"Sekarang?" Frita mengangguk tanpa ragu. Jordi sedikit bingung, tak mungkin ia pergi kan? Secara bosnya masih di kampus. "Bagaimana jika lain kali, aku tak bisa meninggalkan Presdir sendiri!" tolaknya. Wajah ceria Frita langsung berubah masam dengan bibir manyun. "Katakan saja memang kau tak mau mengenalkan aku pada ibumu kan? Kau tidak serius denganku kan? Kau hanya mencari keuntungan saja dari tubuhku!" kesalnya berbalik dan hendak melangkah. "Frita bukan begitu!" ujar Jordi menghentikan langkah Frita. "Tugas utamaku adalah mendampingi Presdir, di jam kerja aku tak bisa meninggalkannya!" Frita masih tak berbalik, meski ia mengerti akan hal itu. Ia sendiri tak ingin melawan Arfeen sekarang. "Bagaimana jika ... sepulang kerja nanti. Kau mau aku jemput di mana?" Wajah Frita langsung bersinar bak rembulan. Jordi bersedia membiarkan dirinya menjenguk sang ibu? Apakah artinya pria itu serius padanya? Ia lekas berbalik. "Jemput aku di rumah, jam 8!" "Jam 8? Di rumahmu? Tap
"Ha? Ba-bayi?" beo Larena."Kau tidak berfikir untuk menunda kehamilan kan?" tanya Arfeen membuat Larena menelan ludah. Menunda kehamilan? Larena bahkan tak berfikir sama sekali akan hal itu. Ia hanya mencoba menjalani pernikahan ini seperti kesepakatan mereka. "Aku ... tidak melakukan program apa pun."Arfeen mengulum senyum. "Good! Usiamu memang sudah tak diperbolehkan menunda kehamilan, atau kau tidak akan bisa hamil!" Larena sedikit terperangah, ia menyadari berapa usianya sekarang! Memang sudah seharusnya ia memiliki anak. Saat pikiran Larena melalang buana, Arfeen justru mengambil kesempatan itu untuk memagut bibir ranum sang istri. Kedua mata Larena melotot saking terkejutnya, namun ciuman lembut itu berhasil menyihirnya. Membuatnya membalas tiap kecup yang sang suami berikan. Arfeen bangkit membawa Larena bersamanya lalu mengangkat tubuh wanita itu, mendudukkannya di meja tanpa melepaskan pagutan. Tangan Larena mulai meremasi otot-otot di lengan Arfeen. Ia memang selalu
Arfeen mencoba mempertahankan keseimbangan mobil itu agar tak terbalik. Mobil itu hanya berputar beberapa kali lalu menabrak bagian belakang mobil lain yang melaju. Tak elak, kecelakaan beruntun pun terjadi. "Sial! Sepertinya mereka sungguh ingin membunuhku!" umpat Arfeen kesal. Ia melaju lagi ke tepi jalanan. "Sayang! Sayang!" panggil Arfeen. Larena membuka mata perlahan. "Kita masih hidup?" nafasnya terengah. "Tentu saja, aku tak akan membiarkan kita terbunuh. Bukankah aku berjanji menemanimu sampai menua!" Ia masih sempat menyelipkan canda. Kesadaran Larena kembali saat ia merasakan ada sesuatu di telapak tangan. Pandangannya jatuh ke telapak tangannya sendiri, di mana di sana sudah ada sebuah senjata api. Terang saja ia melotot. "Kunci pintunya dari dalam, aku akan menghadapi mereka. Jika ada bahaya yang datang padamu, tembak saja. Dan jika keadaannya tak memungkinkan, pergilah dari sini!" perintahnya. Larena menggeleng, "Tidak, aku tidak bisa menembak. Dan aku juga
"Apa? Hanya kecelakaan beruntun? Bagaimana bisa?" tanya Larena heran. Jelas-jelas semalam pihak kepolisian meminta mereka untuk memberikan kesaksian pagi ini. Tapi kenapa hari ini justru yang tersiar fakta yang berbeda? Hanya kecelakaan beruntun. Dan penyebab kecelakaan ialah rem mobil salah satu mobil blong. Ini tak masuk diakal? Larena melirik sang suami. "Apa ini ada hubungannya denganmu?" "Apa maksudmu?" tanya Arfeen membalas tatapan itu. "Kau dekat dengan Tuan Muda Mahesvara kan? Mungkin saja penyerang pertama mengincar bosmu itu, mereka adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Tentu saja mereka tak ingin kasusnya ditangani pihak kepolisian!" "Kau terlalu jauh berfikir, sayang!" "Tidak, Arfeen. Apalagi jika benar bahwa klan Mahesvara memegang kendali dunia bawah. Mereka bisa melakukan apa pun, bahkan membeli hukum sekalipun!" Karena tampak cemas dan takut. Arfeen menyentuh wajah wanita itu dengan lembut. Larena sedikit terperanjat, ia mengangkat pandangan hingga ma
