Share

2. Tuan Muda Paling Kejam

"Hah? Maksudmu apa?” tanya Arfeen mencoba memastikan dirinya tak salah dengar.

“Tuan besar meminta Anda untuk pulang ke keluarga Mahesvara!”

Seketika, seringai yang lebar terlukis di wajah Arfeen, untuk apa pria tua itu memintanya pulang? Bukankah ia sudah dikeluarkan dari ahli waris keluarga Mahesvara?

“Katakan pada tuan besarmu itu, aku sudah nyaman dengan hidupku!”

“Tuan Muda, tapi keluarga Mahesvara membutuhkan Anda sebagai penerus.”

“Bukannya tuan besar itu yang sudah membuangku, sekarang untuk apa mintaku kembali?”

“Saya akan menjelaskannya setelah kita sampai di rumah!”

Wajah Arfeen tetiba berubah menjadi lebih dingin, tak pernah ia menampakan ekspresi seperti itu sebelumnya. Masih terbayang keping ingatan 6 tahun lalu saat dirinya diusir bagai anjing dari keluarga Mahesvara.

Ia dituding telah dengan sengaja mencelakai papanya sendiri setelah beradu mulut pasca meninggalkan sang mama. Ia memang menyalahkan papanya yang tak sengaja menyebabkan sang mama terjatuh dari tangga hingga meninggal.

Beberapa hari setelahnya, mobil yang dikendarai papanya mengalami kecelakaan. Setelah pihak forensik melakukan penyidikan, ditemukan bahwa ada sabotase dalam kecelakaan yang dialami oleh Malik Mahesvara.

Dengan adanya saksi dikala pertengkaran Malik dan Arfeen yang mendengar bahwa Arfeen mengancam akan menghabisi papanya sendiri, akhirnya semua orang pun menyalahkan dirinya atas kecelakaan Malik. Ia dituding telah mensabotase mobil papanya hingga terjadi kecelakaan itu.

Radika Mahesvara, sang kakek sangat murka akan hal itu, ia mengusir Arfeen dan mencoretnya sebagai ahli waris. Padahal hanya ada Arfeen, dan Lyra di keluarga itu yang merupakan keluarga inti Mahesvara yang bisa mewarisi tampu kekuasaan klan Mahesvara.

Arfeen harus hidup menggelandang selama berminggu-minggu, ia dikeluarkan dari keluarga itu tanpa apa pun selain tas ransel yang hanya berisi beberapa lembar pakaian. Dan uang tunai di dalam dompet. Semua credit card yang ia miliki diblokir.

Amara, sang adik diam-diam kabur dan menyusulnya. Jadi uang yang ia miliki hanya cukup untuk menyewa hotel selama beberapa hari saja. Kehabisan uang, ia menggelandang dan tidur di mana pun.

Namun karena Amara bersikeras tetap ingin ikut dirinya maka ia pun memutuskan untuk mencari pekerjaan agar bisa memberi makan adik kesayangannya.

Banyak yang Arfeen kerjakan untuk bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah, hingga akhirnya seorang pak tua tukang sapu jalan mengajaknya bekerja bersama. Pak tua itu memohon kepada atasannya untuk memberi kesempatan Arfeen bekerja.

Penderitaannya kian bertambah saat Amara menjadi korban tabrak lari, kondisinya kritis. Pasca operasi Amara justru mengalami koma.

Arfeen membutuhkan banyak uang agar sang adik tetap bisa dirawat di rumah sakit. Selain menjadi tukang sapu jalan, ia sering mencari tambahan dengan mengikuti pertarungan ilegal. Juga menjadi sparring partner.

Lalu sekarang tiba-tiba saja pak tua itu memintanya pulang. Ini sangat aneh baginya. Setelah semua yang ia lalui, ia tak mungkin mau pulang begitu saja.

“Katakan padanya aku tidak mau kembali ke rumah itu!” tegas Arfeen sekali lagi sebelum melangkah ke motornya. Namun beberapa pengawal menghalangi jalannya.

