Arfeen mencoba mempertahankan keseimbangan mobil itu agar tak terbalik. Mobil itu hanya berputar beberapa kali lalu menabrak bagian belakang mobil lain yang melaju. Tak elak, kecelakaan beruntun pun terjadi. "Sial! Sepertinya mereka sungguh ingin membunuhku!" umpat Arfeen kesal. Ia melaju lagi ke tepi jalanan. "Sayang! Sayang!" panggil Arfeen. Larena membuka mata perlahan. "Kita masih hidup?" nafasnya terengah. "Tentu saja, aku tak akan membiarkan kita terbunuh. Bukankah aku berjanji menemanimu sampai menua!" Ia masih sempat menyelipkan canda. Kesadaran Larena kembali saat ia merasakan ada sesuatu di telapak tangan. Pandangannya jatuh ke telapak tangannya sendiri, di mana di sana sudah ada sebuah senjata api. Terang saja ia melotot. "Kunci pintunya dari dalam, aku akan menghadapi mereka. Jika ada bahaya yang datang padamu, tembak saja. Dan jika keadaannya tak memungkinkan, pergilah dari sini!" perintahnya. Larena menggeleng, "Tidak, aku tidak bisa menembak. Dan aku juga
"Apa? Hanya kecelakaan beruntun? Bagaimana bisa?" tanya Larena heran. Jelas-jelas semalam pihak kepolisian meminta mereka untuk memberikan kesaksian pagi ini. Tapi kenapa hari ini justru yang tersiar fakta yang berbeda? Hanya kecelakaan beruntun. Dan penyebab kecelakaan ialah rem mobil salah satu mobil blong. Ini tak masuk diakal? Larena melirik sang suami. "Apa ini ada hubungannya denganmu?" "Apa maksudmu?" tanya Arfeen membalas tatapan itu. "Kau dekat dengan Tuan Muda Mahesvara kan? Mungkin saja penyerang pertama mengincar bosmu itu, mereka adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Tentu saja mereka tak ingin kasusnya ditangani pihak kepolisian!" "Kau terlalu jauh berfikir, sayang!" "Tidak, Arfeen. Apalagi jika benar bahwa klan Mahesvara memegang kendali dunia bawah. Mereka bisa melakukan apa pun, bahkan membeli hukum sekalipun!" Karena tampak cemas dan takut. Arfeen menyentuh wajah wanita itu dengan lembut. Larena sedikit terperanjat, ia mengangkat pandangan hingga ma
Pria itu merasa lega karena akhirnya ia bisa melihat cahaya, sebelumnya ia berada di dalam karung. Itu yang membuatnya merasa gelap. Ia pun mengangkat pandangan ke atas perlahan. "Arfeen?" desisnya. Amarah langsung tersulut. "Pengecut! Berani sekali kau menculikku. Lepaskan aku dan mari kita bertarung lagi!" tantang Robert. Seringai miring terlukis di wajah Arfeen. "Tak masalah jika kau hanya berniat menyakitiku, Robert. Tapi kau telah membahayakan nyawa istriku, itu yang membuatku marah!" "Tapi bukan berarti kau melakukan hal pengecut macam ini, lepaskan aku?" Ia meronta. "Memangnya kau mau apa jika kulepaskan? Melawanku? Kau yakin mampu mengalahkan aku?" Arfeen berjongkok di depan wajah Robert. Robert menatapnya penuh benci. "Kau tampak sangat membenciku, Robert! Baiklah ... kita bertarung sekali lagi. Kali ini ... di tempat yang sangat menyenangkan!" ujarnya kembali berdiri. Ia pun memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepas ikatan Robert. Begitu ikatan Robert
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Robert menatap Arfeen. Arfeen hanya tersenyum menyeringai. "Bedebah!" umpat Robert menyerangnya lagi, dengan mudah Arfeen menangkap tangan Robert lalu memukul wajahnya hingga terpental ke belakang. Robert menyentuh darah di hidungnya, menatap ujung tangan yang berwarna merah kemudian menyeka darah di hidungnya itu. Pukulan Arfeen sangat kuat, teman kampusnya itu seolah sudah sangat terlatih. Siapa dia sebenarnya? "Katanya kau ingin menghabisiku, Robert. Lakukanlah, jika kau mampu!" ujar Arfeen sengaja menantang. Robert mengepalkan tinjunya yang sudah terasa perih. Jika ia ingin keluar dari tempat itu ia harus bisa menghabisi Arfeen. Robert tak langsung menghantam Arfeen, namun ia melakukan gerakan memutar sambil merunduk untuk memungut pecahan kaca dalam genganggam. Dengan cepat ia kembali bangkit untuk melemparkan pecahan kaca itu ke arah Arfeen. Arfeen mengangkat lengan untuk menutupi wajahnya dari pecahan kaca itu. Beberapa pacahan kaca yang ta
