"Kenapa, Nona? Kenapa Nona malah terlihat sedih?" tanya Siti saat ia melihat majikannya melamun.
"Tidak kenapa-napa," jawab Aluna, ia mencoba tersenyum menyembunyikan kebingungan yang kini tengah ia rasakan. "Sebaiknya Mbak Siti pulang lebih dulu saja, aku bisa pulang sendiri." "Oh baik, Nona. Kalau begitu, saya permisi," ujar Siti. Aluna mengangguk, segera Siti pun ke luar dari ruangan tersebut. Setelah beberapa saat merenung, dan merasakan kondisinya baik-baik saja. Aluna memutuskan untuk kembali ke rumah. Sebelumnya, Aluna sudah memesan taksi. Aluna akan memberitahu suaminya bahwa dia tengah hamil. Berharap, setelah Betran mengetahuinya ya mungkin saja Betran akan berubah pikiran dan mungkin suaminya akan menarik ucapannya tersebut. ia berusaha tersenyum, berusaha untuk tenang. Hingga tidak terasa sampai juga di halaman rumah. Setelah membayar ongkosnya, Aluna ke turun dari taksi. Saat ia melangkah, ia memersa hatinya tidak karuan. Langkah kakinya yang gontai masuk menuju rumah. Sesampainya di ruang tengah, ada sesuatu yang sukses membuat dirinya terkesiap. Ya, di sofa, terlihat Betran sedang duduk berdekatan dengan Veronica. Aluna kembali merasakan sesak di dada saat ia melihat pemandangan yang menjijikan. Melihat suami dan sahabatnya sedang berciuman, saling berpelukan tanpa sedikit pun rasa malu. Meski tadi ia sudah mendengar pengakuan dari sang suami, nyatanya Aluna tetap berdiri kaku. "Mas..." lirihnya. Betran dan Veronica langsung melepaskan diri. Saat menyadari kehadiran Aluna. "Eh, Aluna." Aluna dapat melihat Veronica tersenyum sinis sambil mengibaskan rambutnya seolah tidak terjadi apa-apa. "Kamu sudah pulang?" Betran berdiri dari sofa, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Aluna dengan wajah datar. "Ya, Mas," ucapnya. Veronica berdiri di samping Betran, melingkarkan tangannya ke lengan pria itu dengan penuh percaya diri. "Dari mana dia, Mas?" Veronica masih tersenyum sinis. "Tadi dia pingsan. Lalu, Siti yang mengantar dia ke rumah sakit," jawab Betran. "Kasihan sekali, Aluna. Kamu sakit apa, Aluna?" tanya Veronica dengan nada manis yang jelas sekali dibuat-buat. Aluna mengabaikan Veronica dan langsung menatap Betran. "Ternyata aku hamil, Mas. " Ekspresi pria itu sedikit berubah, tetapi tidak menunjukkan ekspresi bahagia seperti yang Aluna harapkan. "Hamil?" tanyanya. "Ya, Mas." Betran menarik tangannya dari genggaman Veronica dan berjalan mendekati Aluna. "Berapa bulan?" "Enam minggu," jawab Aluna dengan suara serak, “Kita– Betran menghela napas panjang. “Aluna, jangan bilang kamu tidak mau bercerai?” ucapnya, “Maaf, Aluna. Setelah anak itu lahir, kita tetap akan berpisah. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Veronica." Perkataan itu menghantam Aluna seperti tamparan keras. "Mas. Jadi, anak ini tidak memiliki arti apapun?" lirih Aluna, matanya memerah. "Ya, tentu saja," jawab Betran santai. Veronica tertawa. "Kamu dengar, kan, Aluna? Betran itu tidak mau mengakui anakmu itu! Kau harus tahu, aku dan Betran sudah lama bersama. Sadarlah jika Kau hanya jadi penghalang. Dan aku pun masih berbaik hati membiarkan kalian berpisah menunggu bayi itu lahir. Miris sekali!" “Kau…” Tangan Aluna mengepal. Berusaha menahan diri untuk tidak melepaskan emosinya. "Apa kau benar-benar tidak peduli pada anak kita, Betran?" tanyanya lagi. Kali ini, menatap dalam pria itu. Ada kerutan di dahi pria itu, tapi hanya sebentar. Betran kembali menatapnya acuh, "Ya, aku memang tidak peduli, Aluna. Setelah bayi itu lahir, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Rumah, uang, apapun itu, aku akan memberikannya." "Satu lagi, Veronica akan tinggal di sini," tambahnya. Aluna tertegun. "Apa? Dia akan tinggal di sini? Tapi, kita belum bercerai. Bagaimana bisa kamu melakukannya?" Betran mendengus, tidak peduli. "Toh, sebentar lagi, aku dan dia akan menikah." Aluna menahan napas. Ia tidak menyangka, suaminya akan sekejam