"Bella, apa yang kau lakukan di ruanganku?" tanya Arfeen denga keterkejutannya mendapati wanita itu ada di ruangannya. Bella yang tengah duduk di sofa sambil memainkan gawainya pun bangkit berdiri dengan senyum."Menunggumu!""Diana!" teriak Arfeen membuat wanita yang duduk di meja depan tergopoh menghampiri. "I-iya, Presdir!" Pantas saja wanita itu ketakutan setengah mati saat dirinya kembali dari ruang meeting. Rupanya karena ada penyusup. "Kenapa dia bisa ada di ruangaku?""Maaf, Presdir. Nona Bella memaksa untuk masuk ke ruangan Anda!""Seharusnya kau tahu siapa saja yang boleh memasuki ruangan ini!"Diana sekarang memang menjabat menjadi asisten sekretaris. Meski tidak sesuai dengan keinginannya untuk menjadi sekretaris Arfeen tapi asisten sekretaris masih lebih baik daripada hanya menjadi manager atau staf biasa. Setidaknya ia masih bisa lebih dekat dengan Arfeen. Ia juga tahu apa saja kegiatan pria itu selama setidaknya 12 jam yang bahkan mungkin istrinya pun tidak tahu."
Arfeen memungut tangan sang istri, menggengamnya erat. "Wife, aku bicara jujur padamu. Sejak kita bersama, kau satu-satunya wanita dalam hidupku. Dan aku tidak peenah menginginkan wanita lain selain dirimu!"Ucapan Arfeen terdengar meyakinkan, tentu saja ia ingin percaya. Tapi mengetahui di masa lalu Arfeen seringnya berganti wanita membuat hati Larena ragu. Arfeen juga tahu tak semudah itu membuat sang istri percaya. Ia akan memberi waktu daripada wanita itu tertekan lalu berpengaruh pada kesehatan dirinya dan juga bayinya. "Ok, membuktikan dengan ucapan itu tak mudah. Tapi aku pasti akan membuktikan bahwa aku tidak berbohong! Kau bisa memeriksa pakaian dan tubuhku, apakah ada parfum wanita yang menempel selain parfummu?"Larena terkesiap. Ketika Bella melewatinya tadi ia sempat mencium aroma parfumnya. Tentu ia bisa mengenali. Jika memang tak ada aroma paefum Bella pada tubuh Arfeen berarti suaminya tidak berbohong. Akhirnya Larena mendekatkan wajah ke tubuh sang suami. Menghidu
Arfeen terpaku mendapati sang mertua ada di kantornya. Vano bangit dari duduk, menghampirinya bersama Viera. "Sedang apa kau di sini?" tanya Arfeen sedikit dingin. Ia ingin memangil Vano denbgan sebutan papa seperti biasanya. Tapi tenggorokannya terasa sangat sakit. "Aku ingin menemui putriku, aku masih papanya!" ucap Vano dengan ekspresi yang sama dinginnya. "Lagipula katamu ... kita harus bicara!"Semua mata yang melihat bisa merasakan ketegangan di antara mertua dan menantu itu. Ada aura permusuhan yang jelas kentara. Arfeen bukannya membenci Vano, tapi ia terlanjur menyayangi pria itu seperti papanya sendiri. Dan kenyataan pahit yang ia temukan jelas menggoreskan luka di hatinya. Vano juga merasakan hal yang sama. Ia mulai menyukai Arfen sebagai menantu, dan ketika ia tahu bahwa Arfeen adalah putra Malik. Hatinya juga hancur. Saat Malik masih hidup, Arfeen jarang tampil di muka umum. Anak itu sengaja disembunyikan karena dialah yang akan menjadi penerus klan Mahesvara yang h
Semua mata mengarah pada Larena. "Kapan? Kapan Gibran berkata seperti itu?" tanya Viera tidak sabaran. "Tadi, di kediaman Kakek. Saat aku hendak pulang dia mengirimiku pesan singkat dan memberitahu tentang hal itu!"Baik Fano maupun Viera melotot pada putrinya. "Kau pergi ke kediaman kakekmu dan tidak memberitahukan kami sama sekali!" seru Viera dengan nada tinggi."Maafkan aku, Ma, Pa. Tapi saat aku sedang dalam perjalanan ke La Viva tiba-tiba saja Larissa menelponku. Katanya Kakek menyuruhnya untuk meneleponku. Kakek memintaku datang ke rumahnya, jadi aku bertanya kepada Arfeen apakah sebaiknya aku datang dan akhirnya aku datang."Vierra tersenyum sinis, "Kenapa kakekmu tiba-tiba saja mengundangmu datang? Apa yang dia inginkan? Apakah dia tahu sekarang Arfeen memiliki kedudukan penting di Mahesvara Group, itu sebabnya dia mulai bersikap baik kepadamu!""Awalnya memang begitu, Ma. Kakek ingin memanfaatkan kedudukan Arfeen di Mahesvara Group untuk mempertemukannya dengan Tuan Muda M
