Sebuah mobil melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
Seperti di kejar waktu, Akmal melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit terdekat.
Jemarinya mencengkeram erat kemudi, Nafasnya memburu karna merasa luar biasa takut, beberapa titik darah menodai kemeja cerahnya dan bagian sudut lengan.
Sesal......
Sesal mendera ketika ia mendapati Andini tak berdaya di bawah kebrutalan tindakannya yang telah menyiksa Andhini.
Di bangku belakang, Andhini nampak kepayahan dengan nafasnya yang mulai tersengal.
Air mata bercampur darah di sisi wajahnya, menunjukkan betapa menyedihkannya Dhini saat ini.
Di samping Dhini, Arini nampak cemas menggenggam tangan Dhini yang dingin dan berkeringat. Sekedar untuk menepis saja, Dhini sudah tak kuat lagi.
"Lakukan lebih cepat lagi, mas. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada Dhini dan bayinya. Kumohon, jangan buang waktumu. Anakmu dan ibunya butuh pertolongan segera."
Suara Arini nampak panik ketika nafas Dhini tengah terputus-putus.
Akmal makin menegang mendengarnya.
"Kumohon Andhini..... Bertahanlah."
Lirihnya.
Air mata yang tadi telah berhenti mengalir, kini kembali lolos dari mata Akmal.
Membayangkan andai sesuatu terjadi pada Andhini dan calon bayinya, membuat Akmal kalut luar biasa.
"Ya Tuhan. Mengapa harus seperti ini?"
Arini terisak kembali, mengamati kondisi Dhini yang mengenaskan.
"Beb...ber-berhenti....."
Suara Andhini semakin lirih di telan angin.
"I...ini ke-kesempatan ka....kalian....
Bu...bunuh sss saa saja aku seka.....rang
Aaku...tak la....gi pa... pantas hi..dup.
Aaaa ...aaku lelah."
"Ku mohon Andhini, bertahanlah.
Kita selesaikan dengan bicara baik-baik setelah ini". Suara Akmal semakin terisak.
Arini memperhatikan suaminya yang kacau kali ini. Selama berumah tangga, ia tak pernah mendapati suaminya dalam keputuss asa'an seperti ini.
Dan yang lebih membuat Arini hancur adalah, Ada pendar cinta di mata Akmal ketika menatap Andhini.
Saat tadi Akmal dengan ganas menyerang Andhini dan menyiksanya, Akmal seperti orang kalap yang kemudian menyesali perbuatannya.
Wajah yang tadinya menggelap penuh amarah, kini berganti seperti wajah yang tengah terluka.
Mendapati hal ini, wanita mana yang tak merasakan sakit di hatinya?
Tentu saja lebih dari sekedar hancur.
"Aaaa-aku ti.....tidak ku....at".
Tangis Dhini semakin dalam hingga nafasnya terhenti beberapa saat. Wajah dan bibirnya mulai membiru. Matanya semakin memerah dan melebar karna tak tahan dengan sakit yang menderanya.
"Mas.... Ya tuhan, apa yang terjadi pada wanita ini. Mas cepat..."
Arini histeris seketika. Luar biasa panik dan tak berdaya.
Hingga mobil memasuki pelataran rumah sakit, Akmal berteriak memanggil petugas rumah sakit yang berjaga. Segera saja Dhini di keluarkan dari mobil, di rengkuh dan di bawa dalam gendongan Akmal untuk di pindahkan ke brankar rumah sakit.
Petugas pun segera membawa Dhini ke ruang UGD.
**
Akmal menunggu di ruang operasi dengan cemas. Ia melirik pergelangan tangannya yang tersemat jam tangan dari brand ternama.
Jam menunjukkan pukul 20.50.
Andhini masih berada bersamanya di ruang operasi.
Kondisi kandungannya sudah sangat rentan. Bayinya bisa saja meninggal bila tak segera di keluarkan.
Dua jam lalu, dokter memberinya pilihan yang sulit. Benturan keras yang terjadi pada punggung Dhini, membuat bayinya mau tak mau harus di keluarkan dengan cara sesar.
Maka, mau tak mau Akmal harus menyetujui tindakan operasi pada Dhini sebagai Penanggung jawab.
Kelegaan sekaligus kedukaan datang bersama ketika sebuah fakta tentang bayi Dhini.
