"Yang pertama, Amara membutuhkan biaya operasi malam ini. Yang kedua tidak ada yang boleh mengusik Amara di kediaman Mahesvara!” ungkapnya.
“Jangan khawatir tentang hal itu, Tuan Muda. Mulai detik ini tidak akan ada yang berani mengusik status Nona Muda.”“Untuk saat ini itu saja.”Ia memutus sambungan teleponnya, mengambil jaket di kamar dan langsung menuju rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, rupanya Liam sudah berada di sana. Di depan ruang operasi.“Tuan Muda!” Liam membungkuk memberi hormat yang diikuti oleh beberapa pengawal.“Kau di sini?”“Seperti yang Anda minta, saya harus mengurus administrasi untuk operasi Nona Muda.”Arfeen melirik lampu yang masih menyala merah di sisi pintu.“Maaf, Tuan Muda. Mungkin ini bukan waktu yang tepat namun saya harus tetap mengutarakannya. Kami sudah menelusuri riwayat kecelakaan yang dialami Nona Muda 4 tahun lalu, sepertinya ada unsur kesengajaan di dalamnya.”Arfeen menatap Liam dengan nyalang. Saat kecelakaan terjadi ia sedang bekerja, salah satu teman kerjanya mengatakan jika sang adik menjadi korban tabrak lari. Ia pikir itu adalah kasus tabrak lari biasa karena memang di jalanan ramai.“Kesengajaan?” serunya menggerutu.“Dari kamera pengawas jalan yang ada di sana, mobil yang menabrak Nona Muda sudah berada di area itu beberapa menit sebelum peristiwa terjadi. Mobil terparkir di pinggiran jalan. Hari sebelumnya mobil itu juga berada di tempat yang sama, mungkin mengintai!”Kening Arfeen berkerut. Pelaku sudah mengintai sebelumnya, mereka memang mengincar adiknya. Tapi siapa mereka?“Kau sudah mendapatkan pelakunya?”“Sudah, tapi mereka sama sekali tidak mau buka mulut.”Mendengar hal itu amarah langsung menguasainya. Ia mencengkeram kerah leher Liam. “Bodoh, hal seperti itu saja kau tidak mampu mengatasi!”Liam sama sekali tak ada niat melawan. “Kami sudah melakukan sesuai prosedur, Tuan Muda. Tapi mereka tetap diam.”Arfeen pun menghempaskan tubuh Liam ke tembok. “Mereka masih hidup?”Liam hanya mengangguk. “Simpan saja dulu, nanti biar aku yang turun tangan!” perintahnya mengepalkan tinju.Pintu ruang operasi terbuka, seorang dokter keluar. Ia membuka masker wajahnya dengan ekspresi muram. Arfeen mendekat.“Dokter, bagaimana operasinya? Amara baik-baik saja kan?”Dokter itu tak langsung menjawab, ia menghela nafas panjang terlebih dahulu. “Kami harus melakukan operasi karena sumbatan di bagian kepala menghalangi jalannya oksigen dan juga peredaran darah ke otak. Namun saya harus meminta maaf karena operasinya gagal!” ucap dokter itu.Tubuh Arfeen membeku detik itu juga, ia tahu kondisi Amara selama ini memang cukup parah. Namun adiknya itu masih bernafas, masih ia ajak ngobrol meski tak bisa menyahut. Tapi ... apa yang dimaksud dengan operasinya gagal?“Apa maksudnya Dokter?” tanyanya tak mengerti.“Maaf, Tuan. Adik Anda ... gagal kami selamatkan!” aku si dokter.Mendengar jawaban dari dokter, seketika ekspresi Arfeen berubah lebih dingin dari gunung es, kedua matanya memerah. Sorot tajam yang ia lempar kepada dokter sungguh membuat bulu kuduk merinding.Pria itu bergegas menerobos masuk ke dalam ruang operasi di mana ada beberapa perawat dan juga dokter lain tengah mencatat dan juga membereskan peralatan operasi.Arfeen merengkuh tubuh sang adik. “Mara! Kau bisa mendengar Kakak kan?”Tubuh Amara dingin, juga terkulai. “Mara, Kakak mohon jawab. Buka matamu! Kau sudah lama menutup mata. Tolong buka mata dan tatap Kakak!” pintanya.