"Kau tak mau keluar sekarang juga?
Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur?
Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu.
Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya."
Dhini membeku mendengarnya.
Haidar? Di bawa pergi?
Oh ya tuhan....
Pria macam apa si Akmal ini? Tidak bisakah ia memikirkan perasaan Andhini sedikit saja?
Setelah Dhini di perlakukan dengan sangat kasar, kini..... Akmal akan membawa paksa bayinya pergi.
Lama Dhini termenung dan mencerna kata-kata yang di lontarkan Akmal.
Pintu terbuka dengan kasar.
Sayangnya......... Terlambat.
Ia mendapati ibunya menangis histeris, dengan mobil Akmal yang telah pergi menjauh, membawa Haidar pergi darinya.
Merampas kebahagiaan yang Dhini perjuangkan selama ini, di saat Akmal memerintahkannya untuk melenyapkan kebahagiaan itu sendiri.
"Maaas Akmaaaaal....
Kembali.....kembalikan Haidar, kembalikan....."
Dhini histeris, menangis meraung dan terus berlari mengejar mobil Akmal yang telah jauh membelah jalanan yang begitu padat akan lalu lintas kendaraan.
Sayangnya, keterlambatan dirinya dalam memutuskan, demikian berpengaruh besar kali ini.
Haidar pergi.....
Haidar telah jauh.....
Haidar di rampas.....
Haidar di renggut paksa dari Andhini.....
Sekejam inikah takdir yang tuhan tuliskan untuk Dhini?
Cukup sudah......
Dhini tak mau meratap. Maka, dirinya segera kembali ke dalam rumah, berusaha menyusul Akmal ke rumahnya. Tak ada cara lain bagi Dhini untuk kembali ke rumah Akmal yang terasa seperti neraka bagi Dhini.
"Nak, kau mau kemana?"
Masitah menghampiri putrinya yang hendak berkemas dengan gerakan yang tergopoh-gopoh.
"Ibu telah berusaha mempertahankan cucu ibu, tapi pria itu ... lebih kuat dari ibu. Ibu......"
"Sudah lah, Bu.....
Ibu tak perlu begitu. Toh semua telah terjadi.
Aku tak punya banyak waktu dan harus segera menyusul si bajingan itu untuk mengambil kembali Haidar."
Ungkap Andhini cepat tanpa menatap ibunya.
**
Andhini tengah menatap nanar pintu pagar yang tinggi menjulang dari dalam kaca jendela mobilnya. Gerbang yang biasanya hanya di jaga oleh security, kini telah di jaga ketat oleh Banyak pengawal dengan mengenakan setelan hitam-hitam.
Hati Dhini semakin kacau balau.
Firasatnya kian memburuk.
Pertahannya jebol juga.
Dengan tubuh gemetar, Dhini melangkahkan kakinya menuju gerbang.
"Aku ingin bertemu dengan Akmal. Suruh dia keluar dan kembalikan bayiku yang di rebutnya dengan cara paksa."
Ucap Andhini dengan suara bergetar. Air matanya lolos kembali ketika mengingat wajah polos bayi laki-lakinya yang baru berusia satu bulan.
"Maaf, nyonya Andhini, tetapi tuan telah berpesan untuk tak menerima anda kecuali anda berubah pikiran dan bersedia menerima tawaran tuan Akmal".
Salah satu pengawal berkata dengan wajah datar. Tak terlihat emosinya sama sekali.
Andhini syok luar biasa. Ibu Dhini yang berdiri tak jauh dari Dhini pun segera menghampiri putrinya dan membawanya ke dalam pelukan.
"Persetan dengan tawaran, persetan dengan pernikahan. Katakan pada si bajingan itu aku mau anakku. Dia tak berhak membawa Haidar pergi dari dariku.
Kembalikan... katakan padanya kembalikan".
Andhini berteriak histeris seketika.
Kepedihan jelas tersorot dari matanya. Tak ada Dhini yang dulu nampak cantik menawan, yang ada kini hanya wajah Dhini yang dipenuhi air mata dengan penampilan sangat kacau.
Meski sekuat tenaga Dhini mencoba merangsek masuk, nyatanya.....
Tenaganya dan ibunya tak cukup kuat untuk melawan para pengawal yang rata-rata tubuhnya terlihat layaknya algojo.
**
Sore telah beranjak menuju petang.
Senja kemerahan di langit perlahan mulai memudar, berganti kegelapan malam tanpa purnama yang memberi sedikit sinar dan keindahannya.
Akmal dan ibunya memasuki kediamannya di rumahnya.
Sebulan ini, Arini di larang keras keluar kemanapun. Akmal tau sifat istrinya yang suka pulang ke rumah orang tuanya setiap kali mereka bertengkar.
Memasuki pintu utama, Akmal mengambil alih Haidar yang berada dalam gendongan ibunya, Ningsih.
"Sebagai seorang wanita, ibu tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Dhini karna harus terpisah dari anaknya.
Ini terlalu kejam, Akmal.
Tidak kah kau pikir bahwa Haidar juga masih butuh ASI-nya?"
"Kejam?
mungkin kedengarannya memang berlebihan.
Ibu benar.
Tapi ini adalah satu-satunya cara untuk bisa membuat Andhini kembali padaku.
Berharap dengan begini, Dhini mau rujuk kembali denganku".
