“Rupanya kamu sudah merasa menjadi Bos ya di rumah ini!” Viera menghentikan langkah Arfeen yang baru saja memasuki rumah kediaman Vano Jayendra. Ia berdiri berkacak pinggang di depan Arfeen.
“Maaf, Nyonya. Aku ada urusan di luar!” jawab Arfeen acuh tak acuh.“Urusan! Sok sibuk! Padahal kau itu hanya keluyuran tidak jelas kan?” sautnya menyeringai.Arfeen sungguh sedang tak ingin meladeni ocehan pedas mertuanya. Meski ada amarah yang ia rasakan karena sang mertua langsung berubah pandangan ketika mengetahui pekerjaannya yang sesungguhnya.“Ma, biar aku yang bicara padanya nanti!” sergah Larena memunculkan diri.“Mama lebih berhak bersuara di sini karena ini rumah Mama!” jawab Viera menatap sang putri.Larena yang menyadari ekspresi Arfeen yang tak biasa pun mencoba untuk membujuk sang mama. Padahal sebenarnya ia juga kesal karena pemuda itu tak bisa dihubungi sama sekali. Namun sekarang ia tahu alasan kenapa handphone suami kecilnya tak bisa dihubungi.“Ma!”“Mama tidak habis pikir dengan jalan pikiranmu. Apa yang kau lihat dari pemuda kere ini? Sudah dandanan seperti preman jalanan. Ya Tuhan ... dosa apa aku di masa lalu sehingga memiliki menantu sampah seperti ini? Memalukan!” Viera memegang kepalanya dengan sedikit menarik rambut saking stresnya.Arfeen sama sekali tak menanggapi, ia hanya mengepalkan tinju. Karena jika ia menanggapi, bisa-bisa ia kelepasan dan melakukan hal yang buruk kepada mertuanya.“Arfeen kau masuk saja ke dalam!” perintah Larena.Arfeen pun menurut, ia langsung pergi ke kamar. Namun masih bisa mendengar ocehan Viera yang memprotes sikap putrinya membela dirinya.Ketika Larena memasuki kamar, ia mendapati Arfeen yang tertidur di kasur lantai memunggunginya. Ia pun mendekat perlahan. Duduk di kasurnya sendiri, menatap punggung Arfeen yang lebar.Beberapa saat lalu ia menelepon rumah sakit untuk menanyakan kabar adik Arfeen. Bagaimanapun, Amara sudah menjadi adik iparnya, jadi ia juga harus turut memantau perkembangan kesehatan gadis itu.Sayangnya ia justru mendapatkan kabar buruk, kemarin Amara kritis dan harus meninggal di meja operasi. Ia bisa merasakan betapa sedihnya Arfeen saat ini.Pemuda itu kehilangan satu-satunya keluarga yang dimilikinya. Hatinya pasti sangat hancur saat ini.“Kenapa kau tak memberitahuku soal adikmu? Kalau begitu kan aku bisa ikut membantu pemakamannya!” ungkap Larena.Arfeen hanya melirik melalui ekor mata oleh pertanyaan sang istri.“Bagaimana pun statusku sudah jadi istrimu, maka adikmu juga adikku. Harusnya jika ada apa-apa kau bisa katakan padaku!”“Bukankah hubungan kita hanya di atas kertas?” saut Arfeen dingin.“Meski begitu pernikahan kita sah, jadi tak ada salahnya jika salah satu dari kita ada masalah kita saling memberitahu!”Arfeen kembali tak menyahut. Karena yang ia butuhkan saat ini bukanlah kata-kata manis penghiburan.“Agar kau tidak bersedih lagi, berbaringlah di ranjang, Arfeen. Siapa tahu akan membantu kau menenangkan diri.” ucap Larena hati-hati, ia setengah ragu mengutarakan hal itu. Dalam hati, dia tak ingin melihat suaminya itu murung karena hal buruk yang baru saja menimpanya.Arfeen tiba-tiba saja membalik tubuhnya, menatap sang istri. Ia lalu bangkit duduk.“Apa kau yakin ingin membiarkanku naik ke atas ranjangmu? Bagaimana dengan mamamu?”Larena tak menjawab, ia sejujurnya masih risih jika harus satu ranjang dengan pria yang belum lama ia kenal. Bahkan bukan pria yang ia cintai. Akan tetapi ia terlanjur sudah menawari.“Ini kamarku, aku yang berhak menentukan kau boleh tidur di mana.”“Sungguh, aku boleh tidur di ranjang?”Larena menggigit bibir sejenak sebelum mengangguk. Tak dipungkiri, debaran di dalam dada begitu hebat menyerang. Ini adalah pertama kalinya ia satu ranjang dengan seorang pria.Arfeen pun bangkit dan naik ke ranjangnya. Mereka saling tatap, ada gemuruh yang begitu hebat menyerang dada keduanya.