Sebuah mobil melaju kencang membelah jalanan ibu kota. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
Seperti di kejar waktu, Akmal melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah sakit terdekat.
Jemarinya mencengkeram erat kemudi, Nafasnya memburu karna merasa luar biasa takut, beberapa titik darah menodai kemeja cerahnya dan bagian sudut lengan.
Sesal......
Sesal mendera ketika ia mendapati Andini tak berdaya di bawah kebrutalan tindakannya yang telah menyiksa Andhini.
Di bangku belakang, Andhini nampak kepayahan dengan nafasnya yang mulai tersengal.
Air mata bercampur darah di sisi wajahnya, menunjukkan betapa menyedihkannya Dhini saat ini.
Di samping Dhini, Arini nampak cemas menggenggam tangan Dhini yang dingin dan berkeringat. Sekedar untuk menepis saja, Dhini sudah tak kuat lagi.
"Lakukan lebih cepat lagi, mas. Jangan biarkan sesuatu terjadi pada Dhini dan bayinya. Kumohon, jangan buang waktumu. Anakmu dan ibunya butuh pertolongan segera."
Suara Arini nampak panik ketika nafas Dhini tengah terputus-putus.
Akmal makin menegang mendengarnya.
"Kumohon Andhini..... Bertahanlah."
Lirihnya.
Air mata yang tadi telah berhenti mengalir, kini kembali lolos dari mata Akmal.
Membayangkan andai sesuatu terjadi pada Andhini dan calon bayinya, membuat Akmal kalut luar biasa.
"Ya Tuhan. Mengapa harus seperti ini?"
Arini terisak kembali, mengamati kondisi Dhini yang mengenaskan.
"Beb...ber-berhenti....."
Suara Andhini semakin lirih di telan angin.
"I...ini ke-kesempatan ka....kalian....
Bu...bunuh sss saa saja aku seka.....rang
Aaku...tak la....gi pa... pantas hi..dup.
Aaaa ...aaku lelah."
"Ku mohon Andhini, bertahanlah.
Kita selesaikan dengan bicara baik-baik setelah ini". Suara Akmal semakin terisak.
Arini memperhatikan suaminya yang kacau kali ini. Selama berumah tangga, ia tak pernah mendapati suaminya dalam keputuss asa'an seperti ini.
Dan yang lebih membuat Arini hancur adalah, Ada pendar cinta di mata Akmal ketika menatap Andhini.
Saat tadi Akmal dengan ganas menyerang Andhini dan menyiksanya, Akmal seperti orang kalap yang kemudian menyesali perbuatannya.
Wajah yang tadinya menggelap penuh amarah, kini berganti seperti wajah yang tengah terluka.
Mendapati hal ini, wanita mana yang tak merasakan sakit di hatinya?
Tentu saja lebih dari sekedar hancur.
"Aaaa-aku ti.....tidak ku....at".
Tangis Dhini semakin dalam hingga nafasnya terhenti beberapa saat. Wajah dan bibirnya mulai membiru. Matanya semakin memerah dan melebar karna tak tahan dengan sakit yang menderanya.
"Mas.... Ya tuhan, apa yang terjadi pada wanita ini. Mas cepat..."
Arini histeris seketika. Luar biasa panik dan tak berdaya.
Hingga mobil memasuki pelataran rumah sakit, Akmal berteriak memanggil petugas rumah sakit yang berjaga. Segera saja Dhini di keluarkan dari mobil, di rengkuh dan di bawa dalam gendongan Akmal untuk di pindahkan ke brankar rumah sakit.
Petugas pun segera membawa Dhini ke ruang UGD.
**
Akmal menunggu di ruang operasi dengan cemas. Ia melirik pergelangan tangannya yang tersemat jam tangan dari brand ternama.
Jam menunjukkan pukul 20.50.
Andhini masih berada bersamanya di ruang operasi.
Kondisi kandungannya sudah sangat rentan. Bayinya bisa saja meninggal bila tak segera di keluarkan.
Dua jam lalu, dokter memberinya pilihan yang sulit. Benturan keras yang terjadi pada punggung Dhini, membuat bayinya mau tak mau harus di keluarkan dengan cara sesar.
Maka, mau tak mau Akmal harus menyetujui tindakan operasi pada Dhini sebagai Penanggung jawab.