"Bayi pertama laki-laki, tuan. Sehat dan tak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi......"
"Katakan ada apa, dokter?"
Akmal penasaran dengan kalimat dokter yang menggantung.
"Bayi perempuan anda yang ke dua, tidak dapat bertahan. Kami telah melakukan upaya penyelamatan semaksimal mungkin, akan tetapi takdir tuhan tak mengijinkan putri anda untuk tumbuh bersama putra anda".
Bak petir yang menggelegar keras dalam hati Akmal. Ia seperti di hantam Beban ribuan pound seketika itu juga.
Mata Akmal kembali memanas dan air matanya luruh seketika.
"Ja....jadi...."
"Tabahkan hatimu, tuan. Masih ada seorang putra yang selama ini anda nantikan. Dia juga butuh kasih sayang seorang ayah."
Sang dokter menyadari betapa terlukanya seorang ayah yang harus di tinggal mati bayi mungilnya yang menggemaskan. Apa lagi, Akmal belumlah sempat menggendong sang bayi dengan penuh kasih sayang.
Kehancuran Akmal kembali ia rasakan, ketika dokter juga menyampaikan bahwa keadaan Dhini yang kritis.
Penyesalan tak lagi berguna ketika hal buruk telah terjadi. Dan sesal tak akan datang bila kita masih berada di zona nyaman.
Maka, ia harus menguatkan hatinya untuk menyongsong hari esok. Usai operasi, dokter tak mengijinkan siapapun untuk menunggui Andhini.
"Apa ibunya......?"
Arini tak melanjutkan kalimatnya. Ada banyak tanya yang menari indah di otaknya.
Bukan tanpa alasan.
Meski Arini membenci Dhini karna Dhini adalah wanita simpanan suaminya, namun melihat Dhini babak belur di hajar Akmal, membuat sisi manusiawi Arini meronta luar biasa kuat.
Andai saja Arini tak datang tepat waktu, mungkin tadi Akmal telah menghajar Dhini hingga tewas. Sebenci apapun Arini terhadap Dhini, ia tetap memiliki hati dan rasa iba saat melihat wanita yang sedang hamil tua di hajar sedemikian rupa.
"Untuk kondisinya, kami belum bisa memastikan. perbanyak doa saja kepada Tuhan, nyonya. Keselamatannya bergantung pada keajaiban tuhan.
Pasien bukan hanya fisik luarnya saja yang mengalami cedera, namun juga psikisnya ikut terluka.
Semoga semangat hidupnya tetap ada."
Akmal tercengang.
Semua terjadi karenanya. Sejenak Akmal menunduk dan membiarkan dokter berlalu. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, membiarkan cairan bening luruh dari matanya.
"Aku akan pulang."
Arini tetiba bangkit. Akmal sama sekali tak bergeming dari tempatnya.
Ia terus menumpahkan penyesalan pada dirinya sendiri.
Melihat kenyataan suaminya tak mempedulikannya, Arini kembali menangis dan duduk Lagi di samping Akmal.
"Kau bukan hanya melukai hatiku sebagai istrimu, mas. Tapi kau juga telah melukai Dhini.....
Ibu dari anakmu. Karna ke-brutalanmu, bayi perempuan kalian meninggal, Arini juga hancur.
Aku tak menyangka kau akan setega ini."
Arini kembali bersuara dengan Isak tangisnya.
Kemudian ia bangkit dan menuju ruangan bayi.
Arini menatap sebuah box kaca dimana bayi yang terlahir prematur itu di letakkan.
Bayi mungil yang terlahir di usia kandungan tujuh bulan itu nampak tak berdaya.
Selang-selang kecil nampak menempel erat di tubuhnya.
Melihat hal ini, Arini kembali meneteskan air mata.
Bayi itu adalah hasil pernikahan siri suaminya dan wanita simpanannya.
Bayi itu adalah bukti bahwa cinta Akmal telah terbagi.
Bayi itu yang menjadi alasan untuk Dhini nekat mendatanginya.
Bayi itu pula lah, yang membuat Arini sadar, bahwa Arini tak pantas untuk terus mendampingi Akmal.
Tiba-tiba, Akmal datang dan berdiri di samping Arini. Menumpahkan tangis ketika melihat kondisi bayi laki-lakinya yang memprihatinkan.