“Ta-tapi ... hanya boleh tidur saja! Kau ingat tak boleh kurang ajar padaku. Ingat! Kita hanya menikah kontrak, dalam perjanjian tak ada hubungan ranjang di antara kita!” Larena mencoba mengingatkan dengan sedikit gugup. Ia takut Arfeen lupa akan hal itu.Karena jujur saja, sebenarnya Arfeen memiliki wajah rupawan dan juga postur tubuh yang ideal untuk seorang pria. Wanita mana yang tak akan tergoda jika memiliki suami setampan dan segagah pemuda itu!“Bisa balik badan?” tanya Arfeen membuat Larena membulatkan mata.“Ba-balik badan?” beo Larena.Karena wanita di depannya justru terbengong dengan permintaannya, maka Arfeen pun langsung meraih pundak wanita itu lalu memutar tubuhnya hingga memunggungi dirinya.Larena sangat terkejut dengan perbuatan pemuda itu, terlebih saat Arfeen merebahkan kepala ke punggungnya.“Jangan bergerak!” Larena hendak menghindar namun suara Arfeen menghentikannya. “Aku hanya ingin meminjam punggungmu saja sejenak. Boleh kan?”Larena tak menjawab, namun ia tetap bergeming. Membiarkan pemuda yang baru satu hari menjadi suaminya itu menenangkan diri di punggungnya.Kepergian Amara memang membuat Arfeen sangat terpukul, kehadiran Amara di dalam hidup Arfeen memberikan arti penting. Sebagai anak yang terlahir dari seorang simpanan dengan status pernikahan siri tidaklah mudah. Meski papanya sangat menyayangi dirinya karena ia terlahir sebagai seorang lelaki, namun ia bisa merasakan seisi rumah kediaman Mahesvara tidak tulus terhadap dirinya.Termasuk Radika Mahesvara sang kakek. Lelaki tua itu menerima kehadirannya hanya karena ia putra biologis Malik. Dan klan Mahesvara membutuhkan keturunan seorang anak lelaki. Malik adalah putra pertama Radika, sehingga otomatis putranyalah yang akan memimpin klan Mahesvara.Kecuali jika Malik tak memiliki anak lelaki, baru kekuasaan itu akan jatuh ke tangan putra Marvin yaitu, Tantra. Marvin adalah anak kedua Radika.Status Arfeen memang dipertanyakan. Sebenarnya pamannya tak setuju jika Arfeen yang ditunjuk sebagai ahli waris Mahesvara kelak. Karena ia hanyalah anak yang terlahir bukan dari pernikahan sah. Namun keputusan Radika tak bisa diganggu gugat. Selama di dalam darah Arfeen mengalir darah klan Mahesvara, ia tetaplah putra Malik.Kehadiran Amara menjadi penghiburan tersendiri bagi Arfeen, ia selalu berbagi suka dan duka terhadap sepupunya itu. Bahkan ketika dirinya diusir, Amara memilih untuk ikut. Namun kini Amara sudah tiada. Ia merasa seperti tak memiliki semangat untuk hidup. Namun kondisi Amara yang kritis secara tiba-tiba menyisakan tanda tanya.Liam mengatakan jika hal itu tidaklah wajar dan tengah menyelidikinya. Termasuk kecelakaan 4 tahun yang lalu. Bahkan pelaku sudah tertangkap, hanya saja tetap tak mau buka mulut. Tapi ia tak khawatir karena ia sendiri yang akan membuat mereka bicara besok.Apalagi sekarang ada sesuatu yang berhasil mengalihkan perhatiannya. Wanita yang saat ini ia sandari.“Tante, punggungmu hangat …!” pujinya asal.Yang mengejutkan bagi Larena, adalah nada bicara dari suami kecilnya itu yang seketika berubah seolah pria itu bukanlah pria muda yang biasa dia kenal. Belum lagi, sentuhan halus di punggungnya yang hanya memakai selembar tipis kain piyama itu membuat darah di tubuhnya mengalir deras.