Saat malam menjelang, di rumah Rasti sudah penuh dengan tetangga yang akan mengadakan tahlilan untuk suaminya.
Acara tahlilan berjalan dengan lancar, Rasti masih menangis dengan linangan air mata, mendoakan suaminya agar diterima amal ibadahnya, dia juga berharap semoga diberi petunjuk atas meninggalnya belahan jiwanya itu."Neng, yang sabar jangan terus menangis, apa mau Mbok menemanimu di rumah?" Tanya Mbok Asih saat Rasti masih terlihat murung dengan linangan air mata yang tak henti-hentinya menerobos untuk keluar dari mata coklat indahnya."Tak usah Mbok, terimakasih, Mbok begitu baik pada Rasti." Jawabnya dengan memeluk wanita tua yang sudah dia anggap sebagai ibu itu."Baiklah, Mbok pulang dulu kalau ada apa-apa datang saja ke rumah Mbok, tak usah sungkan." Ujarnya berpamitan, karena hari sudah malam, Rasti hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada tetangga yang lain yang sudah mendoakan suaminya, saat Rasti akan menutup pintu pandangannya terlihat ke arah pohon mangga besar di depan, ada sepasang mata yang mengintip dibalik pohon besar itu."Siapa ya itu." Gumamnya sambil berjalan kearah pohon, saat sampai di belakang pohon Rasti tak menemukan siapapun disini, karena malam semakin larut dan di desa ini begitu sepi Rasti buru-buru pergi meninggalkan pohon mangga.Setelah masuknya Rasti dan menutup pintu, sepasang mata itu menatap lekat kearah rumah sederhana, ya rumah di desa ini semuanya sederhana, hanya rumah pak lurah yang begitu besar dan mewah, sedangkan rumah warga disini hanya memakai setengah tembok dan bilik, begitu juga rumah Rasti, yang belakangnya masih memakai bilik, sedangkan keseluruhannya sudah di renovasi menjadi tembok oleh suaminya.Sepasang mata itu masih menelisik rumah Rasti, menyeringai dengan jahat seolah sedang merencanakan hal jahat yang akan dia lakukan.Pagi menjelang Rasti sudah terbangun, melaksanakan kewajiban sholat subuh, setelah selesai dia membuka jendela hawa dingin masuk kedalam rumahnya, desanya masih asri, belum ada polusi, bahkan jarak desa ke hutan saja sangat dekat, teknologi pun belum semaju yang di kota-kota besar, hanya beberapa orang yang memiliki ponsel, begitupun Rasti dia sama sekali tak pernah memegang apa itu ponsel. Hawa segar dia resapi kembali teringat akan mendiang suaminya, air mata kembali bercucuran bagaimana suaminya itu tak pernah sedikitpun menyakiti hatinya."Kang, Rasti rindu sama akang, disini Rasti tak ada siapa-siapa kang, kenapa akang tega meninggalkan Rasti, Kang beri Rasti petunjuk kemana Rasti harus mencari bukti." Gumamnya dalam sepi, mata nya tertuju lurus ke depan, tak ingin berlarut dia memulai aktifitasnya kembali, memetik daun teh seperti warga yang lain."Neng, kok sudah bekerja lagi?" Tanya Mang Ujang, kepercayaannya pak lurah untuk mengelola kebun teh yang Rasti sedang kerjakan."Iya mang, kalau nggak kerja gimana Rasti makan nanti mang." Jawabnya disertai senyuman kecil di bibirnya.Ya Rasti ini memang menarik, waktu belum menikah saja dijuluki kembang desa apalagi sekarang sudah jadi janda orang-orang memanggilnya janda kembang, belum lagi pernikahan yang hanya baru tiga bulan membuat Rasti masih terlihat segar dimata kaum lelaki."Baiklah, kerja yang bagus." Rasti hanya mengangguk dan kembali memetik daun teh.Selepas Dzuhur Rasti berniat untuk berjalan-jalan kearah dimana suaminya meninggal."Kang, beri petunjuk kalau Akang bukan meninggal karena jatuh Kang, Rasti akan mencari keadilan untuk Akang." Gumamnya dengan mata terus saja mengitari jalan berharap menemukan sesuatu yang akan jadi bukti nantinya.Setelah lama terduduk dan termenung di depan jurang yang tidak begitu dalam, Rasti menemukan sebuah cincin yang dia yakini itu adalah bukti, dengan menuruni pelan-pelan jalan dihadapannya Rasti