Sayangnya.......
Bayi perempuannya memilih menyerah pada takdir.
"A...aku tak pan.....tas di sebut ayah."
Lirihnya dengan suara terbata.
**
Suara tangisan bayi laki-laki demikian menggema di seluruh ruangan. Tubuh mungilnya telah terlepas dari banyaknya selang dan peralatan medis lainnya. Satu bulan sudah usianya. Akmal setiap hari selalu menyambangi keberadaan putranya itu. Kini, Dhini juga telah di perbolehkan pulang. Hubungan Dhini dan Akmal tak juga menemui kejelasan. Bagi Dhini, Haidar putranya hanya miliknya seorang. Akmal sudah jelas-jelas tak lagi peduli akan keberadaan Haidar semenjak enam bulan lalu. Hari ini, Akmal akan kembali datang ke rumah Dhini dengan mengajak serta ibunya, orang tua Akmal yang masih tersisa. Ayah Akmal telah tiada semenjak sebelas tahun yang lalu, mewariskan sebuah perusahaan pada putra satu-satunya. Beruntung, Akmal dapat mengembangkan perusahaan warisan mendiang ayahnya itu. "Kau benar-benar telah memikirkan hal ini matang-matang, Akmal? Ben
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya." Dhini membeku mendengarnya. Haidar? Di bawa pergi? Oh ya tuhan.... Pria macam apa si Akmal ini? Tidak bisakah ia memikirkan perasaan Andhini sedikit saja? Setelah Dhini di perlakukan dengan sangat kasar, kini..... Akmal akan membawa paksa bayinya pergi. Lama Dhini termenung dan mencerna kata-kata yang di lontarkan Akmal. Pintu terbuka dengan kasar. Sayangnya......... Terlambat.
Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini. Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris
Tak ada yang sanggup mengalikan mood seorang Tristan saat ini. Satu sisi, ia seolah trauma akibat pengkhianatan Celine. Namun, disisi lainnya dirinya seolah berbisik bahwa Andin yang penurut dan mengerti dirinya, harus dipertahankan bagaimana pun caranya. Bisakah Tristan tidak usah memilih saja? Di seluruh penjuru dunia, Tristan percaya pasti ada wanita yang sanggup mencintai dengan ketulusan kadar tinggi. Hanya saja keretakan di hatinya membuat Tristan dilema, seolah tak ada lagi makhluk berjenis wanita yang memiliki setia paling tinggi. Sanggupkah dirinya bertahan dalam pengkhianatan ini? Sanggupkah ia menjalani hari tanpa bayangan pengkhianatan istri tercinta? Sanggupkah ia menutup mata dan telinga agar ia tidak jauh dari Celine? Baiklah, kali ini Tristan mantap untuk berpisah dari Celine. "Leon," panggilnya pada sang Asisten pribadinya itu. "Ya, tuan," jawab Leon datar. "Bawa Andhini ke rumah Mom segera, bawa ia ke rumah utama. Lakukan secepatnya dan urus segalanya!" peri
Sepasang kekasih tengah berperang manja dengan Suara desah menggoda penuh syahwat, dalam kamar sebuah apartemen mewah. Keduanya sudah dibutakan oleh nafsu yang menyesatkan. Hubungan terlarang, seolah tak ada lagi dalam kamus mereka yang menghapus logika sendiri.Jordan dan Celine, bahkan sepasang kekasih itu tak pernah memikirkan seseorang yang saat ini tengah mengintai mereka. Mereka juga tidak menyadari, bahwa gerak-gerik mereka kini telah mulai terbaca oleh Tristan. Jordan yang terbiasa rapi menyembunyikan sesuatu dari apa pun, nyatanya kini lengah.“Ahhh . . . Astagahh . . . Jordan, kau, kau mengapa . . . Kuat sekali.” Celine mendesah tak tahu malu, suaranya mendayu manja menggoda penuh bisikan, membuat Jordan kian terbakar api gairahnya. Sudah lama sekali, Jordan mengidamkan hari ini. Menghabiskan malam dengan ranjang panasnya dengan Celine yang tak punya harga diri itu.“Kau, kau juga . . . Nikmat, Cel. Bodohnya Tristan telah . . . telah menduakanmu.” Jordan meracau tidak jelas