ini padanya. Membuang dirinya setelah Betran sudah sukses. Padahal dulu Aluna yang menemani Betran dari 0. Bahkan, Aluna sampai merelakan tabungannya, menjual restoran kedainya untuk membantu Betran. Kala itu, perusahaan Betran diambang kebangkrutan. "Satu lagi! Veronica akan tidur di kamar utama bersamaku!" Lanjut Betran tanpa perasaan. "Hah?" Bagaimana bisa ia dulu sangat mencintai pria di hadapannya ini. Sungguh, dia merasa bodoh sekali. "Tidak, Mas. Aku yang berhak tinggal di kamar utama. Bukan dia!” Aluna menunjuk sinis ke arah Veronica. Veronica langsung tertawa kecil. "Aluna, kau terlalu naif. Betran sudah memutuskannya. Kamar utama adalah milik kita berdua sekarang. Kau bisa pindah ke kamar tamu atau kau bisa menempati kamar pembantu," ucap Veronica dengan bangganya. Aluna merasa emosinya mulai meledak, namun ia berusaha mencoba tetap tenang. "Tidak, Veronica. Kau belum resmi menikah dengan suamiku, dan aku tidak akan membiarkanmu mengambil tempat–” Plak! Sebelum Aluna sempat merespons, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. Aluna terhuyung ke belakang, hampir jatuh, tetapi dia berhasil menahan tubuhnya. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Mas!" seru Aluna, air mata mulai menggenang di matanya. "Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Kau lupa apa yang sudah aku korbankan untukmu, Mas? Kau lupa?” Baru kali ini Betran berani main tangan. Sebelumnya, dia tidak pernah menampar Aluna. "Sudahlah, Aluna. Jangan membuat drama di sini!" Entah sejak kapan, Ibu Mertuanya muncul. Namun, ia menatap Aluna begitu sinis. "Kau hanya menjadi penghambat. Sebaiknya kau turuti saja kemauan Betran. Dan ingat, anak yang kau kandung itu tidak berguna sama sekali. Memang sebaiknya kau pergi dari sini tanpa harus menunggu anak tak berguna itu lahir!" Aluna menatap Kania dengan tatapan sinis. "Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu? Aku mengandung cucumu, Ma!" “Cucuku?” Kania mendekat, menatap Aluna dari atas ke bawah. "Hanya anak di kandungan Veronica yang pantas menjadi cucuku, bukan anak yang terlahir dari rahim wanita miskin seperti kamu!" ucapnya sinis. Aluna menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Dia tahu tidak ada gunanya berbicara lagi. Betran telah berubah. Tidak ada yang berpihak padanya. "Baik, Mas, aku akan tetap bertahan demi anak ini. Demi anak kita," ucap Aluna. Dengan langkah gontai, dia berbalik menuju kamar tamu. Tapi sebelum itu, ia akan ke kamar utama, membereskan pakaiannya. Sesampainya di kamar tamu, tangannya memegang perutnya dengan lembut, melindungi satu-satunya hal yang masih berharga baginya di dunia ini. Namun saat Aluna menutup pintu, air mata yang ditahan akhirnya jatuh juga. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berjuang untuk bayi yang sedang tumbuh dalam rahimnya. Saat Aluna duduk di ujung kasur, ia mengambil kotak tua di kopernya. Ia menggenggam erat sebuah kotak tua yang disembunyikannya di sudut lemari beberapa hari yang lalu. Di dalam kotak itu, ada kartu nama berwarna hitam dengan tinta emas yang mengkilap dan langsung menghubungi seseorang. “Nona Chandra?” Suara baritone tiba-tiba terdengar dari seberang telepon. “Akhirnya kau menghubungiku!” "Siapa sebenarnya kamu?" Tanya Aluna. "Bagaimana kalau kita ketemu saja? Tempatnya akan saya share." Aluna terdiam, ia tampak ragu. "Bagaimana Nona Chandra? Apakah Anda bersedia bertemu denganku?" "Baik! Share saja lokasinya."Aluna baru saja sampai di tempat yang di share oleh orang itu. Dan kini Aluna–duduk dengan tenang di sudut ruangan sebuah restoran mewah yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang saja dan privasi akan terjamin. Tempat ini sepertinya dipilih dengan sangat hati-hati dan jauh dari keramaian–seolah tahu jika Aluna tidak ingin siapa pun tahu tentang pertemuannya kali ini. Tak lama kemudian, seorang pria berwajah tampan dan berkharisma masuk ke ruangan, mengenakan setelan jas hitam. "Akhirnya kau menemuiku juga, Nona Chandra!" Kaisar Amarta, penguasa paling berpengaruh di negeri, selama ini menunggu kesempatan untuk bertemu langsung dengan Aluna, pewaris keluarga Chandra yang dikabarkan menghilang. "Jadi, kamu Kaisar Amarta?” tanya Aluna. “Ya, Nona Chandra. Saya Kaisar Amarta,” jawabnya dengan senyuman lebar. “Orang kepercayaan keluarga Chandra. Saya datang untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting bagi dirimu.” “Orang kepercayaan? Keluarga Chandra?” Aluna merasa kepala
