Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.
Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini.
Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.
Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.
Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi.
Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat ini.
Tragedi ke empat, dia harus menerima penyiksaan yang sangat brutal dari mantan suami yang tega membuangnya begitu saja enam bulan yang lalu. Menyisakan bekas luka menyedihkan di beberapa titik tubuhnya hingga saat ini. Penyiksaan yang pada akhirnya, membuat ia melahirkan putranya dengan cara sesar.
Tragedi ke lima, ia harus menggigit jarinya sendiri ketika mantan suaminya, merebut paksa putranya akibat ia mengabaikan permintaan rujuk mantan suaminya.
Sungguh, ia tak pernah mengharapkan tragedi ini menimpanya dalam kurun waktu satu tahun ini. Entah kebahagiaan macam apa yang tengah tuhan persiapkan untuknya, hingga ia mendapati ujian yang begitu berat dan enggan ia terima. Hanya saja, semua telah berlalu, kan?
Tragedi demi tragedi yang ia lalui, demikian telah mengoyak jiwanya yang murni. Menyisakan raga tanpa jiwa. Menenggelamkan jiwa ke dalam dimensi yang hanya ia dan tuhan yang tahu.
Seorang wanita paruh baya datang menghampirinya dengan nampan berisikan segelas teh jahe.
Seminggu ini, putrinya itu selalu murung dan menghabiskan sebagian waktunya dengan menangis. Tubuhnya kian kurus dan wajahnya menirus. Sebagai ibu, bagaimana mungkin wanita itu tak prihatin atas keadaan putrinya saat ini?
"Dhini..... ayo minum dulu, ibu buatkan teh jahe untuk menghangatkan tubuhmu".
Dengan sabar dan telaten, Masitah mengurus putrinya seperti anak kecil.
Ada perih yang menggeluti hatinya saat menyaksikan kehancuran putrinya karna kesejahteraan hidup keluarga mereka. Masitah diam-diam meneriaki dirinya sendiri, ibu macam dirinya? Bahkan demi kemewahan yang ia dapatkan ketika masih di kampung, ia dapatkan dengan cara mengorbankan kebahagiaan putrinya.
Diam-diam, air mata wanita paruh baya itu menetes begitu saja.
"Maafkan ibu, Dhini." Andhini yang menyadari hal itu, mendongak menatap ibunya yang duduk di sampingnya.
Air matanya juga ikut menetes seiring dengan luka yang demikian pedih ia rasakan.
Percayalah, berpisah dengan bayi yang baru di lahirkan bukanlah hal yang mudah untuk di jalani, terlebih usia Dhini masih sangat muda. Definisi dari jahannam dunia, Dhini telah merasakannya. Panasnya tak nyata, namun hati sudah lebur seiring dengan penderitaan dan tragedi yang tak pernah henti.
"Tak perlu meminta maaf, Bu. Di sini, aku tak menyalahkan siapapun. Dari awal, harusnya aku sadar bahwa takdirku sudah seperti ini". Dhini berujar lirih.
"Malam-malam aku melaluinya dengan menenun benang luka. Sudahlah bu..... Nanti..... mas Akmal pasti akan sadar bahwa apa yang di lakukan nya ini sudah sangat melewati batas dan salah. Aku tak lebih dari sekedar mantan istri yang harus tau diri bahwa, menjadi ketidak pantasan bila aku kembali menjalin pernikahan dengan mas Akmal. Aku telah memikirkannya dengan matang. Haidar tak akan kekurangan sesuatu apapun di tangan mas Akmal. Setidaknya, aku bisa melihatnya dari jauh suatu hari nanti".
"Dhin.... tidak bisakah kau memikirkan kembali tawaran Akmal untuk menjadi istri keduanya? Dengan begitu, Akmal pasti akan menyerahkan Haidar padamu. Hanya itu satu-satunya pilihan yang Akmal tawarkan. Kau.... kau sangat mencintai Akmal, ibu tau itu. Jadi? Mengapa tak mencoba bernegosiasi pada dirimu dan takdir? Meski nanti istri Akmal Yang akan sakit, tapi perlahan, nanti dia juga pasti akan mengerti. Suatu saat, wanita itu juga pasti akan bisa melihat ketulusan yang kau miliki.".
Lirih Masitah dengan getaran yang cukup mengguncang seluruh tubuhnya.
