"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini lagi."
Aluna yang tengah duduk di sofa, sontak mendongak—menatap suaminya tak percaya. "Apa maksudmu, Mas? Kamu bercanda, kan?" "Aku serius, Luna. Aku mencintai wanita lain. Aku ingin kita bercerai!" Kata-kata itu terucap begitu saja, menusuk jantung Aluna seperti belati. Rasanya seperti angin kencang menghantam wajahnya. Selama ini, dia berjuang untuk mempertahankan pernikahannya, berpura-pura tidak mendengar bisikan tentang hubungan gelap suaminya. Namun, mendengarnya langsung dari mulut Betran membuat semuanya menjadi lebih nyata, tentu saja ini lebih menyakitkan. "Siapa wanita itu, Mas?" tanya Aluna, menguatkan diri. "Tentu kamu mengenalnya. Dia adalah Veronica," suara dingin dan tajam ibu mertuanya, Kania, tiba-tiba menyahut dari balik pintu. "Veronica?" ulang Aluna terkesiap. Bagaimana bisa suaminya berhubungan dengan wanita yang selama ini sudah Aluna anggap sebagai sahabatnya? "Ya, Betran dan Vero sudah menjalin hubungan ini selama 6 bulan. Dia berasal dari keluarga terpandang yang lebih pantas untuk putraku dibandingkan gembel sepertimu!" ujar Kania tanpa ragu. Aluna tertawa pahit. Memang benar, ia tak sekaya atau semenarik Veronica. Tapi selama menikah, Aluna tak pernah diberi kesempatan untuk bekerja, bahkan untuk sekadar memperbaiki penampilannya sendiri. Semua yang ia terima dari Betran hanyalah nafkah kecil, nyaris tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Wanita itu menunduk, menatap meja yang mulai buram di matanya karena air mata yang telah menggenang. Namun, ucapkan ibu mertuanya kembali menusuk, "Akhirnya, putraku tersadar dari kebodohannya selama ini! Veronica bahkan telah memberikan sesuatu yang tidak bisa kamu berikan! Dia sekarang tengah hamil. Sedangkan kamu? Sudah hampir tiga tahun, tapi kamu belum juga hamil." Deg! Aluna kembali mendongak. "Apa maksudmu, Mas? Dia hamil?" "Ya, Aluna, Veronica hamil. Tentu saja dia mengandung anakku," jawab Betran tanpa memikirkan perasaan Aluna. Tubuh Aluna terasa lemah tak berdaya. "Tega kamu, Mas! Mengapa kamu tega mengkhianati aku? Salah aku apa, Mas? Apa?" Teriak Aluna sambil memukul-mukul dada bidang Betran. Betran mencengkram kedua pergelangan tangan Aluna, "Sudahlah, Luna! Jangan mempersulit keadaan." Betran akhirnya angkat bicara dengan dingin, "Aku ingin kita segera bercerai agar aku bisa menikahi Veronica. Kamu tenang saja, kamu akan mendapatkan kompensasi yang layak dariku. Jadi kamu tidak akan menjadi gembel meski bercerai denganku." Mendengar itu, Aluna tertawa kehilangan akal. "Kamu benar-benar tidak punya hati. Kamu lupa? Kalau bukan karenaku, mungkin.... " "Oh kamu sudah mulai perhitungan, Aluna? Baik, aku akan kembalikan semuanya. Itu kan mau kamu?" Aluna tersenyum tipis, Ia geleng-geleng kepala. Apakah pernikahannya selama tiga tahun hanya dihargai dengan kompensasi finansial? Dan ketika Ia mengingatkan pengorbanannya, Betran sudah menuduh bahwa Aluna mulai perhitungan. "Heh, Luna! Harusnya kamu bersyukur karena putraku masih sudi memberikan kompensasi," ujar Kania dengan nada menghina. "Dan dia mau menggantinya." Namun, ketika Aluna hendak memprotes, tiba-tiba pandangannya berkunang-kunang. "Mengapa kepalaku terasa pusing?" bisiknya pelan. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, dan perutnya pun terasa mual tak tertahankan. Aluna memegang pinggir meja, berusaha menahan tubuhnya agar tidak jatuh. "Lihat, Betran, istrimu lagi drama," kata Kania sinis. Aluna tak habis pikir. Di saat tubuhnya benar-benar melemah, ibu mertuanya masih sempat mengejeknya. Ia melihat Betran dan Kania yang menatapnya dingin, tak peduli, hingga akhirnya gelap menyelimuti pandangannya. Tubuhnya ambruk ke lantai dengan suara keras. "Betran, Aluna pingsan!" ujar Kania, panik. "Paling juga cuma drama! Biarkan saja." Betran malah melangkah menuju ke lantai atas, diikuti oleh Kania, meninggalkan Aluna yang tergeletak tak sadarkan diri di lantai. Beberapa saat kemudian, Siti, asisten rumah tangga mereka, pulang dari pasar dan tercengang saat melihat Aluna terbaring di lantai. "Ya Tuhan, Nona..." Teriak Siti sambil menghampiri tubuh Aluna yang tergeletak. *** Di rumah sakit, Aluna terbangun di atas tempat tidur dengan infus menempel di tangannya. Alih-alih melihat Betran atau ibu mertuanya, yang menemaninya justru hanya Siti, yang berdiri di samping tempat tidur dengan wajah cemas. "Nona Aluna, syukurlah Nona sudah sadar. Saya khawatir sekali," kata Siti, mengusap matanya yang berkaca-kaca. Aluna mengerjap beberapa kali, mencoba mengingat apa yang terjadi. "Aku... pingsan?" "Iya, Non. Nona tadi tiba-tiba pingsan di rumah. Saya langsung bawa Nona ke rumah sakit," jawab Siti sambil memegang tangan Aluna dengan penuh perhatian. Tak lama kemudian, seorang dokter masuk ke kamar. Pria paruh baya itu tersenyum ramah pada Aluna. "Selamat malam, Nona Aluna. Bagaimana keadaan Anda sekarang?" Aluna mengangguk lemah. "Sedikit lebih baik, Dokter. Apa yang terjadi padaku?" Dokter itu menatap Aluna dengan senyuman hangat sebelum menjawab, "Selamat, Anda positif hamil, Nona Aluna. Penantian Anda dan suami akhirnya berhasil." "Hamil?" Aluna mengulangi kata itu dengan suara bergetar. Bukannya bahagia, Aluna justru berharap pendengarannya salah. Jika ini terjadi sebelum Betran mengajukan perceraian, tentu ia akan sangat bahagia. Penantian mereka akan buah hati selama tiga tahun akhirnya tercapai, tetapi semuanya kini terasa hambar. "Benar, usia kehamilan Anda sudah sekitar 6 minggu. Itu sebabnya Anda mungkin merasa lemah dan pusing belakangan ini," dokter itu menjelaskan dengan nada lembut, menyadari ekspresi kosong di wajah Aluna. "Saya tahu ini mungkin mengejutkan bagi Anda, Nona, tapi Anda harus menjaga kesehatan Anda dan bayi Anda. Jangan terlalu stres, dan pastikan untuk istirahat yang cukup." Aluna tersenyum tipis, berusaha keras menelan kenyataan pahit ini. "Baik. Terima kasih, Dokter." Setelahnya, Aluna duduk diam di ruangan rumah sakit, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Tangannya terulur menyentuh perutnya yang masih datar, sambil berbisik pelan, "Aku hamil..." Aluna tidak menyangka, ternyata ada kehidupan baru yang mulai tumbuh dalam dirinya. Namun, bayangan Betran dan Veronica kembali menghantui pikirannya. Apakah kehamilan ini bisa menjadi kekuatan untuk dirinya mempertahankan pernikahannya dengan suaminya? Atau akankah dia harus mundur? Aluna akhirnya berdiri, berjalan menuju jendela kamar rumah sakit, melihat ke luar sambil memikirkan masa depannya. Ada rasa sakit yang menggumpal, namun di saat bersamaan ia merasa ada sebuah ikatan tak terputus dengan bayi yang tengah tumbuh di dalam rahimnya. "Aku tidak bisa mundur. Aku harus bertahan demi bayi ini," pikirnya tegas. Ia berkata di dalam hati. Bagaimana pun, anak ini adalah darah daging Betran yang selama ini ia nanti-nantikan. Cucu untuk sang ibu mertua. Namun, Aluna tetap merasa dilema, bagaimana mungkin ia bertahan di tengah pengkhianatan yang menyakitkan? Aluna menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. Dengan suara pelan, dia