“Ma–maaf,” ucap Aluna mencoba menepis kecanggungan. Terlebih, wajah tampan Kaisar terlihat begitu dekat, dan dia bisa melihat dengan jelas sorot khawatir di matanya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Kaisar masih menahan tubuh Aluna agar tidak terjatuh. Aluna mencoba tersenyum, meskipun dia tahu senyumnya terlihat lemah. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya terlalu lelah.” Kaisar segera membantu Aluna duduk kembali. "Saya akan siapkan air minum dan obat penenang untuk Anda," katanya dengan nada formal, mencoba menghilangkan suasana canggung. Aluna meskipun masih merasa pusing, mengangguk pelan. "Terima kasih, Kaisar." Kaisar lantas berjalan ke dapur kecil di dekat ruang belajar. Saat kembali dengan segelas air dan obat, dia menahan diri untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu bahwa Aluna adalah wanita milik Betran. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis, Kaisar tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam situasi ini. "Minumlah ini, dan pastikan Nona Chandra
Pukul 06:30"Aluna! Bangun!"Aluna pun terbangun, ia terkejut saat air dingin mengguyur tubuhnya, membuatnya langsung duduk terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Tubuhnya masih lelah setelah semalaman belajar bisnis lewat onlie, ditambah lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Di hadapannya berdiri dua sosok Nenek Lampir, siapa lagi kalau bukan Kania dan Veronica, yang kini menatapnya dengan tatapan sinis."Kau pikir ini hotel? Bangun!" hardik Kania, matanya menyipit tajam ke arah Aluna. "Kau lupa, hah? Kalau di rumah ini sudah tidak ada pembantu. Jadi kau harus membuat sarapan. Enak aja jam segini masih tidur."Aluna meraih handuk kecil di tepi tempat tidurnya, mengusap wajah yang masih basah sambil berusaha mengendalikan amarahnya. Namun, sebelum dia bisa berdiri, Veronica sudah mendekat dan meraih rambutnya dengan kasar."Cepat, dasar pemalas! Suamiku harus segera sarapan sebelum berangkat kerja!" Veronica menarik rambut Aluna lebih kuat, membuatnya meringis."Apa tidak
Setelah selesai di klinik, Aluna kembali ke rumah. Setibanya di dalam, dia langsung mengunci pintu dan melangkah ke kamar. Dengan penuh semangat, dia mulai memeriksa berkas-berkas yang diberikan Kaisar. "Ini dia," gumamnya, membuka map berisi dokumen tentang bisnis dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Aluna membolak-balik kertas tersebut, berusaha memahami setiap detailnya. Namun, pemikirannya terpecah saat teleponnya bergetar di meja.“Siapa ini?” tanyanya sambil mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera. “Kaiser Amartha?” Segera, ia mengangkat telepon, “Ada apa, Kaisar. Kamu mau bahas lagi soal tadi?”"Tidak, Aluna. Aku ingin memberi tahu bahwa perusahaan Martin telah mendapatkan kontrak kerja sama dengan Tuan Louis dari Amerika. Ini berkat bantuan Betran."Aluna terdiam. Kontrak itu bisa menjadi langkah besar bagi Betran dan Veronica. “Berapa besar nilainya?” tanya Aluna, berusaha tetap tenang.“Kontrak ini bisa menguntungkan kedua perusahaan. Nilai totalnya mencapai juta