Kelegaan sekaligus kedukaan datang bersama ketika sebuah fakta tentang bayi Dhini.
"Bayi pertama laki-laki, tuan. Sehat dan tak kekurangan sesuatu apapun. Tetapi......"
"Katakan ada apa, dokter?"
Akmal penasaran dengan kalimat dokter yang menggantung.
"Bayi perempuan anda yang ke dua, tidak dapat bertahan. Kami telah melakukan upaya penyelamatan semaksimal mungkin, akan tetapi takdir tuhan tak mengijinkan putri anda untuk tumbuh bersama putra anda".
Bak petir yang menggelegar keras dalam hati Akmal. Ia seperti di hantam Beban ribuan pound seketika itu juga.
Mata Akmal kembali memanas dan air matanya luruh seketika.
"Ja....jadi...."
"Tabahkan hatimu, tuan. Masih ada seorang putra yang selama ini anda nantikan. Dia juga butuh kasih sayang seorang ayah."
Sang dokter menyadari betapa terlukanya seorang ayah yang harus di tinggal mati bayi mungilnya yang menggemaskan. Apa lagi, Akmal belumlah sempat menggendong sang bayi dengan penuh kasih sayang.
Kehancuran Akmal kembali ia rasakan, ketika dokter juga menyampaikan bahwa keadaan Dhini yang kritis.
Penyesalan tak lagi berguna ketika hal buruk telah terjadi. Dan sesal tak akan datang bila kita masih berada di zona nyaman.
Maka, ia harus menguatkan hatinya untuk menyongsong hari esok. Usai operasi, dokter tak mengijinkan siapapun untuk menunggui Andhini.
"Apa ibunya......?"
Arini tak melanjutkan kalimatnya. Ada banyak tanya yang menari indah di otaknya.
Bukan tanpa alasan.
Meski Arini membenci Dhini karna Dhini adalah wanita simpanan suaminya, namun melihat Dhini babak belur di hajar Akmal, membuat sisi manusiawi Arini meronta luar biasa kuat.
Andai saja Arini tak datang tepat waktu, mungkin tadi Akmal telah menghajar Dhini hingga tewas. Sebenci apapun Arini terhadap Dhini, ia tetap memiliki hati dan rasa iba saat melihat wanita yang sedang hamil tua di hajar sedemikian rupa.
"Untuk kondisinya, kami belum bisa memastikan. perbanyak doa saja kepada Tuhan, nyonya. Keselamatannya bergantung pada keajaiban tuhan.
Pasien bukan hanya fisik luarnya saja yang mengalami cedera, namun juga psikisnya ikut terluka.
Semoga semangat hidupnya tetap ada."
Akmal tercengang.
Semua terjadi karenanya. Sejenak Akmal menunduk dan membiarkan dokter berlalu. Menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, membiarkan cairan bening luruh dari matanya.
"Aku akan pulang."
Arini tetiba bangkit. Akmal sama sekali tak bergeming dari tempatnya.
Ia terus menumpahkan penyesalan pada dirinya sendiri.
Melihat kenyataan suaminya tak mempedulikannya, Arini kembali menangis dan duduk Lagi di samping Akmal.
"Kau bukan hanya melukai hatiku sebagai istrimu, mas. Tapi kau juga telah melukai Dhini.....
Ibu dari anakmu. Karna ke-brutalanmu, bayi perempuan kalian meninggal, Arini juga hancur.
Aku tak menyangka kau akan setega ini."
Arini kembali bersuara dengan Isak tangisnya.
Kemudian ia bangkit dan menuju ruangan bayi.
Arini menatap sebuah box kaca dimana bayi yang terlahir prematur itu di letakkan.
Bayi mungil yang terlahir di usia kandungan tujuh bulan itu nampak tak berdaya.
Selang-selang kecil nampak menempel erat di tubuhnya.
Melihat hal ini, Arini kembali meneteskan air mata.
Bayi itu adalah hasil pernikahan siri suaminya dan wanita simpanannya.
Bayi itu adalah bukti bahwa cinta Akmal telah terbagi.
Bayi itu yang menjadi alasan untuk Dhini nekat mendatanginya.
Bayi itu pula lah, yang membuat Arini sadar, bahwa Arini tak pantas untuk terus mendampingi Akmal.
Tiba-tiba, Akmal datang dan berdiri di samping Arini. Menumpahkan tangis ketika melihat kondisi bayi laki-lakinya yang memprihatinkan.
