"Tidak! Suamiku tidak mungkin meninggal! Dia hanya berpamitan bekerja ke ladang padaku Mbok Asih." Teriak wanita itu dengan linangan air mata, mendengar kabar kala suaminya mati terjatuh ke jurang dan ditemukan dengan keadaan tidak bernyawa.
"Yang sabar ya Neng, ini sudah takdirnya Allah." Ucap wanita tua yang sedari tadi memeluknya, meratapi kesedihan kala mendengar kabar suami yang baru tiga bulan menikah dengannya sudah tiada."Kenapa Mbok? Itu bisa saja kan bukan Kang Sena, Rasti yakin Mbok." Sanggahnya cepat, dia yakin bahwa suami yang sangat dia cintai itu tak mungkin pergi meninggalkannya sendirian di dunia ini."Sabar Neng sabar, kita tunggu disini , Pak Kades dan semua warga sedang membawa mayat Sena kesini." Ujar Bu Rum, yang ikut menenangkan Rasti di kediamannya.Rasti hanya menangis, membayangkan jasad suaminya itu, masih tak percaya kalau suaminya itu terjatuh, bahkan dia begitu sangat hati-hati dan kuat, tau jalan di desa ini yang mana bisa dilewati atau tidak, bahkan jurang itu sama sekali tak pernah suaminya lewati, karena dia tau disana begitu berbahaya. Dan arah ladang yang sedang dia garap bukan kearah jurang itu, malah bertolak belakang, Rasti yakin ada yang berniat buruk terhadap suaminya."Jasad Kang Sena sudah tiba!" Teriak seseorang diluar sana.Ketika jasad itu sampai di rumahnya, Rasti cepat menghampiri ingin memastikan apa itu benar jasad suaminya atau bukan, hatinya masih berharap bahwa itu bukan jasad suaminya."Rasti yakin Kang, ini pasti bukan Akang." Gumamnya kala membuka kain yang menutup tubuhnya.Air matanya kembali turun, tanpa suara, dia seperti tak percaya melihat wajah yang terbujur kaku ini adalah suaminya yang begitu dia cintai, tangisnya pecah, melihat begitu banyak lebam di wajahnya, ada darah di kepalanya, di lehernya, juga di kakinya, Rasti semakin yakin kalau suaminya itu bukan hanya terjatuh, setelah menelisik badan dan wajah suaminya, kini Rasti ambruk, badannya tak mampu lagi menopang, disela tangisnya dia tak sadarkan diri.Mbok Asih, Bu rum dan beberapa ibu-ibu yang lain membantu Rasti dan membawanya ke kamar untuk dibaringkan."Kasihan ya Mbok, disini Rasti tak ada siapa-siapa selain kang Sena, mana masih muda sudah ditinggal mati." Ujar Bu Ratmi pemilik warung di desa ini."Iya kasihan, tapi nanti juga nikah lagi dia kan masih terlihat cantik." Bisik Bu Yanti dan diangguki ibu-ibu yang lain."Hussss! Kalian ini bukannya prihatin malah gosip!" Tegur Mbok Asih pada ibu-ibu yang lain. Seketika mereka terdiam dan melihat wajah Rasti yang belum juga tersadar.Mbok Asih membuka kayu putih yang ada di meja samping tidur, menempelkannya kehidung Rasti agar dia segera terbangun."Kang.. Kang Sena.." Panggilnya dengan suara parau, air mata terus berlinang di pipinya."Mbok, itu bukan Kang Sena kan Mbok?" Tanya Rasti dengan memegang tangan Mbok Asih. Mbok Asih hanya mengusap-ngusap punggung tangannya."Sabar ya Neng Rasti, semua sudah takdir yang maha kuasa." Ucap Bu Rum dan mengelus punggung Rasti yang begitu merasa terpukul atas meninggalnya sang suami.Setelah jasad Sena di mandikan, kemudian bersiap untuk di makamkan, ada sepasang mata tersenyum sinis kala melihat jasad itu sudah tak bisa memberontak.Sampai di tempat penempatan terakhir, Rasti masih saja terus menangis dengan sesekali memanggil-manggil nama suaminya itu. Dan ibu-ibu yang lain hanya bisa menenangkan.Di Desa Mekarwangi ini Rasti hanya hidup seorang diri, orang tuanya meninggal kala usianya lima belas tahun, ditabrak lari oleh seseorang yang tidak bertanggung jawab, sampai akhirnya ada Sena yang selalu menemaninya, membantu segala keperluan sekolahnya, sedangkan Sena sendiri tak berniat melanjutkan pendidikannya, baginya bekerja di ladang tak memerlukan ijazah, Rasti sendiripun hanya sampai SMA, dan bekerja memetik kebun teh milik Pak