“Minggir!” pinta Arfeen.

Bukannya minggir, pengawal itu menyentuh bahu Arfeen dan hendak meringkusnya. Namun gerakan Arfeen jauh lebih cepat. Ia memutar tangan pengawal itu ke belakang tubuhnya.

Tanpa memberi kesempatan, ia mematahkan tangan sang pengawal hingga suara bunyi tulang patah menggema di tengah kesunyian. Raungan pria itu juga menggema. Menciptakan teror bagi yang menyaksikan atau mendengar.

Arfeen melempar pengawal itu ke tanah, “Jangan pernah berani menyentuhku!”

Semua pengawal menelan ludah, tentunya mereka tak ingin mengalami nasib yang sama dengan temannya. Mereka tahu jika tuan mudanya itu adalah salah satu orang terkejam yang pernah ada.

“Tuan Liam!” desis salah satu pengawal.

Liam menghela nafas dalam, “Tak apa? Sepertinya suasana hati Tuan Muda sedang tak baik. Biarkan Tuan Muda berfikir jernih terlebih dahulu!” jawabnya lalu kembali menatap Arfeen.

“Baiklah, Tuan Muda. Saya undur diri dulu, Saya pasti akan menghubungi Anda setelah ini!” ucapnya sebelum meninggalkan tempat itu.

Arfeen hanya mengulas senyum tipis tersembunyi. Tidak semudah itu memintanya pulang. Ia sudah terbiasa dengan hidupnya yang sekarang. Ia pun kembali melanjutkan perjalanan.

Sesampainya di rumah Larena, ia mengetuk pintu utama rumah besar itu. Namun sudah diulangi beberapa kali tetap tak ada yang membuka pintu. Lalu ia pun berjalan memutar ke garasi. Berharap pintu bagasi yang terhubung dengan dapur masih terbuka. Sayangnya pintu itu juga terkunci dari dalam.

Benar saja, pintu dapur masih belum terkunci.

Arfeen menghela nafas panjang, “Apakah mereka semua sudah tidur?” gumamnya. Ia menguap beberapa kali, lelah dan mengantuk. Jelas ia merasakan itu, namun ia harus menghentikan langkah oleh sebuah suara.

“Dari mana kau? Kenapa mengendap seperti maling?” tegur Viera, mertuanya yang muncul tiba-tiba.

“Aku mengetuk pintu depan namun terkunci, jadi aku lewat belakang.”

“Jangan banyak alasan. Dasar kau menantu gak berguna! Entah apa yang menarik darimu, sehingga Larena memutuskan untuk menikah dengan laki-laki rendahan sepertimu!” maki Viera nada menghina. “Bahkan kau tak pantas ada di rumah ini.”

“Ma!” seru Larena yang merasa mamanya keterlaluan.

“Jangan membelanya, Larena. Meski kau menikah dengannya, dia ...,” Viera menunjuk Arfeen dengan geram, “tidak akan pernah menjadi menantu di rumah ini!”

“Kenapa Mama bicara seperti itu?” protes Larena mendekat.

“Kenapa? Kau bertanya kenapa? Kau sudah tahu jawabannya Larena.”

Sementara Arfeen malah terpaku menatap sang istri yang tampak sangat cantik dengan balutan pakaian tidurnya. Meski usianya terpaut cukup jauh dari dirinya, namun ia tak memungkiri jika wanita yang kini telah sah menjadi istrinya itu cukup membuat dadanya bergejolak.

“Apa yang kau lihat?” suara lantang Viera yang menyadari hal itu membuyarkan lamunan Arfeen. “Jangan pernah berpikir kau bisa menyentuh putriku. Gembel sepertimu tidak layak untuk Larena.”

“Ma!”

“Berhenti membela gembel ini, Larena!” lantang Viera yang sudah memuncak. “Mama mau secepatnya kau ceraikan dia!” serunya berlalu menuju kamar. Meninggalkan Arfeen dan Larena di ruangan itu.

“Kenapa kau lama sekali sampai rumah?”

