"Mencari pekerjaan?" seru Larena membalas tatapan Arfeen."Aku sedang berusaha mencari pekerjaan, aku nggak mungkin menganggur kan setelah berhenti jadi pekerjaan yang sebelumnya!""Tapi kau bahkan belum lulus kuliah, pekerjaan macam apa yang bisa kau dapat?""Apa saja.""Arfeen, aku tak mau kau mengambil sembarang pekerjaan ya. Kau tahu bagaimana reaksi seluruh keluarga besarku dengan pekerjaanmu sebelumnya. Jadi kumohon, Carilah pekerjaan yang lebih layak!""Semua pekerjaan itu layak, hanya sudut pandang setiap orang itu yang berbeda!" jawab Arfeen membuat Larena bungkam. Apa yang dikatakan suaminya itu benar. Sudut pandang manusialah yang suka membuat sesuatu itu tidak layak. "Kau tak perlu khawatir, aku pasti akan berusaha membantumu mendapatkan dana itu!" janji Arfeen. Kali ini kedua mata Larena benar-benar membulat. Dari mana suaminya bisa memiliki keyakinan seperti itu, memangnya mencari uang 100 miliar itu mudah. Satu miliar saja terkadang sangat sulit. "Waktunya hanya 1 M
Arfeen duduk di kursi kebesarannya, menatap file yang kini ada di tangan. Sebenarnya ada hal menarik yang ditawarkan oleh Jaya Abadi Corporation, tapi sayangnya Arfeen sama sekali tak tertarik menjalin kerja sama dengan mereka. Apalagi ia tahu jika Ferano sudah mencabut semua dananya di La Viva, hal yang membuat Larena saat ini kebingungan bagaimana untuk bisa mempertahankan perusahaan produk kecantikan itu. daripada ia membantu keluarga besar Jayendra, akan lebih baik jika ia membantu sang istri saja. Arfeen membanting file itu ke meja. "Liam.""Ya, Tuan Muda.""Katakan pada Gibran jika aplikasi mereka tak memenuhi standar perusahaan kita!"Liam tampak menarik kedua alisnya, ia tahu sebenarnya proposal itu cukup menjanjikan, tapi keluarga Jayendra pernah mempermalukan tuan mudanya di pesta pernikahan. "Baik, Tuan Muda!" Liam memungut file itu lalu meninggalkan ruangan. Menemui Gibran yang menunggu di luar Gibran langsung bangkit berdiri saat melihat Liam Kane keluar dari ruang C
"Jika aku tak mau?" Andrew memasang seringai di wajah. Ia yakin pemuda seperti Arfeen hanyalah seorang pecundang.Arfeen menatap tangan Andrew yang mencekal lengan Larena, dengan gerakan cepat ia meraih tangan itu lalu memutarnya ke belakang punggung Andrew."Argh ... arghhh!" Andrew meraung kesakitan saat tangan itu serasa mau patah. Namun ia juga tak ingin kalah. Apalagi di depan Larena, maka ia pun memukul Arfeen menggunakan sikutnya. Arfeen menahan siku Andrew dengan telapak tangan, lalu mendorong dengan sedikit tenaga. Bersamaan dengan itu ia juga melepaskan tangan Andrew. "Sudah kukatakan jangan menyentuh istriku!" ucap Arfeen mengulang peringatannya. "Bangsat! Berani sekali kau bocah tengik!" Andrew murka, ia membalas serangan Arfeen. Andrew bukanlah lawan yang adil untuk Arfeen, pria itu hanya bisa berkelahi ala kadarnya. Meski ia menguasai tinju, namun Arfeen lebih dari pada itu. Bahkan Arfeen tak menggunakan banyak tenaga untuk melawan pria itu. Tak ada yang memisahkan m
"Apa? Menghabiskan satu malam panas?" beo Larena mengulang ucapan Arfeen. Security dan beberapa karyawan yang ada di lobi menoleh mereka seketika. Larena pun lekas menyadari ucapannya yang sedikit keras itu, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kemudian melotot pada Arfeen. Arfeen yang melihat ekspresi sang istri justru ingin tertawa, sikap Larena seperti seorang perawan yang takut kehilangan mahkotanya. Atau wanita itu memang masih perawan?Benarkah? Usianya sudah kepala tiga kan! Larena lebih mendekat pada Arfeen lalu berbisik. "Kau jangan macan-macam ya! Jangan memanfaatkan kesempatan!" Arfeen menyimpan senyum, "Habisnya ... aku tak tahu harus minta apa?" suaranya ia buat sepolos mungkin. Larena menghela nafas kasar, "Kau kan bisa minta yang lainnya, motor baru, mobil. Jika La Viva kembali stabil aku pasti bisa membelikannya untukmu!" Mobil? Ia memiliki banyak koleksi super car di rumahnya. Motor, ia juga memiliki 2 motor sport limited edition. Meski itu sebuah candaan, nam