"Aku mau, Bu.... aku mencintainya... aku mencintai mas Akmal. Tapi aku tak bisa menyakiti kembali nyonya Sanjaya itu, Bu. Aku memahami kesakitan nya saat mas Akmal mengkhianatinya. Aku tak mau menyakitinya kembali. Aku tak mau menghancurkan pernikahan mas Akmal dengan istrinya, aku tak mau menjadi sasaran amukan mas Akmal lagi, bu".
Dhini menggeleng tegas dan beberapa kali air matanya menetes. Bayangan wajah Arini yang demikian murka kembali berkelebat dalam otak Dhini.
"Lalu, harus dengan cara apa kita perlu mengambil kembali Haidar?".
"Aku tak tau Bu. Mulai besok, aku akan cari kerja dan tak mau bergantung kembali pada mas Akmal. Bila perlu, kita buka usaha kecil-kecilan saja dulu. Biarkan aku menikmati kesakitan ku seorang diri hingga waktu mampu membasuh lukaku. Haidar putraku, bila besar nanti, tentu ia akan mencari ku sebagai ibunya, itupun bila mas Akmal memberi tau Haidar. Biar.... biar tangan tuhan saja yang membalasnya, Bu".
Dengan hati lapang, Dhini akan berusaha berdamai dengan takdir. senyum pedih ia sunggingkan di bibir pucatnya.Masitah terkadang heran, terbuat dari apa hati putrinya ini?
"Kau menyerah? Kau lebih mementingkan perasaan hati istri Akmal di bandingkan putramu?"
Masitah makin tak mengerti dengan jalan pikiran putrinya ini.
"Ya. Dari awal, aku telah menyakiti hati wanita itu, bu. Sebagai wanita, aku tentu tau bagaimana rasanya meski aku tak berada di posisinya. Aku tak akan kehilangan Haidar. Aku yang mengandungnya selama tujuh bulan, kami telah berbagi nutrisi di raga yang sama. Haidar..... akan tetap hidup di sini".
Dengan pedih dan suara terisak pilu, Dhini mencengkeram dadanya. Memejamkan mata dengan sangat dalam demi menumpahkan emosinya.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?".
"Kita akan mulai hidup yang baru. Aku memiliki tabungan yang cukup untuk membuka usaha. Adikku, sebaiknya pindah sekolah ke kota ini saja, Bu. Di sana..... tak ada yang bisa kita lakukan selain bercocok tanam".
"Ya... apapun yang putri ibu ingin.... ibu akan membantu mewujudkan. Asalkan putri ibu yang cantik ini, kuat".
Ada kelegaan luar biasa seketika. Kini.... Dhini telah kembali menemukan semangatnya. Haidar.....Bayi itulah yang mampu mendongkrak semangat yang nyaris padam dalam diri Dhini.
Hatinya kian kuat di tempa keadaan yang memang sungguh sangat menyulitkan.
Tanpa mereka sadari, seorang pria bertubuh tegap suruhan Akmal, menguping pembicaraan mereka. Pria itu, siap untuk melaporkan hasil kerjanya hari ini.
Entah mengapa, ada rasa tak tega yang tiba-tiba menggelayuti hati pria itu.