“Bolehkah aku menyentuhmu lebih banyak?”Larena terpaku dengan pertanyaan Arfeen, menyentuh lebih banyak? Apa maksudnya? Apakah pemuda ini ingin meminta haknya sebagai suami? Apa ia lupa dalam perjanjian tak ada hubungan ranjang? “Kau jangan macam-macam ya? Aku membiarkanmu meminjam punggung bukan berarti kau boleh ...,” ia memutus kalimat karena mendengar suara dengkuran halus di punggungnya. “Apa? Apakah bocah ini tidur? Arfeen?” “Hzzzzz ....” Suara dengkuran halus itu menggema ke seisi ruangan. “Kenapa bocah ini malah tidur? Aku kan juga mengantuk dan ingin tidur!” keluh Larena menoleh ke belakang punggungnya. Tapi ada rasa lega, tadinya ia sudah khawatir jika Arfeen ingin menyentuhnya. Arfeen merasa lelah bukan karena terlalu larut dalam kesedihan kehilangan Amara, ia tak menyangka jika bisa mendapatkan ketenangan saat bersama Larena. Hal itu membuatnya terbuai hingga lelap di punggung wanita yang usianya jauh lebih matang darinya itu. Ketika Larena hendak menjauhkan punggungnya perlahan, tangan Arfeen spontan mem
"Aku sudah berusaha keras, memberikan yang terbaik untuk Mahesvara Group. Tapi kenapa Kakek malah meminta Arfeen untuk kembali?” ia bermonolog pada ruang hampa. Saat ini ia tengah menumpahkan amarahnya pada samsak yang tergantung di depannya. Di sebuah ruangan fitnes pribadi di kediaman Mahesvara. Pukulannya kian kencang hingga membuat samsak itu lepas dan terlempar ke tembok. Nafasnya terengah oleh amarah. “Aku yang lebih berhak, kenapa hanya karena aku wanita ... Kenapa Kek?” Lyra merasa ini tak adil untuknya, selama beberapa tahun terakhir ia telah mencoba mengembangkan Mahesvara Group. Ia pikir ia akan diakui bahwa dirinya layak oleh sang kakek. Namun sekarang kakeknya justru meminta Arfeen untuk kembali, kenapa penerus kekuasaan harus lelaki? Tak mudah baginya membuktikan diri bahwa ia layak, akan tetapi tetap saja di mata sang kakek dirinya yang seorang wanita tak sebanding dengan Arfeen. Di parkiran kampus .... “Kau mau langsung absen?” tanya Nathan. “Aku sudah resign!”
Setelah acara perkenalan yang lumayan singkat, Arfeen langsung dituntun ke ruangannya. “Tuan Muda, ini beberapa berkas yang harus Anda pelajari!” Liam menaruh setumpuk dokumen ke meja Arfeen yang terbengong menatap benda itu. “Anjir, Liam. Sebanyak ini?” protesnya kesal. “Ini adalah dokumen kerja sama kita dengan beberapa klien. Sebagai CEO Anda harus mempelajari semuanya.” Arfeen menggaruk belakang kepala, bukannya ia malas mempelajari semua itu. Hanya saja ... ini terlalu gila banyaknya. Namun ia tetap memungut tumpukan paling atas map itu. “Oya, Liam. Kau sudah menemukan sesuatu terkait anfalnya Amara di rumah sakit?” Liam tampak mengembangkan senyum, membuat Arfeen harus mengernyitkan dahi. “Ada seorang pria yang mengenakan pakaian perawat memasuki ruangan beberapa menit sebelum Nona Muda kritis.” Seketika Arfeen mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya. “Seorang perawat?” “Orang itu hanya menyamar, Tuan Muda. Kami sudah berhasil menangkapnya!” Arfeen menghela nafas
"Arfeen!" desis Larena menyentuh tangan Arfeen untuk menghentikan perbuatannya. Saat ini tangan Arfeen berada di pinggang ramping Larena, tepatnya di kedua sisi celana untuk melepaskan benda itu. "Perutku ... sedikit aneh, sepertinya aku ....""Jangan banyak alasan! Kau sudah bikin aku seperti ini, jadi harus tanggung jawab!" seru Arfeen memotong ucapan sang istri. Tubuh Larena bergetar, menatap kabut di dalam kolam mata Arfeen. Arfeen tahu ini salah, akan tetapi saat ini hasratnya sudah tak bisa ia bendung lagi. Larena terlalu memesona, entah ada magnet apa pada wanita itu. Ketika ia menyentuh kulit Larena, gelombang hasrat langsung datang menyerang. Ia menyukai aroma parfum wanita itu yang feminin. Lembut dan menggoda. Bahkan bibir Larena seketika membuatnya candu, terlalu manis untuk bisa ia tepis. Sekali memagut, ia tak mampu berhenti. Arfeen mengecup perut Larena yang rata, jantungnya juga berdebar. Ia tak tahu kenapa, ini bukan pertama kalinya ia akan berhubungan dengan seo
