Izinkan aku selalu bersamanya, Tuhan. Aku bahkan tidak rela jika maut memisahkan kami.
Doa wanita beparas cantik khas timur tengah itu selalu sama, yakni memohon kepada semesta agar merestui kebersamaan dirinya dan sang suami dalam keadaan suka maupun duka, sekalipun maut memisahkan. Terhitung satu minggu lebih, Anna Caroline setia mendampingi suami tercinta yang kini tengah terbaring lemah imbas penyakit yang diderita cukup lama. Sejak saat menjalin hubungan asmara hingga menikah, Anna memutuskan mengambil risiko mencintai seumur hidup pria beriwayat penyakit jantung koroner itu. Penyakit yang sudah bersemayam di tubuh pria tampan berahang tegas bernama Nathan Geraldo semenjak remaja. Semakin dewasa, salah satu penyakit mematikan itu tak kunjung membaik, membuat tubuh pria dengan ciri khas baby face itu semakin lemah. Banyak studi mengatakan bahwa jantung koroner adalah penyakit fatal yang mustahil disembuhkan. Bahkan selama beberapa bulan terakhir kelangsungan hidup Nathan harus ditopang oleh sebuah Ring (stent jantung) yang tertanam di organ vital. Di hadapan Anna, Nathan masih terbaring memejam mata serupa tertidur dengan raut damai yang menyertai. Namun bukan pulas, melainkan lelah karena sang suami harus bertarung dengan kondisi tubuhnya yang semakin lama semakin melemah. "Hey. Aku tau aku tampan. Tapi kau tidak perlu memandangiku terus," celetuk Nathan yang sedari tadi tahu bahwa Anna sedang melakukan kegiatan favoritnya yakni memandang wajah teduh milik Nathan. "Ergh. Kau tetap saja besar kepala, Nath. Aku hanya ingin selalu memantaumu. Bukan hanya wajahmu saja tapi seluruh gerak gerikmu." Anna berkelit. Namun rona merah di wajahnya tak dapat berbohong. Ia sangat malu sekarang karena aksinya tertangkap basah suami sendiri. "Hahaha. Jangankan memandang, Sayang. Kau bisa melakukan apapun padaku. Aku milikmu, An." Kebahagian seketika menyeruak di dada kala mendengar irama tawa kecil yang terlontar dari bibir manis Nathan. Sudah cukup lama rasanya ia tak mendengar tawa spontan itu. Anna sangat merindukannya. Tidak. Wanita pemilik paras cantik dengan lesung khas di pipi kananya itu merindukan segala hal tentang Nathan, belahan jiwanya. Saat Nathan hendak mengambil posisi duduk perlahan dari berbaring, Anna segera mencegahnya. "Kau belum boleh bangun, Nath. Kondisimu masih—" Kalimat Anna terjeda seiring perubahan mimik wajah Nathan yang menyendu. "Ch. Aku memang pria tidak berguna, bukan? Bahkan untuk bangun saja aku tidak mampu." Nathan tersenyum getir seraya menundukan kepalanya, menyalahkan ketidakmampuannya. "Tidak, Sayang. Sungguh. Bukan itu yang kumaksud." Nathan tahu betul maksud baik sang istri. Namun lebel suami yang menerap padanya seolah menjadi beban bagi pria yang sudah lama tidak bisa menunaikan kewajiban baik secara lahir maupun batin. "Bergeserlah, Nath. Aku akan akan berbaring bersamamu." Anna berucap seraya mengulas senyum termanisnya. Ia tahu saat ini Nathan tidak butuh kata-kata penenang yang malah membuatnya semakin frustrasi dan benci dikasihani. Yang suaminya butuhkan ialah aksi nyata. Seolah tak ada ruang untuk menyesali keadaan, Nathan menggeser tubuh secara perlahan karena desakan tubuh Anna yang mulai menaiki brankar tempatnya berbaring. Bibir manis Nathan mengulas senyum spontan seraya berkata. "Aku mencintaimu lebih dari apapun, An." Kedua tangan lantas Nathan lingkarkan, memeluk erat tubuh sang istri. Anna dapat merasakan debaran jantung Nathan yang berdetak lemah. Itu mudah, karena