mengambil cincin itu, di lingkarannya tertulis inisial Z.'Siapa Z' Ucapnya dalam hati, setelah memasukan cincin itu kedalam saku celananya, Rasti gegas pergi kembali ke kebun teh, bekerja lagi seperti biasa, hingga pukul empat sore akhirnya Rasti beranjak untuk pulang."Neng, mau Akang antar?" Tawar seorang lelaki yang sudah jelas tau siapa dia, anak pak lurah yang selalu mengejarnya dari dia masih gadis."Tak usah Kang, terimakasih, rumah Rasti dekat hanya berjalan saja sudah sampai." Tolak Rasti dengan halus, tak ingin dia memperlihatkan rasa takut akan seseorang yang ada di sampingnya ini."Bu Rohmah, tunggu, permisi kang." Secepat kilat Rasti berlari menyusul Bu Rohman."Ada apa Neng?" Tanya Bu Rohmah begitu Rasti mendekat."Tak apa Bu, Rasti ikut pulang bareng ya." Sambil berjalan beriringan dengan Bu Rohman."Ya tidak apa atuh Neng, masa pulang bareng aja nggak boleh." Kekehnya sambil menggandeng Rasti.Sesampainya di depan rumah Rasti langsung masuk dan membersihkan diri, dia teringat akan cincin yang berinisial Z.Saat malam tiba Rasti mengintip di balik jendela rumahnya, mungkin karena ini desa terpencil selepas Maghrib desa begitu sepi dan menyeramkan. Bahkan kematian suaminya saja membuat orang begitu takut untuk keluar malam. Saat Rasti melihat kearah pohon mangga, dia melihat orang memperhatikan rumahnya seperti malam kemarin.Rasa takut kembali menyerang, apa iya dia mengincar Rasti, tapi siapa dia, tidak ada niat Rasti untuk membuka pintu. Biarlah dia menunggu sampai seseorang yang dibalik itu pergi.TokTokTokPintu depan diketok tak ada suara salam, atau panggilan, Rasti masih berdiam diri di kamarnya, menguncinya, mondar-mandir ke depan dan belakang, jarinya di gigit tanda gugup. Ada rasa takut dan penasaran yang bersarang di kepalanyaTokTokKembali ketukan itu terdengar, tak ada waktu akhirnya Rasti membuka siapa yang ada diluar sana."Siapa?" Teriak Rasti karena dia ingin mendengar suara dibalik pintu yang tertutup rapat itu.Tak ada balasan suara di sebrang sana, ketukan pintu pun sudah berhenti. Akhirnya Rasti berniat untuk melihat di jendela siapa tau seseorang disana sudah pergi.Betapa kagetnya dia seseorang disana masih berdiri dan tatapannya tepat mengarah ke jendela, matanya tajam melihat Rasti, akhirnya dia bisa menguasai diri tak boleh ada rasa takut untuk menghadapi siapapun."Maaf, tadi Rasti ada di belakang, ada apa ya Kang malam-malam begini kerumah Rasti?" Tanya Rasti dengan menutup kembali pintunya dan hanya mengobrol diluar rumah."Tidak apa-apa, saya hanya memastikan kamu baik-baik saja disini, kalau begitu saya pamit." Ucapnya dan berlalu meninggalkan Rasti.'Apa maksudnya, pentingkah keadaanku untuknya?' Ucapnya dalam hati dan kembali menutup pintu lalu menguncinya. Untuk kembali melanjutkan tidurnya.Pagi menjelang seperti biasa, Rasti akan melakukan aktivitas mandinya dan beribadah dengan mendoakan suaminya."Assalamualaikum." Teriaknya dibalik pintu, membuat Rasti kaget melihat jam di dinding masih menunjukan jam enam pagi."Waalaikumsalam, sebentar." Begitu pintu terbuka Mbok Asih dengan nafas masih ngos-ngosan berbicara."Neng, Kang Edi meninggal persis seperti Kang Sena, dan ada yang melihat kalau Kang Edi baru saja dari rumah Neng Rasti, apa benar?" Tanya Mbok Asih, terlihat cemas terlihat dari raut wajahnya.Setelah mendengar itu Rasti hanya terlihat syok, lalu apa hubungannya dengan dirinya, begitu pikirnya karena dia tak merasa telah berbuat apapun kepada Kang Edi. Iya semala yang bertandang kerumahnya adalah kang Edi, temannya Sena, tapi entah apa masalahnya setelah Kang Sena berhenti sekolah mereja jadi tidak akrab lagi."Itu dia janda pembunuh di kampung kita." Terlihat segerombolan warga berjalan cepat kearah rumah Rasti dengan emosi dan cacian yang di lontarkan. Rasti yang tidak tau apa-apa hanya meminta perjelasan pada Mbok Asih apa yang sebenarnya terjadi."Heh! Janda! Kamu sengaja kan bunuh Kang Edi?." Teriak salah satu warga yang seumuran dengan dirinya. Jelas Rasti kenal siapa dia, teman SMP nya itu."Iya! Kang Edi baru dari rumah kamu terus tiba-tiba meninggal persis seperti Kang Sena." Sela warga yang lainnya."Sumpah, Rasti tidak tau apa-apa Kang Edi memang dari rumah, tapi tidak masuk hanya mengetuk pintu ngobrol sebentar kemudian pergi." Jawab Rasti dengan masih tak per
