Share

Pesona Janda Pewaris
Pesona Janda Pewaris
Penulis: Lady Orlin

Sandiwara Belaka

Izinkan aku selalu bersamanya, Tuhan. Aku bahkan tidak rela jika maut memisahkan kami.

Doa wanita beparas cantik khas timur tengah itu selalu sama, yakni memohon kepada semesta agar merestui kebersamaan dirinya dan sang suami dalam keadaan suka maupun duka, sekalipun maut memisahkan.

Terhitung satu minggu lebih, Anna Caroline setia mendampingi suami tercinta yang kini tengah terbaring lemah imbas penyakit yang diderita cukup lama.

Sejak saat menjalin hubungan asmara hingga menikah, Anna memutuskan mengambil risiko mencintai seumur hidup pria beriwayat penyakit jantung koroner itu. Penyakit yang sudah bersemayam di tubuh pria tampan berahang tegas bernama Nathan Geraldo semenjak remaja.

Semakin dewasa, salah satu penyakit mematikan itu tak kunjung membaik, membuat tubuh pria dengan ciri khas baby face itu semakin lemah. Banyak studi mengatakan bahwa jantung koroner adalah penyakit fatal yang mustahil disembuhkan.

Bahkan selama beberapa bulan terakhir kelangsungan hidup Nathan harus ditopang oleh sebuah Ring (stent jantung) yang tertanam di organ vital.

Di hadapan Anna, Nathan masih terbaring memejam mata serupa tertidur dengan raut damai yang menyertai. Namun bukan pulas, melainkan lelah karena sang suami harus bertarung dengan kondisi tubuhnya yang semakin lama semakin melemah.

"Hey. Aku tau aku tampan. Tapi kau tidak perlu memandangiku terus," celetuk Nathan yang sedari tadi tahu bahwa Anna sedang melakukan kegiatan favoritnya yakni memandang wajah teduh milik Nathan.

"Ergh. Kau tetap saja besar kepala, Nath. Aku hanya ingin selalu memantaumu. Bukan hanya wajahmu saja tapi seluruh gerak gerikmu." Anna berkelit. Namun rona merah di wajahnya tak dapat berbohong. Ia sangat malu sekarang karena aksinya tertangkap basah suami sendiri.

"Hahaha. Jangankan memandang, Sayang. Kau bisa melakukan apapun padaku. Aku milikmu, An." Kebahagian seketika menyeruak di dada kala mendengar irama tawa kecil yang terlontar dari bibir manis Nathan.

Sudah cukup lama rasanya ia tak mendengar tawa spontan itu. Anna sangat merindukannya. Tidak. Wanita pemilik paras cantik dengan lesung khas di pipi kananya itu merindukan segala hal tentang Nathan, belahan jiwanya.

Saat Nathan hendak mengambil posisi duduk perlahan dari berbaring, Anna segera mencegahnya. "Kau belum boleh bangun, Nath. Kondisimu masih—" Kalimat Anna terjeda seiring perubahan mimik wajah Nathan yang menyendu.

"Ch. Aku memang pria tidak berguna, bukan? Bahkan untuk bangun saja aku tidak mampu." Nathan tersenyum getir seraya menundukan kepalanya, menyalahkan ketidakmampuannya.

"Tidak, Sayang. Sungguh. Bukan itu yang kumaksud." Nathan tahu betul maksud baik sang istri. Namun lebel suami yang menerap padanya seolah menjadi beban bagi pria yang sudah lama tidak bisa menunaikan kewajiban baik secara lahir maupun batin.

"Bergeserlah, Nath. Aku akan akan berbaring bersamamu." Anna berucap seraya mengulas senyum termanisnya. Ia tahu saat ini Nathan tidak butuh kata-kata penenang yang malah membuatnya semakin frustrasi dan benci dikasihani. Yang suaminya butuhkan ialah aksi nyata.

Seolah tak ada ruang untuk menyesali keadaan, Nathan menggeser tubuh secara perlahan karena desakan tubuh Anna yang mulai menaiki brankar tempatnya berbaring.

