"Kenapa, Ma?" tanya Arfeen lagi."Kau masih bertanya, ini juga ada hubungannya denganmu. Karena Larena memutuskan untuk mempertahankan pria rendahan sepertimu ... Papa mencabut semua dana di La Viva!""Tapi bukankah aku sudah memperbaiki itu?"Viera menyimpulkan senyum kecut, "Kau pikir itu cukup? Nyatanya suamiku kian diremehkan oleh keluarga besarnya!"Arfeen menoleh Vano yangtetap menyantap sarapannya dengan santai. Muncul senyum aneh di bibir Arfeen. "Mama tidak perlu khawatir, Tuan Muda tak benar-benar menjalin kerja sama dengan Jaya Abadi Corp. Dia hanya ingin menyelidiki tentang Megaproyek, siapa sebenarnya yang menciptakan konspirasi dalam Megaproyek!" Tubuh Vano membatu, menantunya itu ingin membantu tuan muda Mahesvara menyelidiki tentang Megaproyek? Vano menenggak air mineralnya, "Baiklah, Arfeen. Jika kau bisa membersihkan namaku di dunia bisnis. Mungkin aku bisa mempertimbangkan statusmu di rumah ini!" Itu adalah syarat yang Vano berikan. Sebuah kesempatan yang memang
"Baiklah, Jordi. Jadi lain kali aku boleh ngobrol dengan ibumu kan?" tanya Arfeen. "Tentu saja, Presdir! Jadi sekarang ke mana? Kembali ke kantor?" "Ke kampus! Aku ada kelas.""Kita sungguh mencancel semua meeting hari ini?" "Tidak juga, ada beberapa yang diwakili oleh Liam. Dia masih memegang kendali Mahesvara Group!""Tapi Presdir, bagaimana jika di kampus akan terjadi hal seperti kemarin? Maksud saya ... para gadis itu!" "Ouh!" Arfeen menggaruk batang hidung. "Jujur, aku pernah mengalami hal itu. Beberapa tahun lalu, tapi tidak seperti sekarang!" Ia mengingat masa di mana dulu saat dirinya belum terusir. Di sekolah dan kampus pun ia dikelilingi para gadis cantik. Meski ia tetap bersikap dingin, tapi ada saja yang mencoba mendekatinya. "Ini akan menjadi tugas berat untuk saya, Tuan. Saya tak pernah menghadapi para gadis yang mengerikan!"Arfeen justru tertawa. Ketika sampai kampus, Arfeen melepas jas, dasi lalu mengeluarkan bagian bawah kemeja yang biasa tersimpan rapi di dal
"Sekarang?" Frita mengangguk tanpa ragu. Jordi sedikit bingung, tak mungkin ia pergi kan? Secara bosnya masih di kampus. "Bagaimana jika lain kali, aku tak bisa meninggalkan Presdir sendiri!" tolaknya. Wajah ceria Frita langsung berubah masam dengan bibir manyun. "Katakan saja memang kau tak mau mengenalkan aku pada ibumu kan? Kau tidak serius denganku kan? Kau hanya mencari keuntungan saja dari tubuhku!" kesalnya berbalik dan hendak melangkah. "Frita bukan begitu!" ujar Jordi menghentikan langkah Frita. "Tugas utamaku adalah mendampingi Presdir, di jam kerja aku tak bisa meninggalkannya!" Frita masih tak berbalik, meski ia mengerti akan hal itu. Ia sendiri tak ingin melawan Arfeen sekarang. "Bagaimana jika ... sepulang kerja nanti. Kau mau aku jemput di mana?" Wajah Frita langsung bersinar bak rembulan. Jordi bersedia membiarkan dirinya menjenguk sang ibu? Apakah artinya pria itu serius padanya? Ia lekas berbalik. "Jemput aku di rumah, jam 8!" "Jam 8? Di rumahmu? Tap
"Ha? Ba-bayi?" beo Larena."Kau tidak berfikir untuk menunda kehamilan kan?" tanya Arfeen membuat Larena menelan ludah. Menunda kehamilan? Larena bahkan tak berfikir sama sekali akan hal itu. Ia hanya mencoba menjalani pernikahan ini seperti kesepakatan mereka. "Aku ... tidak melakukan program apa pun."Arfeen mengulum senyum. "Good! Usiamu memang sudah tak diperbolehkan menunda kehamilan, atau kau tidak akan bisa hamil!" Larena sedikit terperangah, ia menyadari berapa usianya sekarang! Memang sudah seharusnya ia memiliki anak. Saat pikiran Larena melalang buana, Arfeen justru mengambil kesempatan itu untuk memagut bibir ranum sang istri. Kedua mata Larena melotot saking terkejutnya, namun ciuman lembut itu berhasil menyihirnya. Membuatnya membalas tiap kecup yang sang suami berikan. Arfeen bangkit membawa Larena bersamanya lalu mengangkat tubuh wanita itu, mendudukkannya di meja tanpa melepaskan pagutan. Tangan Larena mulai meremasi otot-otot di lengan Arfeen. Ia memang selalu
