Setelah mendengar itu Rasti hanya terlihat syok, lalu apa hubungannya dengan dirinya, begitu pikirnya karena dia tak merasa telah berbuat apapun kepada Kang Edi.
Iya semala yang bertandang kerumahnya adalah kang Edi, temannya Sena, tapi entah apa masalahnya setelah Kang Sena berhenti sekolah mereja jadi tidak akrab lagi."Itu dia janda pembunuh di kampung kita." Terlihat segerombolan warga berjalan cepat kearah rumah Rasti dengan emosi dan cacian yang di lontarkan.Rasti yang tidak tau apa-apa hanya meminta perjelasan pada Mbok Asih apa yang sebenarnya terjadi."Heh! Janda! Kamu sengaja kan bunuh Kang Edi?." Teriak salah satu warga yang seumuran dengan dirinya. Jelas Rasti kenal siapa dia, teman SMP nya itu."Iya! Kang Edi baru dari rumah kamu terus tiba-tiba meninggal persis seperti Kang Sena." Sela warga yang lainnya."Sumpah, Rasti tidak tau apa-apa Kang Edi memang dari rumah, tapi tidak masuk hanya mengetuk pintu ngobrol sebentar kemudian pergi." Jawab Rasti dengan masih tak percaya kalau warga berdemo ke rumahnya. Yang kebanyakan semua ibu-ibu dan para gadis."Kamu memang janda gatal ya! Terus ngapain Kang Edi kerumah? Kamu yang ajak?" Sarkas gadis itu dengan menunjuk-nunjuk wajah Rasti."Astaghfirullah, kamu apa-apaan sih Risa, sumpah aku hanya ngobrol dua kata bersama Kang Edi, dia hanya bertanya apa aku baik-baik saja." Belanya cepat, karena tidak terima dengan perkataan tetangganya itu. Ya gadis itu bernama Risa, sejak dulu Risa begitu benci kepada Rasti, karena Rasti lebih cantik darinya."Terus kenapa Kang Edi bisa meninggal saat pulang dari rumahmu Rasti?! Kenapa tewasnya sama dengan tewas kang Sena?!" Jerit wanita itu, ingin menarik rambut Rasti tapi tertahan oleh warga yang lain, diketahui Risa ini sedang menjalin hubungan dengan Kang Edi dan akan menikah diwaktu dekat tapi takdir berkata lain, Kang Edi harus pergi sebelum pernikahan itu terjadi."Tenang! Tenang! Jangan main hakim sendiri, kita saja tidak melihat kejadian itu! Hanya ada satu warga yang melihat Kang Edi keluar dari rumah Neng Rasti belum tentu Neng Rasti yang melakukan pembunuhan!" Teriak pak lurah dengan lantang, bahkan para laki-laki sama sekali tidak ada yang menyalahkan Rasti. Mbok Asih terus mengusap punggung Rasti dengan sedih, merasa kasihan dengan wanita ini yang diberi ujian bertubi-tubi ini.Rasti hanya bisa menangis di pelukan Mbok Asih, tidak mengerti dengan apa yang terjadi."Neng, apa benar Kang Edi semalam dari rumah Neng Rasti?" Tanya pak lurah dengan lembut, tatapannya begitu mengerikan bagi Rasti yang pernah dilamar oleh pak lurah untuk dijadikan istri yang keempat."Iya Pak Lurah, itu memang benar adanya, tapi tidak ada apa-apa, selepas Kang Edi bertanya keadaan saya, dia langsung pergi begitu saja." Jawab Rasti dengan menunduk dan memilin baju yang dia kenakan, tak kuasa menatap tatapan merayunya pak lurah."Lalu, kenapa Keng Edi bertanya keadaan dirimu?! Apa kau ada bermain belakang bersama Kang Edi?!" Teriak Risa dengan air mata, tak kuasa kehilangan calon suaminya itu."Sumpah Risa, tak ada hubungan apa-apa antara aku dan Kang