berbisik, "Tuhan... aku bingung. Apa yang harus aku lakukan? Tetap bertahan atau...? Aku benar-benar bingung!" Aluna mengusap wajahnya kasar. Rasanya seluruh dunianya berguncang. Tapi dalam kepedihan, dia tahu ada harapan baru dalam hidupnya. Harapan yang memberi alasan untuk terus bertahan, meski hanya demi bayi yang kini bersemayam di rahimnya. Aluna tidak mau anaknya lahir tanpa seorang ayah "Tapi... bagaimana mungkin? Apakah aku akan kuat bertahan? Tuhan... beri aku petunjuk." Aluna terus bergumam di dalam hati."Kenapa, Nona? Kenapa Nona malah terlihat sedih?" tanya Siti saat ia melihat majikannya melamun. "Tidak kenapa-napa," jawab Aluna, ia mencoba tersenyum menyembunyikan kebingungan yang kini tengah ia rasakan. "Sebaiknya Mbak Siti pulang lebih dulu saja, aku bisa pulang sendiri.""Oh baik, Nona. Kalau begitu, saya permisi," ujar Siti. Aluna mengangguk, segera Siti pun ke luar dari ruangan tersebut. Setelah beberapa saat merenung, dan merasakan kondisinya baik-baik saja. Aluna memutuskan untuk kembali ke rumah. Sebelumnya, Aluna sudah memesan taksi. Aluna akan memberitahu suaminya bahwa dia tengah hamil. Berharap, setelah Betran mengetahuinya ya mungkin saja Betran akan berubah pikiran dan mungkin suaminya akan menarik ucapannya tersebut. ia berusaha tersenyum, berusaha untuk tenang. Hingga tidak terasa sampai juga di halaman rumah. Setelah membayar ongkosnya, Aluna ke turun dari taksi.Saat ia melangkah, ia memersa hatinya tidak karuan. Langkah kakinya yang gontai masuk menuju rum
Aluna baru saja sampai di tempat yang di share oleh orang itu. Dan kini Aluna–duduk dengan tenang di sudut ruangan sebuah restoran mewah yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang saja dan privasi akan terjamin. Tempat ini sepertinya dipilih dengan sangat hati-hati dan jauh dari keramaian–seolah tahu jika Aluna tidak ingin siapa pun tahu tentang pertemuannya kali ini. Tak lama kemudian, seorang pria berwajah tampan dan berkharisma masuk ke ruangan, mengenakan setelan jas hitam. "Akhirnya kau menemuiku juga, Nona Chandra!" Kaisar Amarta, penguasa paling berpengaruh di negeri, selama ini menunggu kesempatan untuk bertemu langsung dengan Aluna, pewaris keluarga Chandra yang dikabarkan menghilang. "Jadi, kamu Kaisar Amarta?” tanya Aluna. “Ya, Nona Chandra. Saya Kaisar Amarta,” jawabnya dengan senyuman lebar. “Orang kepercayaan keluarga Chandra. Saya datang untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting bagi dirimu.” “Orang kepercayaan? Keluarga Chandra?” Aluna merasa kepala
“Ma–maaf,” ucap Aluna mencoba menepis kecanggungan. Terlebih, wajah tampan Kaisar terlihat begitu dekat, dan dia bisa melihat dengan jelas sorot khawatir di matanya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Kaisar masih menahan tubuh Aluna agar tidak terjatuh. Aluna mencoba tersenyum, meskipun dia tahu senyumnya terlihat lemah. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya terlalu lelah.” Kaisar segera membantu Aluna duduk kembali. "Saya akan siapkan air minum dan obat penenang untuk Anda," katanya dengan nada formal, mencoba menghilangkan suasana canggung. Aluna meskipun masih merasa pusing, mengangguk pelan. "Terima kasih, Kaisar." Kaisar lantas berjalan ke dapur kecil di dekat ruang belajar. Saat kembali dengan segelas air dan obat, dia menahan diri untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu bahwa Aluna adalah wanita milik Betran. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis, Kaisar tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam situasi ini. "Minumlah ini, dan pastikan Nona Chandra
