Arfeen masih terpaku setelah mendengar penuturan dokter tentang bayinya. Perlahan ia menggeleng, tentu saja ia tidak akan percaya dengan hal ini bayinya masih baik-baik saja. Larena tidak keguguran.dokter itu pasti berbohong!Arfeen segera mencekram leher si dokter, menyadarkannya di tembok."Kau pasti bohong kan dokter, bayiku baik-baik saja. dia masih bersama ibunya.""Maafkan saya! tapi itu memang benar, salah satu bayi Anda tidak bisa kami selamatkan!"Deg!Salah satu? tubuh Arfeen mengendur. "Apa maksudmu dengan salah satu dokter?""Istri Anda mengandung anak kembar. salah satunya tak bisa diselamatkan, akan tetapi yang satu lagi masih selamat!"Arfeen bernafas sedikit lega, meski tetap saja ada luka yang tergores. Larena mengandung bayi kembar, tapi salah satu bayinya tak bisa diselamatkan. Bukan hanya Arfeen yang terluka mendengarkan hal itu tapi Vano dan Vierra yang belum lama sampai pun ikut melemas. Seharusnya mereka bisa memiliki cucu kembar, Tapi kini hanya salah satu ya
Arfeen mendekati ranjang Larena. Wanita itu tengah duduk melamun, ketika merasakan kehadiran Arfeen ia menoleh perlahan. Air mata kembali menggelinding di pipinya. Meski di dalam perutnya masih ada satu bayi lagi namun tetap saja ada rasa sakit yang masih tersimpan.Hati Arfeen sangat sakit melihat istrinya seperti itu, ia pun langsung merengkuh wanita itu ke dalam dekapan.Membiarkan wanita itu menangis di sana sampai benar-benar tenang. Setelah Larena berhenti menangis, ia membujuk ya untuk makan. "Aku tidak lapar!""Mungkin kau tidak, tapi bagaimana dengan baby-nya? Kau tega dia kelaparan, dia juga pasti bersedih karena saudaranya pergi. Tapi bukan berarti tak membutuhkan asupan!"Larena terperanjat, ya ... ia masih memiliki satu baby di dalam perutnya. Ia tak boleh membiarkan baby-nya kelaparan meski ia sedang bersedih. Ia tak ingin terjadi sesuatu dengan bayi yang satunya lagi, ia tak ingin kehilangan lagi.Akhirnya ia pun mau makan disuapi oleh sang suami. "Sekarang kau isti
Rohan masih belum menjawab pertanyaan Arfeen. Tentu saja ia memiliki alasan kuat untuk tak langsung mengatakannya, tapi mungkin jika ia tetap bungkam, tuan muda Mahesvara bisa saja menghabisinya saat ini juga. Dan jika ia mati, siapa yang akan menyelamatkan Dara. Ia sudah berjanji akan mengeluarkan Dara dari tempat terkutuk itu. Rohan membalas tatapan Arfeen. Bukankah pria di depannya ini bisa membantu? Ia sangat berkuasa bukan?"Informasi ini sangat mahal, Tuan Muda. Saya yakin orang itu sudah tahu bahwa saya mencoba menggagalkan rencananya. Dan mungkin saat ini ... dia sedang mengincar satu-satunya orang yang paling berharga dalam hidup saya!"Arfeen menyipitkan mata, dari informasi yang dikumpulkan Agha. Rohan memang memiliki seorang kekasih, tapi saat ini kekasihnya menjadi salah satu penari striptis di Butterfly Night Club. Rohan beberapa kali mencoba membawanya kabur namun selalu gagal. Bahkan sekarang Rohan tak lagi bisa datang ke tempat itu. Arfeen mengagumi kesetiaan pria
"Jaya Mahesa!" Ulang Arfeen menyebut nama itu, Rohan sama sekali tak berani bereaksi. Ada nada getir dalam suara Arfeen. Orang kepercayaan sang kakak, kenapa Jay menargetkan calon anaknya? Apakah kakaknya tahu tentang hal ini? Arfeen tahu betul, Jay sangat memprioritaskan kakaknya. Pria itu akan melakukan apa pun asalkan bisa membuat Lyra bahagia. Sejak dulu, Jay menyimpan perasaan kepada Lyra. Tapi bagi Lyra Jay hanyalah orang yang memang pantas ia andalkan, bukan sebagai pendamping hidup. Melainkan tangan kanannya, algojonya. Jay tak pernah mempermasalahkan hal itu. Meski ia hanya akan dianggap budak oleh Lyra, ia rela asalkan tetap diperbolehkan berada di sisi wanita itu. Lyra tak pernah melarang Jay melakukan apa pun, bahkan ia juga bisa melakukan apa yang ia inginkan selama itu bisa membuat Lyra aman dan bahagia. Tentu saja Arfeen tidak akan menanyakan hal ini kepada Lyra secara langsung karena ia takut akan menyinggung hati kakaknya. Tapi ia kan langsung menanyakan itu kep