Akmal bukan remaja polos yang tau mana yang baik dan mana yang buruk.
Tetapi sehendaknya, Akmal tau hanya dengan begini Akmal bisa membawa Andhini kembali ke pelukannya.
Hingga langkah kaki Akmal tiba di ruang keluarga, Di sana......
Ara tengah asik bermain dengan bonekanya.
Sedang Arini, wanita itu duduk termenung menatap kosong ke arah televisi yang menyala dengan volume rendah. sama sekali tak menyadari kedatangan Suami dan ibu mertuanya.
"Arini......"
sekali panggil, Arini tersentak tiba-tiba.
Raut wajahnya semakin suram ketika di lihatnya Akmal datang dengan menggendong bayi...... Yang sudah tentu itu adalah Haidar....
anak hasil hubungan suaminya bersama wanita simpanannya.
"Mulai hati ini, Haidar akan tinggal bersama kita di sini."
Pandangan mata Akmal beralih pada putrinya.
"Ara, sayang..... mulai hari ini.... Ara mempunyai saudara. Perkenalkan, namanya adik Haidar".
Mata riang penuh binar milik Ara seketika menunjukkan kebahagiaan yang tersirat.
"Oh benarkah, pa?
Jadi benar sekarang aku akan memiliki adik?"
"Ya, tentu saja".
Arini tetiba menghampiri putrinya yang hendak mengahampiri Akmal.
"Ara, masuklah dulu sebentar, sayang.
Nanti ada saatnya Ara bermain dengan adik Haidar, mengerti?
Sekarang biarkan adik Haidar beristirahat dulu."
Arini berusaha sekuat tenaga tersenyum di hadapan putrinya, Meski wajahnya menggelap seketika.
"Baiklah, ma."
Ara bangkit dan berlalu.
Sesaat, Akmal menyerahkan Haidar pada Ningsih, ibunya.
"Pelayan.....
belanjakan semua kebutuhan bayi. mulai hari ini, putraku akan tinggal di sini".
Tegasnya tanpa Sudi di bantah.
Pelayan pun segera menunduk dan mengikuti perintah majikannya.
"Kau gila, mas!!".
Arini menekankan suaranya.
"Bagaimana mungkin kau dengan tega membiarkan anak hasil dari hubungan gelap mu bersama simpanan mu itu kau pungut untuk kau bawa pulang dan kau rawat?? Aku tak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Aku kecewa padamu".
Entah untuk yang ke berapa kalinya, Arini kembali menitikkan air mata.
Kepedihan kembali menaungi hati Arini dengan gerimis yang menetes kecil.
"Ini keputusanku, Arini.
Suka tak suka, Sudi tak Sudi, kau haruslah tetap menerima Haidar sebagai putramu.
Untuk kali ini, balaslah jasaku yang sudah menerima Ara sebagai anak dari hasil hubunganmu dengan Toni di masa lalu.
Haidar putraku, dia darah dagingku.
Bila kau memang keberatan dengan keputusan yang ku ambil, aku tak keberatan bila kau memilih mundur.
Keputusanku ini sudah final dan aku tak menerima gugatan".
**
Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini. Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris
Andini tak pernah membayangkan hari-harinya akan menemui titik terang hingga sampai pada Jalan ini. Ke-putus asa'an yang semula menggeluti hati dan jiwanya, menguap dengan perlahan. Tak pernah Andhini bayangkan, ia tiba pada masa dimana ia mendapat jalan untuk segera merebut kembali putranya. Akmal Sanjaya...... Entahlah..... Andhini tak ingin memikirkan apa yang akan terjadi pada Akmal. Yang ia tau, saat ini, dulu dirinya hanyalah di jadikan objek pelampiasan nafsu semata oleh Akmal. Tidak lebih. Sebuah kebodohan yang pernah ia miliki dimasa lalu. Dua jam lalu, Masitah menentang habis-habisan keputusannya untuk kembali menjadi istri simpanan. Meski ia merasa tak nyaman dengan situasi ini, tetapi dirinya sudah terlanjur menyetujui kesepakatan antara dirinya dengan Tristan seminggu yang lalu.Beruntung, Andra mendukung apa yang ingin Andini lakukan. Dirinya hanya ingin yang terbaik untuk sa
Saat ini, tiba pada hari dimana janji suci akan Tristan dan Andini gaungkan pada dunia di hadapan Tuhan sang maha pencipta. Setelah dua Minggu yang lalu Tristan telah menyandang gelar muallaf secara legal, kini Andini benar-benar di buat lega tatkala Tristan menepati janjinya beberapa waktu lalu. Menikahi dan memiliki Andini secara legal di mata hukum dan agama. Kini semua ucapan Tristan bukan hanya sekedar bualan semata. Andhini semakin yakin, bahwa Tristan sama sekali tak patut di samakan dengan Akmal. Tak ada pelaminan, tak ada tamu undangan. Acara berlangsung sakral dengan di hadiri dua orang saksi dan wali hakim. Terus terang saja, Tristan tak suka akan keramaian. Apa lagi, Andhini hanyalah istri ke dua. Tristan tak mau keributan yang tak perlu, yang bisa mengancam rencananya. Setelah acara usai, kini.... Andin dan Tristan telah berada di dalam kamar mereka. Tak ada ranjang pengantin bertabur mawa