“Mara!” ia menepuk halus pipi anak perempuan 16 tahun itu. Tetap tak ada reaksi.“Mara, Kakak mohon jangan begini. Kau adalah gadis yang kuat, kau pasti bisa bertahan. Tolong maafkan Kakak yang tak bisa menjagamu!” ada bulir bening yang jatuh dari kelopak matanya.Arfeen mencintai Amara layaknya adik kandung sendiri, ia akan lakukan apa pun demi bisa membuat adiknya itu tersenyum.“Mara!” panggilnya sekali lagi. Perlahan ia pun memeluk tubuh Amara sambil menangis.Kenapa operasi ini bisa gagal? Pasti para dokter yang terlibat tidak kompeten. Pasti ada kesalahan di meja operasi. Kemarin adiknya masih baik-baik saja, bagaimana tiba-tiba bisa kritis?Arfeen meletakkan kembali tubuh Amara di ranjang, ia menarik seorang perawat wanita tak jauh darinya. Mencengkeram leher perawat itu.“Katakan, apa yang kalian lakukan kepada adikku?” tanyanya geram.Perawat itu gemetaran, tentu saja ia sangat takut melihat amarah Arfeen. Dengan terbata ia pun menjawab. “Ka-kami sudah melakukan i-itu sesuai prosedur!”“Kenapa adikku bisa tiba-tiba kritis?”“Ka-kami tidak tahu, Tuan!” jawabnya terbata.“Tidak tahu!” gerutu Arfeen mengeratkan cengkeraman tangannya di leher perawat itu. Membuatnya sesak nafas.“Tu-Tuan, tolong jaga sikap Anda. Ini rumah sakit!” bujuk salah seorang dokter.Arfeen melepaskan leher perawat lalu menatap si dokter dengan tatapan membunuh. Tubuh dokter itu langsung bagai dihunus pedang, ia tak pernah melihat tatapan yang semengerikan itu.Semua yang ada di ruangan itu gemetaran, mereka tak menyangka jika pemuda kalem itu bisa berubah menjadi iblis ketika murka. Terlebih Liam Kane, tangan kanan keluarga Mahesvara berada di pihak pemuda itu.Arfeen memungut satu pisau medis, benda mengkilat itu ia mainkan di tangan. Ia tak akan percaya begitu saja jika sang adik bisa kritis secara tiba-tiba. Dengan gerakan cepat ia meraih tangan si dokter lalu menancapkan pisau itu di sana.“Argh ...!” dokter itu meraung kesakitan. Beberapa perawat pun menjerit menyaksikannya. Darah mulai mengalir di meja peralatan operasi dengan tangan dokter yang tertancap pisau di atasnya.Arfeen sama sekali tak menghiraukan Raung kesakitan mau pun teriakkan ketakutan di dalam ruangan itu. Ia menatap sang dokter yang kesakitan itu.“Jika kutemukan, ada yang tidak beres dengan kematian adikku. Kalian tidak akan lolos!” ancamnya dengan seringai mengerikan di wajahnya.Siapa pun yang melihat ekspresinya, pasti akan langsung mengetahui bahwa pemuda itu adalah seorang iblis yang mampu menghabisi siapa pun tanpa ampun.Namun dokter itu mencoba memberanikan diri, ia menggeleng, “Ini murni kegagalan operasi, Tuan. Dan ... Dan perbuatan Anda ini bisa kami laporkan kepada polisi!” dokter itu mengancam dengan menahan rasa sakit.“Polisi? Cih!” Arfen justru tertawa. Tawa Arfeen terhenti, kini wajah iblisnya kembali menguasai. “Silakan, tapi jangan menyesal jika akan terjadi sesuatu yang buruk padamu dan keluargamu setelahnya.”Dokter itu menelan ludah, sepertinya pemuda di depannya bukanlah pemuda biasa seperti yang tampak selama ini.