Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.
Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini.
Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.
Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.
Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi.
Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat ini.
Tragedi ke empat, dia harus menerima penyiksaan yang sangat brutal dari mantan suami yang tega membuangnya begitu saja enam bulan yang lalu. Menyisakan bekas luka menyedihkan di beberapa titik tubuhnya hingga saat ini. Penyiksaan yang pada akhirnya, membuat ia melahirkan putranya dengan cara sesar.
Tragedi ke lima, ia harus menggigit jarinya sendiri ketika mantan suaminya, merebut paksa putranya akibat ia mengabaikan permintaan rujuk mantan suaminya.
Sungguh, ia tak pernah mengharapkan tragedi ini menimpanya dalam kurun waktu satu tahun ini. Entah kebahagiaan macam apa yang tengah tuhan persiapkan untuknya, hingga ia mendapati ujian yang begitu berat dan enggan ia terima. Hanya saja, semua telah berlalu, kan?
Tragedi demi tragedi yang ia lalui, demikian telah mengoyak jiwanya yang murni. Menyisakan raga tanpa jiwa. Menenggelamkan jiwa ke dalam dimensi yang hanya ia dan tuhan yang tahu.
Seorang wanita paruh baya datang menghampirinya dengan nampan berisikan segelas teh jahe.
Seminggu ini, putrinya itu selalu murung dan menghabiskan sebagian waktunya dengan menangis. Tubuhnya kian kurus dan wajahnya menirus. Sebagai ibu, bagaimana mungkin wanita itu tak prihatin atas keadaan putrinya saat ini?
"Dhini..... ayo minum dulu, ibu buatkan teh jahe untuk menghangatkan tubuhmu".
Dengan sabar dan telaten, Masitah mengurus putrinya seperti anak kecil.
Ada perih yang menggeluti hatinya saat menyaksikan kehancuran putrinya karna kesejahteraan hidup keluarga mereka. Masitah diam-diam meneriaki dirinya sendiri, ibu macam dirinya? Bahkan demi kemewahan yang ia dapatkan ketika masih di kampung, ia dapatkan dengan cara mengorbankan kebahagiaan putrinya.
Diam-diam, air mata wanita paruh baya itu menetes begitu saja.
"Maafkan ibu, Dhini." Andhini yang menyadari hal itu, mendongak menatap ibunya yang duduk di sampingnya.
Air matanya juga ikut menetes seiring dengan luka yang demikian pedih ia rasakan.
Percayalah, berpisah dengan bayi yang baru di lahirkan bukanlah hal yang mudah untuk di jalani, terlebih usia Dhini masih sangat muda. Definisi dari jahannam dunia, Dhini telah merasakannya. Panasnya tak nyata, namun hati sudah lebur seiring dengan penderitaan dan tragedi yang tak pernah henti.
"Tak perlu meminta maaf, Bu. Di sini, aku tak menyalahkan siapapun. Dari awal, harusnya aku sadar bahwa takdirku sudah seperti ini". Dhini berujar lirih.
"Malam-malam aku melaluinya dengan menenun benang luka. Sudahlah bu..... Nanti..... mas Akmal pasti akan sadar bahwa apa yang di lakukan nya ini sudah sangat melewati batas dan salah. Aku tak lebih dari sekedar mantan istri yang harus tau diri bahwa, menjadi ketidak pantasan bila aku kembali menjalin pernikahan dengan mas Akmal. Aku telah memikirkannya dengan matang. Haidar tak akan kekurangan sesuatu apapun di tangan mas Akmal. Setidaknya, aku bisa melihatnya dari jauh suatu hari nanti".
"Dhin.... tidak bisakah kau memikirkan kembali tawaran Akmal untuk menjadi istri keduanya? Dengan begitu, Akmal pasti akan menyerahkan Haidar padamu. Hanya itu satu-satunya pilihan yang Akmal tawarkan. Kau.... kau sangat mencintai Akmal, ibu tau itu. Jadi? Mengapa tak mencoba bernegosiasi pada dirimu dan takdir? Meski nanti istri Akmal Yang akan sakit, tapi perlahan, nanti dia juga pasti akan mengerti. Suatu saat, wanita itu juga pasti akan bisa melihat ketulusan yang kau miliki.".
Lirih Masitah dengan getaran yang cukup mengguncang seluruh tubuhnya.
"Aku mau, Bu.... aku mencintainya... aku mencintai mas Akmal. Tapi aku tak bisa menyakiti kembali nyonya Sanjaya itu, Bu. Aku memahami kesakitan nya saat mas Akmal mengkhianatinya. Aku tak mau menyakitinya kembali. Aku tak mau menghancurkan pernikahan mas Akmal dengan istrinya, aku tak mau menjadi sasaran amukan mas Akmal lagi, bu".
Dhini menggeleng tegas dan beberapa kali air matanya menetes. Bayangan wajah Arini yang demikian murka kembali berkelebat dalam otak Dhini.
"Lalu, harus dengan cara apa kita perlu mengambil kembali Haidar?".
"Aku tak tau Bu. Mulai besok, aku akan cari kerja dan tak mau bergantung kembali pada mas Akmal. Bila perlu, kita buka usaha kecil-kecilan saja dulu. Biarkan aku menikmati kesakitan ku seorang diri hingga waktu mampu membasuh lukaku. Haidar putraku, bila besar nanti, tentu ia akan mencari ku sebagai ibunya, itupun bila mas Akmal memberi tau Haidar. Biar.... biar tangan tuhan saja yang membalasnya, Bu".