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris
Andini tak pernah membayangkan hari-harinya akan menemui titik terang hingga sampai pada Jalan ini. Ke-putus asa'an yang semula menggeluti hati dan jiwanya, menguap dengan perlahan. Tak pernah Andhini bayangkan, ia tiba pada masa dimana ia mendapat jalan untuk segera merebut kembali putranya. Akmal Sanjaya...... Entahlah..... Andhini tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi pada Akmal. Yang ia tau, saat ini, dulu dirinya hanyalah di jadikan objek pelampiasan nafsu semata oleh Akmal. Tidak lebih. Sebuah kebodohan yang pernah ia miliki dimasa lalu. Dua jam lalu, Masitah menentang habis-habisan keputusannya untuk kembali menjadi istri simpanan. Meski ia merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi dirinya sudah terlanjur menyetujui kesepakatan antara dirinya dengan Tristan seminggu yang lalu.Beruntung, Andra mendukung apa yang ingin Andini lakukan. Dirinya hanya ingin yang terbaik untuk sa
Saat ini, tiba pada hari dimana janji suci akan Tristan dan Andini gaungkan pada dunia di hadapan Tuhan sang maha pencipta. Setelah dua Minggu yang lalu Tristan telah menyandang gelar muallaf secara legal, kini Andini benar-benar di buat lega tatkala Tristan menepati janjinya beberapa waktu lalu. Menikahi dan memiliki Andini secara legal di mata hukum dan agama. Kini semua ucapan Tristan bukan hanya sekedar bualan semata. Andhini semakin yakin, bahwa Tristan sama sekali tak patut di samakan dengan Akmal. Tak ada pelaminan, tak ada tamu undangan. Acara berlangsung sakral dengan di hadiri dua orang saksi dan wali hakim. Terus terang saja, Tristan tak suka akan keramaian. Apa lagi, Andhini hanyalah istri ke dua. Tristan tak mau keributan yang tak perlu, yang bisa mengancam rencananya. Setelah acara usai, kini.... Andin dan Tristan telah berada di dalam kamar mereka. Tak ada ranjang pengantin bertabur mawa
"Maaf, tuan. Tapi sungguh.... Nyonya Andini memang telah menikah kemarin sore. Akan tetapi untuk kabar siapa yang menjadi suaminya, saya tak bisa menembus keamanan identitas yang pria itu miliki. Sepertinya, pria yang menjadi suami nyonya Andini, bukanlah orang biasa." Demikianlah penjelasan salah satu orang kepercayaan Akmal. Sayangnya, kabar yang di bawanya tak lagi mampu meredam kemarahan Akmal, melainkan semakin memupuk subur kemurkaan yang menggerogoti hati Akmal. Amarah....... Entah melalui celah mana amarah tiba-tiba muncul dan menyelimuti hati Akmal yang memanglah resah dari semula. Ada pedih yang ia rasakan ketika ia mendengar kabar bahwa Andin telah di miliki secara legal oleh orang lain. Beginikah perasaan Andin ketika Akmal tinggalkan dulu? Merasa kehilangan seutuhnya. Beginikah perasaan Arini saat mendengar dan melihat bahwa Akmal telah menikah lagi?
Tak ada yang sanggup mengalikan mood seorang Tristan saat ini. Satu sisi, ia seolah trauma akibat pengkhianatan Celine. Namun, disisi lainnya dirinya seolah berbisik bahwa Andin yang penurut dan mengerti dirinya, harus dipertahankan bagaimana pun caranya. Bisakah Tristan tidak usah memilih saja? Di seluruh penjuru dunia, Tristan percaya pasti ada wanita yang sanggup mencintai dengan ketulusan kadar tinggi. Hanya saja keretakan di hatinya membuat Tristan dilema, seolah tak ada lagi makhluk berjenis wanita yang memiliki setia paling tinggi. Sanggupkah dirinya bertahan dalam pengkhianatan ini? Sanggupkah ia menjalani hari tanpa bayangan pengkhianatan istri tercinta? Sanggupkah ia menutup mata dan telinga agar ia tidak jauh dari Celine? Baiklah, kali ini Tristan mantap untuk berpisah dari Celine. "Leon," panggilnya pada sang Asisten pribadinya itu. "Ya, tuan," jawab Leon datar. "Bawa Andhini ke rumah Mom segera, bawa ia ke rumah utama. Lakukan secepatnya dan urus segalanya!" peri