Arfeen mencoba mempertahankan keseimbangan mobil itu agar tak terbalik. Mobil itu hanya berputar beberapa kali lalu menabrak bagian belakang mobil lain yang melaju. Tak elak, kecelakaan beruntun pun terjadi. "Sial! Sepertinya mereka sungguh ingin membunuhku!" umpat Arfeen kesal. Ia melaju lagi ke tepi jalanan. "Sayang! Sayang!" panggil Arfeen. Larena membuka mata perlahan. "Kita masih hidup?" nafasnya terengah. "Tentu saja, aku tak akan membiarkan kita terbunuh. Bukankah aku berjanji menemanimu sampai menua!" Ia masih sempat menyelipkan canda. Kesadaran Larena kembali saat ia merasakan ada sesuatu di telapak tangan. Pandangannya jatuh ke telapak tangannya sendiri, di mana di sana sudah ada sebuah senjata api. Terang saja ia melotot. "Kunci pintunya dari dalam, aku akan menghadapi mereka. Jika ada bahaya yang datang padamu, tembak saja. Dan jika keadaannya tak memungkinkan, pergilah dari sini!" perintahnya. Larena menggeleng, "Tidak, aku tidak bisa menembak. Dan aku juga
"Apa? Hanya kecelakaan beruntun? Bagaimana bisa?" tanya Larena heran. Jelas-jelas semalam pihak kepolisian meminta mereka untuk memberikan kesaksian pagi ini. Tapi kenapa hari ini justru yang tersiar fakta yang berbeda? Hanya kecelakaan beruntun. Dan penyebab kecelakaan ialah rem mobil salah satu mobil blong. Ini tak masuk diakal? Larena melirik sang suami. "Apa ini ada hubungannya denganmu?" "Apa maksudmu?" tanya Arfeen membalas tatapan itu. "Kau dekat dengan Tuan Muda Mahesvara kan? Mungkin saja penyerang pertama mengincar bosmu itu, mereka adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Tentu saja mereka tak ingin kasusnya ditangani pihak kepolisian!" "Kau terlalu jauh berfikir, sayang!" "Tidak, Arfeen. Apalagi jika benar bahwa klan Mahesvara memegang kendali dunia bawah. Mereka bisa melakukan apa pun, bahkan membeli hukum sekalipun!" Karena tampak cemas dan takut. Arfeen menyentuh wajah wanita itu dengan lembut. Larena sedikit terperanjat, ia mengangkat pandangan hingga ma
Pria itu merasa lega karena akhirnya ia bisa melihat cahaya, sebelumnya ia berada di dalam karung. Itu yang membuatnya merasa gelap. Ia pun mengangkat pandangan ke atas perlahan. "Arfeen?" desisnya. Amarah langsung tersulut. "Pengecut! Berani sekali kau menculikku. Lepaskan aku dan mari kita bertarung lagi!" tantang Robert. Seringai miring terlukis di wajah Arfeen. "Tak masalah jika kau hanya berniat menyakitiku, Robert. Tapi kau telah membahayakan nyawa istriku, itu yang membuatku marah!" "Tapi bukan berarti kau melakukan hal pengecut macam ini, lepaskan aku?" Ia meronta. "Memangnya kau mau apa jika kulepaskan? Melawanku? Kau yakin mampu mengalahkan aku?" Arfeen berjongkok di depan wajah Robert. Robert menatapnya penuh benci. "Kau tampak sangat membenciku, Robert! Baiklah ... kita bertarung sekali lagi. Kali ini ... di tempat yang sangat menyenangkan!" ujarnya kembali berdiri. Ia pun memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepas ikatan Robert. Begitu ikatan Robert