"Bagaimana ini, Pa? Jika kita nggak bisa mendapatkan investor secepatnya kita akan bangkrut dan jatuh miskin!" suara Viera dipenuhi dengan kecemasan. "Aku akan coba membujuk Papa untuk menarik kembali keputusannya!" ujar Vano."Kau lupa, Papa bilang apa tadi? Papa nggak akan mengubah keputusannya kecuali si gembel itu keluar dari hidup Larena!" murka Viera.Larena masih diam duduk di sofa, ia tak menyangka hanya karena Arfeen seorang tukang sapu jalan, kakeknya tega melakukan ini pada mereka. "Aku yang akan membujuk Kakek!" seru Larena bangkit dari duduknya. "Memang seharusnya begitu, katakan pada kakekmu bahwa secepatnya kau akan ceraikan lelaki miskin itu!" saut Viera."Bukan itu, Ma. Untuk saat ini aku taak bisa ceraikan Arfeen!""Kenapa?" Viera mendekat pada putrinya. "Karena kami baru saja menikah.""Itu tak akan menjadi masalah, justru itu akar permasalahannya. Apa kau tahu? Dengan kau menikahi gembel itu ... kau sudah menjatuhkan nama baik keluarga kita!"Sebenarnya Larena
"Mencari pekerjaan?" seru Larena membalas tatapan Arfeen."Aku sedang berusaha mencari pekerjaan, aku nggak mungkin menganggur kan setelah berhenti jadi pekerjaan yang sebelumnya!""Tapi kau bahkan belum lulus kuliah, pekerjaan macam apa yang bisa kau dapat?""Apa saja.""Arfeen, aku tak mau kau mengambil sembarang pekerjaan ya. Kau tahu bagaimana reaksi seluruh keluarga besarku dengan pekerjaanmu sebelumnya. Jadi kumohon, Carilah pekerjaan yang lebih layak!""Semua pekerjaan itu layak, hanya sudut pandang setiap orang itu yang berbeda!" jawab Arfeen membuat Larena bungkam. Apa yang dikatakan suaminya itu benar. Sudut pandang manusialah yang suka membuat sesuatu itu tidak layak. "Kau tak perlu khawatir, aku pasti akan berusaha membantumu mendapatkan dana itu!" janji Arfeen. Kali ini kedua mata Larena benar-benar membulat. Dari mana suaminya bisa memiliki keyakinan seperti itu, memangnya mencari uang 100 miliar itu mudah. Satu miliar saja terkadang sangat sulit. "Waktunya hanya 1 M
Arfeen duduk di kursi kebesarannya, menatap file yang kini ada di tangan. Sebenarnya ada hal menarik yang ditawarkan oleh Jaya Abadi Corporation, tapi sayangnya Arfeen sama sekali tak tertarik menjalin kerja sama dengan mereka. Apalagi ia tahu jika Ferano sudah mencabut semua dananya di La Viva, hal yang membuat Larena saat ini kebingungan bagaimana untuk bisa mempertahankan perusahaan produk kecantikan itu. daripada ia membantu keluarga besar Jayendra, akan lebih baik jika ia membantu sang istri saja. Arfeen membanting file itu ke meja. "Liam.""Ya, Tuan Muda.""Katakan pada Gibran jika aplikasi mereka tak memenuhi standar perusahaan kita!"Liam tampak menarik kedua alisnya, ia tahu sebenarnya proposal itu cukup menjanjikan, tapi keluarga Jayendra pernah mempermalukan tuan mudanya di pesta pernikahan. "Baik, Tuan Muda!" Liam memungut file itu lalu meninggalkan ruangan. Menemui Gibran yang menunggu di luar Gibran langsung bangkit berdiri saat melihat Liam Kane keluar dari ruang C
"Jika aku tak mau?" Andrew memasang seringai di wajah. Ia yakin pemuda seperti Arfeen hanyalah seorang pecundang.Arfeen menatap tangan Andrew yang mencekal lengan Larena, dengan gerakan cepat ia meraih tangan itu lalu memutarnya ke belakang punggung Andrew."Argh ... arghhh!" Andrew meraung kesakitan saat tangan itu serasa mau patah. Namun ia juga tak ingin kalah. Apalagi di depan Larena, maka ia pun memukul Arfeen menggunakan sikutnya. Arfeen menahan siku Andrew dengan telapak tangan, lalu mendorong dengan sedikit tenaga. Bersamaan dengan itu ia juga melepaskan tangan Andrew. "Sudah kukatakan jangan menyentuh istriku!" ucap Arfeen mengulang peringatannya. "Bangsat! Berani sekali kau bocah tengik!" Andrew murka, ia membalas serangan Arfeen. Andrew bukanlah lawan yang adil untuk Arfeen, pria itu hanya bisa berkelahi ala kadarnya. Meski ia menguasai tinju, namun Arfeen lebih dari pada itu. Bahkan Arfeen tak menggunakan banyak tenaga untuk melawan pria itu. Tak ada yang memisahkan m