Setalah membawa benda yang Mbok Asih beri Rasti berlari cepat menuju rumahnya, dilihatnya benda itu 'Bagaimana bisa Kang Sena memiliki benda ini, rasanya tidak mungkin' Guman Rasti memegang erat ponsel yang sepertinya baterainya sudah mati, bagaimana cara menghidupkannyapun Rasti tak tau, satu-satunya cara adalah ke kota, begitu pikir Rasti.Malam semakin larut, tapi kantuk tak kunjung mendera.'Kalau memang ini milik Kang Sena, pasti dia punya kabel untuk menghidupkan ponsel ini' Rasti bangkit dari tidunya, membuka semua laci yang ada di kamarnya memeriksa lemari dan baju-baju yang tidak seberapa yang mereka punya.PlukSebuah kabel terjatuh dari atas lemari yang sudah koyak itu, mungkin jika ada yang menendangnya, lemari itu bisa ambruk karena sudah rapuh termakan usia.'Apa mungkin ini ya sepertinya ini aku pernah melihat Pak Lurah membawa ini' Dengan hati-hati Rasti mencolokan ponsel itu, wajar saja dia tak tau bagaimana caranya ponsel itu hidup, karena selama ini hanya keluarga
Semua yang ada diangkot itu turun satu persatu dengan rasa was was, ada lima orang pria berpakaian hitam dan masker menodongkan senjata. 'Ada apa ini' Gumam Rasti dalam hati."Serahkan semua barang berharga kalian!" Teriak preman serba hitam itu pada sekelompok penumpang angkutan umum yang dinaiki Rasti.Satu dari kelima orang itu menghampiri Rasti menodong pisau lipat tepat di depan wajah Rasti"Keluarkan barang berhargamu!" Teriaknya pada Rasti, wanita itu hanya menggeleng, mempertahankan tas yang berisi barang berharga menurut dirinya."Tidak ada apa-apa di dalam tasku" Sekuat tenaga Rasti menpertahankan tas nya yang berisi ponsel milik mendiang suaminya, karena belum sepenuhnya Rasti tau apa yang ada di ponsel itu."Kau mau mati hah?!" Teriaknya dengan menarik tas selempang yang Rasti gunakan."Toloong! Lepas! Aku tidak punya apapun untuk diberikan padamu!" Teriak Rasti sekuat tenaga. Tak ada yang berniat menolong Rasti, suasananya sangat menegangkan sepertinya mereka juga menja
Rasti mencoba mengetik balasan, di bertekad akan berpura-pura, agar tau apa rencana mereka sebenernya.(Saya belum mati)Dengan jantung yang berdebar, Rasti memberanikan diri mengirim sms itu, siapa tau ini adalah petunjuk untuk dirinya tau apa yang terjadi. (Bagus! Aku pikir kau sudah dibunuh oleh si Imron)Deg! Imron adalah anaknya Pak Lurah, semakin membuat Rasti bingung, karena ada hubungannya dengan pria yang pernah mengejarnya itu untuk menjadi istrinya, bahkan sampai sekaramg Imron masih terus mendekati Rasti.Tok Tok Tok"Iya siapa?" Teriak Rasti didalam, Rasti buru-buru menyimpan ponsel itu dilipatan baju mereka.Begitu membuka pintu terlihat sosok Pak lurah dan 2 konconya yang selalu mengikuti Pak lurah kemana-mana."Ada apa ya Pak?" Tanya Rasti langsung begitu dia tau yang berada diluar sana adalah Pak Lurah."Kamu tidak akan menyuruh saya masuk Neng Rasti?" Pak Lurah tanpa melihat keseseling, apakah dia memastikan kalau istrinya tidak akan mengikutinya. Karena biasanya i