Arfeen keluar dari dalam kamar mandi hanya mengenakan handuk melilit pinggangnya. "Wah ... ada tamu rupanya!" Mata Larisa tak berkedip menyaksikan pandangan indah di depan matanya. Ia tak pernah menyangka jika Arfeen memiliki tubuh sebagus itu. Kedua matanya sampai tak berkedip. Arfeen berdiri bersandar tembok dengan santai. Ia melirik sang istri yang tampak sebal. "Arfeen, kenapa tak pakai baju?" sungut Larena. "Bajunya di lemari!" Arfeen menunduk lemari pakaian dengan dagu yang terhalangi orang-orang. Semua mata pun menoleh arah yang dituju Arfeen. Jadi akhirnya beberapa dari mereka menggeser tubuhnya baru Arfeen berjalan ke lemari untuk mengambil pakaian. Dan ia memilih mengenakannya di kamar sebelah, setelah rapi baru kembali ke kamarnya. "Kau mau ke mana?" tanya Larena yang melihat sang suami rapi. Ini kan hari Sabtu, seharusnya Arfeen bisa di rumah saja menemaninya. Arfeen mengambil sepatu dan duduk di ujung kasur untuk mengenakannya. Semua mata memperhatikan dirinya. "
"Lebih baik kita bicara di luar saja, Larena masih butuh ketenangan!" ajak Viera yang tahu perbincangan ini akan memanas. Tentunya Viera tak ingin Larena sampai keguguran lagi. Putrinya itu sedang mengandung calon pewaris klan Mahesvara. Ia yakin jika anak yang dilahirkan Larena itu laki-laki, cucunya itu yang akan mewarisi tahta Arfeen nantinya. Itu sebabnya ia harus membujuk Vano untuk mengalah saja pada menangunya. Entah suaminya itu bersalah atau pun tidak, akui saja jika ia memang salah dan meminta pengampunan dari Arfeen, mungkin masalahnya bisa beres. Arfeen sangat mencintai Larena, jadi ia yakin jika pemuda itu pasti akan memaafkan suaminya.Semua membenarkan ucapan Viera, mereka pun berbicara di ruang tamu. Sementara Jean masuk ke kamar Larena membawa bubur pesanan wanita itu. Sementara Arfeen saat ini berada di markas, latihan fisik. Ia berlatih dengan Jordi. Arfeen tak pernah menyangka jika rupanya Jordi nyaris setangguh dirinya. Ia tak pernah mengetahui rekam jejak Jor
"Kita akan lihat apakah istriku cocok denganmu atau tidak. Jika dia tidak cocok aku tak bisa menerimamu!""Saya mengerti, Tuan Muda."Dara hanya ingin membalas Budi pria yang ada di hadapannya. Ia tahu ia tak memiliki apa pun untuk bisa membalas kebaikannya, selain tenaga dan kesetiaan. Seperti Rohan yang memutuskan untuk mengabdi padanya, ia juga akan melakukan hal yang sama. Mengabdi pada tuan muda Mahesvara.Ia berharap istri dari tuan muda Mahesvara bersedia menerimanya sebagai pelayan.Itu jauh lebih baik daripada ia harus mempertontonkan tubuhnya kepada para pria hidung belang di klub. Bahkan melayani nafsu bejat mereka. Ia memang mendapatkan uang tips yang lumayan dari pekerjaannya itu. Tapi itu semua tidak akan bisa membeli kebahagiaan. Semalam setelah penggrebekan terjadi, dna memberikan keterangan sebagai saksi pad apihak kepolisian. Ia mengikuti Rohan ke kontrakannya, ia sengaja tak membawa semua uang yang ia dapatkan sebagai tips. Ia tak mau mengunakan uang itu lagi. "M
Tubuh Arfeen terpelanting ke lantai ring. Semua orang tercekat menyaksikan hal itu. "Kubilang apa ... Hardi itu tidak terkalahkan!" ujar salah satu penonton yang memasang taruhan untuk Hardi."Hei, apa kau tidak tahu siapa yang menjadi lawan Hardi saat ini?" saut teman yang satunya lagi. "Aku dengar dia adalah Tuan Muda keluarga Mahesvara!" jawab si orang pertama. Pria berjaket biru itu menyimpulkan senyum miring. "Dia adalah Zagan, raja mafia yang menjadi ketua federasi. Itu sebabnya aku berani pasang taruhan tinggi untuknya!" "Apa katamu? Zagan? Ketua federasi ... maksudmu kelompok jaringan hitam yang menguasai Asia itu?" saut pria yang mendukung Hardi. "Iya. Aku yakin dia bisa mengalahkan Hardi Suwiryo, lihat saja beberapa menit lagi. Apa yang terjadi saat ini baru pemanasan untuknya!" Terus terang pria ini belum pernah melihat langsung seperti apa rupa Zagan sebelum hari ini. Ia pikir pria itu berwajah sangar karena biasanya ketua mafia memang sangar meskilun tampan. Tapi Za
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me