Pukulan demi pukulan batin Akmal terima saat ini. Kehadiran Andhini dan Tristan yang rupanya telah mengakuisisi perusahaannya, membuat Akmal syok luar biasa. Inilah hukumannya. Inilah ganjaran yang Akmal terima tersebab dosanya di masa lalu. Inilah akhir dari nasib mujurnya selama ini. Selain dihadapkan dengan kenyataan Andhini, wanita yang dicintainya telah resmi dimiliki orang lain, kini Akmal juga dihadapkan dengan kehancuran bisnis warisan keluarganya. Tak ada lagi Akmal yang kaya raya dan penuh kesempurnaan, yang ada hanyalah, Akmal yang hidup biasa saja selayaknya masyarakat tingkat menengah ke bawah. Nyalang tatapan Akmal terhadap Andhini, rupanya tak luput dari pandangan Tristan sejak tadi. Bisa Tristan lihat dengan jelas, Akmal masih sangat mencintai Andhini saat ini. Jejak cinta itu terlihat nyata. Meski Akmal tak merayu, ataupun menggoda Andhini, namun tetap saja jejak cinta Akmal itu berhasil menciptakan percikan api cemburu dalam hati Tristan. Niat hati semula yang hany
Ada segurat wajah khawatir bercampur takut pada wajah tampan Akmal yang hingga kini masih tampak jelas. Lelaki itu melepas paksa jarum infus yang melekat erat pada pergelangan tangannya, membuat beberapa tetes darah mengalir begitu saja di pagi buta tadi.Akmal seolah seperti lelaki kesurupan dengan tingkahnya yang demikian brutal memaki para perawat dan dokter yang menangani. Andai Andin dan Tristan tidak membayar lebih dulu semua biaya perawatan Akmal, mungkin dokter akan mengusir Akmal saat itu juga. Toh mereka pikir, Akmal tak ada apa-apanya lagi sekarang.Dokter telah memberi saran agar Akmal istirahat total dulu akibat luka serius yang di derita karena luka tembakan di kaki, serta kondisi tubuhnya yang belum stabil usai koma. Namun Akmal benar-benar marah dan memaki semua perawat dan dokter. Lelaki itu benar-benar tak sabar, apa lagi memikirkan tentang apa yang terjadi pada kantornya yang saat terakhir kali ia tinggal, memiliki masalah serius dan bisa bangkrut kapan saja.Asiste
Si pelayan tadi lantas beralu sembari tergopoh. Ada emosi rumit yang entah, tak bisa Leon telusuri lebih dalam lagi. Pergerakan seperti ini saja, sudah berhasil membuat Leon terpercik curiga. ** Tristan menatap Andhini yang baru saja duduk di hadapannya. Keduanya saat ini tengah mengenakan setelan putih hitam yang sangat serasi. Tak pelak, ini adalah salah satu kesempurnaan sepanjang pernikahan Andhini dan Tristan. Hanya salah satu. Andin, tampak sangat menawan dengan busana kerja yang Pas di tubuhnya. Perut buncitnya, membuat Andin tampak mengeluarkan aura kecantikan dalam diri berkali-kali lipat. Pesonanya tak main-main. “Apa yang membuatmu tak nyaman, Andin? Aku melihat kau seperti wanita yang tengah ketakutan. Apa yang membuatmu takut.” Tristan berkata sambil menatap intens istrinya. Tristan bukanlah tipe lelaki yang suka berbasa-basi, Apa lagi harus bertele-tele. Baginya, waktu adalah segalanya dan harus ia manfaatkan dengan baik. “Takut apa? Aku tak akan takut siapa-siapa,