“Tuan Muda, biarkan ini menjadi urusan saya. Saya akan menyelidiki hal ini, yang terpenting kita urus terlebih dahulu jenazah Nona Muda!”“Tu-Tuan Muda?” desis dokter itu.Liam yang memasuki ruangan bersama dokter yang tadi keluar sekaligus dokter yang tangannya tertancap itu menjawab. “Yang ada di hadapanmu adalah Tuan Muda Mahesvara, harusnya kau tidak melakukan kesalahan!”Tuan Muda Mahesvara! Seketika tubuh si dokter gemetaran lebih hebat dari sebelumnya. Ia yang tadinya masih bisa mengancam sekarang justru tampak seperti anak kucing yang baru lahir.Siapa yang tidak mengenal Tuan muda Mahesvara? Tuan Muda dari klan Mahesvara yang menguasai dunia bawah. Pemuda itu terkenal kejam dan tanpa ampun.“Tu-Tuan Muda!”Sebenarnya Arfeen ingin sekali mengajar dokter itu namun apa yang dikatakan Liam itu benar. Ia harus mengurus Amara terlebih dahulu.Karena mengurus Amara, Arfeen tidak pulang ke rumah Larena. Ia juga tak sempat menelepon. Larena menghubungi beberapa kali namun karena handphone di silent maka Arfeen tidak tahu.Larena meremas handphone dengan geram. “Ke mana bocah itu? Bukankah sudah kukatakan jangan kelayapan!” ia kesal seorang diri di kamar.“Jangan-jangan ... Arfeen benar-benar bersenang-senang dengan gadis muda di luar sana karena aku tidak mengijinkan dia menyentuhku?” tuding Larena curiga.Arfeen memang hanya seorang suami kontrak yang dia gunakan untuk menutup mulut keluarganya, bisa dikatakan bohong jika Larena tak merasakan sedikitpun ketertarikan pada suami mudanya itu.Merasa khawatir, Larena pun memutuskan untuk berbuat sesuatu, demi membuat suami berondongnya itu betah di rumahnya.“Meskipun kau hanya sekadar suami sementara, akan kubuat kau takhluk kepadaku, Arfeen!”“Rupanya kamu sudah merasa menjadi Bos ya di rumah ini!” Viera menghentikan langkah Arfeen yang baru saja memasuki rumah kediaman Vano Jayendra. Ia berdiri berkacak pinggang di depan Arfeen. “Maaf, Nyonya. Aku ada urusan di luar!” jawab Arfeen acuh tak acuh. “Urusan! Sok sibuk! Padahal kau itu hanya keluyuran tidak jelas kan?” sautnya menyeringai. Arfeen sungguh sedang tak ingin meladeni ocehan pedas mertuanya. Meski ada amarah yang ia rasakan karena sang mertua langsung berubah pandangan ketika mengetahui pekerjaannya yang sesungguhnya. “Ma, biar aku yang bicara padanya nanti!” sergah Larena memunculkan diri. “Mama lebih berhak bersuara di sini karena ini rumah Mama!” jawab Viera menatap sang putri. Larena yang menyadari ekspresi Arfeen yang tak biasa pun mencoba untuk membujuk sang mama. Padahal sebenarnya ia juga kesal karena pemuda itu tak bisa dihubungi sama sekali. Namun sekarang ia tahu alasan kenapa handphone suami kecilnya tak bisa dihubungi. “Ma!” “Mama tidak habis pi
Larena terpaku dengan pertanyaan Arfeen, menyentuh lebih banyak? Apa maksudnya? Apakah pemuda ini ingin meminta haknya sebagai suami? Apa ia lupa dalam perjanjian tak ada hubungan ranjang? “Kau jangan macam-macam ya? Aku membiarkanmu meminjam punggung bukan berarti kau boleh ...,” ia memutus kalimat karena mendengar suara dengkuran halus di punggungnya. “Apa? Apakah bocah ini tidur? Arfeen?” “Hzzzzz ....” Suara dengkuran halus itu menggema ke seisi ruangan. “Kenapa bocah ini malah tidur? Aku kan juga