Memasak memang sudah ahlinya Rasti selama ini, dia bisa memasak apapun dengan bahan seadanya menjadi lebih enak, apalagi dengan bahan uqng super komplit seperti yang Dion beli, pasti rasanya jauh lebih enak."Kang Dion mau Rasti masakin apa?" Tanya Rasti karena dengan menu bahan begitu banyak Rasti berpikir kalau Dion ingin menu beragam varian."Terserah" Jawabnya dengan mata masih fokus kelayar ponsel pintarnya.Memasak Sop Iga sepertinya enak untuk malam ini karena cuaca cukup dingin, dengan telaten Rasti memotong semua bahan."Kang Dion nggak ada cobek?" Lagi-lagi Rasti mengganggu Dion."Cobek? Apa itu?" Dion malah balik bertanya."Cobek batu" Jawab Rasti lagi dengan kesal.Dion menggeleng tanpa melihat kearah Rasti."Buat mengahaluskan bumbu" Ucap Rasti"Oh, ada blender diatas ambil aja" Jawab Dion."Aku nggak bisa pakainya" Ucap Rasti dengan polos."Apa? Kamu hidup di jaman mana? Menggunakan ini saja kamu tidak bisa?" Tanya Dion dengan kening berkerut, pasalnya dia juga tidak tah
"Tidak! Suamiku tidak mungkin meninggal! Dia hanya berpamitan bekerja ke ladang padaku Mbok Asih." Teriak wanita itu dengan linangan air mata, mendengar kabar kala suaminya mati terjatuh ke jurang dan ditemukan dengan keadaan tidak bernyawa."Yang sabar ya Neng, ini sudah takdirnya Allah." Ucap wanita tua yang sedari tadi memeluknya, meratapi kesedihan kala mendengar kabar suami yang baru tiga bulan menikah dengannya sudah tiada."Kenapa Mbok? Itu bisa saja kan bukan Kang Sena, Rasti yakin Mbok." Sanggahnya cepat, dia yakin bahwa suami yang sangat dia cintai itu tak mungkin pergi meninggalkannya sendirian di dunia ini."Sabar Neng sabar, kita tunggu disini , Pak Kades dan semua warga sedang membawa mayat Sena kesini." Ujar Bu Rum, yang ikut menenangkan Rasti di kediamannya. Rasti hanya menangis, membayangkan jasad suaminya itu, masih tak percaya kalau suaminya itu terjatuh, bahkan dia begitu sangat hati-hati dan kuat, tau jalan di desa ini yang mana bisa dilewati atau tidak, bahkan j
Saat malam menjelang, di rumah Rasti sudah penuh dengan tetangga yang akan mengadakan tahlilan untuk suaminya.Acara tahlilan berjalan dengan lancar, Rasti masih menangis dengan linangan air mata, mendoakan suaminya agar diterima amal ibadahnya, dia juga berharap semoga diberi petunjuk atas meninggalnya belahan jiwanya itu."Neng, yang sabar jangan terus menangis, apa mau Mbok menemanimu di rumah?" Tanya Mbok Asih saat Rasti masih terlihat murung dengan linangan air mata yang tak henti-hentinya menerobos untuk keluar dari mata coklat indahnya."Tak usah Mbok, terimakasih, Mbok begitu baik pada Rasti." Jawabnya dengan memeluk wanita tua yang sudah dia anggap sebagai ibu itu."Baiklah, Mbok pulang dulu kalau ada apa-apa datang saja ke rumah Mbok, tak usah sungkan." Ujarnya berpamitan, karena hari sudah malam, Rasti hanya mengangguk dan mengucapkan terimakasih kepada tetangga yang lain yang sudah mendoakan suaminya, saat Rasti akan menutup pintu pandangannya terlihat ke arah pohon mangga
Setelah mendengar itu Rasti hanya terlihat syok, lalu apa hubungannya dengan dirinya, begitu pikirnya karena dia tak merasa telah berbuat apapun kepada Kang Edi. Iya semala yang bertandang kerumahnya adalah kang Edi, temannya Sena, tapi entah apa masalahnya setelah Kang Sena berhenti sekolah mereja jadi tidak akrab lagi."Itu dia janda pembunuh di kampung kita." Terlihat segerombolan warga berjalan cepat kearah rumah Rasti dengan emosi dan cacian yang di lontarkan. Rasti yang tidak tau apa-apa hanya meminta perjelasan pada Mbok Asih apa yang sebenarnya terjadi."Heh! Janda! Kamu sengaja kan bunuh Kang Edi?." Teriak salah satu warga yang seumuran dengan dirinya. Jelas Rasti kenal siapa dia, teman SMP nya itu."Iya! Kang Edi baru dari rumah kamu terus tiba-tiba meninggal persis seperti Kang Sena." Sela warga yang lainnya."Sumpah, Rasti tidak tau apa-apa Kang Edi memang dari rumah, tapi tidak masuk hanya mengetuk pintu ngobrol sebentar kemudian pergi." Jawab Rasti dengan masih tak per