Sayangnya.......
Bayi perempuannya memilih menyerah pada takdir.
"A...aku tak pan.....tas di sebut ayah."
Lirihnya dengan suara terbata.
**
Suara tangisan bayi laki-laki demikian menggema di seluruh ruangan. Tubuh mungilnya telah terlepas dari banyaknya selang dan peralatan medis lainnya. Satu bulan sudah usianya. Akmal setiap hari selalu menyambangi keberadaan putranya itu. Kini, Dhini juga telah di perbolehkan pulang. Hubungan Dhini dan Akmal tak juga menemui kejelasan. Bagi Dhini, Haidar putranya hanya miliknya seorang. Akmal sudah jelas-jelas tak lagi peduli akan keberadaan Haidar semenjak enam bulan lalu. Hari ini, Akmal akan kembali datang ke rumah Dhini dengan mengajak serta ibunya, orang tua Akmal yang masih tersisa. Ayah Akmal telah tiada semenjak sebelas tahun yang lalu, mewariskan sebuah perusahaan pada putra satu-satunya. Beruntung, Akmal dapat mengembangkan perusahaan warisan mendiang ayahnya itu. "Kau benar-benar telah memikirkan hal ini matang-matang, Akmal? Ben
"Kau tak mau keluar sekarang juga? Baiklah, aku tak keberatan untuk menghukummu. Dengar Andhini, aku bisa saja membawa Haidar putra kita untuk pergi jauh darimu. Kau pikir hanya hidupmu yang hancur? Aku bahkan lebih dari sekedar hancur saat itu. Aku juga merasa bersalah dan berulang kali aku merasa berdosa. Bila kau memang tak mau menemuiku, maka Haidar aku pastikan akan jatuh ke tanganku karna aku adalah ayah biologisnya." Dhini membeku mendengarnya. Haidar? Di bawa pergi? Oh ya tuhan.... Pria macam apa si Akmal ini? Tidak bisakah ia memikirkan perasaan Andhini sedikit saja? Setelah Dhini di perlakukan dengan sangat kasar, kini..... Akmal akan membawa paksa bayinya pergi. Lama Dhini termenung dan mencerna kata-kata yang di lontarkan Akmal. Pintu terbuka dengan kasar. Sayangnya......... Terlambat.
Seorang wanita tengah menatap kosong pada hamparan langit yang luas, menikmati indahnya senja tanpa riak emosi, meninggalkan sebagian jiwanya entah kemana.Mungkin karna luruh bersamaan dengan tragedi yang di alaminya selama setahun terakhir ini. Tragedi pertama, karna ia harus kehilangan ayahnya, pria yang paling dekat dengannya. Meninggalkan beban batin yang mendalam beserta luka yang masih membekas hingga kini.Tragedi kedua, ia sungguh sangat terpaksa menerima pinangan lelaki yang usianya dua belas tahun lebih tua darinya, namun tetap terlihat gagah. Tak butuh waktu lama, kepolosan hatinya pun jatuh pada pesona pria yang berstatus suami orang dan telah memiliki seorang putri itu.Tragedi ketiga, dirinya harus di talak dengan cara yang sangat kejam oleh suami tercinta ketika dirinya lebih mempertahankan buah hati mereka daripada harus melakukan aborsi. Sungguh, kenangan itu masih membekas dalam otaknya hingga saat
Hari berganti, Minggu berlalu, bulan Terus berputar. Kini, Dhini telah merealisasikan rencananya dalam mendirikan sebuah booth stand di halaman parkir sebuah pusat perbelanjaan, yang berseberangan dengan wahana wisata.Dengan mengusung konsep rice bowl, dan tempatnya yang memakai bahan dasar bermaterial aluminium, Andhini memulai usahanya dengan tekad kuat dan niat baik demi kelurga.Di bantu adik dan juga ibunya, Andhini kini telah resmi meninggalkan rumah yang dulu Akmal belikan untuknya. Mobil yang dulu juga pemberian Akmal, Andhini tinggal begitu saja di rumah itu. Setelah menimbangnya dengan cukup matang, akhirnya di sinilah Andhini berada. Membuka stand booth bersama adiknya saat waktu menjelang makan siang.Semua itu bermula dari ide Andra, adik Andhini yang masih menduduki bangku SMA di kelas XI, dan benar saja, berbagai macam menu terjual habis dan laku keras.Tanpa terasa, i