Dengan hati lapang, Dhini akan berusaha berdamai dengan takdir. senyum pedih ia sunggingkan di bibir pucatnya.Masitah terkadang heran, terbuat dari apa hati putrinya ini?
"Kau menyerah? Kau lebih mementingkan perasaan hati istri Akmal di bandingkan putramu?"
Masitah makin tak mengerti dengan jalan pikiran putrinya ini.
"Ya. Dari awal, aku telah menyakiti hati wanita itu, bu. Sebagai wanita, aku tentu tau bagaimana rasanya meski aku tak berada di posisinya. Aku tak akan kehilangan Haidar. Aku yang mengandungnya selama tujuh bulan, kami telah berbagi nutrisi di raga yang sama. Haidar..... akan tetap hidup di sini".
Dengan pedih dan suara terisak pilu, Dhini mencengkeram dadanya. Memejamkan mata dengan sangat dalam demi menumpahkan emosinya.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?".
"Kita akan mulai hidup yang baru. Aku memiliki tabungan yang cukup untuk membuka usaha. Adikku, sebaiknya pindah sekolah ke kota ini saja, Bu. Di sana..... tak ada yang bisa kita lakukan selain bercocok tanam".
"Ya... apapun yang putri ibu ingin.... ibu akan membantu mewujudkan. Asalkan putri ibu yang cantik ini, kuat".
Ada kelegaan luar biasa seketika. Kini.... Dhini telah kembali menemukan semangatnya. Haidar.....Bayi itulah yang mampu mendongkrak semangat yang nyaris padam dalam diri Dhini.
Hatinya kian kuat di tempa keadaan yang memang sungguh sangat menyulitkan.
Tanpa mereka sadari, seorang pria bertubuh tegap suruhan Akmal, menguping pembicaraan mereka. Pria itu, siap untuk melaporkan hasil kerjanya hari ini.
Entah mengapa, ada rasa tak tega yang tiba-tiba menggelayuti hati pria itu.
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris
Andini tak pernah membayangkan hari-harinya akan menemui titik terang hingga sampai pada Jalan ini. Ke-putus asa'an yang semula menggeluti hati dan jiwanya, menguap dengan perlahan. Tak pernah Andhini bayangkan, ia tiba pada masa dimana ia mendapat jalan untuk segera merebut kembali putranya. Akmal Sanjaya...... Entahlah..... Andhini tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi pada Akmal. Yang ia tau, saat ini, dulu dirinya hanyalah di jadikan objek pelampiasan nafsu semata oleh Akmal. Tidak lebih. Sebuah kebodohan yang pernah ia miliki dimasa lalu. Dua jam lalu, Masitah menentang habis-habisan keputusannya untuk kembali menjadi istri simpanan. Meski ia merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi dirinya sudah terlanjur menyetujui kesepakatan antara dirinya dengan Tristan seminggu yang lalu.Beruntung, Andra mendukung apa yang ingin Andini lakukan. Dirinya hanya ingin yang terbaik untuk sa
Saat ini, tiba pada hari dimana janji suci akan Tristan dan Andini gaungkan pada dunia di hadapan Tuhan sang maha pencipta. Setelah dua Minggu yang lalu Tristan telah menyandang gelar muallaf secara legal, kini Andini benar-benar di buat lega tatkala Tristan menepati janjinya beberapa waktu lalu. Menikahi dan memiliki Andini secara legal di mata hukum dan agama. Kini semua ucapan Tristan bukan hanya sekedar bualan semata. Andhini semakin yakin, bahwa Tristan sama sekali tak patut di samakan dengan Akmal. Tak ada pelaminan, tak ada tamu undangan. Acara berlangsung sakral dengan di hadiri dua orang saksi dan wali hakim. Terus terang saja, Tristan tak suka akan keramaian. Apa lagi, Andhini hanyalah istri ke dua. Tristan tak mau keributan yang tak perlu, yang bisa mengancam rencananya. Setelah acara usai, kini.... Andin dan Tristan telah berada di dalam kamar mereka. Tak ada ranjang pengantin bertabur mawa
"Maaf, tuan. Tapi sungguh.... Nyonya Andini memang telah menikah kemarin sore. Akan tetapi untuk kabar siapa yang menjadi suaminya, saya tak bisa menembus keamanan identitas yang pria itu miliki. Sepertinya, pria yang menjadi suami nyonya Andini, bukanlah orang biasa." Demikianlah penjelasan salah satu orang kepercayaan Akmal. Sayangnya, kabar yang di bawanya tak lagi mampu meredam kemarahan Akmal, melainkan semakin memupuk subur kemurkaan yang menggerogoti hati Akmal. Amarah....... Entah melalui celah mana amarah tiba-tiba muncul dan menyelimuti hati Akmal yang memanglah resah dari semula. Ada pedih yang ia rasakan ketika ia mendengar kabar bahwa Andin telah di miliki secara legal oleh orang lain. Beginikah perasaan Andin ketika Akmal tinggalkan dulu? Merasa kehilangan seutuhnya. Beginikah perasaan Arini saat mendengar dan melihat bahwa Akmal telah menikah lagi?