Sepasang kekasih tengah berperang manja dengan Suara desah menggoda penuh syahwat, dalam kamar sebuah apartemen mewah. Keduanya sudah dibutakan oleh nafsu yang menyesatkan. Hubungan terlarang, seolah tak ada lagi dalam kamus mereka yang menghapus logika sendiri.Jordan dan Celine, bahkan sepasang kekasih itu tak pernah memikirkan seseorang yang saat ini tengah mengintai mereka. Mereka juga tidak menyadari, bahwa gerak-gerik mereka kini telah mulai terbaca oleh Tristan. Jordan yang terbiasa rapi menyembunyikan sesuatu dari apa pun, nyatanya kini lengah.“Ahhh . . . Astagahh . . . Jordan, kau, kau mengapa . . . Kuat sekali.” Celine mendesah tak tahu malu, suaranya mendayu manja menggoda penuh bisikan, membuat Jordan kian terbakar api gairahnya. Sudah lama sekali, Jordan mengidamkan hari ini. Menghabiskan malam dengan ranjang panasnya dengan Celine yang tak punya harga diri itu.“Kau, kau juga . . . Nikmat, Cel. Bodohnya Tristan telah . . . telah menduakanmu.” Jordan meracau tidak jelas
Pukulan demi pukulan batin Akmal terima saat ini. Kehadiran Andhini dan Tristan yang rupanya telah mengakuisisi perusahaannya, membuat Akmal syok luar biasa. Inilah hukumannya. Inilah ganjaran yang Akmal terima tersebab dosanya di masa lalu. Inilah akhir dari nasib mujurnya selama ini. Selain dihadapkan dengan kenyataan Andhini, wanita yang dicintainya telah resmi dimiliki orang lain, kini Akmal juga dihadapkan dengan kehancuran bisnis warisan keluarganya. Tak ada lagi Akmal yang kaya raya dan penuh kesempurnaan, yang ada hanyalah, Akmal yang hidup biasa saja selayaknya masyarakat tingkat menengah ke bawah. Nyalang tatapan Akmal terhadap Andhini, rupanya tak luput dari pandangan Tristan sejak tadi. Bisa Tristan lihat dengan jelas, Akmal masih sangat mencintai Andhini saat ini. Jejak cinta itu terlihat nyata. Meski Akmal tak merayu, ataupun menggoda Andhini, namun tetap saja jejak cinta Akmal itu berhasil menciptakan percikan api cemburu dalam hati Tristan. Niat hati semula yang hany
Ada segurat wajah khawatir bercampur takut pada wajah tampan Akmal yang hingga kini masih tampak jelas. Lelaki itu melepas paksa jarum infus yang melekat erat pada pergelangan tangannya, membuat beberapa tetes darah mengalir begitu saja di pagi buta tadi.Akmal seolah seperti lelaki kesurupan dengan tingkahnya yang demikian brutal memaki para perawat dan dokter yang menangani. Andai Andin dan Tristan tidak membayar lebih dulu semua biaya perawatan Akmal, mungkin dokter akan mengusir Akmal saat itu juga. Toh mereka pikir, Akmal tak ada apa-apanya lagi sekarang.Dokter telah memberi saran agar Akmal istirahat total dulu akibat luka serius yang di derita karena luka tembakan di kaki, serta kondisi tubuhnya yang belum stabil usai koma. Namun Akmal benar-benar marah dan memaki semua perawat dan dokter. Lelaki itu benar-benar tak sabar, apa lagi memikirkan tentang apa yang terjadi pada kantornya yang saat terakhir kali ia tinggal, memiliki masalah serius dan bisa bangkrut kapan saja.Asiste
Si pelayan tadi lantas beralu sembari tergopoh. Ada emosi rumit yang entah, tak bisa Leon telusuri lebih dalam lagi. Pergerakan seperti ini saja, sudah berhasil membuat Leon terpercik curiga. ** Tristan menatap Andhini yang baru saja duduk di hadapannya. Keduanya saat ini tengah mengenakan setelan putih hitam yang sangat serasi. Tak pelak, ini adalah salah satu kesempurnaan sepanjang pernikahan Andhini dan Tristan. Hanya salah satu. Andin, tampak sangat menawan dengan busana kerja yang Pas di tubuhnya. Perut buncitnya, membuat Andin tampak mengeluarkan aura kecantikan dalam diri berkali-kali lipat. Pesonanya tak main-main. “Apa yang membuatmu tak nyaman, Andin? Aku melihat kau seperti wanita yang tengah ketakutan. Apa yang membuatmu takut.” Tristan berkata sambil menatap intens istrinya. Tristan bukanlah tipe lelaki yang suka berbasa-basi, Apa lagi harus bertele-tele. Baginya, waktu adalah segalanya dan harus ia manfaatkan dengan baik. “Takut apa? Aku tak akan takut siapa-siapa,