Lurah yang paling kaya di Desa ini.Karena parasnya yang cantik banyak sekali pemuda yang ingin melamarnya, termasuk Imron anaknya pak lurah, tapi Rasti selalu menolak karena semenjak Sena selalu membantunya dia sudah menautkan hati pada Sena.Setelah umur Rasti menginjak dua puluh tahun, Sena datang melamar bersama ibunya, dengan senang hati dan bahagia Rasti langsung menerima lamaran Sena, pernikahan diadakan dengan sederhana, namun pernikahan tak tahan lama karena baru saja tiga bulan menikah Sena sudah dipanggil oleh sang Maha Kuasa."Heh! Wanita tidak tau diri! Gara-gara kamu kan anak saya meninggal? Hah?!" Teriak Bu Wanti di pemakaman Sena, yang langsung menyerang Rasti, menarik rambut Rasti sampai Rasti meringis kesakitan."Rasti juga tidak tau Bu, ampun sakit Bu." Dengan berlinang air mata Rasti mencoba untuk melepaskan jambakan dari mertuanya itu."Anak kurang ajar! Tidak tau diuntung! Sudah dinikahi malah membunuh!" Makinya lagi dan semakin menarik kasar rambut Rasti."Bu Ibu! Kenapa hanya di tonton saja! Ayo pisahkan mereka, Bu Wati tenang dulu kita bicarakan ini baik-baik tidak baik bertengkar di makam Sena." Ujar Pak Ustadz sehabis berdoa di makam Sena."Bu Wati, ini sudah takdir, bukan karena Neng Rasti, ayok kita selesaikan di rumah tidak enak kalau harus disini." Ajak Mbok Asih pada Bu Wati yang sudah melepaskan jambakan pada Rasti."Bu, sumpah Rasti tidak tahu kejadiannya bagaimana, tiba-tiba ada orang datang mengabarkan kalau Kang Sena jatuh ke jurang dan meninggal." Rasti menjelaskan dengan sesenggukan, bagaimanapun dia begitu kehilangan sosok Sena yang sudah menemaninya bertahun-tahun ini." Semenjak mengenalmu! Anak saya selalu bekerja siang dan malam! Tak ada waktu istirahat untuk dirinya hanya karenamu! Dan sekarang dia kelelahan karena bekerja terus demi membahagiakanmu! Dasar wanita tidak tau terimakasih!" Bentak Bu Wati dan menunjuk-nunjuk wajah Rasti dengan emosi yang mnggebu, dadanya naik turun menandakan begitu marahnya wanita itu atas kematian anaknya yang tiba-tiba."Sudah Bu Wati, harusnya Ibu sebagai orang tua menenangkan Neng Rasti, yang baru saja ditinggal suaminya, ini menantumu Bu Wati, kasihan dia juga begitu sedih." Bela Mbok Asih dan merangkul Rasti dalam pelukannya."Saya lebih sedih atas meninggalnya nya anak saya, saya ini ibunya Asih! Saya tau bagaimana dia bekerja keras hanya untuk wanita yang tidak ada harganya ini!" Tunjuk Bu Wati lagi dan berlalu begitu saja pergi dari pemakaman sena dengan masih mencak-mencak marah atas kehilangan anak pertamanya itu."Sabar ya, sekarang istirahatlah, biar nanti Mbok yang akan bantu untuk acara tahlilan." Dielusnya kepala Rasti, begitu prihatin kepada wanita muda ini yang sudah tak punya siapa-siapa di desa ini."Terimakasih Mbok Asih, selalu baik sama Rasti." Air mata masih saja terus mengalir.Kini tinggallah Rasti sendiri, setelah ibu-ibu dan warga yang lain ikut pulang karena ada urusan masing-masing.Rasti yakin suaminya itu bukan terjatuh, tapi sengaja ada yang mencelakai, kalau tidak kenapa harus berlawanan arah dengan arah ladang nya, arah jurang itu bukan tempat bekerja suaminya. Juga kenapa terlihat begitu lebam bekas tonjokan di setiap sudut wajahnya, luka di lehernya dan kakinya, pasti suaminya sempat melawan hingga akhirnya terjatuh, atau sengaja di dorong ke dasar jurang itu."Kang Sena, Rasti akan mencari tau siapa sebenernya yang sengaja mencelakai Akang." Gumamnya dan berlalu ke kamar mandi.Saat malam menjelang, di rumah Rasti sudah penuh dengan tetangga yang akan mengadakan tahlilan untuk suaminya.Acara tahlilan berjalan dengan lancar, Rasti masih menangis dengan linangan air mata, mendoakan suaminya agar diterima amal ibadahnya, dia juga berharap semoga diberi petunjuk atas meninggalnya belahan jiwanya itu."Neng, yang sabar jangan terus