Share

Fitnah

Setelah mendengar itu Rasti hanya terlihat syok, lalu apa hubungannya dengan dirinya, begitu pikirnya karena dia tak merasa telah berbuat apapun kepada Kang Edi.

Iya semala yang bertandang kerumahnya adalah kang Edi, temannya Sena, tapi entah apa masalahnya setelah Kang Sena berhenti sekolah mereja jadi tidak akrab lagi.

"Itu dia janda pembunuh di kampung kita." Terlihat segerombolan warga berjalan cepat kearah rumah Rasti dengan emosi dan cacian yang di lontarkan.

Rasti yang tidak tau apa-apa hanya meminta perjelasan pada Mbok Asih apa yang sebenarnya terjadi.

"Heh! Janda! Kamu sengaja kan bunuh Kang Edi?." Teriak salah satu warga yang seumuran dengan dirinya. Jelas Rasti kenal siapa dia, teman SMP nya itu.

"Iya! Kang Edi baru dari rumah kamu terus tiba-tiba meninggal persis seperti Kang Sena." Sela warga yang lainnya.

"Sumpah, Rasti tidak tau apa-apa Kang Edi memang dari rumah, tapi tidak masuk hanya mengetuk pintu ngobrol sebentar kemudian pergi." Jawab Rasti dengan masih tak percaya kalau warga berdemo ke rumahnya. Yang kebanyakan semua ibu-ibu dan para gadis.

"Kamu memang janda gatal ya! Terus ngapain Kang Edi kerumah? Kamu yang ajak?" Sarkas gadis itu dengan menunjuk-nunjuk wajah Rasti.

"Astaghfirullah, kamu apa-apaan sih Risa, sumpah aku hanya ngobrol dua kata bersama Kang Edi, dia hanya bertanya apa aku baik-baik saja." Belanya cepat, karena tidak terima dengan perkataan tetangganya itu. Ya gadis itu bernama Risa, sejak dulu Risa begitu benci kepada Rasti, karena Rasti lebih cantik darinya.

"Terus kenapa Kang Edi bisa meninggal saat pulang dari rumahmu Rasti?! Kenapa tewasnya sama dengan tewas kang Sena?!" Jerit wanita itu, ingin menarik rambut Rasti tapi tertahan oleh warga yang lain, diketahui Risa ini sedang menjalin hubungan dengan Kang Edi dan akan menikah diwaktu dekat tapi takdir berkata lain, Kang Edi harus pergi sebelum pernikahan itu terjadi.

"Tenang! Tenang! Jangan main hakim sendiri, kita saja tidak melihat kejadian itu! Hanya ada satu warga yang melihat Kang Edi keluar dari rumah Neng Rasti belum tentu Neng Rasti yang melakukan pembunuhan!" Teriak pak lurah dengan lantang, bahkan para laki-laki sama sekali tidak ada yang menyalahkan Rasti. Mbok Asih terus mengusap punggung Rasti dengan sedih, merasa kasihan dengan wanita ini yang diberi ujian bertubi-tubi ini.

Rasti hanya bisa menangis di pelukan Mbok Asih, tidak mengerti dengan apa yang terjadi.

"Neng, apa benar Kang Edi semalam dari rumah Neng Rasti?" Tanya pak lurah dengan lembut, tatapannya begitu mengerikan bagi Rasti yang pernah dilamar oleh pak lurah untuk dijadikan istri yang keempat.

"Iya Pak Lurah, itu memang benar adanya, tapi tidak ada apa-apa, selepas Kang Edi bertanya keadaan saya, dia langsung pergi begitu saja." Jawab Rasti dengan menunduk dan memilin baju yang dia kenakan, tak kuasa menatap tatapan merayunya pak lurah.

"Lalu, kenapa Keng Edi bertanya keadaan dirimu?! Apa kau ada bermain belakang bersama Kang Edi?!" Teriak Risa dengan air mata, tak kuasa kehilangan calon suaminya itu.

"Sumpah Risa, tak ada hubungan apa-apa antara aku dan Kang Edi, aku juga tidak tau maksudnya Kang Edi bertanya seperti itu!" Kekeh Rasti karena begitu tak terima dia di fitnah berdekatan dengan Kang Edi, bahkan dia saja hanya bersapa sebatas senyum jika bertemu tak pernah ada obrolan apapun.

"Dasar kau selalu tebar pesona! Kau tebar pesona sama Kang Edi, makanya malam-malam Kang Edi ke rumahmu, mungkin kau kesepian baru ditinggal Kang Sena, begitu kan Rasti!" Tuduh Risa dengan emosi yang menggebu, dadanya naik turun meluapkan amarah.

