiklah, kali ini Tristan mantap untuk berpisah dari Celine. "Leon," panggilnya pada sang Asisten pribadinya itu. "Ya, tuan," jawab Leon datar. "Bawa Andhini ke rumah Mom segera, bawa ia ke rumah utama. Lakukan secepatnya dan urus segalanya!" peri
Sepasang kekasih tengah berperang manja dengan Suara desah menggoda penuh syahwat, dalam kamar sebuah apartemen mewah. Keduanya sudah dibutakan oleh nafsu yang menyesatkan. Hubungan terlarang, seolah tak ada lagi dalam kamus mereka yang menghapus logika sendiri.Jordan dan Celine, bahkan sepasang kekasih itu tak pernah memikirkan seseorang yang saat ini tengah mengintai mereka. Mereka juga tidak menyadari, bahwa gerak-gerik mereka kini telah mulai terbaca oleh Tristan. Jordan yang terbiasa rapi menyembunyikan sesuatu dari apa pun, nyatanya kini lengah.“Ahhh . . . Astagahh . . . Jordan, kau, kau mengapa . . . Kuat sekali.” Celine mendesah tak tahu malu, suaranya mendayu manja menggoda penuh bisikan, membuat Jordan kian terbakar api gairahnya. Sudah lama sekali, Jordan mengidamkan hari ini. Menghabiskan malam dengan ranjang panasnya dengan Celine yang tak punya harga diri itu.“Kau, kau juga . . . Nikmat, Cel. Bodohnya Tristan telah . . . telah menduakanmu.” Jordan meracau tidak jelas
Pukulan demi pukulan batin Akmal terima saat ini. Kehadiran Andhini dan Tristan yang rupanya telah mengakuisisi perusahaannya, membuat Akmal syok luar biasa. Inilah hukumannya. Inilah ganjaran yang Akmal terima tersebab dosanya di masa lalu. Inilah akhir dari nasib mujurnya selama ini. Selain dihadapkan dengan kenyataan Andhini, wanita yang dicintainya telah resmi dimiliki orang lain, kini Akmal juga dihadapkan dengan kehancuran bisnis warisan keluarganya. Tak ada lagi Akmal yang kaya raya dan penuh kesempurnaan, yang ada hanyalah, Akmal yang hidup biasa saja selayaknya masyarakat tingkat menengah ke bawah. Nyalang tatapan Akmal terhadap Andhini, rupanya tak luput dari pandangan Tristan sejak tadi. Bisa Tristan lihat dengan jelas, Akmal masih sangat mencintai Andhini saat ini. Jejak cinta itu terlihat nyata. Meski Akmal tak merayu, ataupun menggoda Andhini, namun tetap saja jejak cinta Akmal itu berhasil menciptakan percikan api cemburu dalam hati Tristan. Niat hati semula yang hany
Ada segurat wajah khawatir bercampur takut pada wajah tampan Akmal yang hingga kini masih tampak jelas. Lelaki itu melepas paksa jarum infus yang melekat erat pada pergelangan tangannya, membuat beberapa tetes darah mengalir begitu saja di pagi buta tadi.Akmal seolah seperti lelaki kesurupan dengan tingkahnya yang demikian brutal memaki para perawat dan dokter yang menangani. Andai Andin dan Tristan tidak membayar lebih dulu semua biaya perawatan Akmal, mungkin dokter akan mengusir Akmal saat itu juga. Toh mereka pikir, Akmal tak ada apa-apanya lagi sekarang.Dokter telah memberi saran agar Akmal istirahat total dulu akibat luka serius yang di derita karena luka tembakan di kaki, serta kondisi tubuhnya yang belum stabil usai koma. Namun Akmal benar-benar marah dan memaki semua perawat dan dokter. Lelaki itu benar-benar tak sabar, apa lagi memikirkan tentang apa yang terjadi pada kantornya yang saat terakhir kali ia tinggal, memiliki masalah serius dan bisa bangkrut kapan saja.Asiste
Si pelayan tadi lantas beralu sembari tergopoh. Ada emosi rumit yang entah, tak bisa Leon telusuri lebih dalam lagi. Pergerakan seperti ini saja, sudah berhasil membuat Leon terpercik curiga. ** Tristan menatap Andhini yang baru saja duduk di hadapannya. Keduanya saat ini tengah mengenakan setelan putih hitam yang sangat serasi. Tak pelak, ini adalah salah satu kesempurnaan sepanjang pernikahan Andhini dan Tristan. Hanya salah satu. Andin, tampak sangat menawan dengan busana kerja yang Pas di tubuhnya. Perut buncitnya, membuat Andin tampak mengeluarkan aura kecantikan dalam diri berkali-kali lipat. Pesonanya tak main-main. “Apa yang membuatmu tak nyaman, Andin? Aku melihat kau seperti wanita yang tengah ketakutan. Apa yang membuatmu takut.” Tristan berkata sambil menatap intens istrinya. Tristan bukanlah tipe lelaki yang suka berbasa-basi, Apa lagi harus bertele-tele. Baginya, waktu adalah segalanya dan harus ia manfaatkan dengan baik. “Takut apa? Aku tak akan takut siapa-siapa,