Pukul 06:30"Aluna! Bangun!"Aluna pun terbangun, ia terkejut saat air dingin mengguyur tubuhnya, membuatnya langsung duduk terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Tubuhnya masih lelah setelah semalaman belajar bisnis lewat onlie, ditambah lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Di hadapannya berdiri dua sosok Nenek Lampir, siapa lagi kalau bukan Kania dan Veronica, yang kini menatapnya dengan tatapan sinis."Kau pikir ini hotel? Bangun!" hardik Kania, matanya menyipit tajam ke arah Aluna. "Kau lupa, hah? Kalau di rumah ini sudah tidak ada pembantu. Jadi kau harus membuat sarapan. Enak aja jam segini masih tidur."Aluna meraih handuk kecil di tepi tempat tidurnya, mengusap wajah yang masih basah sambil berusaha mengendalikan amarahnya. Namun, sebelum dia bisa berdiri, Veronica sudah mendekat dan meraih rambutnya dengan kasar."Cepat, dasar pemalas! Suamiku harus segera sarapan sebelum berangkat kerja!" Veronica menarik rambut Aluna lebih kuat, membuatnya meringis."Apa tidak
Setelah selesai di klinik, Aluna kembali ke rumah. Setibanya di dalam, dia langsung mengunci pintu dan melangkah ke kamar. Dengan penuh semangat, dia mulai memeriksa berkas-berkas yang diberikan Kaisar. "Ini dia," gumamnya, membuka map berisi dokumen tentang bisnis dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Aluna membolak-balik kertas tersebut, berusaha memahami setiap detailnya. Namun, pemikirannya terpecah saat teleponnya bergetar di meja.“Siapa ini?” tanyanya sambil mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera. “Kaiser Amartha?” Segera, ia mengangkat telepon, “Ada apa, Kaisar. Kamu mau bahas lagi soal tadi?”"Tidak, Aluna. Aku ingin memberi tahu bahwa perusahaan Martin telah mendapatkan kontrak kerja sama dengan Tuan Louis dari Amerika. Ini berkat bantuan Betran."Aluna terdiam. Kontrak itu bisa menjadi langkah besar bagi Betran dan Veronica. “Berapa besar nilainya?” tanya Aluna, berusaha tetap tenang.“Kontrak ini bisa menguntungkan kedua perusahaan. Nilai totalnya mencapai juta
Dini hari, saat suasana rumah mulai sepi, Aluna mengeluarkan setumpuk berkas yang sempat ia sembunyikan. Ia duduk di atas ranjang, lalu membuka berkas-berkas tersebut. Aluna menatap lembar demi lembar dokumen tersebut dengan hati-hati, mencoba menyerap setiap informasi.Aluna menyambungkan video call dengan Kaisar, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari pria itu terkait beberapa detail yang tidak ia pahami.“Halo, Aluna,” sapa Kaisar. “Halo, Kaisar. Maaf ganggu malammu, tapi ada beberapa hal yang ingin kutanyakan,” jawab Aluna sambil tersenyum.“Tidak apa-apa, Aluna. Katakan saja.” Kaisar membalas senyum Aluna, merasa kagum akan semangatnya yang tak kenal waktu. “Bagian mana yang kamu tidak mengerti?”Aluna membuka lembar laporan keuangan yang ada di tangannya. “Aku lihat di sini, pendapatan perusahaan Chandra meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, tapi ada catatan tentang hutang jangka panjang yang belum diselesaikan. Menurutmu, kenapa perusahaan sebesar Chandra masih mem