Seorang wanita kembali murung dalam diamnya. Hatinya yang semula berusaha tegar, kini tak dapat lagi menepis kepedihan yang kembali mencuat. Hidupnya demikian rapuh bila berurusan dengan pria masa lalunya.Kebetulan, jam makan siang telah lewat dan booth stand sudah sepi pengunjung. Andhini kini tengah berdiam diri di dalam dapur booth stand nya seorang diri. Andra dan ibunya sedang mengantar beberapa pesanan dalam jumlah partai.Ingatan Andhini kembali pada kejadian beberapa waktu lalu ketika Akmal dan Arini datang dengan berselang waktu sebentar saja. Arini menangis di hadapannya. Menangis untuk apa tepatnya, Andin tak tau. Hanya menangis dan tak berkata apapun lagi, kemudian Akmal menuntunnya pergi. Pergi sesuai dengan apa yang Andin mau. Cinta itu masih ada. Cinta itu masih merekat kuat. Cinta itu masih menempel erat. Dan sulit bagi Andini
Siang merambah sore hingga senja kemerahan, terlihat nampak di ufuk barat. Beberapa burung mulai menghias dengan terbang kemana kemari di permukaan sinar senja yang menawan, menciptakan panorama indah selain pelangi.Andhini duduk dengan gelisah di sebuah gedung yang Andin yakini, ini adalah kantor.Siang tadi, seseorang bernama Leon menghampirinya dan mengatakan bahwa majikannya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu yang penting bersama Andin. Takut dan resah...... Andin rasakan dalam hatinya. Bagaimana bila majikan yang di maksud pria bernama Leon tadi adalah orang jahat? Andin tak takut pada apapun saat ini. Setelah Haidar di rebut paksa oleh Akmal, separuh jiwa dalam dirinya ikut pergi bersama sang buah hati. Persetan andai nanti Andin di bunuh atau di celakai, bagi Andin bukan hal yang penting lagi bagaimana jalan hidup Andin ke depan. Toh meski Andin hidup hingga saat i
Akmal Sanjaya tengah duduk di ranjang kamar pribadi didalam ruangan kantornya. Kamar mungil yang hanya ada tempat tidur, kamar mandi, meja rias dan satu lemari kecil di sisi meja rias.Pikirannya tengah mengelana jauh memikirkan penolakan demi penolakan yang Andhini berikan padanya.Seperti karma, kini Akmal tak bisa jauh dari Andhini. Resah gelisah senantiasa menemani harinya, menyelimuti jiwanya yang terasa hampa. Kini, Akmal tak tau lagi kemana harus menepi dari lautan rasa bersalah yang menenggelamkannya.Dulu, ketika dirinya masih terikat pernikahan siri dengan Andini, ia tak pernah merasakan hampa hatinya dan kekosongan jiwa seperti ini. Tapi kini, setelah ia terlampau menjatuhkan talak pada Andhini, barulah ia menyadari betapa keberadaan Andhini demikian berperan besar dalam hidupnya.Ia kembali teringat dengan kejadian naas sebelas bulan yang lalu, ketika ia dengan senagaja meninggalkan Andhini yang menangis pilu melepas kepergia
Seumur hidup, Andini tak pernah merasa sebodoh ini. Ia merutuki, bahkan menyumpah serapah dirinya sendiri yang mudah terbuai akan sentuhan pria asing seperti Tristan.Dirinya terdiam beberapa detik, mengembalikan kesadaran yang separuhnya berkelana entah kemana. Tak lama kemudian, Andhini menunduk, menyembunyikan rona merah pada wajahnya."Bagaimana, nona Andini? Kau masih tak percaya dengan apa yang ku katakan?"Suara Tristan yang tegas, mau tak mau membuat Andini mengangkat wajahnya dengan penuh malu. Kedua pipi putihnya kini nampak seperti kelopak sakura yang bertebaran, mendominasi warna sedikit kemerahan yang membuat Tristan merasa geli sendiri dalam hati.Tristan bukan orang bodoh. Entah mengapa, kini dirinya seolah merasakan emosi asing seperti yang pria normal lainnya rasakan terhadap lawan jenis yang mampu memikatnya. Mungkinkah, Tristan jatuh cinta? Oh tidak...... Tris