mengantuk dan ingin tidur!” keluh Larena menoleh ke belakang punggungnya. Tapi ada rasa lega, tadinya ia sudah khawatir jika Arfeen ingin menyentuhnya. Arfeen merasa lelah bukan karena terlalu larut dalam kesedihan kehilangan Amara, ia tak menyangka jika bisa mendapatkan ketenangan saat bersama Larena. Hal itu membuatnya terbuai hingga lelap di punggung wanita yang usianya jauh lebih matang darinya itu. Ketika Larena hendak menjauhkan punggungnya perlahan, tangan Arfeen spontan mem
"Aku sudah berusaha keras, memberikan yang terbaik untuk Mahesvara Group. Tapi kenapa Kakek malah meminta Arfeen untuk kembali?” ia bermonolog pada ruang hampa. Saat ini ia tengah menumpahkan amarahnya pada samsak yang tergantung di depannya. Di sebuah ruangan fitnes pribadi di kediaman Mahesvara. Pukulannya kian kencang hingga membuat samsak itu lepas dan terlempar ke tembok. Nafasnya terengah oleh amarah. “Aku yang lebih berhak, kenapa hanya karena aku wanita ... Kenapa Kek?” Lyra merasa ini tak adil untuknya, selama beberapa tahun terakhir ia telah mencoba mengembangkan Mahesvara Group. Ia pikir ia akan diakui bahwa dirinya layak oleh sang kakek. Namun sekarang kakeknya justru meminta Arfeen untuk kembali, kenapa penerus kekuasaan harus lelaki? Tak mudah baginya membuktikan diri bahwa ia layak, akan tetapi tetap saja di mata sang kakek dirinya yang seorang wanita tak sebanding dengan Arfeen. Di parkiran kampus .... “Kau mau langsung absen?” tanya Nathan. “Aku sudah resign!”
Setelah acara perkenalan yang lumayan singkat, Arfeen langsung dituntun ke ruangannya. “Tuan Muda, ini beberapa berkas yang harus Anda pelajari!” Liam menaruh setumpuk dokumen ke meja Arfeen yang terbengong menatap benda itu. “Anjir, Liam. Sebanyak ini?” protesnya kesal. “Ini adalah dokumen kerja sama kita dengan beberapa klien. Sebagai CEO Anda harus mempelajari semuanya.” Arfeen menggaruk belakang kepala, bukannya ia malas mempelajari semua itu. Hanya saja ... ini terlalu gila banyaknya. Namun ia tetap memungut tumpukan paling atas map itu. “Oya, Liam. Kau sudah menemukan sesuatu terkait anfalnya Amara di rumah sakit?” Liam tampak mengembangkan senyum, membuat Arfeen harus mengernyitkan dahi. “Ada seorang pria yang mengenakan pakaian perawat memasuki ruangan beberapa menit sebelum Nona Muda kritis.” Seketika Arfeen mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya. “Seorang perawat?” “Orang itu hanya menyamar, Tuan Muda. Kami sudah berhasil menangkapnya!” Arfeen menghela nafas
"Arfeen!" desis Larena menyentuh tangan Arfeen untuk menghentikan perbuatannya. Saat ini tangan Arfeen berada di pinggang ramping Larena, tepatnya di kedua sisi celana untuk melepaskan benda itu. "Perutku ... sedikit aneh, sepertinya aku ....""Jangan banyak alasan! Kau sudah bikin aku seperti ini, jadi harus tanggung jawab!" seru Arfeen memotong ucapan sang istri. Tubuh Larena bergetar, menatap kabut di dalam kolam mata Arfeen. Arfeen tahu ini salah, akan tetapi saat ini hasratnya sudah tak bisa ia bendung lagi. Larena terlalu memesona, entah ada magnet apa pada wanita itu. Ketika ia menyentuh kulit Larena, gelombang hasrat langsung datang menyerang. Ia menyukai aroma parfum wanita itu yang feminin. Lembut dan menggoda. Bahkan bibir Larena seketika membuatnya candu, terlalu manis untuk bisa ia tepis. Sekali memagut, ia tak mampu berhenti. Arfeen mengecup perut Larena yang rata, jantungnya juga berdebar. Ia tak tahu kenapa, ini bukan pertama kalinya ia akan berhubungan dengan seo