Pagi menyapa bumi, hari telah tiba dengan berjuta ragam perasaan yang menggelayuti hati seorang Andhini. Entah mengapa, hatinya selalu merasakan emosi yang aneh ketika dekat dengan Tristan. Bersama Tristan, Andhini bisa mendapatkan apa pun yang ia kehendaki.Merebut kembali Haidar, membalaskan sakit hati terhadap Akmal yang telah mempermainkannya dan juga telah mengingkari janji, juga memberikan kemewahan dan menjamin hidup Andin. Apa yang tak Andin dapatkan saat ini?Cinta Tristan.Ya, hanya cinta Tristan yang tak Andin dapatkan sepenuhnya. Jika tentang perhatian, Tristan cukup perhatian dan cukup siaga jika terjadi sesuatu pada Andin. Hanya saja, menurut Andin itu semata hanyalah karena dirinya mengandung darah daging Tristan. Tidak lebih. Pernikahan mereka terjalin hanya karena sebuah kesepakatan dangkal. Selebihnya, mungkin hanya sebatas formalitas atas semua sikap Tristan terhadap Andhini. Tak ada cinta suci, tak ada cinta sejati.Pada akhirnya, Andin harus menerima kenyataan bah
Dini hari kali ini terasa sunyi. Langit seolah tak membiarkan sedikit pun kebahagiaan berpihak pada Hikmah dan Akmal Sanjaya. Hingga saat ini, Akmal tak juga membuka mata, tak juga mampu menatap dunia yang telah mengadilinya. Padahal, Akmal sudah dinyatakan telah melewati masa kritisnya. Selain ada Hikmah, Arini juga masih tetap terjaga dengan mata yang terbuka sayu. Mata wanita mengantuk, namun tidak bisa terlelap dan beristirahat. Penampilannya yang dahulu terlihat sangat sempurna di mata Andin, kini tak lebih dari sekedar babu yang sangat miskin dan kurang pergaulan. Sangat lusuh dan tak pantas dipandang. Hidup memang terkadang sering kali berbanding terbalik. Peribahasa roda terus berputar itu, nyatanya benar adanya. Andin yang dulu Arini anggap sebagai sampah karena merebut Akmal Sanjaya, suaminya, kini justru menjadi ratu yang bahkan Arini sendiri ketinggalan jauh seleranya dengan Andin. Lihatlah, siapa yang tampak seperti sampah sekarang?Hikmah diam-diam meneguk salivanya d
Malam telah larut. Sebagian besar seisi bumi juga sudah terlelap dalam tidur, menari dalam alam mimpi yang indah. Namun entah mengapa, Andhini malam ini tak juga mampu memejamkan mata. Hatinya terasa teriris pilu, saat ia melihat Haidar sedikit rewel. Mungkin karena Haidar merasa asing di rumah barunya. Maklum saja, anak seusia Haidar memang tengah aktif-aktifnya. “Dia sudah tidur?” Tristan menatap istrinya yang tetap menawan meski malam telah larut. Mata Andin juga tampak sayu. “Sudah. Pengasuh sudah menidurkannya. Ia sangat rewel dan menangis saja.” Jawab Andin. “Ya sudah. Tidurlah jika sudah lelah. Jangan kau Bebani kandunganmu dengan kurang tidur, kasihan anak kita. Aku akan ke ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.” Perintah Tristan. “Tristan, aku ingin bicara. Mari kita ke kamar untuk bicara setelah kau selesai dengan pekerjaanmu.” Ungkap Andini kemudian. Tristan tampak berpikir, mungkin ada baiknya ia meninggalkan pekerjaan malam ini dan dilanjut besok. “Jangan
Di sebuah sudut pinggiran LA, Celine tengah duduk seorang diri sambil menyesap anggur merah di meja di hadapannya. Pikirannya tengah kacau saat ini. Tak seorang pun tahu bahwa batin Celine merana akibat kepergian Tristan yang tak kunjung pulang. Sudah dua pekan berlalu semenjak Jordan menawarkan dirinya untuk bisa menjadi simpanan Jordan. Entah setan apa yang merasuk dalam diri Celine saat ini, namun yang jelas Celine benar-benar hanya ingin ambisinya tercapai, yakni membalas Tristan dan simpanannya. Dan keputusan akhirnya, tentu saja ia bersedia menduakan Tristan dengan Jordan, sahabat Tristan. Celine pikir, memangnya hanya Tristan yang bisa menyakitinya? Tentu saja tidak. Celine bahkan bisa lebih dari sekedar mampu untuk melakukan hal serupa. “Celine, sudah dari tadi kau disini?” Suara Jordan yang khas dan dalam itu, Membuat Celine mengalihkan atensinya. Entah mengapa, Celine belakangan mendadak menjadi paranoid sendiri sejak ia resmi memutuskan untuk menjadi simpanan Jordan. “K