Dini hari, saat suasana rumah mulai sepi, Aluna mengeluarkan setumpuk berkas yang sempat ia sembunyikan. Ia duduk di atas ranjang, lalu membuka berkas-berkas tersebut. Aluna menatap lembar demi lembar dokumen tersebut dengan hati-hati, mencoba menyerap setiap informasi.Aluna menyambungkan video call dengan Kaisar, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari pria itu terkait beberapa detail yang tidak ia pahami.“Halo, Aluna,” sapa Kaisar. “Halo, Kaisar. Maaf ganggu malammu, tapi ada beberapa hal yang ingin kutanyakan,” jawab Aluna sambil tersenyum.“Tidak apa-apa, Aluna. Katakan saja.” Kaisar membalas senyum Aluna, merasa kagum akan semangatnya yang tak kenal waktu. “Bagian mana yang kamu tidak mengerti?”Aluna membuka lembar laporan keuangan yang ada di tangannya. “Aku lihat di sini, pendapatan perusahaan Chandra meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, tapi ada catatan tentang hutang jangka panjang yang belum diselesaikan. Menurutmu, kenapa perusahaan sebesar Chandra masih mem
Veronica melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Aluna, cepat siapkan pakaian kerja untuk Betran. Mumpung dia lagi di kamar mandi, dan aku malas melakukannya. Cepat!” perintah Veronica. Aluna menatap Veronica sejenak, merasa jengah, namun tanpa banyak bicara ia bangkit dari kursinya dan mengikuti perintah itu. "Baiklah," jawabnya singkat, berjalan menuju kamar utama tanpa menunjukkan reaksi apapun.Veronica mengikutinya sambil tersenyum sinis, tiba-tiba menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda merah di lehernya. "Oh, lihat ini," katanya, suaranya sengaja dibuat genit, "Setiap malam Betran selalu minta jatah. Bahkan pagi butapun, dia masih meminta aku melayaninya. Katanya aku sangat nikmat, dibandingkan mantan istri pertamanya." Veronica tertawa pelan, menunggu reaksi Aluna.Aluna tetap tenang, tak sekalipun menoleh ke arah Veronica. Ia hanya fokus membuka lemari, mencari pakaian yang biasa dikenakan Betran untuk bekerja.“Ingat, , Veronica. Kamu lagi h
Aluna menatap Veronica dengan pandangan tenang, menarik perlahan tangannya yang dicengkeram. "Kenapa aku senang? Siapa juga yang senang kalau ada masalah di perusahaan? Aku cuma merasa sesuatu berbeda saja," jawab Aluna sambil menaruh tangan di perutnya. Ia terlihat santai agar sang madu tidak curiga. Veronica menyipitkan mata, tidak percaya begitu saja. "Berbeda bagaimana? Jangan bohong! Aku tahu kamu pasti merencanakan sesuatu!"Aluna menghela napas. "Veronica, kamu terlalu berlebihan. Aku baru saja merasakan ada gerakan kecil di perutku. Itu mungkin karena bayiku. Bukan urusanku soal perusahaan Mas Betran. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal seperti itu."Perkataan Aluna membuat Veronica terdiam sejenak. "Gerakan bayi? Kamu serius?" Nada Veronica terdengar skeptis, tetapi matanya sedikit melunak.Aluna mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ya, aku merasakan itu tadi. Itu perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, kalau kamu
"Tidak sama sekali, Kaisar," jawab Aluna apa adanya. "Aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku.""Oh baiklah. Mari, aku antar kamu sampai ke depan," ucap Kaisar, dia sangat ingin sekali Aluna segera mengingat masa kecilya. Aluna mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke luar, ditemani oleh Kaisar. Saat Aluna hendak melangkah ke taksi, kakinya tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan, membuatnya hampir jatuh ke depan. Namun, Kaisar yang berdiri tak jauh darinya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum ia terjatuh. “Aluna, hati-hati!” ucap Kaisar cemas, tangannya erat memegang pinggang wanita itu, menahannya agar tidak terjatuh. Aluna terkejut, kedua tangannya secara refleks bertumpu pada dada Kaisar untuk menjaga keseimbangan. Aluna merasa malu sekaligus kikuk dengan posisi mereka. Namun, saat ia hendak meluruskan tubuhnya, mata mereka bertemu. Kaisar yang tadinya tampak khawatir kini terpaku. Tatapannya yang hangat berubah menjadi dalam, seolah menyelami se