Setalah membawa benda yang Mbok Asih beri Rasti berlari cepat menuju rumahnya, dilihatnya benda itu 'Bagaimana bisa Kang Sena memiliki benda ini, rasanya tidak mungkin' Guman Rasti memegang erat ponsel yang sepertinya baterainya sudah mati, bagaimana cara menghidupkannyapun Rasti tak tau, satu-satunya cara adalah ke kota, begitu pikir Rasti.Malam semakin larut, tapi kantuk tak kunjung mendera.'Kalau memang ini milik Kang Sena, pasti dia punya kabel untuk menghidupkan ponsel ini' Rasti bangkit dari tidunya, membuka semua laci yang ada di kamarnya memeriksa lemari dan baju-baju yang tidak seberapa yang mereka punya.PlukSebuah kabel terjatuh dari atas lemari yang sudah koyak itu, mungkin jika ada yang menendangnya, lemari itu bisa ambruk karena sudah rapuh termakan usia.'Apa mungkin ini ya sepertinya ini aku pernah melihat Pak Lurah membawa ini' Dengan hati-hati Rasti mencolokan ponsel itu, wajar saja dia tak tau bagaimana caranya ponsel itu hidup, karena selama ini hanya keluarga
Semua yang ada diangkot itu turun satu persatu dengan rasa was was, ada lima orang pria berpakaian hitam dan masker menodongkan senjata. 'Ada apa ini' Gumam Rasti dalam hati."Serahkan semua barang berharga kalian!" Teriak preman serba hitam itu pada sekelompok penumpang angkutan umum yang dinaiki Rasti.Satu dari kelima orang itu menghampiri Rasti menodong pisau lipat tepat di depan wajah Rasti"Keluarkan barang berhargamu!" Teriaknya pada Rasti, wanita itu hanya menggeleng, mempertahankan tas yang berisi barang berharga menurut dirinya."Tidak ada apa-apa di dalam tasku" Sekuat tenaga Rasti menpertahankan tas nya yang berisi ponsel milik mendiang suaminya, karena belum sepenuhnya Rasti tau apa yang ada di ponsel itu."Kau mau mati hah?!" Teriaknya dengan menarik tas selempang yang Rasti gunakan."Toloong! Lepas! Aku tidak punya apapun untuk diberikan padamu!" Teriak Rasti sekuat tenaga. Tak ada yang berniat menolong Rasti, suasananya sangat menegangkan sepertinya mereka juga menja
Rasti mencoba mengetik balasan, di bertekad akan berpura-pura, agar tau apa rencana mereka sebenernya.(Saya belum mati)Dengan jantung yang berdebar, Rasti memberanikan diri mengirim sms itu, siapa tau ini adalah petunjuk untuk dirinya tau apa yang terjadi. (Bagus! Aku pikir kau sudah dibunuh oleh si Imron)Deg! Imron adalah anaknya Pak Lurah, semakin membuat Rasti bingung, karena ada hubungannya dengan pria yang pernah mengejarnya itu untuk menjadi istrinya, bahkan sampai sekaramg Imron masih terus mendekati Rasti.Tok Tok Tok"Iya siapa?" Teriak Rasti didalam, Rasti buru-buru menyimpan ponsel itu dilipatan baju mereka.Begitu membuka pintu terlihat sosok Pak lurah dan 2 konconya yang selalu mengikuti Pak lurah kemana-mana."Ada apa ya Pak?" Tanya Rasti langsung begitu dia tau yang berada diluar sana adalah Pak Lurah."Kamu tidak akan menyuruh saya masuk Neng Rasti?" Pak Lurah tanpa melihat keseseling, apakah dia memastikan kalau istrinya tidak akan mengikutinya. Karena biasanya i
"Kamu ngapain masih disini Neng Rasti? Pak lurah bilang sama saya kalau kamu sudah tidak bisa kerja disini lagi" Tegur Rozak, orang suruhan pak lurah di kebun teh miliknya ini"Saya sudah tidak boleh kerja disini lagi memang Kang? Kenapa?" Tanya Rasti, walaupun Rasti tahu mungkin karena kejadian kemarin dan mungkin juga Pak Lurah kali ini benar-benar marah."Mana saya tau Neng, ini perintah Pak Lurah, saya hanya menjalankan tugas saja" Jawabnya seperti sungkan terhadap Rasti, bagaimanapun Pak Rozak cukup prihatin atas musibah yang dialami oleh janda kembang di desanya ini."Yasudah, kalau begitu tidak apa apa Kang, Rasti pulang saja, kalau bayaran untuk 2 minggu ini bagaimana?" Tanya Rasti lagi, karena setiap 2 minggu sekali akan diberi upah, dan kebetulan Rasti sudah bekerja selama 2 minggu."Pak Lurah tidak menitip upah Neng Rasti, tapi nanti biar saya tanyakan ya Neng, kalau ada saya anterin kerumah Neng Rasti" Rasti hanya menghela nafas dan mengangguk.Rasti pulang kerumah dengan p