Edi, aku juga tidak tau maksudnya Kang Edi bertanya seperti itu!" Kekeh Rasti karena begitu tak terima dia di fitnah berdekatan dengan Kang Edi, bahkan dia saja hanya bersapa sebatas senyum jika bertemu tak pernah ada obrolan apapun."Dasar kau selalu tebar pesona! Kau tebar pesona sama Kang Edi, makanya malam-malam Kang Edi ke rumahmu, mungkin kau kesepian baru ditinggal Kang Sena, begitu kan Rasti!" Tuduh Risa dengan emosi yang menggebu, dadanya naik turun meluapkan amarah."Cukup! Cukup! Pergi semua dari hadapanku! Meninggalnya Kang Sena saja saya tidak marah padahal saya tau Kang Sena dibunuh! Bukan meninggal karena hanya jatuh, dan kau Risa! Kau tak berhak marah padaku! Tak ada bukti apapun aku membunuh Kang Edi! Pergi kalian! Setelah aku cari tau kematian Kang Sena tak akan segan aku membunuh orang itu!" Murka Rasti didepan semua warga, Mbok Asih menenangkan dengan mengusap punggungnya."Sudah pergi! Kita cari tau apa penyebab Kang Edi meninggal ayo tinggalkan rumah neng Rasti, tak ada bukti jangan sembarangan menuduh orang lain." Ujar pak lurah dengan menyuruh warganya untuk bubar."Maaf Neng Rasti atas ke kacauan ini." Kembali pak lurah berucap pada Rasti dan menatap setiap inci tubuh Rasti dengan seringai yang menjijikan."Saya permisi." Tegas Rasti, masuk ke rumahnya di susul oleh Mbok Asih dan mengunci pintu, terlihat warga mulai bubar dan sebagian warga ibu-ibu menyurakan ke rumah Rasti."Mbok, Rasti benar-benar tidak tau kematian Kang Edi, Rasti saja masih bingung dan sedih dengan kematian Kang Sena yang tiba-tiba." Isak Rasti di pelukan Mbok Asih, dia tak habis pikir kenapa mereka menuduh dia yang membunuh Kang Sena dan Kang Edi."Sabar atuh Neng, Mbok percaya tak mungkin Neng Rasti melakukan hal sekeji itu, sudah jangan dipikirkan, mari kita ke kebun teh, bekerja untuk makan, sudah hapus air matamu itu, fitnah keji ini akan berbalas pada orangnya." Geram Mbok Asih yang ikut marah atas kelakuan Risa, seperti ibu dan anak Mbok Asih menghapus sisa air mata Rasti di pipinya."Iya Mbok, terimakasih." Mereka beriringan berjalan menuju ke kebun teh.Sudah Rasti duga sesampainya di kebun teh orang-orang akan memandang sinis ke arahnya."Sudah, jangan dipikirkan, cepat kita bekerja." Ajak Mbok Asih saat Rasti hanya diam mematung. Rasti hanya mengangguk, mulai bekerja seperti biasa, walaupun bisik-bisik warga soal dirinya masih terdengar, berpura-pura cuek dan fokus akan pekerjaannya.Adzan dzuhur berkumandang, istirahat untuk sekedar sholat dan makan Rasti lakukan, tak lupa dia kembali ke tempat kejadian dimana suaminya di nyatakan sudah tak bernyawa juga Kang Edi.Ternyata banyak warga yang masih mengevakuasi jasad Kang Edi."Neng, ngapain disini?" Tanya seorang warga saat Rasti melihat ke segala arah di tempat ini."Kenapa jasad Kang Edi belum di kebumikan?" Rasti malah balik bertanya kepada bapak itu."Susah di evakuasinya Neng, sepertinya mau dibiarin saja di jurang ini, warga kesusahan membawanya, cukup dalam soalnya." Terang bapak itu dengan wajah prihatin atas meninggalnya Kang Edi."Innalilahi wainnailaihi rojiun, kalau