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Robert menatap Arfeen. Arfeen hanya tersenyum menyeringai. "Bedebah!" umpat Robert menyerangnya lagi, dengan mudah Arfeen menangkap tangan Robert lalu memukul wajahnya hingga terpental ke belakang. Robert menyentuh darah di hidungnya, menatap ujung tangan yang berwarna merah kemudian menyeka darah di hidungnya itu. Pukulan Arfeen sangat kuat, teman kampusnya itu seolah sudah sangat terlatih. Siapa dia sebenarnya? "Katanya kau ingin menghabisiku, Robert. Lakukanlah, jika kau mampu!" ujar Arfeen sengaja menantang. Robert mengepalkan tinjunya yang sudah terasa perih. Jika ia ingin keluar dari tempat itu ia harus bisa menghabisi Arfeen. Robert tak langsung menghantam Arfeen, namun ia melakukan gerakan memutar sambil merunduk untuk memungut pecahan kaca dalam genganggam. Dengan cepat ia kembali bangkit untuk melemparkan pecahan kaca itu ke arah Arfeen. Arfeen mengangkat lengan untuk menutupi wajahnya dari pecahan kaca itu. Beberapa pacahan kaca yang ta
Arfeen terpaku menatap sosok di depannya itu. "Bella! Apa yang kau lakukan di sini?" "Menyelamatkanmu dari para gadis itu, apalagi?" jawab wanita itu dengan senyum hangat. "Aku masih bisa mengatasi mereka sendiri!" "Oya, lalu kenapa kau lari?" "Aem!" Arfeen kebingungan untuk menjawab. "Ayolah, Arfeen. Kau memang seorang Casanova, tapi kau benci dikerubungi para gadis. Seharusnya kau menempatkan pengawalan ketat untuk mengantisipasi. Di acara seperti ini sudah pasti jati dirimu akan terbongkar!" Arfeen menghela nafas panjang. "Terima kasih, tapi aku harus pergi!" ia hendak melangkah namun Bella kembali menyandarkan tubuhnya menggunakan telunjuk. "Kau mau aku berteriak bahwa kau sedang melecehkan aku?" Arfeen menyimpulkan senyum miring. "Kau mengancamku?" "Aku hanya ... argh!" kalimat Bella belum berlanjut karena Arfeen sudah lebih dulu membalik tubuh wanita itu yang kini justru dirinya yang bersandar tembok dengan tangan Arfeen di lehernya. "Dengar Bella, sudah aku katakan
"Rena, apa kau tega pada Kakek?" seru Ferano yang mencoba membujuk cucunya. Dua orang polisi sudah memegangi lengannya kanan dan kiri. "Larena, Papa sudah tua. Tega sekali kalian lalukan itu?" seru Arland tak terima. "Kami masih keluargamu!""Keluarga!" desis Arfeen dengan kecut, "Keluarga tidak menumbalkan anggota keluarganya sendiri."Arland menatap tajam kepada Arfeen. "Ini pasti ulahmu kan?" ia hendak menyerang nalun lekas digentikan oleh anak buah Arfeen. Kedua tangannya dicengkeram dan langsung diborgol ke belakang. "Lepaskan aku!"Buk!Satu tinju mendarat di wajah Arland. Nyaris semua anggota keluarga Jayendra sudah ditahan. "Arfeen!""Lancang kau hanya menyebutkan nama saja, panggil Tuan Zagan!" seru Gray. Mereka semua membeliak, Tuan Zagan?Jadi Arfeen ... Arfeen adalah Tuan Muda Mahesvara? Kenapa Lyra tak pernah memberitahu? "Tuan Muda, kami tidak melakukan kesalahan apa pun padamu. Tolong ampuni kami!" pinta Radika. Arfeen mengeraskan rahang. "Korban kecelakaan Papa
"Ahk, jangan terlalu kencang. Itu menyakitiku!"Seketika kedua mata Larena mendelik, ia melepas peluknya dna menatap wajah di bawahnya. Mata pemuda itu sudah membuka, tengah menatapnya. "Kau ... kau sudah siuman?" beonya. Arfeen mengulum senyum. "Jadi ... pesonaku begitu mengagumkan ya, sampai kau jatuh cinta berkali-kali?" celetuknya memainkan satu alis. "Sejak kapan kau sadar?" tanya Larena mencubit perut Arfeen. "Argh ... sakit, Wife. Sakit, aku masih sakit kenapa kau menganiaya aku?" protesnya mengelus bekas cubitan sang istri. Larena menatap wajah di depannya masih dengan tatapan tak percaya. "Sejak kapan kau sadar? Kau sengaja ingin membuatku takut? Hah?" air mata langsung mengalir deras di pipinya. Arfeen menyentuh pipi sang istri, mengusap cairan hangat itu dengan ibu jarinya. "Maaf!" ucapnya lirih. Larena pun langsung merebahkan diri ke pelukannya."Kenapa kau lakukan itu?" isaknya, "Aku pikir ... kau akan benar-benar meninggalkan aku ... jangan seperti itu lagi ...