"Ma-maksudmu ... Pandu yang akan menanggung dosa papanya, begitu?" tanya Nathan sedikit terbata. Arfeen hanya menjinjing satu alis, membuat Nathan harus menghela nafas berat. "Feen, bukannya aku ingin ikut campur. Tapi ... apa itu tidak berlebihan?" Arfeen menyesap minumannya dengan santai lalu mengeluarkan sekotak rokok. Melolos satu batang kemudian menyelipkan di bibir. Menyulut ujungnya dengan korek sembari mengisap hingga mengepulkan asap putih ke udara. "Pandu bukan anak kecil, dia sudah cukup umur untuk menggantikan hukuman papanya!" Celeguk!Nathan menelan salivanya. Dari ekspresi Arfeen, Nathan yakin sahabatnya itu tidak main-main. Apalagi Arfeen adalah Zagan. Tentu saja apa yang diucapkannya akan dilakukan. Tapi jika Pandu bersih, kenapa harus dia yang menerima hukuman. Padahal papanyalah yang bersalah. "Terkadang kita harus memberi seseorang pelajaran yang sangat berharga agar dia bisa berfikir seribu kali sebelum bertindak!" saut Arfeen menjelaskan. Apa yang dikatak
"Kau?" seru Pandu yang sangat terkejut mengetahui sosok yang baru saja muncul di hadapannya. "Arfeen kan?" Dengan sangat santai Arfeen duduk di salah satu single sofa berhadapan dengan Pandu. "Apa kabar, Pandu?" tanyanya ramah. "Apa maksud semua ini? Kenapa kau menahanku?" tanya Pandu yang masih tak mengerti. Arfeen menyandarkan punggung dan menyilang kedua kakinya dengan gaya elegant. "Bagaimana jika kusarankan kau untuk bertanya pada ayahmu saja?" saut Arfeen penuh arti. Pandu kian melebarkan mata. Bertanya pada papanya? Kenapa Arfeen memintanya bertanya pada sang papa? Apakah ini ada hubungannya dengan papanya? "Papa?" "Tempo hari ... kalian bercengkerama di telepon kan? Kau pasti tahu di mana papamu bersembunyi!" Pandu tak menjawab. "Kau tak memerlukan penjelasan apa pun dariku, kau tidak memiliki otoritas untuk itu!" ujar Arfeen yang masih lekat menatap Pandu yang masih tampak bingung. "Kau tahu, Pandu?" imbuh Arfeen. "Tak ada seorang yang pun yang bisa lolos, ji
Freya masih duduk diam di kursi tunggu, ia masih ingat percakapan terakhir dengan suaminya itu.'Apa maksudmu jika Arfeen bukan orang sembarangan, sejak dulu kita tahu bahwa Arfeen hanyalah orang rendahan!''Tapi dia sekarang berbeda.''Persetan, aku tidak peduli. Bagiku Arfeen masih sama seperti dulu, dia hanya sampah! Dan aku sangat tidak rela jika akhirnya kau tergoda padanya.''Aku akan menghancurkannya, aku akan menghabisinya!''Kau tak akan bisa menyentuhnya, Robert!'Robert sama sekali tak peduli dengan apa yang diucapkan Freya. Ia juga terlanjur kecewa karena mengetahui Freya mulai tergoda pada Arfeen hanya karena sebuah Maybach! Freya tahu Robert tidak main-main dengan ucapannya. Suaminya itu pergi untuk mencelakai Arfeen, dan sekarang justru Robert yang terkapar di rumah sakit. Dokter keluar dari ruang ICU. "Dokter, bagaimana putraku?" tanya Anika tidak sabaran. Dokter memasang wajah muram. "Kondisi Tuan Collins cukup kritis, salah satu kakinya patah dan terpaksa harus d
Usai pertemuannya dengan Jenderal Amar, Arfeen langsung pulang. Ia ingin segera istirahat karena hari ini sangat melelahkan. Larena sudah lelap saat ia sampai. Biasanya wanita itu akan menunggunya pulang, tapi mungkin karena terlalu lelah jadi tertidur lebih dulu. Arfeen menatap wajahnya yang pulas untuk beberapa waktu sebelum ia membersihkan diri di kamar mandi. Larena terbangun saat mendengar suara dering handphone yang berulang. Ia tahu itu handphone sang suami, jadi suaminya sudah pulang!Mungkin saja penting karena sang penelepon mengulangi hingga beberapa kali. Maka ia pun berinisiatif untuk mengangkat. Ia meraih benda itu di atas nakas. "Kakak?" desis Larena bingung. Apakah kakak yang dimaksud ini adalah keluarga yang pernah Arfeen ceritakan?Suara bunyi kamar mandi terbuka membuat Larena sedikit melonjak. Dengan cepat ia menutup layar handphone Arfeen dan meletakkan benda itu ke tempat semula.Dengan kilat pula ia kembali merebah, berpura-pura tertidur. Arfeen buru-buru