"Kamu ngapain masih disini Neng Rasti? Pak lurah bilang sama saya kalau kamu sudah tidak bisa kerja disini lagi" Tegur Rozak, orang suruhan pak lurah di kebun teh miliknya ini"Saya sudah tidak boleh kerja disini lagi memang Kang? Kenapa?" Tanya Rasti, walaupun Rasti tahu mungkin karena kejadian kemarin dan mungkin juga Pak Lurah kali ini benar-benar marah."Mana saya tau Neng, ini perintah Pak Lurah, saya hanya menjalankan tugas saja" Jawabnya seperti sungkan terhadap Rasti, bagaimanapun Pak Rozak cukup prihatin atas musibah yang dialami oleh janda kembang di desanya ini."Yasudah, kalau begitu tidak apa apa Kang, Rasti pulang saja, kalau bayaran untuk 2 minggu ini bagaimana?" Tanya Rasti lagi, karena setiap 2 minggu sekali akan diberi upah, dan kebetulan Rasti sudah bekerja selama 2 minggu."Pak Lurah tidak menitip upah Neng Rasti, tapi nanti biar saya tanyakan ya Neng, kalau ada saya anterin kerumah Neng Rasti" Rasti hanya menghela nafas dan mengangguk.Rasti pulang kerumah dengan p
Kini Rasti dan dion berada di rumah Pak Lurah ketika seseorang dari tetangganya melihat Rasti masuk mobil asing itu."Heh janda! Kamu tau kan kamu janda belum sampe 40 hari? Kenapa kamu berani berduaan dengan lelaki asing ini!" Sinis Bu Rosi yang memang selalu mencari perkara padanya."Bu, memang ibu lihat kita melakukan apa di mobil? Kita hanya ngobrol biasa" Jawab Rasti dengan tegas dan menatap manik mata Bu Rosi yang salah tingkah. "Jadi bagaimana kronologinnya? Coba dari sisi Bu Rosi bagaimana? Tanya Pak Lurah pada Bu Rosi."Saya melihat Rasti masuk mobil pria ini, bahkan ada 2 pria di depan rumahnya, apalagi kalau mereka tidak zinah Pak Lurah?" Tuduh Bu Rosi hanya perkara dia melihat Rasti masuj mobil."Apa anda melihat saya bercinta dengan Rasti? Ciuman? Atau berhubungan badan Ibu?" Ketus Dion, karena dia tidak terima di perlakukan seperti ini oleh warga."Saya ada urusan dengan Rasti, penting! Saya bisa perkarakan ini ke jalur hukum dengan tuduhan tidak menyenangkan! Padahal sa
"Ayo turun" Ajak Dion, karena daritadi Rasti hanya bengong juga sedikit takjub dengan bangunang gedung tinggi yang ada di hadapannya, bahkan sepanjang jalan Rasti dibuat terheran-heran, bagaiamana gedung ini dibangun karena saking tingginya."Ini rumah Kang Dion?" Tanya Rasti sambil keluar dari mobil yang pintunya sudah Rendra buka."Ini apartemen bukan rumah" Jawab Dion dan melangkah pergi meyeret lengan Rasti."Pelan-pelan dong Kang sakit ditarik-tarik begini, lagiaj mana Rasti tau seumur-umur Rastu belum pernah ke kota jakarta ini" Gumam Rasti dengan mengikuti langkah lebar Dion yang ada di depannya. Rasti dan Dion menaiki lift menuju lantai 15 dimana itu akan menjadi tempat untuk Rasti."Ini kartu masuk kamar kamu, nanti kamu tingga disini" Ucap Dion kala mereka tiba di depan pintu bernomorkan 21 dilantai ini hanya 3 kamar, masing-masing diisi oleh Dion, Rendra dan sekarang okeh Rasti."Kartu apa ini? Bukannya buka pintu harus pake kunci ya?" Tanya Rasti dengan polos, sambil memb
Rendra sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah Rasti yang sangat norak, bagaimana tidak di tahun 2023 ini dia tidak tau apa itu shower, dengan sabar dan sedikit misuh-misuh karena jengkel dengan kelakuan Rasti, Rendra menjelaskan dengan sangat detail bagaimana menggunakan kamar mandi yang sudah modern ini."Masa sih begini saha tidak tau?" Sinis Rendra kala dia selesai menjelaskan, air dingin dan hangat yang bisa Rasti gunakan ketika mandi."Di kampung nggak ada yang beginian Kang, mandi ya harus nimba, pake gayung, disini kok nggak ada gayung, ini juga tempat tidur kok ada dikamar mandi" Sahut Rasti sambil memainkan air shower, seperti air hujan, bagus itulah yang terlintas di pikiran Rasti."Sekarang kamu harus belajar modern, nanti Pak Dion akan kasih handphone sama kamu" Rastu terdiam, dia ingat handphone milik mendiang suaminya, apa yang sering menghubinya itu adalah Pak Dion dan Pak Rendra begitu pikirnya."Saya boleh tiduran dikasur ini?" Tanya Rasti dengab menunjuk bathhu