Bibir manis Nathan mengulas senyum spontan seraya berkata. "Aku mencintaimu lebih dari apapun, An." Kedua tangan lantas Nathan lingkarkan, memeluk erat tubuh sang istri.

Anna dapat merasakan debaran jantung Nathan yang berdetak lemah. Itu mudah, karena posisi kepalanya persis di atas dada bidang sang suami.

"Aku juga sangat mencintaimu, Suamiku," balas Anna.

"Kau dengar. Debaran lemah ini bertahan karenamu, An. Kau lah satu alasan yang kubutuhkan di antara jutaan alasan yang menjatuhkan semangatku." Nathan semakin mengeratkan pelukannya.

"Kalau begitu ... jangan menyerah, Nath! Untukku dan untuk calon—"

TITT!

Kalimat Anna terjeda saat secara tiba-tiba saat suara pemantau detak jantung Nathan mengeluarkan lengkingan panjang cukup memekakakkan terlinga. Dekapan yang tadinya erat kini melonggar diiringi kedua tangan Nathan yang perlahan terkulai lemah.

Debaran itu hilang seiring netra Anna yang terbelalak spontan karena tak dapat mendengarnya lagi.

Namun, ia tak ingin percaya begitu saja. Daun telinga kanannya kembali memaksa untuk disesapkan ke dada bidang sang suami lebih erat. Berharap masih ada detak yang tersisa.

"Nathan, kumohon! Berdebarlah sekali lagi untukku, Sayang!" lirih Anna memohon dengan suara dan bibir gemetar.

Bersamaan itu, tim dokter mulai berdatangan imbas kode darurat yang meraung dari ruang dimana Nathan menjalani perawatan.

"Anna!" seru suara pria yang datang bersamaan dengan tim dokter. Pria itu bahkan membantu proses pemisahan Anna yang terus memeluk tubuh Nathan sembari menangis.

"Nathan, Kak. Aku tidak mau berpisah dengannya. Hiks!" Anna meronta-ronta dalam pelukan Elmer Geraldo sang kakak ipar.

"Dokter akan menanganinya, An. Kumohon kau tenangkan diri," bujuk Elmer sekuat tenaga. Pria itu terpaksa memeluk erat Anna dari belakang karena tubuh mungilnya kerap meronta, mencoba mendekati Nathan yang sedang ditangani dokter.

"Maaf, Tuan. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, pasien tidak tertolong."

Pandangan Anna mulai meredup, fungsi pendengarannya pun turut kabur, tak dapat menangkap kalimat dokter berikutnya. Seketika tubuh yang sedang dipeluk itu tumbang tak sadarkan diri.

"Anna! Bangun, An!"

***

Keluarga besar konglomerat Lewis berkumpul mengenakan pakaian serba hitam sebagai tanda berkabung.

"Tabahkan hatimu, An," ucap ayah mertua, Jacob Geraldo kepada Anna di hadapan pusara Nathan. Tak hanya Jacob, mama mertua—Maria Geraldo serta kerabat lain turut menghadiri pemakaman putra bungsu dan memberi ucapan bela sungkawa kepada Anna.

"Terima kasih." Hanya balasan singkat yang sesekali Anna lontarkan. Hatinya jelas hancur berkeping-keping. Jika bisa, Anna ingin turut terjun ke dalam pusara, tinggal bersama Nathan di dalam sana. Namun, pada realitanya itu tak mungkin.

Elmer tak luput memberi pelukan singkat untuk Anna sebagai tanda penguat. "Tabahkan hatimu, An. Nathan sudah bahagia di sana."

Anna memang cukup beruntung karena bisa menjadi bagian dari salah satu keluarga crazy rich di ibu kota. Keluarga Geraldo menerima Anna sebagai menantu walupun dirinya berasal dari kalangan biasa. Tidak seperti keluarga terpandang lainnya yang mementingkan status sosial.

Namun benarkah?

Setidaknya semua perlakuan itu berlaku sampai mereka semua meninggalkan pusara Nathan.