"Keluarga Adipradana?" seru Vano. "Kau dan Arfeen?""Iya, Tuan. Saya dan Presdir sama-sama mimiliki darah kleuarga Adipradana. Presdir ... adalah cucu dari Jenderal Wira Adipradana!"Vano menghela nafas dalam. Pantas saja Arfeen berbeda dari semua keluarga Mahesvara yang lainnya. Anak itu jelas memiliki jiwa seorang pemimpin. Ternyata di dalam darahnya mengalir darah orang hebat. Larena sangat beruntung bisa menikahi dengannya. "Golongan darah Anda sama dengan pasien?" tanya si dokter. "Iya, Dok. Anda bisa mengambil sebanyak yang dibutuhkan!" jawabnya dengan iklas. "Mari ikut saya!"Jordi tetap harus melakukan mengecekan terlebih dahulu, setelah cocok baru transfusi bisa dilakukan. Beruntung Arfeen hanya membutuhkan dua kantung darah, sehingga masih bisa mengambil dari tubuh Jordi. Di luar ruangan, Larena masih menangis. Bahkan tangisnya kian pilu. Arfeen rela mengorbankan nyawa demi dirinya, pemuda itu membuktikan kata-kata yang rela mati demi dirinya. Sementara ia ... apa yang
"Arfeen!" suara Larena bergetar. Ia menggengam erat tangan pemuda itu yang terasa sangat dingin. Biasanya tangan Arfeen sangat hangat! Sekarang, ia benar-benar takut jika pemuda itu akan pergi untuk selamanya. Larena meletakan telapak tangan itu ke pipinya yang basah oleh cairan hangat yang tak bisa ia bendung. Berharap tangan dingin itu akan menghangat, nyatanya justru kian dingin. Ia bahkan menggosok telapak tangan Arfeen dengan kedua tangannya lalu kembali menempelkan pada pipinya. Tapi tetap tak berhasil. Dokter sedang mencoba menghentikan pendarahan di luka Arfeen. Peluru yang mengenainya berkaliber cukup besar, itu mengakibatkan darah terus mengalir keluar meski posisi Arfeen terngkurap. Tapi tak mungkin melakukan tindakan untuk mengeluarkan pelurunya di dalam helikopter. Sang dokter tak ingin mengambil resiko. Larena sungguh tak tega melihat kondisi punggung pemuda itu, tangisnya semakin menjadi. Berkali-kali ia mengecupi telapak tangan Arfeen yang ia genggam. Bahkan keti
"Larena!"Larena menghentikan langkah dua meter di hadapan Arfeen. Arfeen langsung berhambur memeluk wanita itu, Larena sama sekali tak memberikan respon apa pun. wanita itu hanya mematung, membiarkan sang suami memeluk tubuhnya. Karena mungkin saja itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Jujur saja Larena merasa merindukan pelukan itu. Ketika berada di dalam pelukan Arfeen ia merasa sangat tenang. Tapi ia hanya memikirkan bayi yang ada dalam kandungannya. Lyra bilang jika bayi itu lahir laki-laki maka itu akan menjadi ancaman, maka wanita itu akan datang untuk menghabisi putranya. Untuk itu ia harus menjauh dari Arfeen. Lagipula apa yang dilakukan lelaki itu juga banyak membuatnya kecewa. "Kau baik-baik saja kan? Lyra tidak menyakitimu?"Larena hanya menggeleng. Arfeen tampak sangat bahagia lalu memeluknya sekali lagi namun kali ini Larena menolak pelukannya. Hal itu membuat Arfeen terpaku. "Ada apa?""Aku ingin kita tetap berpisah!" pinta Larena. "Berpisah? Sayang!""Jang