posisi kepalanya persis di atas dada bidang sang suami. "Aku juga sangat mencintaimu, Suamiku," balas Anna. "Kau dengar. Debaran lemah ini bertahan karenamu, An. Kau lah satu alasan yang kubutuhkan di antara jutaan alasan yang menjatuhkan semangatku." Nathan semakin mengeratkan pelukannya. "Kalau begitu ... jangan menyerah, Nath! Untukku dan untuk calon—" TITT! Kalimat Anna terjeda saat secara tiba-tiba saat suara pemantau detak jantung Nathan mengeluarkan lengkingan panjang cukup memekakakkan terlinga. Dekapan yang tadinya erat kini melonggar diiringi kedua tangan Nathan yang perlahan terkulai lemah. Debaran itu hilang seiring netra Anna yang terbelalak spontan karena tak dapat mendengarnya lagi. Namun, ia tak ingin percaya begitu saja. Daun telinga kanannya kembali memaksa untuk disesapkan ke dada bidang sang suami lebih erat. Berharap masih ada detak yang tersisa. "Nathan, kumohon! Berdebarlah sekali lagi untukku, Sayang!" lirih Anna memohon dengan suara dan bibir gemetar. Bersamaan itu, tim dokter mulai berdatangan imbas kode darurat yang meraung dari ruang dimana Nathan menjalani perawatan. "Anna!" seru suara pria yang datang bersamaan dengan tim dokter. Pria itu bahkan membantu proses pemisahan Anna yang terus memeluk tubuh Nathan sembari menangis. "Nathan, Kak. Aku tidak mau berpisah dengannya. Hiks!" Anna meronta-ronta dalam pelukan Elmer Geraldo sang kakak ipar. "Dokter akan menanganinya, An. Kumohon kau tenangkan diri," bujuk Elmer sekuat tenaga. Pria itu terpaksa memeluk erat Anna dari belakang karena tubuh mungilnya kerap meronta, mencoba mendekati Nathan yang sedang ditangani dokter. "Maaf, Tuan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, pasien tidak tertolong." Pandangan Anna mulai meredup, fungsi pendengarannya pun turut kabur, tak dapat menangkap kalimat dokter berikutnya. Seketika tubuh yang sedang dipeluk itu tumbang tak sadarkan diri. "Anna! Bangun, An!" *** Keluarga besar konglomerat Lewis berkumpul mengenakan pakaian serba hitam sebagai tanda berkabung. "Tabahkan hatimu, An," ucap ayah mertua, Jacob Geraldo kepada Anna di hadapan pusara Nathan. Tak hanya Jacob, mama mertua—Maria Geraldo serta kerabat lain turut menghadiri pemakaman putra bungsu dan memberi ucapan bela sungkawa kepada Anna. "Terima kasih." Hanya balasan singkat yang sesekali Anna lontarkan. Hatinya jelas hancur berkeping-keping. Jika bisa, Anna ingin turut terjun ke dalam pusara, tinggal bersama Nathan di dalam sana. Namun, pada realitanya itu tak mungkin. Elmer tak luput memberi pelukan singkat untuk Anna sebagai tanda penguat. "Tabahkan hatimu, An. Nathan sudah bahagia di sana." Anna memang cukup beruntung karena bisa menjadi bagian dari salah satu keluarga crazy rich di ibu kota. Keluarga Geraldo menerima Anna sebagai menantu walupun dirinya berasal dari kalangan biasa. Tidak seperti keluarga terpandang lainnya yang mementingkan status sosial. Namun benarkah? Setidaknya semua perlakuan itu berlaku sampai mereka semua meninggalkan pusara Nathan. BRUAK! Anna yang masih tertegun berduka seketika tersentak dan mengambil posisi berdiri saat mendengar pintu kamarnya di buka kasar oleh seseorang. "Kemasi barang-barangmu sekarang juga dan segera pergi dari rumah ini!" desak sosok tak asing kepada Anna. "Mama. Ada apa, Ma?" Tanya Anna yang kebingungan. Rupanya suara lantang mengusir itu berasal dari sang mama mertua, Maria Geraldo. Anna benar-benar tidak mengerti maksud kedatangan wanita yang selama ini berperilaku