Veronica melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Aluna, cepat siapkan pakaian kerja untuk Betran. Mumpung dia lagi di kamar mandi, dan aku malas melakukannya. Cepat!” perintah Veronica. Aluna menatap Veronica sejenak, merasa jengah, namun tanpa banyak bicara ia bangkit dari kursinya dan mengikuti perintah itu. "Baiklah," jawabnya singkat, berjalan menuju kamar utama tanpa menunjukkan reaksi apapun.Veronica mengikutinya sambil tersenyum sinis, tiba-tiba menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda merah di lehernya. "Oh, lihat ini," katanya, suaranya sengaja dibuat genit, "Setiap malam Betran selalu minta jatah. Bahkan pagi butapun, dia masih meminta aku melayaninya. Katanya aku sangat nikmat, dibandingkan mantan istri pertamanya." Veronica tertawa pelan, menunggu reaksi Aluna.Aluna tetap tenang, tak sekalipun menoleh ke arah Veronica. Ia hanya fokus membuka lemari, mencari pakaian yang biasa dikenakan Betran untuk bekerja.“Ingat, , Veronica. Kamu lagi h
Aluna menatap Veronica dengan pandangan tenang, menarik perlahan tangannya yang dicengkeram. "Kenapa aku senang? Siapa juga yang senang kalau ada masalah di perusahaan? Aku cuma merasa sesuatu berbeda saja," jawab Aluna sambil menaruh tangan di perutnya. Ia terlihat santai agar sang madu tidak curiga. Veronica menyipitkan mata, tidak percaya begitu saja. "Berbeda bagaimana? Jangan bohong! Aku tahu kamu pasti merencanakan sesuatu!"Aluna menghela napas. "Veronica, kamu terlalu berlebihan. Aku baru saja merasakan ada gerakan kecil di perutku. Itu mungkin karena bayiku. Bukan urusanku soal perusahaan Mas Betran. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal seperti itu."Perkataan Aluna membuat Veronica terdiam sejenak. "Gerakan bayi? Kamu serius?" Nada Veronica terdengar skeptis, tetapi matanya sedikit melunak.Aluna mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ya, aku merasakan itu tadi. Itu perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, kalau kamu
Setelah menyelesaikan pijatan dengan tangan yang hampir mati rasa, Aluna berdiri. Ia mengira tugasnya selesai."Eh mau ke mana?" tanya Veronica. "Mau ke kamar, mau istirahat," jawab Aluna malas. “Enak saja mau istirahat. Eh Aluna, aku lapar. Buatkan aku nasi goreng ala Jepang. Jangan yang biasa-biasa saja. Aku ingin yang mirip seperti di restoran.” Veronica berkata dengan ketus.Aluna menoleh dengan alis terangkat. "Nasi goreng ala Jepang?" tanyanya memastikan, meskipun ia tahu itu hanya alasan Veronica untuk menyulitkannya. Veronica menatapnya dengan sinis. “Iya, pakai bahan-bahan yang segar dan pastikan rasanya enak. Jangan sampai aku kecewa.” Aluna ingin sekali menolak. Tubuhnya sudah terasa lelah, dan sekarang dia harus memasak makanan yang bahkan belum pernah dia buat sebelumnya. Namun, ia tahu, jika ia menolak, Veronica dan Kania pasti akan memperlakukannya dengan lebih buruk. “Baiklah, aku akan buatk
"Tidak sama sekali, Kaisar," jawab Aluna apa adanya. "Aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku.""Oh baiklah. Mari, aku antar kamu sampai ke depan," ucap Kaisar, dia sangat ingin sekali Aluna segera mengingat masa kecilya. Aluna mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke luar, ditemani oleh Kaisar. Saat Aluna hendak melangkah ke taksi, kakinya tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan, membuatnya hampir jatuh ke depan. Namun, Kaisar yang berdiri tak jauh darinya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum ia terjatuh. “Aluna, hati-hati!” ucap Kaisar cemas, tangannya erat memegang pinggang wanita itu, menahannya agar tidak terjatuh. Aluna terkejut, kedua tangannya secara refleks bertumpu pada dada Kaisar untuk menjaga keseimbangan. Aluna merasa malu sekaligus kikuk dengan posisi mereka. Namun, saat ia hendak meluruskan tubuhnya, mata mereka bertemu. Kaisar yang tadinya tampak khawatir kini terpaku. Tatapannya yang hangat berubah menjadi dalam, seolah menyelami se