“Ehm, ini ... pertama kalinya aku ke rumah ini. Jadi tadi sedikit nyasar!” akunya berbohong. Padahal meski ia belum pernah datang ke rumah Vano Jayendra, tidaklah sulitnya baginya menemukan sebuah alamat.

Larena menghela nafas kasar, ia memang tak menyangka jika identitas Arfeen akan terbongkar secepat ini. Tapi bagaimana pun ia memiliki alasan untuk tak membatalkan pernikahannya sekarang. Meski pada awalnya ia sempat berharap Arfeen akan melakukan perlawanan ketika direndahkan semua orang. Sama seperti saat pertama kali mereka bertemu.

Pemuda itu membantunya mengusir Larisa dan teman-temannya saat mereka merundung dirinya di pinggir jalan tak jauh dari restoran. Saat itu Larisa sengaja menebar paku di jalanan yang akan ia lewati sehingga ban mobilnya kempes.

Ketika ia dikatai sebagai perawan tua yang tidak laku, sampai kunci mobilnya dirampas dan dibuang ke semak. Di saat itulah Arfeen muncul dengan seragam orangenya dan sapu di tangan. Namun saat itu Arfeen mengenakan masker sehingga Larisa tak mengenali wajahnya di pernikahan. Ia merasa kecewa karena pemuda itu diam saja ketika direndahkan semua orang.

“Aku lelah!” ujarnya singkat lalu membalikkan tubuh. Berjalan menuju kamar.

Arfeen mengekor. Sesampainya di kamar ia melihat Larena yang langsung berbaring di ranjang. Ia pun memutuskan untuk membersihkan tubuhnya lebih dulu. Saat keluar dari kamar mandi ia bingung harus tidur di mana?

Hanya ada satu ranjang di sana, sebagai suami kontak ia tahu ia tak boleh seranjang dengan wanita itu.

“Kenapa kau hanya berdiri di sana? Tidak mengantukah?”

Suara Larena membuyarkan lamunannya. “Ehm, apa tak sebaiknya aku tidur di lain kamar saja?”

Larena sedikit melebarkan mata, “Di kamar lain? Kita sudah menikah tentu saja harus satu kamar!”

“Tapi ....”

“Kita bisa tidur bersekat guling, cepatlah aku mengantuk!”

Awalnya Arfeen ragu, namun saat ia melangkah ke ranjang tiba-tiba saja pintu kamar terbuka lebar.

“Jangan mimpi kau bisa tidur seranjang dengan putriku!” seru Viera yang muncul tiba-tiba. Rupanya ia menguping di pintu.

“Ma!”

“Kau itu lebih pantas tidur di gudang, cepat keluar dari kamar ini dan tidur di sana!”

Arfeen melirik Larena sejenak sebelum melangkah.

“Arfeen tunggu!” Larena meluncur ke lantai. Menghentikan langkah sang suami. “Ma, Arfeen suamiku, dan dia akan tidur di kamarku!”

“Tapi Mama tidak sudi jika dia sampai menyentuhmu, Mama tak mau memiliki cucu dari pemuda gembel ini!”

Larena tahu mamanya pasti akan terus mengganggunya, padahal ia juga butuh istirahat.

“Biarkan Arfeen tidur di kamar ini, ada kasur lantai yang bisa dia gunakan!”

Viera mengerutkan kening. Memang ada kasur lantai yang biasa digunakan pembantu saat menemani Larena tidur ketika sakit.

Viera pun menghela nafas kasar, ia menggeleng sambil menatap putrinya dengan kesal karena sang putri terlalu keras kepala. Ia pun meninggalkan kamar itu.

Larena menutup pintu lalu menatap Arfeen, “Tak apa kan kau tidur di kasur lantai. Aku tak mau Mama terus mengawasi kita di kamar ini!”

Arfeen pun mengulas senyum. “Tak apa, aku bisa tidur di mana saja!”

***

Esoknya Arfeen terlonjak kaget saat ia merasa basah dan dingin. Seketika ia meloncat dari kasur, meraup wajah.