Suara lembut itu membuat Tantra terpaku, rahangnya langsung mengeras menatap sepupunya. Wanita itu! Darah keluarga Wijaya rupanya lebih kuat di tubuh Lyra daripada keluarga Mahesvara. "Kau tak sepantasnya melakukan ini terhadap Kakek, Lyra.""Apakah aku meminta pendapatmu?" tanya Lyra sinis. Tentu saja hal itu membuat tangan terasa sedikit marah. Tapi Tantra tahu harusnya ia tak berdebat dengan Lyra. Sejak awal Lyra memang yang selalu menghasut dirinya untuk merasa iri kepada Arfeen. Bahkan selalu mendorongnya untuk membenci sepupunya itu. Tapi rupanya itu semua ada niat picik! Lyra hanya memanfaatkann dirinya untuk membenci Arfeen. Karena wanita itu membutuhkan dukungan. Tantra yang saat itu masih polos selalu berhasil termakan oleh bujukan dari Lyra untuk membenci Arfeen. Sejak kecil Lyra selalu berpura-pura baik di depan Arfeen dan juga selalu keluarga. Tapi di belakang ia selaku menatap Arfeen penuh benci. "Lyra, Seharusnya kau tak perlu melakukan ini!" ucap Radika. "Aku t
"Tantra!" desis Radika dengan bibir gemetar. Meski Tantra tak memiliki kelebihan seperti Arfeen, tapi pemuda itu tetap cucunya. "Tuan Muda, Tantra!" desis Liam."Kakek, jangan pikirkan aku!" seru Tantra yang sama sekali tak ada rasa takut. "Kelangsungan Klan Mahesvara jauh lebih penting dari nyawaku yang sama sekali tak berharga!" Tantra memberanikan diri berucap demikian. Ia masih ingin hidup, tapi jika hanya karena dirinya akuenya klan Mahesvara harus hancur, ia tidak akan pernah rela. Seumur hidupnya ia belum bisa memberikan kontribusi apa pun untuk keluarganya. Paling tidak nyawanya bisa berarti untuk bisa menyelamatkan kekuasaan klan Mahesvara. Ia yakin Arfeen mampu membawa keluarga Mahesvara menjadi lebih berjaya. Apalagi jika dalam pertarungan ini mereka menang. Maka ia tidak akan menyesal mati untuk itu. "Sepertinya kakekmu tidak menyayangimu, Tuan Muda Tantra. Sayang sekali ... harusnya kau memilih pihak yang benar untuk bisa mendapatkan hakmu!" Maher sengaja mengatakan
Arfeen memutuskan untuk mendekat. "Jadi kalian semua bersatu untuk menjatuhkan aku? Ini sangat menarik!" Dewa menyimpulkan senyum getir. "Andai saja sejak awal kau mau mengalah, ini tidak akan terjadi. Aku pasti akan memberikan dukungan kepada klan Mahesvara, dan kita bisa bersama menjadi lebih besar!" Arfeen menimpai dengan tawa ringan yang getir. "Maaf, Tuan Dewa Wijaya. Aku tidak membutuhkan dukunganmu untuk bisa berjaya. Aku masih memiliki kemampuan!" "Sombong sekali, kau hanya beruntung karena terlahir sebagai anak lelaki, Arfeen. Jika tidak! Kau pasti sudah buang ke tong sampah!""Yakin? Aku ragukan itu, Kakek memiliki alasan kuat kenapa mempertahankan aku. Karena pada kenyataannya ... akulah yang kelak akan membuat nama Mahesvara semakin besar. Kau tidak percaya itu?""Jangan pernah bermimpi, karena hari ini ... akan menjadi hari terakhirmu menghela nafas!"Arfeen menaruh telunjuk di bibirnya seolah sedang berfikir. "Sayangnya setelah aku pikirkan ... hari ini tidak akan me