Pagi menyapa bumi, hari telah tiba dengan berjuta ragam perasaan yang menggelayuti hati seorang Andhini. Entah mengapa, hatinya selalu merasakan emosi yang aneh ketika dekat dengan Tristan. Bersama Tristan, Andhini bisa mendapatkan apa pun yang ia kehendaki.Merebut kembali Haidar, membalaskan sakit hati terhadap Akmal yang telah mempermainkannya dan juga telah mengingkari janji, juga memberikan kemewahan dan menjamin hidup Andin. Apa yang tak Andin dapatkan saat ini?Cinta Tristan.Ya, hanya cinta Tristan yang tak Andin dapatkan sepenuhnya. Jika tentang perhatian, Tristan cukup perhatian dan cukup siaga jika terjadi sesuatu pada Andin. Hanya saja, menurut Andin itu semata hanyalah karena dirinya mengandung darah daging Tristan. Tidak lebih. Pernikahan mereka terjalin hanya karena sebuah kesepakatan dangkal. Selebihnya, mungkin hanya sebatas formalitas atas semua sikap Tristan terhadap Andhini. Tak ada cinta suci, tak ada cinta sejati.Pada akhirnya, Andin harus menerima kenyataan bah
Dini hari kali ini terasa sunyi. Langit seolah tak membiarkan sedikit pun kebahagiaan berpihak pada Hikmah dan Akmal Sanjaya. Hingga saat ini, Akmal tak juga membuka mata, tak juga mampu menatap dunia yang telah mengadilinya. Padahal, Akmal sudah dinyatakan telah melewati masa kritisnya. Selain ada Hikmah, Arini juga masih tetap terjaga dengan mata yang terbuka sayu. Mata wanita mengantuk, namun tidak bisa terlelap dan beristirahat. Penampilannya yang dahulu terlihat sangat sempurna di mata Andin, kini tak lebih dari sekedar babu yang sangat miskin dan kurang pergaulan. Sangat lusuh dan tak pantas dipandang. Hidup memang terkadang sering kali berbanding terbalik. Peribahasa roda terus berputar itu, nyatanya benar adanya. Andin yang dulu Arini anggap sebagai sampah karena merebut Akmal Sanjaya, suaminya, kini justru menjadi ratu yang bahkan Arini sendiri ketinggalan jauh seleranya dengan Andin. Lihatlah, siapa yang tampak seperti sampah sekarang?Hikmah diam-diam meneguk salivanya d
Malam telah larut. Sebagian besar seisi bumi juga sudah terlelap dalam tidur, menari dalam alam mimpi yang indah. Namun entah mengapa, Andhini malam ini tak juga mampu memejamkan mata. Hatinya terasa teriris pilu, saat ia melihat Haidar sedikit rewel. Mungkin karena Haidar merasa asing di rumah barunya. Maklum saja, anak seusia Haidar memang tengah aktif-aktifnya. “Dia sudah tidur?” Tristan menatap istrinya yang tetap menawan meski malam telah larut. Mata Andin juga tampak sayu. “Sudah. Pengasuh sudah menidurkannya. Ia sangat rewel dan menangis saja.” Jawab Andin. “Ya sudah. Tidurlah jika sudah lelah. Jangan kau Bebani kandunganmu dengan kurang tidur, kasihan anak kita. Aku akan ke ruang kerja untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan.” Perintah Tristan. “Tristan, aku ingin bicara. Mari kita ke kamar untuk bicara setelah kau selesai dengan pekerjaanmu.” Ungkap Andini kemudian. Tristan tampak berpikir, mungkin ada baiknya ia meninggalkan pekerjaan malam ini dan dilanjut besok. “Jangan
Di sebuah sudut pinggiran LA, Celine tengah duduk seorang diri sambil menyesap anggur merah di meja di hadapannya. Pikirannya tengah kacau saat ini. Tak seorang pun tahu bahwa batin Celine merana akibat kepergian Tristan yang tak kunjung pulang. Sudah dua pekan berlalu semenjak Jordan menawarkan dirinya untuk bisa menjadi simpanan Jordan. Entah setan apa yang merasuk dalam diri Celine saat ini, namun yang jelas Celine benar-benar hanya ingin ambisinya tercapai, yakni membalas Tristan dan simpanannya. Dan keputusan akhirnya, tentu saja ia bersedia menduakan Tristan dengan Jordan, sahabat Tristan. Celine pikir, memangnya hanya Tristan yang bisa menyakitinya? Tentu saja tidak. Celine bahkan bisa lebih dari sekedar mampu untuk melakukan hal serupa. “Celine, sudah dari tadi kau disini?” Suara Jordan yang khas dan dalam itu, Membuat Celine mengalihkan atensinya. Entah mengapa, Celine belakangan mendadak menjadi paranoid sendiri sejak ia resmi memutuskan untuk menjadi simpanan Jordan. “K