"Kali ini apa yang harus saya lakukan?" tanya Rohan pada si penelepon. "Habisi bayinya!""Dia sedang hamil?" tubuh Rohan menegang. "Kau dibayar bukan untuk banyak bertanya, lakukan saja tugasmu!""Bukankah Anda bilang hanya menerornya saja? Tapi kenapa sekarang saya harus membunuh bayinya?""Itu bukan urusanmu!""Saya tidak bisa membunuh bayi yang tidak berdosa!""Cih! Jangan sok suci. Tanganmu itu sudah berlumuran darah.""Saya tahu, tapi bukan darah dari bayi suci yang bahkan belum berwujud!""Kau pikir aku tak bisa mendapatkan orang lain. Tugas seperti ini sangat mudah, tapi tidak semua orang bisa memberikan harga yang tinggi!"Rohan menggerutu. Ia membutuhkan uang itu. Tapi tidak dengan cara seperti ini. Membunuh bayi yang tidak berdosa itu sama sekali bukan prinsipnya. Ia sudah melakukan banyak dosa selama hidupnya tapi tidak dengan membunuh bayi yang bahkan masih belum berwujud. "Maaf, Tuan Jaya. Tapi saya tidak bisa melakukan tugas ini!" tolaknya lalu menutup sambungan telepo
Sesampainya di klub Arfeen mengajak sang istri untuk memasuki ruang kantornya. Ia bahkan menyuruh sang istri untuk duduk di kursinya kemudian ia memanggil Steve, manajer yang menangani semua masalah klub."Ada apa, Bos?""Aku ingin kau mengumpulkan semua para gadis di ruangan ini!" pintanya membuat Steve melotot. Tumben sekali Bosnya itu ingin mengumpulkan para gadis di sini. Ada apa? apakah mereka akan mendapatkan bonus. Steve pun meminta beberapa anak buahnya untuk memanggil semua para gadis.Mereka semua memang sudah datang sejak jam 08.00 meskipun klub mulai beroperasi jam 09.00. karena selama ini Bosnya itu jarang sekali murka jika mengenai pekerjaan. Maka mereka pun tidak merasa khawatir ketika dikumpulkan seperti itu. Semua para gadis pun berkumpul di ruangan. Mereka berdiri berjejer dengan perasaan yang tidak menentu apalagi rupanya bosnya membawa sang istri.Nyaris dari mereka semua mengidolakan Larena sebagai wanita tercantik di Kota meski dulu sempat muncul rumor yang menga
Selesai membubarkan semua para wanita dan menyuruh mereka pulang terjadi sedikit keributan di dalam klab. Semua para tamu yang biasa membooking para wanita ini harus menelan kepahitan karena mulai hari ini mereka tidak bekerja lagi bahkan manajer klub mengumumkan bahwa mereka sudah tidak menyediakan lagi jasa para wanita penghibur. Tentu saja mereka kecewa tapi tetap mereka menghargai keputusan dari pemilik klab. Siapa yang berani melawan keluarga Mahesvara? Namun tetap saja ada beberapa orang yang tidak terima bahkan ada yang mengamuk sehinggabJordi harus turun tangan sendiri untuk membungkam dan mengusirnya dari klab. Pihak klab tidak akan mentolerir siapa yang berani membuat keributan.Setelah keributan usai steve pun menyampaikan tantangan yang diberikan oleh Hardii melalui anak buahnya."Maksudmu Hardi menantangku berduel di atas ring lusa malam?" saut Arfeen menanggapi."Ini adalah tantangan secara terbuka. Apakah Bos akan menerima tantangan ini?"Arfeen mengetukkan jemarinya di
"Ini seperti mimpi pantas saja Aura yang dimiliki Arfeen itu sangat berbeda dari pemuda biasa!" puji Belinda. "Apa maksudmu?""Sejak awal aku sempat menduga jika sebenarnya Arfeen memiliki identitas lain Tapi kan aku pikir tidak akan ada percaya jadi aku tidak pernah mengungkapkan hal itu!""Kau itu hanya mengada-ngada!" "Aku serius, Rena.""Kita bahas yang lain saja.""Jadi kau akan membuka salon kecantikan?"Larena mengangguk. "Iya, aku akan memperkerjakan mereka yang bersedia. Kau tahu Bel. Berhasil membantu orang-orang yang membutuhkan itu benar-benar menciptakan perasaan yang sangat luar biasa!" "Aku yakin Arfeen selama ini sering melakukan hal itu tapi dia selalu menutupinya!" Belinda jadi teringat Arfeen pernah meminta bantuannya untuk memilihkan hadiah untuk Larena, tapi sepertinya pemuda itu belum sempat memberikannya kepada sahabatnya itu. Belinda jadi merasa iri meskipun Arfeen bukan tuan muda maheswara tapi pemuda itu jelas sangat terlihat sangat mencintai Larena. Di
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me