"Bagaimana ini, Pa? Jika kita nggak bisa mendapatkan investor secepatnya kita akan bangkrut dan jatuh miskin!" suara Viera dipenuhi dengan kecemasan. "Aku akan coba membujuk Papa untuk menarik kembali keputusannya!" ujar Vano."Kau lupa, Papa bilang apa tadi? Papa nggak akan mengubah keputusannya kecuali si gembel itu keluar dari hidup Larena!" murka Viera.Larena masih diam duduk di sofa, ia tak menyangka hanya karena Arfeen seorang tukang sapu jalan, kakeknya tega melakukan ini pada mereka. "Aku yang akan membujuk Kakek!" seru Larena bangkit dari duduknya. "Memang seharusnya begitu, katakan pada kakekmu bahwa secepatnya kau akan ceraikan lelaki miskin itu!" saut Viera."Bukan itu, Ma. Untuk saat ini aku taak bisa ceraikan Arfeen!""Kenapa?" Viera mendekat pada putrinya. "Karena kami baru saja menikah.""Itu tak akan menjadi masalah, justru itu akar permasalahannya. Apa kau tahu? Dengan kau menikahi gembel itu ... kau sudah menjatuhkan nama baik keluarga kita!"Sebenarnya Larena
"Mencari pekerjaan?" seru Larena membalas tatapan Arfeen."Aku sedang berusaha mencari pekerjaan, aku nggak mungkin menganggur kan setelah berhenti jadi pekerjaan yang sebelumnya!""Tapi kau bahkan belum lulus kuliah, pekerjaan macam apa yang bisa kau dapat?""Apa saja.""Arfeen, aku tak mau kau mengambil sembarang pekerjaan ya. Kau tahu bagaimana reaksi seluruh keluarga besarku dengan pekerjaanmu sebelumnya. Jadi kumohon, Carilah pekerjaan yang lebih layak!""Semua pekerjaan itu layak, hanya sudut pandang setiap orang itu yang berbeda!" jawab Arfeen membuat Larena bungkam. Apa yang dikatakan suaminya itu benar. Sudut pandang manusialah yang suka membuat sesuatu itu tidak layak. "Kau tak perlu khawatir, aku pasti akan berusaha membantumu mendapatkan dana itu!" janji Arfeen. Kali ini kedua mata Larena benar-benar membulat. Dari mana suaminya bisa memiliki keyakinan seperti itu, memangnya mencari uang 100 miliar itu mudah. Satu miliar saja terkadang sangat sulit. "Waktunya hanya 1 M
Arfeen duduk di kursi kebesarannya, menatap file yang kini ada di tangan. Sebenarnya ada hal menarik yang ditawarkan oleh Jaya Abadi Corporation, tapi sayangnya Arfeen sama sekali tak tertarik menjalin kerja sama dengan mereka. Apalagi ia tahu jika Ferano sudah mencabut semua dananya di La Viva, hal yang membuat Larena saat ini kebingungan bagaimana untuk bisa mempertahankan perusahaan produk kecantikan itu. daripada ia membantu keluarga besar Jayendra, akan lebih baik jika ia membantu sang istri saja. Arfeen membanting file itu ke meja. "Liam.""Ya, Tuan Muda.""Katakan pada Gibran jika aplikasi mereka tak memenuhi standar perusahaan kita!"Liam tampak menarik kedua alisnya, ia tahu sebenarnya proposal itu cukup menjanjikan, tapi keluarga Jayendra pernah mempermalukan tuan mudanya di pesta pernikahan. "Baik, Tuan Muda!" Liam memungut file itu lalu meninggalkan ruangan. Menemui Gibran yang menunggu di luar Gibran langsung bangkit berdiri saat melihat Liam Kane keluar dari ruang C