dibiarkan di jurang itu kasian atuh Pak keluarganya." Ucap Rasti, karena melihat amukan Risa tidak mungkin rasanya membiarkan jasad Kang Edi berada disini."Mau bagaimana lagi atuh Neng, nggak ada yang berani turun sejauh itu." Ucap bapak itu lagi."Yasudah Pak, Rasti permisi, tadinya Rasti hanya ingin mengenang Kang Sena disini, semoga jasad Kang Edi bisa dibawa keatas pak." Ujar Rasti dengan membungkukan badan dan berlalu kembali ke tempat kebun teh."Neng, darimana?" Tanya Mbok Asih saat Rasti baru saja tiba dan kembali bekerja memetik daun teh."Dari jurang itu Mbok, Rasti hanya ingin mengenang Kang Sena disana, tapi ternyata warga masih mengevakuasi jasadnya Kang Edi." Jawab Rasti dengan tangan masih lincah memetik daun-daun teh itu."Ya, Mbok sudah dengar itu, kalau jenazah Kang Edi teh nggak akan dibawa naik, karena katanya memang susah dibawanya." Ucap Mbok Asih dengan sesekali melirik ke raut wajah Rasti."Kasian ya Mbok, yang Rasti masih tidak mengerti kenapa warga memfitnah Rasti yang membunuh?" Ujar Rasti lagi, kejadian pagi tadi masih jelas terlihat bagaimana Risa begitu murka padanya."Ah tidak usah di pikiran si Mbok mau kasih sesuatu ke kamu, Mbok menemukan ini di kantong celana Kang Sena." Dengan cepat Rasti meraih bingkisan itu dari Mbok Asik."Ini kan..."Setalah membawa benda yang Mbok Asih beri Rasti berlari cepat menuju rumahnya, dilihatnya benda itu 'Bagaimana bisa Kang Sena memiliki benda ini, rasanya tidak mungkin' Guman Rasti memegang erat ponsel yang sepertinya baterainya sudah mati, bagaimana cara menghidupkannyapun Rasti tak tau, satu-satunya cara adalah ke kota, begitu pikir Rasti.Malam semakin larut, tapi kantuk tak kunjung mendera.'Kalau memang ini milik Kang Sena, pasti dia punya kabel untuk menghidupkan ponsel ini' Rasti bangkit dari tidunya, membuka semua laci yang ada di kamarnya memeriksa lemari dan baju-baju yang tidak seberapa yang mereka punya.PlukSebuah kabel terjatuh dari atas lemari yang sudah koyak itu, mungkin jika ada yang menendangnya, lemari itu bisa ambruk karena sudah rapuh termakan usia.'Apa mungkin ini ya sepertinya ini aku pernah melihat Pak Lurah membawa ini' Dengan hati-hati Rasti mencolokan ponsel itu, wajar saja dia tak tau bagaimana caranya ponsel itu hidup, karena selama ini hanya keluarga
Semua yang ada diangkot itu turun satu persatu dengan rasa was was, ada lima orang pria berpakaian hitam dan masker menodongkan senjata. 'Ada apa ini' Gumam Rasti dalam hati."Serahkan semua barang berharga kalian!" Teriak preman serba hitam itu pada sekelompok penumpang angkutan umum yang dinaiki Rasti.Satu dari kelima orang itu menghampiri Rasti menodong pisau lipat tepat di depan wajah Rasti"Keluarkan barang berhargamu!" Teriaknya pada Rasti, wanita itu hanya menggeleng, mempertahankan tas yang berisi barang berharga menurut dirinya."Tidak ada apa-apa di dalam tasku" Sekuat tenaga Rasti menpertahankan tas nya yang berisi ponsel milik mendiang suaminya, karena belum sepenuhnya Rasti tau apa yang ada di ponsel itu."Kau mau mati hah?!" Teriaknya dengan menarik tas selempang yang Rasti gunakan."Toloong! Lepas! Aku tidak punya apapun untuk diberikan padamu!" Teriak Rasti sekuat tenaga. Tak ada yang berniat menolong Rasti, suasananya sangat menegangkan sepertinya mereka juga menja