Aluna menatap Veronica dengan pandangan tenang, menarik perlahan tangannya yang dicengkeram. "Kenapa aku senang? Siapa juga yang senang kalau ada masalah di perusahaan? Aku cuma merasa sesuatu berbeda saja," jawab Aluna sambil menaruh tangan di perutnya. Ia terlihat santai agar sang madu tidak curiga. Veronica menyipitkan mata, tidak percaya begitu saja. "Berbeda bagaimana? Jangan bohong! Aku tahu kamu pasti merencanakan sesuatu!"Aluna menghela napas. "Veronica, kamu terlalu berlebihan. Aku baru saja merasakan ada gerakan kecil di perutku. Itu mungkin karena bayiku. Bukan urusanku soal perusahaan Mas Betran. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal seperti itu."Perkataan Aluna membuat Veronica terdiam sejenak. "Gerakan bayi? Kamu serius?" Nada Veronica terdengar skeptis, tetapi matanya sedikit melunak.Aluna mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ya, aku merasakan itu tadi. Itu perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, kalau kamu
Veronica melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Aluna, cepat siapkan pakaian kerja untuk Betran. Mumpung dia lagi di kamar mandi, dan aku malas melakukannya. Cepat!” perintah Veronica. Aluna menatap Veronica sejenak, merasa jengah, namun tanpa banyak bicara ia bangkit dari kursinya dan mengikuti perintah itu. "Baiklah," jawabnya singkat, berjalan menuju kamar utama tanpa menunjukkan reaksi apapun.Veronica mengikutinya sambil tersenyum sinis, tiba-tiba menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda merah di lehernya. "Oh, lihat ini," katanya, suaranya sengaja dibuat genit, "Setiap malam Betran selalu minta jatah. Bahkan pagi butapun, dia masih meminta aku melayaninya. Katanya aku sangat nikmat, dibandingkan mantan istri pertamanya." Veronica tertawa pelan, menunggu reaksi Aluna.Aluna tetap tenang, tak sekalipun menoleh ke arah Veronica. Ia hanya fokus membuka lemari, mencari pakaian yang biasa dikenakan Betran untuk bekerja.“Ingat, , Veronica. Kamu lagi h
Dini hari, saat suasana rumah mulai sepi, Aluna mengeluarkan setumpuk berkas yang sempat ia sembunyikan. Ia duduk di atas ranjang, lalu membuka berkas-berkas tersebut. Aluna menatap lembar demi lembar dokumen tersebut dengan hati-hati, mencoba menyerap setiap informasi.Aluna menyambungkan video call dengan Kaisar, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari pria itu terkait beberapa detail yang tidak ia pahami.“Halo, Aluna,” sapa Kaisar. “Halo, Kaisar. Maaf ganggu malammu, tapi ada beberapa hal yang ingin kutanyakan,” jawab Aluna sambil tersenyum.“Tidak apa-apa, Aluna. Katakan saja.” Kaisar membalas senyum Aluna, merasa kagum akan semangatnya yang tak kenal waktu. “Bagian mana yang kamu tidak mengerti?”Aluna membuka lembar laporan keuangan yang ada di tangannya. “Aku lihat di sini, pendapatan perusahaan Chandra meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, tapi ada catatan tentang hutang jangka panjang yang belum diselesaikan. Menurutmu, kenapa perusahaan sebesar Chandra masih mem
Setelah selesai di klinik, Aluna kembali ke rumah. Setibanya di dalam, dia langsung mengunci pintu dan melangkah ke kamar. Dengan penuh semangat, dia mulai memeriksa berkas-berkas yang diberikan Kaisar. "Ini dia," gumamnya, membuka map berisi dokumen tentang bisnis dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Aluna membolak-balik kertas tersebut, berusaha memahami setiap detailnya. Namun, pemikirannya terpecah saat teleponnya bergetar di meja.“Siapa ini?” tanyanya sambil mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera. “Kaiser Amartha?” Segera, ia mengangkat telepon, “Ada apa, Kaisar. Kamu mau bahas lagi soal tadi?”"Tidak, Aluna. Aku ingin memberi tahu bahwa perusahaan Martin telah mendapatkan kontrak kerja sama dengan Tuan Louis dari Amerika. Ini berkat bantuan Betran."Aluna terdiam. Kontrak itu bisa menjadi langkah besar bagi Betran dan Veronica. “Berapa besar nilainya?” tanya Aluna, berusaha tetap tenang.“Kontrak ini bisa menguntungkan kedua perusahaan. Nilai totalnya mencapai juta