menangis, apa mau Mbok menemanimu di rumah?" Tanya Mbok Asih saat Rasti masih terlihat murung dengan linangan air mata yang tak henti-hentinya menerobos untuk keluar dari mata coklat indahnya."Tak usah Mbok, terimakasih, Mbok begitu baik pada Rasti." Jawabnya dengan memeluk wanita tua yang sudah dia anggap sebagai ibu itu."Baiklah, Mbok pulang dulu kalau ada apa-apa datang saja ke rumah Mbok, tak usah sungkan." Ujarnya berpamitan, karena hari sudah malam, Rasti hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada tetangga yang lain yang sudah mendoakan suaminya, saat Rasti akan menutup pintu pandangannya terlihat ke arah pohon mangga
Setelah mendengar itu Rasti hanya terlihat syok, lalu apa hubungannya dengan dirinya, begitu pikirnya karena dia tak merasa telah berbuat apapun kepada Kang Edi. Iya semala yang bertandang kerumahnya adalah kang Edi, temannya Sena, tapi entah apa masalahnya setelah Kang Sena berhenti sekolah mereja jadi tidak akrab lagi."Itu dia janda pembunuh di kampung kita." Terlihat segerombolan warga berjalan cepat kearah rumah Rasti dengan emosi dan cacian yang di lontarkan. Rasti yang tidak tau apa-apa hanya meminta perjelasan pada Mbok Asih apa yang sebenarnya terjadi."Heh! Janda! Kamu sengaja kan bunuh Kang Edi?." Teriak salah satu warga yang seumuran dengan dirinya. Jelas Rasti kenal siapa dia, teman SMP nya itu."Iya! Kang Edi baru dari rumah kamu terus tiba-tiba meninggal persis seperti Kang Sena." Sela warga yang lainnya."Sumpah, Rasti tidak tau apa-apa Kang Edi memang dari rumah, tapi tidak masuk hanya mengetuk pintu ngobrol sebentar kemudian pergi." Jawab Rasti dengan masih tak per
Setalah membawa benda yang Mbok Asih beri Rasti berlari cepat menuju rumahnya, dilihatnya benda itu 'Bagaimana bisa Kang Sena memiliki benda ini, rasanya tidak mungkin' Guman Rasti memegang erat ponsel yang sepertinya baterainya sudah mati, bagaimana cara menghidupkannyapun Rasti tak tau, satu-satunya cara adalah ke kota, begitu pikir Rasti.Malam semakin larut, tapi kantuk tak kunjung mendera.'Kalau memang ini milik Kang Sena, pasti dia punya kabel untuk menghidupkan ponsel ini' Rasti bangkit dari tidunya, membuka semua laci yang ada di kamarnya memeriksa lemari dan baju-baju yang tidak seberapa yang mereka punya.PlukSebuah kabel terjatuh dari atas lemari yang sudah koyak itu, mungkin jika ada yang menendangnya, lemari itu bisa ambruk karena sudah rapuh termakan usia.'Apa mungkin ini ya sepertinya ini aku pernah melihat Pak Lurah membawa ini' Dengan hati-hati Rasti mencolokan ponsel itu, wajar saja dia tak tau bagaimana caranya ponsel itu hidup, karena selama ini hanya keluarga
Semua yang ada diangkot itu turun satu persatu dengan rasa was was, ada lima orang pria berpakaian hitam dan masker menodongkan senjata. 'Ada apa ini' Gumam Rasti dalam hati."Serahkan semua barang berharga kalian!" Teriak preman serba hitam itu pada sekelompok penumpang angkutan umum yang dinaiki Rasti.Satu dari kelima orang itu menghampiri Rasti menodong pisau lipat tepat di depan wajah Rasti"Keluarkan barang berhargamu!" Teriaknya pada Rasti, wanita itu hanya menggeleng, mempertahankan tas yang berisi barang berharga menurut dirinya."Tidak ada apa-apa di dalam tasku" Sekuat tenaga Rasti menpertahankan tas nya yang berisi ponsel milik mendiang suaminya, karena belum sepenuhnya Rasti tau apa yang ada di ponsel itu."Kau mau mati hah?!" Teriaknya dengan menarik tas selempang yang Rasti gunakan."Toloong! Lepas! Aku tidak punya apapun untuk diberikan padamu!" Teriak Rasti sekuat tenaga. Tak ada yang berniat menolong Rasti, suasananya sangat menegangkan sepertinya mereka juga menja