baik, tetapi tiba-tiba marah dan malah mengusirnya. "Ch! Apa kau tuli? Aku bilang pergi dari rumah ini sekarang juga. Kau bukan menantuku lagi. Otomatis kau bukan bagian Geraldo." Maria mempertegas kalimatnya dengan nada tinggi. "Aku dengar, Ma. Tapi ... kenapa aku harus pergi? Kenapa mama memarahiku? Apa aku melakukan kesalahan?" Dalam kebingungan, Anna menghujami Maria dengan berbagai pertanyaan. "Cih! Jangan pernah memanggilku dengan sebutan mama lagi. Aku tidak sudi," geram Maria. "Asal kau tau. Tidak ada satu pun anggota keluarga Lewis yang menerima penari Bar murahan sepertimu menjadi menantu dan member keluarga sejak awal," lanjut Maria lantang. Maria juga membeberkan bahwa seluruh keluarga besar Lewis tak ada yang menyetujui pernikahan Anna dan Nathan sedari awal dikarenakan perbedaan status sosial. Sejenak Anna bergeming. Akalnya mencoba mengingat-ingat kembali. Takut-takut jika ia telah melakukan kesalahan fatal selama menjadi istri dan menantu keluarga Geraldo. "Baguslah. Aku juga sudah muak bersandiwara demi Nathan," timpal seseorang pria yang juga menyeruak masuk dari arah belakang Maria. "Pa-pa ...," ucap Anna terbata-bata seraya terkesiap. "Kau sungguh berharap kami menerimamu, hah? Jangan mimpi, An." Giliran suara bariton Jacob mencemooh menantunya. "Jadi, kebaikan kalian semua hanya ... sandiwara?" Tawa lepas Maria menguar hingga mengisi sudut kamar yang dulunya diperuntukkan Nathan dan Anna. "Kau sungguh percaya kami menerimamu, hah? Ini lucu, Jac. Lucu sekali," cemooh Maria untuk ke sekian kali. "Kau tau kami menganggapmu apa, An?" Maria mulai mendekati Anna. "Kami menganggapmu tak lebih seperti perawat putra kami yang sedang sekarat." Kedua tangan Anna mengepal kuat imbas perkataan dari lidah tajam Maria barusan. Bukan karena menghinanya, akan tetapi kegeraman Anna muncul kala cemoohan itu ditujukan untuk Nathan, putra mereka sendiri. "Kau boleh menghinaku tapi jangan sekali-sekali menghina mendiang suamiku." Anna menyipitkan netra serupa menantang. "Aku tidak habis pikir kalian tega mencemooh putra sendiri." "Aku benci drama durasi lama, Mar. Cepat segera singkirkan penari bar murahan ini dari kediaman kita," sela Jacob tak suka sembari meninggalkan kamar Anna. Tak ingin membuang tenaga berdebat dengan mantan menantunya, Maria berteriak lantang memanggil para pelayan untuk membantu mengemasi barang-barang Anna. Tanpa membutuhkan waktu lama, Anna dan dua koper besarnya sudah tersingkir ke area luar pagar menjulang tinggi Mansion Geraldo.TING! Bunyi khas elevator menyeruak seiring dua pintu material pintu bajanya terbuka sempurna, mengantarkan penghuni di dalamnya menuju sebuah ruangan luas dengan tatanan elegan. "Selamat datang di apartmen sederhana milikku." Elmer melayangkan sambutan untuk Anna. "Dasar kaum crazy rich. Ini bukan sebuah apartmen, Kak. Orang kaya menyebut tempat ini Penthouse," celetuk Anna sarkas seraya melangkah kaki keluar dari elevator pribadi yang terhubung langsung dengan Penthouse mantan kakak iparnya, Elmer. "Ergh! Aku heran kau masih bisa sesantai itu padahal baru saja diusir," protes Elmer seraya menggeret dua koper besar milik Anna. Wanita yang resmi menjanda itu hanya terkekeh mendengar keluhan Elmer. Lebih lanjut Anna mengatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan nasib jika harus kembali ke tempat asal sebagai orang biasa. Anna justru merasa heran akan perlakukan Elmer yang malah menampung dirinya yang terusir dari Mansion. Ketika Anna hendak melenggang pergi dari pelataran