Pukul 06:30"Aluna! Bangun!"Aluna pun terbangun, ia terkejut saat air dingin mengguyur tubuhnya, membuatnya langsung duduk terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Tubuhnya masih lelah setelah semalaman belajar bisnis lewat onlie, ditambah lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Di hadapannya berdiri dua sosok Nenek Lampir, siapa lagi kalau bukan Kania dan Veronica, yang kini menatapnya dengan tatapan sinis."Kau pikir ini hotel? Bangun!" hardik Kania, matanya menyipit tajam ke arah Aluna. "Kau lupa, hah? Kalau di rumah ini sudah tidak ada pembantu. Jadi kau harus membuat sarapan. Enak aja jam segini masih tidur."Aluna meraih handuk kecil di tepi tempat tidurnya, mengusap wajah yang masih basah sambil berusaha mengendalikan amarahnya. Namun, sebelum dia bisa berdiri, Veronica sudah mendekat dan meraih rambutnya dengan kasar."Cepat, dasar pemalas! Suamiku harus segera sarapan sebelum berangkat kerja!" Veronica menarik rambut Aluna lebih kuat, membuatnya meringis."Apa tidak
“Ma–maaf,” ucap Aluna mencoba menepis kecanggungan. Terlebih, wajah tampan Kaisar terlihat begitu dekat, dan dia bisa melihat dengan jelas sorot khawatir di matanya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Kaisar masih menahan tubuh Aluna agar tidak terjatuh. Aluna mencoba tersenyum, meskipun dia tahu senyumnya terlihat lemah. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya terlalu lelah.” Kaisar segera membantu Aluna duduk kembali. "Saya akan siapkan air minum dan obat penenang untuk Anda," katanya dengan nada formal, mencoba menghilangkan suasana canggung. Aluna meskipun masih merasa pusing, mengangguk pelan. "Terima kasih, Kaisar." Kaisar lantas berjalan ke dapur kecil di dekat ruang belajar. Saat kembali dengan segelas air dan obat, dia menahan diri untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu bahwa Aluna adalah wanita milik Betran. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis, Kaisar tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam situasi ini. "Minumlah ini, dan pastikan Nona Chandra
Aluna baru saja sampai di tempat yang di share oleh orang itu. Dan kini Aluna–duduk dengan tenang di sudut ruangan sebuah restoran mewah yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang saja dan privasi akan terjamin. Tempat ini sepertinya dipilih dengan sangat hati-hati dan jauh dari keramaian–seolah tahu jika Aluna tidak ingin siapa pun tahu tentang pertemuannya kali ini. Tak lama kemudian, seorang pria berwajah tampan dan berkharisma masuk ke ruangan, mengenakan setelan jas hitam. "Akhirnya kau menemuiku juga, Nona Chandra!" Kaisar Amarta, penguasa paling berpengaruh di negeri, selama ini menunggu kesempatan untuk bertemu langsung dengan Aluna, pewaris keluarga Chandra yang dikabarkan menghilang. "Jadi, kamu Kaisar Amarta?” tanya Aluna. “Ya, Nona Chandra. Saya Kaisar Amarta,” jawabnya dengan senyuman lebar. “Orang kepercayaan keluarga Chandra. Saya datang untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting bagi dirimu.” “Orang kepercayaan? Keluarga Chandra?” Aluna merasa kepala