“Dasar pemalas! Jam berapa ini? Kenapa kau masih tidur?” semprot Viera dengan gayung di tangannya. Ia baru saja mengguyur wajah Arfeen dengan satu gayung air dingin.

“Maaf, Ma!” ucapnya tak membela diri.

“Jangan panggil Mama. Aku bukan mamamu, panggil Nyonya!” perintahnya dengan galak.

“Ma, apa-apaan ini? Kenapa Arfeen harus memanggil Mama Nyonya?”

“Dia memang pantasnya jadi pelayan di sini, sudah tidak memberimu mahar apa pun. Pekerjaannya juga hina!”

“Ma, Arfeen memberiku cincin keluarganya.”

“Itu hanya cincin kuno yang tidak berharga. Pasti itu juga barang palsu yang dia beli di pasar loak.”

Viera kembali menatap Arfeen, “Cepat bangun dan buatkan sarapan!” perintahnya lalu meninggalkan kamar putrinya.

Arfeen pun berdiri.

“Arfeen _”

“Tak apa, Larena. Aku sudah terbiasa diperlakukan seperti ini. Kau tidak perlu khawatir.” ucapnya menggulung kasur lalu membawanya keluar untuk dijemur.

Usai memasak, ia juga disuruh membereskan rumah padahal ada pelayan. Namun ia memang dilarang untuk dibantu. Ketika sedang membersihkan rumput di halaman tetiba ada yang menghubunginya Rupanya itu nomor rumah sakit.

“Halo ... apa?”

“Kondisi saudari Amara sangat kritis dan harus segera dioperasi. Mendadak ia terkena serangan jantung!” jawab si perawat.

“Apa? Serangan jantung? Suster, itu tidak mungkin. Adikku tak memiliki riwayat sakit jantung!”

“Kami juga tidak tahu pasti apa penyebabnya, Tuan. Tapi saat salah satu perawat melakukan check up rutin, adik Anda kejang-kejang!”

Mendengar hal itu, Arfeen langsung panik. Ia tak mau terjadi sesuatu pada Amara.

“Tolong selamatkan adikku, suster!” pintanya menggenggam erat handphonenya.

“Tapi Tuan, untuk melakukan tindakan operasi ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit!”

“Berapa biayanya?”

“Sekitar tiga ratus juta.”

Tubuh Arfeen membatu, Amara tiba-tiba kritis. Ia membutuhkan banyak uang untuk bisa menyelematkan sang adik. Tiga ratus juta, dari mana ia akan mendapatkan uang itu?

Sementara untuk memperpanjang biaya perawatan yang menunggak beberapan bulan ini saja ia harus rela menjadi suami kontrak! Dalam perjanjian, Larena akan memberikan sisa pembayarannya tiap bulan. Karena 100 juta sudah dibayarkan dimuka, maka untuk bulan kedua dan seterusnya ia akan menerima 50 juta.

Tapi saat ini ia butuh 300 juta. Apakah Larena bersedia meminjamkannya? Tapi bukankah Larena berkata semua uang itu berasal dari tabungannya!

Ting!

Satu pesan masuk ke dalam handphonenya, sebuah nomor baru yang tak ia kenal. Namun tetap ia buka.

“Tuan Muda, ini Liam. Tuan Besar meminta Anda pulang sebelum terlambat, tentunya Anda tidak ingin melihat klan Mahesvara hancur kan!”

Arfeen mengerutkan kening membaca isi pesan itu. Sepertinya ada masalah serius yang tengah dialami keluarganya. Tentu saja ia tak ingin klan Mahesvara hancur. Ia pun lekas menghubungi Liam.

“Liam!” ucapnya ketika Liam mengangkat panggilannya. “Aku akan kembali ke rumah itu tapi ada syarat yang ingin kuajukan!”

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Megarita
sama² py kepentingan
goodnovel comment avatar
Zetha Salvatore
Buruan Arfeen show up, biar Viera cenat cenut haha
goodnovel comment avatar
Cindi82
mama ga tau diri. semangat arfeen
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status