Rasti mencoba mengetik balasan, di bertekad akan berpura-pura, agar tau apa rencana mereka sebenernya.(Saya belum mati)Dengan jantung yang berdebar, Rasti memberanikan diri mengirim sms itu, siapa tau ini adalah petunjuk untuk dirinya tau apa yang terjadi. (Bagus! Aku pikir kau sudah dibunuh oleh si Imron)Deg! Imron adalah anaknya Pak Lurah, semakin membuat Rasti bingung, karena ada hubungannya dengan pria yang pernah mengejarnya itu untuk menjadi istrinya, bahkan sampai sekaramg Imron masih terus mendekati Rasti.Tok Tok Tok"Iya siapa?" Teriak Rasti didalam, Rasti buru-buru menyimpan ponsel itu dilipatan baju mereka.Begitu membuka pintu terlihat sosok Pak lurah dan 2 konconya yang selalu mengikuti Pak lurah kemana-mana."Ada apa ya Pak?" Tanya Rasti langsung begitu dia tau yang berada diluar sana adalah Pak Lurah."Kamu tidak akan menyuruh saya masuk Neng Rasti?" Pak Lurah tanpa melihat keseseling, apakah dia memastikan kalau istrinya tidak akan mengikutinya. Karena biasanya i
"Kamu ngapain masih disini Neng Rasti? Pak lurah bilang sama saya kalau kamu sudah tidak bisa kerja disini lagi" Tegur Rozak, orang suruhan pak lurah di kebun teh miliknya ini"Saya sudah tidak boleh kerja disini lagi memang Kang? Kenapa?" Tanya Rasti, walaupun Rasti tahu mungkin karena kejadian kemarin dan mungkin juga Pak Lurah kali ini benar-benar marah."Mana saya tau Neng, ini perintah Pak Lurah, saya hanya menjalankan tugas saja" Jawabnya seperti sungkan terhadap Rasti, bagaimanapun Pak Rozak cukup prihatin atas musibah yang dialami oleh janda kembang di desanya ini."Yasudah, kalau begitu tidak apa apa Kang, Rasti pulang saja, kalau bayaran untuk 2 minggu ini bagaimana?" Tanya Rasti lagi, karena setiap 2 minggu sekali akan diberi upah, dan kebetulan Rasti sudah bekerja selama 2 minggu."Pak Lurah tidak menitip upah Neng Rasti, tapi nanti biar saya tanyakan ya Neng, kalau ada saya anterin kerumah Neng Rasti" Rasti hanya menghela nafas dan mengangguk.Rasti pulang kerumah dengan p
Kini Rasti dan dion berada di rumah Pak Lurah ketika seseorang dari tetangganya melihat Rasti masuk mobil asing itu."Heh janda! Kamu tau kan kamu janda belum sampe 40 hari? Kenapa kamu berani berduaan dengan lelaki asing ini!" Sinis Bu Rosi yang memang selalu mencari perkara padanya."Bu, memang ibu lihat kita melakukan apa di mobil? Kita hanya ngobrol biasa" Jawab Rasti dengan tegas dan menatap manik mata Bu Rosi yang salah tingkah. "Jadi bagaimana kronologinnya? Coba dari sisi Bu Rosi bagaimana? Tanya Pak Lurah pada Bu Rosi."Saya melihat Rasti masuk mobil pria ini, bahkan ada 2 pria di depan rumahnya, apalagi kalau mereka tidak zinah Pak Lurah?" Tuduh Bu Rosi hanya perkara dia melihat Rasti masuj mobil."Apa anda melihat saya bercinta dengan Rasti? Ciuman? Atau berhubungan badan Ibu?" Ketus Dion, karena dia tidak terima di perlakukan seperti ini oleh warga."Saya ada urusan dengan Rasti, penting! Saya bisa perkarakan ini ke jalur hukum dengan tuduhan tidak menyenangkan! Padahal sa