"Jatuh cinta padamu? Jangan sembarangan bicara! Kau tahu aku sedang menunggu seseorang bukan?" "Damian?" saut Arfeen dengan nada enggan. "Damian Wijaya. Apakah kau yakin pria itu akan kembali?"Larena memasang wajah tak suka, ia bersikap baik pada Arfeen bukan berarti pemuda itu berhak mencampuri urusan pribadinya. "Itu urusanku, Arfeen. Tugasmu saat ini hanya menjadi suamiku, itu saja!" Arfeen menggerutu dalam hati, sepertinya Larena benar-benar masih mengharapkan bajingan itu kembali. Ia tidak akan membiarkan sang istri kembali pada mantan kekasihnya. Untuk itu ia harus bisa membuat wanita itu jatuh cinta padanya. Dan saat ini, langkah awal ia harus menurut. Tetap menjadi suami kontrak yang penurut. "Ok, maafkan aku!" "Jangan membahas itu lagi!" pintanya. Dan Arfeen memberikan tanda setuju dengan hormat seperti seorang panglima pada ratunya. Hal itu membuat semua yang menyaksikan menatap iri. Mereka tak terlalu memperhatikan jika yang ada di hadapan mereka adalah Larena Jayen
"Arfeen, aku berkeringat!" "Tak apa, yang penting kau pegangan yang erat dan percaya saja padaku. Maka semua akan baik-baik saja!" Larena mengeratkan pegangannya, namun karena terlalu erat itu membuat Arfeen sesak nafas. "Baby, sweety, aku tak-bisa bernafas!" "Hah! Apa?" beo Larena. "Aku tak bisa bernafas." "A, maaf!" ucap Larena sedikit mengendurkan pelukannya. Arfeen pun bernafas dengan lega. Ia sedikit menoleh ke bahunya, "Boleh parno, tapi jangan berusaha membunuhku juga!" kelakarnya. Larena hanya memanyunkan bibir saja. "Itu bibirnya jangan seperti itu, nanti aku sosor ribet ceritanya. Auw!" "Ihhh!" Larena mencubit lengan Arfeen yang keras. Sebenarnya Arfeen tak merasa sakit hanya saja ia sedikit terkejut mendapat serangan seperti itu. "Sekarang kau mau jalan atau sengaja ingin kita menjadi tontonan?" Arfeen mengedarkan pandangan ke sekeliling yang rupanya ada beberapa pasang mata memerhatikan mereka. Maka ia pun lekas melakukan motornya meninggalkan tempat itu.
"Marla?" "Tidak disangka ya kita bertemu lagi!!" ucap Marla dengan nada sinis. "Bagaimana kabarmu? Kau tampak bahagia!" tanya Arfeen yang mendapati wanita itu bergelayut manja pada kekasihnya. Ini sudah 3 tahun, sejak pertemuan terakhir mereka di rumah sakit. Arfeen masih ingat dengan jelas bagaimana Marla mempermalukannya di depan lelaki itu. Dan juga di depan umum. "Tentu saja aku bahagia. Aku memiliki suami yang bisa diandalkan dalam segala hal!" ia mempererat pelukan terhadap lengan suaminya. "Sayang, kenapa kita harus bertemu lagi dengan pria gembel ini?" cibir Rivaldo mengantongi salah satu tangannya. "Entahlah, dunia ini rupanya sangat sempit. Apalagi bertemu dengan seseorang yang merusak pandangan, aduh ... mata ini rasanya sakit!" ejek Marla menyentuh sisi matanya. "Gembel, sebaiknya kau minggir dari sini! Tempat ini bisa kotor dan bau dengan adanya dirimu di sini!" usir Rivaldo. Arfeen memasang seringai di wajah, "Ini tempat umum, kau tak berhak mengusirku." Keduany
"Apakah kau anggota keluarga Mahesvara?" tanya Marla dengan tatapan penuh harap.Arfeen mengulas senyum tersembunyi, "Itu sama sekali bukan urusanmu!" ia memungut kembali kartunya lalu menyimpannya ke dalam dompet."Arfeen!""Maaf, istriku pasti sudah menunggu!" potongnya langsung memungut dua cup coklat panas di atas meja lalu beranjak meninggalkan tempat itu. "Sayang kenapa?" tanya Rivaldo."Aku baru tahu jika ternyata Arfeen adalah TUan Muda Mahesvara, tapi kenapa selama ini dia menjadi petugas kebersihan jalan?" sautnya masih menatap punggung Arfeen yang menjauh pergi. "Tuan Muda Mahesvara? Kau jangan bercanda!" timpal Rivaldo yang masih belum mempercayai hal itu. "Dia memiliki black card, hanya orang tertentu saja yang bisa memiliki kartu itu!""Mungkin kartu itu palsu!"Marla menatap Rivaldo dengan kesal, "Palsu? Kartu itu asli, tidak ada yang bisa memalsukan kartu itu!""Lalau apa?" potong Rivaldo yang mulai curiga. "JIka ternyata benar dia adalah Tuan Muda Mahesvara kau aka