Denting peralatan masak saling beradu, menghasilkan bunyi khas area dapur, mengusik siapapun penghuni yang ada di sekitar area tersebut. Aroma rempah sup ayam menyeruak kental, memenuhi sudut Penthouse milik Elmer Geraldo. Memasak rupanya sudah menjadi ritual pagi hari bagi Anna, wanita bertubuh ramping berusia dua puluh enam tahun, si pemilik lesung di pipi kanan. Beruntung, Elmer sangat supportive dengan memberi izin akses memasak di area dapur untuk mantan adik iparnya itu. Disamping menari, keahlian Anna lainnya adalah menyajikan hidangan penuh cita rasa. Bahkan mendiang suami nyaris tidak pernah absen menemani Anna setiap kali menyiapkan sarapan sebelum berangkat kerja. Nathan kerap berceloteh riang untuk sekadar memberi semangat kepada istrinya yang berkutat dengan alat-alat dapur walaupun terkadang mendapat omelan. "Kau tau, Sayang. Aku tidak akan pernah makan di luar lagi karena aku sudah memiliki koki handal dan cantik sepertimu, An." "Sudahi menggombalnya, Nath. Nanti
"Selamat, Nyonya. Kau positif hamil," ucap dokter pribadi langganan Elmer setelah meminta wanita itu untuk melakukan pemeriksaan tes urin. Meski begitu, Anna disarankan untuk tetap memeriksakan kandungan ke dokter spesialis. Bukannya senang, Anna malah memasang senyum getir diiringin netra yang tiba-tiba menatap kosong ke arah sang dokter. Beruntung Elmer tidak ada di dalam kamar karena Anna memintanya untuk tak menginterupsi saat sang dokter memeriksa. "Dokter ... tolong rahasiakan ini pada kakak iparku," pinta Anna memohon. Sang dokter mengerenyitkan dahi seakan keberatan. Bagaimanapun, Elmer adalah pelanggan tetap yang loyal—yang pasti akan mempertanyakan perihal kesehatan pasien yang ia mintai tolong untuk diperiksa termasuk kondisi Anna. "Uhm ... kau tidak perlu khawatir. Aku, akan memberi kabar ini sebagai kejutan," lanjut Anna yang sebenarnya berkilah, tak ingin kehamilannya diketahui oleh siapapun. Sang dokter lantas manut. Tak lama pria paruh baya bergelar dokter u
Diiringi dengan instrumental khas pengiring tarian balet, tubuh Anna mulai melakukan gerakan gemulai tarian favoritnya di dekat jendela raksasa yang memampang pemandangan kota, di ruang tengah Penthouse. Memanfaatkan kediaman yang sedang tak penghuni saat ini, Anna menari dengan jiwa bebas bahkan tanpa memperhatikan apapun termasuk keselamatan kandungannya. Bagi siapapun yang melihat tarian Anna saat inu, pasti akan memuji setiap gerakan tubuh yang meliuk indah mengikuti ritme instrumental. Namun, mereka salah. Yang sebenarnya terjadi adalah batin Anna sedang berkecamuk. Perangai kuat dan periang yang melekat padanya kini seolah menghilang berganti ketakutan dan juga gamang hebat. Anna merasa semesta sedang jahat padanya. Bagaimana bisa semua kesialan menimpanya hampir di waktu bersamaan. Suami yang pergi untuk selamanya, mertua yang mengusirnya tanpa aba-aba, dan juga kini ia harus menanggung kehamilan tanpa Nathan. Rasanya, ia lebih baik menyusul mendiang suami yang telah l