Pagi menyapa bumi, hari telah tiba dengan berjuta ragam perasaan yang menggelayuti hati seorang Andhini. Entah mengapa, hatinya selalu merasakan emosi yang aneh ketika dekat dengan Tristan. Bersama Tristan, Andhini bisa mendapatkan apa pun yang ia kehendaki.Merebut kembali Haidar, membalaskan sakit hati terhadap Akmal yang telah mempermainkannya dan juga telah mengingkari janji, juga memberikan kemewahan dan menjamin hidup Andin. Apa yang tak Andin dapatkan saat ini?Cinta Tristan.Ya, hanya cinta Tristan yang tak Andin dapatkan sepenuhnya. Jika tentang perhatian, Tristan cukup perhatian dan cukup siaga jika terjadi sesuatu pada Andin. Hanya saja, menurut Andin itu semata hanyalah karena dirinya mengandung darah daging Tristan. Tidak lebih. Pernikahan mereka terjalin hanya karena sebuah kesepakatan dangkal. Selebihnya, mungkin hanya sebatas formalitas atas semua sikap Tristan terhadap Andhini. Tak ada cinta suci, tak ada cinta sejati.Pada akhirnya, Andin harus menerima kenyataan bah
Dini hari kali ini terasa sunyi. Langit seolah tak membiarkan sedikit pun kebahagiaan berpihak pada Hikmah dan Akmal Sanjaya. Hingga saat ini, Akmal tak juga membuka mata, tak juga mampu menatap dunia yang telah mengadilinya. Padahal, Akmal sudah dinyatakan telah melewati masa kritisnya. Selain ada Hikmah, Arini juga masih tetap terjaga dengan mata yang terbuka sayu. Mata wanita mengantuk, namun tidak bisa terlelap dan beristirahat. Penampilannya yang dahulu terlihat sangat sempurna di mata Andin, kini tak lebih dari sekedar babu yang sangat miskin dan kurang pergaulan. Sangat lusuh dan tak pantas dipandang. Hidup memang terkadang sering kali berbanding terbalik. Peribahasa roda terus berputar itu, nyatanya benar adanya. Andin yang dulu Arini anggap sebagai sampah karena merebut Akmal Sanjaya, suaminya, kini justru menjadi ratu yang bahkan Arini sendiri ketinggalan jauh seleranya dengan Andin. Lihatlah, siapa yang tampak seperti sampah sekarang?Hikmah diam-diam meneguk salivanya d
Malam telah larut. Sebagian besar seisi bumi juga sudah terlelap dalam tidur, menari dalam alam mimpi yang indah. Namun entah mengapa, Andhini malam ini tak juga mampu memejamkan mata. Hatinya terasa teriris pilu, saat ia melihat Haidar sedikit rewel. Mungkin karena Haidar merasa asing di rumah barunya. Maklum saja, anak seusia Haidar memang tengah aktif-aktifnya. “Dia sudah tidur?” Tristan menatap istrinya yang tetap menawan meski malam telah larut. Mata Andin juga tampak sayu. “Sudah. Pengasuh sudah menidurkannya. Ia sangat rewel dan menangis saja.” Jawab Andin. “Ya sudah. Tidurlah jika sudah lelah. Jangan kau Bebani kandunganmu dengan kurang tidur, kasihan anak kita. Aku akan ke ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.” Perintah Tristan. “Tristan, aku ingin bicara. Mari kita ke kamar untuk bicara setelah kau selesai dengan pekerjaanmu.” Ungkap Andini kemudian. Tristan tampak berpikir, mungkin ada baiknya ia meninggalkan pekerjaan malam ini dan dilanjut besok. “Jangan
Di sebuah sudut pinggiran LA, Celine tengah duduk seorang diri sambil menyesap anggur merah di meja di hadapannya. Pikirannya tengah kacau saat ini. Tak seorang pun tahu bahwa batin Celine merana akibat kepergian Tristan yang tak kunjung pulang. Sudah dua pekan berlalu semenjak Jordan menawarkan dirinya untuk bisa menjadi simpanan Jordan. Entah setan apa yang merasuk dalam diri Celine saat ini, namun yang jelas Celine benar-benar hanya ingin ambisinya tercapai, yakni membalas Tristan dan simpanannya. Dan keputusan akhirnya, tentu saja ia bersedia menduakan Tristan dengan Jordan, sahabat Tristan. Celine pikir, memangnya hanya Tristan yang bisa menyakitinya? Tentu saja tidak. Celine bahkan bisa lebih dari sekedar mampu untuk melakukan hal serupa. “Celine, sudah dari tadi kau disini?” Suara Jordan yang khas dan dalam itu, Membuat Celine mengalihkan atensinya. Entah mengapa, Celine belakangan mendadak menjadi paranoid sendiri sejak ia resmi memutuskan untuk menjadi simpanan Jordan. “K