Pria itu merasa lega karena akhirnya ia bisa melihat cahaya, sebelumnya ia berada di dalam karung. Itu yang membuatnya merasa gelap. Ia pun mengangkat pandangan ke atas perlahan. "Arfeen?" desisnya. Amarah langsung tersulut. "Pengecut! Berani sekali kau menculikku. Lepaskan aku dan mari kita bertarung lagi!" tantang Robert. Seringai miring terlukis di wajah Arfeen. "Tak masalah jika kau hanya berniat menyakitiku, Robert. Tapi kau telah membahayakan nyawa istriku, itu yang membuatku marah!" "Tapi bukan berarti kau melakukan hal pengecut macam ini, lepaskan aku?" Ia meronta. "Memangnya kau mau apa jika kulepaskan? Melawanku? Kau yakin mampu mengalahkan aku?" Arfeen berjongkok di depan wajah Robert. Robert menatapnya penuh benci. "Kau tampak sangat membenciku, Robert! Baiklah ... kita bertarung sekali lagi. Kali ini ... di tempat yang sangat menyenangkan!" ujarnya kembali berdiri. Ia pun memberi isyarat kepada anak buahnya untuk melepas ikatan Robert. Begitu ikatan Robert
"Siapa kau sebenarnya?" tanya Robert menatap Arfeen. Arfeen hanya tersenyum menyeringai. "Bedebah!" umpat Robert menyerangnya lagi, dengan mudah Arfeen menangkap tangan Robert lalu memukul wajahnya hingga terpental ke belakang. Robert menyentuh darah di hidungnya, menatap ujung tangan yang berwarna merah kemudian menyeka darah di hidungnya itu. Pukulan Arfeen sangat kuat, teman kampusnya itu seolah sudah sangat terlatih. Siapa dia sebenarnya? "Katanya kau ingin menghabisiku, Robert. Lakukanlah, jika kau mampu!" ujar Arfeen sengaja menantang. Robert mengepalkan tinjunya yang sudah terasa perih. Jika ia ingin keluar dari tempat itu ia harus bisa menghabisi Arfeen. Robert tak langsung menghantam Arfeen, namun ia melakukan gerakan memutar sambil merunduk untuk memungut pecahan kaca dalam genganggam. Dengan cepat ia kembali bangkit untuk melemparkan pecahan kaca itu ke arah Arfeen. Arfeen mengangkat lengan untuk menutupi wajahnya dari pecahan kaca itu. Beberapa pacahan kaca yang ta
"Ma-maksudmu ... Pandu yang akan menanggung dosa papanya, begitu?" tanya Nathan sedikit terbata. Arfeen hanya menjinjing satu alis, membuat Nathan harus menghela nafas berat. "Feen, bukannya aku ingin ikut campur. Tapi ... apa itu tidak berlebihan?" Arfeen menyesap minumannya dengan santai lalu mengeluarkan sekotak rokok. Melolos satu batang kemudian menyelipkan di bibir. Menyulut ujungnya dengan korek sembari mengisap hingga mengepulkan asap putih ke udara. "Pandu bukan anak kecil, dia sudah cukup umur untuk menggantikan hukuman papanya!" Celeguk!Nathan menelan salivanya. Dari ekspresi Arfeen, Nathan yakin sahabatnya itu tidak main-main. Apalagi Arfeen adalah Zagan. Tentu saja apa yang diucapkannya akan dilakukan. Tapi jika Pandu bersih, kenapa harus dia yang menerima hukuman. Padahal papanyalah yang bersalah. "Terkadang kita harus memberi seseorang pelajaran yang sangat berharga agar dia bisa berfikir seribu kali sebelum bertindak!" saut Arfeen menjelaskan. Apa yang dikatak
"Kau?" seru Pandu yang sangat terkejut mengetahui sosok yang baru saja muncul di hadapannya. "Arfeen kan?" Dengan sangat santai Arfeen duduk di salah satu single sofa berhadapan dengan Pandu. "Apa kabar, Pandu?" tanyanya ramah. "Apa maksud semua ini? Kenapa kau menahanku?" tanya Pandu yang masih tak mengerti. Arfeen menyandarkan punggung dan menyilang kedua kakinya dengan gaya elegant. "Bagaimana jika kusarankan kau untuk bertanya pada ayahmu saja?" saut Arfeen penuh arti. Pandu kian melebarkan mata. Bertanya pada papanya? Kenapa Arfeen memintanya bertanya pada sang papa? Apakah ini ada hubungannya dengan papanya? "Papa?" "Tempo hari ... kalian bercengkerama di telepon kan? Kau pasti tahu di mana papamu bersembunyi!" Pandu tak menjawab. "Kau tak memerlukan penjelasan apa pun dariku, kau tidak memiliki otoritas untuk itu!" ujar Arfeen yang masih lekat menatap Pandu yang masih tampak bingung. "Kau tahu, Pandu?" imbuh Arfeen. "Tak ada seorang yang pun yang bisa lolos, ji