Setelah Jacob pergi untuk memberi Kaia waktu berpikir, wanita itu tak hentinya menggigiti jemari resah disela menenggak cairan merah pekat beralkohol favoritnya. Galau hebat sedang menyelimuti benak imbas permintaan di luar prediksi sang kekasih gelap. Bagaimana mungkin Kaia menuruti Jacob yang memintanya kembali rujuk dengan Elmer sedangkan sedari awal pernikahan dengan sang putra sulung hanyalah sebuah cara yang telah mereka rekayasa untuk memuluskan hubungan diam-diam kedua manusia licik itu. Sungguh, cinta pada pria yang memiliki selisih umur nyaris dua puluh tahun dengannya telah membutakan akal sehat. Andai saja Kaia tidak memiliki sindrom daddy Issue, ia mungkin akan bersikap normal seperti kebanyakan wanita pada umumnya yang memiliki selera pria seusianya. Namun, sayang. Kehadiran Jacob terlanjur menjadi candu bagi gadis berdarah campuran blasteran Eropa itu. Tepat satu tahun yang lalu, pertemuan tak disengaja Jacob dan Kaia terjadi. Saat itu, Jacob mendapat undangan d
"Kak ...." Suara Anna menguar lembut, menyapa Elmer yang sedang duduk di sofa seraya mengerjakan sesuatu dari laptop dipangkuannya."Hey." Elmer segera menanggalkan laptop ke atas meja dan meminta Anna duduk di sebelahnya. Wanita itu pun manut dan segera melesatkan bokong di sebelah Elmer.Setelah insiden Anna menari balet dan hampir mencelakai diri dan juga kandungannya kemarin, Elmer memberi wanita itu ruang setelah ditenangkan.Namun, hati Elmer tentu belum sepenuhnya lega untuk meninggalkan mantan iparnya sendirian di Penthouse. Pria itu lantas memutuskan untuk bekerja dari rumah hari ini."Mengapa kau tidak ke kantor, Kak? Apa ini gara-gara ulahku kemarin?" tanya Anna diliputi perasaan bersalah. "Jika iya, aku minta maaf.""Cih, kau terlalu besar kepala. Aku bisa bekerja kapanpun dimanapun, An," ledek Elmer yang sebenarnya berusaha menghilang kecanggungan.Anna sontak memutar bola mata dengan malas. Ia tahu betul elmer sedang berkelit agar tidak membahas hal kemarin lebih jauh.
"Apa kabar, Ma?" ucap Anna sopan membuka percakapan dengan Maria. Keluar dari Penthouse Elmer, Maria mengajak mantan menantunya ke sebuah Caffe terdekat utuk bicara secara empat mata. "Ch, kau masih saja berpura-pura, An. Tunjukkan saja sifat aslimu. Wanita penyasar kaum konglomerat." "Astaga, Ma. Aku tidak sejauh yang kau pikirkan. Aku benar-benar mencintai Nathan tanpa memandang status yang melekat padanya." "Hentikan memanggilku dengan sebutan Mama. Aku tidak sudi mendengarnya." Sentakan Maria seketika membuat Anna bergeming pasrah. "Kau rupanya belum puas, huh?!" sinis Maria sesusai menyeruput secangkir teh dengan gelagat elegan serupa bangsawan. "Apa maksud, Nyonya?" Anna sontak kebingungan. "Kau picik, Anna. Aku tau setelah Nathan kau menarget Elmer, bukan? Apa kau sadar Elmer berstatus suami orang?" Nada bicara Maria memang pelan, akan tetapi terkesan menusuk sehingga melukai hati mantan menantunya. Mertua yang pernah sangat ia hormati dan bahkan sudah dinggap s
Elmer melangkahkan kaki dengan gontai di sepanjang lorong rumah sakit. Ia tak percaya perihal apa yang dokter sampaikan mengenai kondisi Anna tadi. Bagaimana dia harus mengatakan pada wanita itu bahwa janinnya sudah sudah tak bersamanya lagi. Flashback. "Maafkan kami, Pak. Kami terpaksa harus menggangkat janin dari rahim Nyonya Anna," ungkap dokter terdengar berat hati. "Apa? Memangnya kenapa, Dok?" desak Elmer dengan mata membola. Sang dokter mulai menceritakan kronologi insiden jatuhnya Anna dari kesaksian pria bernama Reiner yang membawanya ke UGD kala itu. Sontak Elmer sangat marah kala mendengar penyebab jatuhnya Anna imbas menyelematkan seorang anak. Betapa egoisnya puan itu. Di sisi lain, ia tak bisa menyalahkan aksi kemanusian yang dilakukan mantan adik iparnya. Namun, kekesalan spontan berganti sesal manakala Dokter melanjutkan kalimatnya. "Sebenarnya, ada atau tidak insiden jatuh, kami tetap harus mengangkat janinnya karena Nyonya Anna mengalami Mola Hidatido