"Cukup! Cukup! Pergi semua dari hadapanku! Meninggalnya Kang Sena saja saya tidak marah padahal saya tau Kang Sena dibunuh! Bukan meninggal karena hanya jatuh, dan kau Risa! Kau tak berhak marah padaku! Tak ada bukti apapun aku membunuh Kang Edi! Pergi kalian! Setelah aku cari tau kematian Kang Sena tak akan segan aku membunuh orang itu!" Murka Rasti didepan semua warga, Mbok Asih menenangkan dengan mengusap punggungnya.

"Sudah pergi! Kita cari tau apa penyebab Kang Edi meninggal ayo tinggalkan rumah neng Rasti, tak ada bukti jangan sembarangan menuduh orang lain." Ujar pak lurah dengan menyuruh warganya untuk bubar.

"Maaf Neng Rasti atas ke kacauan ini." Kembali pak lurah berucap pada Rasti dan menatap setiap inci tubuh Rasti dengan seringai yang menjijikan.

"Saya permisi." Tegas Rasti, masuk ke rumahnya di susul oleh Mbok Asih dan mengunci pintu, terlihat warga mulai bubar dan sebagian warga ibu-ibu menyurakan ke rumah Rasti.

"Mbok, Rasti benar-benar tidak tau kematian Kang Edi, Rasti saja masih bingung dan sedih dengan kematian Kang Sena yang tiba-tiba." Isak Rasti di pelukan Mbok Asih, dia tak habis pikir kenapa mereka menuduh dia yang membunuh Kang Sena dan Kang Edi.

"Sabar atuh Neng, Mbok percaya tak mungkin Neng Rasti melakukan hal sekeji itu, sudah jangan dipikirkan, mari kita ke kebun teh, bekerja untuk makan, sudah hapus air matamu itu, fitnah keji ini akan berbalas pada orangnya." Geram Mbok Asih yang ikut marah atas kelakuan Risa, seperti ibu dan anak Mbok Asih menghapus sisa air mata Rasti di pipinya.

"Iya Mbok, terimakasih." Mereka beriringan berjalan menuju ke kebun teh.

Sudah Rasti duga sesampainya di kebun teh orang-orang akan memandang sinis ke arahnya.

"Sudah, jangan dipikirkan, cepat kita bekerja." Ajak Mbok Asih saat Rasti hanya diam mematung. Rasti hanya mengangguk, mulai bekerja seperti biasa, walaupun bisik-bisik warga soal dirinya masih terdengar, berpura-pura cuek dan fokus akan pekerjaannya.

Adzan dzuhur berkumandang, istirahat untuk sekedar sholat dan makan Rasti lakukan, tak lupa dia kembali ke tempat kejadian dimana suaminya di nyatakan sudah tak bernyawa juga Kang Edi.

Ternyata banyak warga yang masih mengevakuasi jasad Kang Edi.

"Neng, ngapain disini?" Tanya seorang warga saat Rasti melihat ke segala arah di tempat ini.

"Kenapa jasad Kang Edi belum di kebumikan?" Rasti malah balik bertanya kepada bapak itu.

"Susah di evakuasinya Neng, sepertinya mau dibiarin saja di jurang ini, warga kesusahan membawanya, cukup dalam soalnya." Terang bapak itu dengan wajah prihatin atas meninggalnya Kang Edi.

"Innalilahi wainnailaihi rojiun, kalau dibiarkan di jurang itu kasian atuh Pak keluarganya." Ucap Rasti, karena melihat amukan Risa tidak mungkin rasanya membiarkan jasad Kang Edi berada disini.

"Mau bagaimana lagi atuh Neng, nggak ada yang berani turun sejauh itu." Ucap bapak itu lagi.

"Yasudah Pak, Rasti permisi, tadinya Rasti hanya ingin mengenang Kang Sena disini, semoga jasad Kang Edi bisa dibawa keatas pak." Ujar Rasti dengan membungkukan badan dan berlalu kembali ke tempat kebun teh.

"Neng, darimana?" Tanya Mbok Asih saat Rasti baru saja tiba dan kembali bekerja memetik daun teh.

"Dari jurang itu Mbok, Rasti hanya ingin mengenang Kang Sena disana, tapi ternyata warga masih mengevakuasi jasadnya Kang Edi." Jawab Rasti dengan tangan masih lincah memetik daun-daun teh itu.

"Ya, Mbok sudah dengar itu, kalau jenazah Kang Edi teh nggak akan dibawa naik, karena katanya memang susah dibawanya." Ucap Mbok Asih dengan sesekali melirik ke raut wajah Rasti.

"Kasian ya Mbok, yang Rasti masih tidak mengerti kenapa warga memfitnah Rasti yang membunuh?" Ujar Rasti lagi, kejadian pagi tadi masih jelas terlihat bagaimana Risa begitu murka padanya.

"Ah tidak usah di pikiran si Mbok mau kasih sesuatu ke kamu, Mbok menemukan ini di kantong celana Kang Sena." Dengan cepat Rasti meraih bingkisan itu dari Mbok Asik.

"Ini kan..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status