"Ayo turun" Ajak Dion, karena daritadi Rasti hanya bengong juga sedikit takjub dengan bangunang gedung tinggi yang ada di hadapannya, bahkan sepanjang jalan Rasti dibuat terheran-heran, bagaiamana gedung ini dibangun karena saking tingginya."Ini rumah Kang Dion?" Tanya Rasti sambil keluar dari mobil yang pintunya sudah Rendra buka."Ini apartemen bukan rumah" Jawab Dion dan melangkah pergi meyeret lengan Rasti."Pelan-pelan dong Kang sakit ditarik-tarik begini, lagiaj mana Rasti tau seumur-umur Rastu belum pernah ke kota jakarta ini" Gumam Rasti dengan mengikuti langkah lebar Dion yang ada di depannya. Rasti dan Dion menaiki lift menuju lantai 15 dimana itu akan menjadi tempat untuk Rasti."Ini kartu masuk kamar kamu, nanti kamu tingga disini" Ucap Dion kala mereka tiba di depan pintu bernomorkan 21 dilantai ini hanya 3 kamar, masing-masing diisi oleh Dion, Rendra dan sekarang okeh Rasti."Kartu apa ini? Bukannya buka pintu harus pake kunci ya?" Tanya Rasti dengan polos, sambil memb
Rendra sampai geleng-geleng kepala melihat tingkah Rasti yang sangat norak, bagaimana tidak di tahun 2023 ini dia tidak tau apa itu shower, dengan sabar dan sedikit misuh-misuh karena jengkel dengan kelakuan Rasti, Rendra menjelaskan dengan sangat detail bagaimana menggunakan kamar mandi yang sudah modern ini."Masa sih begini saha tidak tau?" Sinis Rendra kala dia selesai menjelaskan, air dingin dan hangat yang bisa Rasti gunakan ketika mandi."Di kampung nggak ada yang beginian Kang, mandi ya harus nimba, pake gayung, disini kok nggak ada gayung, ini juga tempat tidur kok ada dikamar mandi" Sahut Rasti sambil memainkan air shower, seperti air hujan, bagus itulah yang terlintas di pikiran Rasti."Sekarang kamu harus belajar modern, nanti Pak Dion akan kasih handphone sama kamu" Rastu terdiam, dia ingat handphone milik mendiang suaminya, apa yang sering menghubinya itu adalah Pak Dion dan Pak Rendra begitu pikirnya."Saya boleh tiduran dikasur ini?" Tanya Rasti dengab menunjuk bathhu
Memasak memang sudah ahlinya Rasti selama ini, dia bisa memasak apapun dengan bahan seadanya menjadi lebih enak, apalagi dengan bahan uqng super komplit seperti yang Dion beli, pasti rasanya jauh lebih enak."Kang Dion mau Rasti masakin apa?" Tanya Rasti karena dengan menu bahan begitu banyak Rasti berpikir kalau Dion ingin menu beragam varian."Terserah" Jawabnya dengan mata masih fokus kelayar ponsel pintarnya.Memasak Sop Iga sepertinya enak untuk malam ini karena cuaca cukup dingin, dengan telaten Rasti memotong semua bahan."Kang Dion nggak ada cobek?" Lagi-lagi Rasti mengganggu Dion."Cobek? Apa itu?" Dion malah balik bertanya."Cobek batu" Jawab Rasti lagi dengan kesal.Dion menggeleng tanpa melihat kearah Rasti."Buat mengahaluskan bumbu" Ucap Rasti"Oh, ada blender diatas ambil aja" Jawab Dion."Aku nggak bisa pakainya" Ucap Rasti dengan polos."Apa? Kamu hidup di jaman mana? Menggunakan ini saja kamu tidak bisa?" Tanya Dion dengan kening berkerut, pasalnya dia juga tidak tah