BRUAK!

Anna yang masih tertegun berduka seketika tersentak dan mengambil posisi berdiri saat mendengar pintu kamarnya di buka kasar oleh seseorang.

"Kemasi barang-barangmu sekarang juga dan segera pergi dari rumah ini!" desak sosok tak asing kepada Anna.

"Mama. Ada apa, Ma?" Tanya Anna yang kebingungan. Rupanya suara lantang mengusir itu berasal dari sang mama mertua, Maria Geraldo.

Anna benar-benar tidak mengerti maksud kedatangan wanita yang selama ini berperilaku baik, tetapi tiba-tiba marah dan malah mengusirnya.

"Ch! Apa kau tuli? Aku bilang pergi dari rumah ini sekarang juga. Kau bukan menantuku lagi. Otomatis kau bukan bagian Geraldo." Maria mempertegas kalimatnya dengan nada tinggi.

"Aku dengar, Ma. Tapi ... kenapa aku harus pergi? Kenapa mama memarahiku? Apa aku melakukan kesalahan?" Dalam kebingungan, Anna menghujami Maria dengan berbagai pertanyaan.

"Cih! Jangan pernah memanggilku dengan sebutan mama lagi. Aku tidak sudi," geram Maria.

"Asal kau tau. Tidak ada satu pun anggota keluarga Lewis yang menerima penari Bar murahan sepertimu menjadi menantu dan member keluarga sejak awal," lanjut Maria lantang.

Maria juga membeberkan bahwa seluruh keluarga besar Lewis tak ada yang menyetujui pernikahan Anna dan Nathan sedari awal dikarenakan perbedaan status sosial.

Sejenak Anna bergeming. Akalnya mencoba mengingat-ingat kembali. Takut-takut jika ia telah melakukan kesalahan fatal selama menjadi istri dan menantu keluarga Geraldo.

"Baguslah. Aku juga sudah muak bersandiwara demi Nathan," timpal seseorang pria yang juga menyeruak masuk dari arah belakang Maria.

"Pa-pa ...," ucap Anna terbata-bata seraya terkesiap.

"Kau sungguh berharap kami menerimamu, hah? Jangan mimpi, An." Giliran suara bariton Jacob mencemooh menantunya.

"Jadi, kebaikan kalian semua hanya ... sandiwara?"

Tawa lepas Maria menguar hingga mengisi sudut kamar yang dulunya diperuntukkan Nathan dan Anna. "Kau sungguh percaya kami menerimamu, hah? Ini lucu, Jac. Lucu sekali," cemooh Maria untuk ke sekian kali.

"Kau tau kami menganggapmu apa, An?" Maria mulai mendekati Anna. "Kami menganggapmu tak lebih seperti perawat putra kami yang sedang sekarat."

Kedua tangan Anna mengepal kuat imbas perkataan dari lidah tajam Maria barusan. Bukan karena menghinanya, akan tetapi kegeraman Anna muncul kala cemoohan itu ditujukan untuk Nathan, putra mereka sendiri.

"Kau boleh menghinaku tapi jangan sekali-sekali menghina mendiang suamiku." Anna menyipitkan netra serupa menantang. "Aku tidak habis pikir kalian tega mencemooh putra sendiri."

"Aku benci drama durasi lama, Mar. Cepat segera singkirkan penari bar murahan ini dari kediaman kita," sela Jacob tak suka sembari meninggalkan kamar Anna.

Tak ingin membuang tenaga berdebat dengan mantan menantunya, Maria berteriak lantang memanggil para pelayan untuk membantu mengemasi barang-barang Anna.

Tanpa membutuhkan waktu lama, Anna dan dua koper besarnya sudah tersingkir ke area luar pagar menjulang tinggi Mansion Geraldo.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Lady Orlin
halooo ^^ selamat membaca ^^
goodnovel comment avatar
IlyaFio
biasanya yg jht mertua cewe ini mlh duaduanya.. ksian bgd anna
goodnovel comment avatar
IlyaFio
hoola ka lady...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status