Rasti mencoba mengetik balasan, di bertekad akan berpura-pura, agar tau apa rencana mereka sebenernya.(Saya belum mati)Dengan jantung yang berdebar, Rasti memberanikan diri mengirim sms itu, siapa tau ini adalah petunjuk untuk dirinya tau apa yang terjadi. (Bagus! Aku pikir kau sudah dibunuh oleh si Imron)Deg! Imron adalah anaknya Pak Lurah, semakin membuat Rasti bingung, karena ada hubungannya dengan pria yang pernah mengejarnya itu untuk menjadi istrinya, bahkan sampai sekaramg Imron masih terus mendekati Rasti.Tok Tok Tok"Iya siapa?" Teriak Rasti didalam, Rasti buru-buru menyimpan ponsel itu dilipatan baju mereka.Begitu membuka pintu terlihat sosok Pak lurah dan 2 konconya yang selalu mengikuti Pak lurah kemana-mana."Ada apa ya Pak?" Tanya Rasti langsung begitu dia tau yang berada diluar sana adalah Pak Lurah."Kamu tidak akan menyuruh saya masuk Neng Rasti?" Pak Lurah tanpa melihat keseseling, apakah dia memastikan kalau istrinya tidak akan mengikutinya. Karena biasanya i
"Kamu ngapain masih disini Neng Rasti? Pak lurah bilang sama saya kalau kamu sudah tidak bisa kerja disini lagi" Tegur Rozak, orang suruhan pak lurah di kebun teh miliknya ini"Saya sudah tidak boleh kerja disini lagi memang Kang? Kenapa?" Tanya Rasti, walaupun Rasti tahu mungkin karena kejadian kemarin dan mungkin juga Pak Lurah kali ini benar-benar marah."Mana saya tau Neng, ini perintah Pak Lurah, saya hanya menjalankan tugas saja" Jawabnya seperti sungkan terhadap Rasti, bagaimanapun Pak Rozak cukup prihatin atas musibah yang dialami oleh janda kembang di desanya ini."Yasudah, kalau begitu tidak apa apa Kang, Rasti pulang saja, kalau bayaran untuk 2 minggu ini bagaimana?" Tanya Rasti lagi, karena setiap 2 minggu sekali akan diberi upah, dan kebetulan Rasti sudah bekerja selama 2 minggu."Pak Lurah tidak menitip upah Neng Rasti, tapi nanti biar saya tanyakan ya Neng, kalau ada saya anterin kerumah Neng Rasti" Rasti hanya menghela nafas dan mengangguk.Rasti pulang kerumah dengan p
Kini Rasti dan dion berada di rumah Pak Lurah ketika seseorang dari tetangganya melihat Rasti masuk mobil asing itu."Heh janda! Kamu tau kan kamu janda belum sampe 40 hari? Kenapa kamu berani berduaan dengan lelaki asing ini!" Sinis Bu Rosi yang memang selalu mencari perkara padanya."Bu, memang ibu lihat kita melakukan apa di mobil? Kita hanya ngobrol biasa" Jawab Rasti dengan tegas dan menatap manik mata Bu Rosi yang salah tingkah. "Jadi bagaimana kronologinnya? Coba dari sisi Bu Rosi bagaimana? Tanya Pak Lurah pada Bu Rosi."Saya melihat Rasti masuk mobil pria ini, bahkan ada 2 pria di depan rumahnya, apalagi kalau mereka tidak zinah Pak Lurah?" Tuduh Bu Rosi hanya perkara dia melihat Rasti masuj mobil."Apa anda melihat saya bercinta dengan Rasti? Ciuman? Atau berhubungan badan Ibu?" Ketus Dion, karena dia tidak terima di perlakukan seperti ini oleh warga."Saya ada urusan dengan Rasti, penting! Saya bisa perkarakan ini ke jalur hukum dengan tuduhan tidak menyenangkan! Padahal sa
"Ayo turun" Ajak Dion, karena daritadi Rasti hanya bengong juga sedikit takjub dengan bangunang gedung tinggi yang ada di hadapannya, bahkan sepanjang jalan Rasti dibuat terheran-heran, bagaiamana gedung ini dibangun karena saking tingginya."Ini rumah Kang Dion?" Tanya Rasti sambil keluar dari mobil yang pintunya sudah Rendra buka."Ini apartemen bukan rumah" Jawab Dion dan melangkah pergi meyeret lengan Rasti."Pelan-pelan dong Kang sakit ditarik-tarik begini, lagiaj mana Rasti tau seumur-umur Rastu belum pernah ke kota jakarta ini" Gumam Rasti dengan mengikuti langkah lebar Dion yang ada di depannya. Rasti dan Dion menaiki lift menuju lantai 15 dimana itu akan menjadi tempat untuk Rasti."Ini kartu masuk kamar kamu, nanti kamu tingga disini" Ucap Dion kala mereka tiba di depan pintu bernomorkan 21 dilantai ini hanya 3 kamar, masing-masing diisi oleh Dion, Rendra dan sekarang okeh Rasti."Kartu apa ini? Bukannya buka pintu harus pake kunci ya?" Tanya Rasti dengan polos, sambil memb