Setelah menyelesaikan pijatan dengan tangan yang hampir mati rasa, Aluna berdiri. Ia mengira tugasnya selesai."Eh mau ke mana?" tanya Veronica. "Mau ke kamar, mau istirahat," jawab Aluna malas. “Enak saja mau istirahat. Eh Aluna, aku lapar. Buatkan aku nasi goreng ala Jepang. Jangan yang biasa-biasa saja. Aku ingin yang mirip seperti di restoran.” Veronica berkata dengan ketus.Aluna menoleh dengan alis terangkat. "Nasi goreng ala Jepang?" tanyanya memastikan, meskipun ia tahu itu hanya alasan Veronica untuk menyulitkannya. Veronica menatapnya dengan sinis. “Iya, pakai bahan-bahan yang segar dan pastikan rasanya enak. Jangan sampai aku kecewa.” Aluna ingin sekali menolak. Tubuhnya sudah terasa lelah, dan sekarang dia harus memasak makanan yang bahkan belum pernah dia buat sebelumnya. Namun, ia tahu, jika ia menolak, Veronica dan Kania pasti akan memperlakukannya dengan lebih buruk. “Baiklah, aku akan buatk
"Tidak sama sekali, Kaisar," jawab Aluna apa adanya. "Aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku.""Oh baiklah. Mari, aku antar kamu sampai ke depan," ucap Kaisar, dia sangat ingin sekali Aluna segera mengingat masa kecilya. Aluna mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke luar, ditemani oleh Kaisar. Saat Aluna hendak melangkah ke taksi, kakinya tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan, membuatnya hampir jatuh ke depan. Namun, Kaisar yang berdiri tak jauh darinya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum ia terjatuh. “Aluna, hati-hati!” ucap Kaisar cemas, tangannya erat memegang pinggang wanita itu, menahannya agar tidak terjatuh. Aluna terkejut, kedua tangannya secara refleks bertumpu pada dada Kaisar untuk menjaga keseimbangan. Aluna merasa malu sekaligus kikuk dengan posisi mereka. Namun, saat ia hendak meluruskan tubuhnya, mata mereka bertemu. Kaisar yang tadinya tampak khawatir kini terpaku. Tatapannya yang hangat berubah menjadi dalam, seolah menyelami se
Aluna menatap Veronica dengan pandangan tenang, menarik perlahan tangannya yang dicengkeram. "Kenapa aku senang? Siapa juga yang senang kalau ada masalah di perusahaan? Aku cuma merasa sesuatu berbeda saja," jawab Aluna sambil menaruh tangan di perutnya. Ia terlihat santai agar sang madu tidak curiga. Veronica menyipitkan mata, tidak percaya begitu saja. "Berbeda bagaimana? Jangan bohong! Aku tahu kamu pasti merencanakan sesuatu!"Aluna menghela napas. "Veronica, kamu terlalu berlebihan. Aku baru saja merasakan ada gerakan kecil di perutku. Itu mungkin karena bayiku. Bukan urusanku soal perusahaan Mas Betran. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal seperti itu."Perkataan Aluna membuat Veronica terdiam sejenak. "Gerakan bayi? Kamu serius?" Nada Veronica terdengar skeptis, tetapi matanya sedikit melunak.Aluna mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ya, aku merasakan itu tadi. Itu perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, kalau kamu
Veronica melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Aluna, cepat siapkan pakaian kerja untuk Betran. Mumpung dia lagi di kamar mandi, dan aku malas melakukannya. Cepat!” perintah Veronica. Aluna menatap Veronica sejenak, merasa jengah, namun tanpa banyak bicara ia bangkit dari kursinya dan mengikuti perintah itu. "Baiklah," jawabnya singkat, berjalan menuju kamar utama tanpa menunjukkan reaksi apapun.Veronica mengikutinya sambil tersenyum sinis, tiba-tiba menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda merah di lehernya. "Oh, lihat ini," katanya, suaranya sengaja dibuat genit, "Setiap malam Betran selalu minta jatah. Bahkan pagi butapun, dia masih meminta aku melayaninya. Katanya aku sangat nikmat, dibandingkan mantan istri pertamanya." Veronica tertawa pelan, menunggu reaksi Aluna.Aluna tetap tenang, tak sekalipun menoleh ke arah Veronica. Ia hanya fokus membuka lemari, mencari pakaian yang biasa dikenakan Betran untuk bekerja.“Ingat, , Veronica. Kamu lagi h
Dini hari, saat suasana rumah mulai sepi, Aluna mengeluarkan setumpuk berkas yang sempat ia sembunyikan. Ia duduk di atas ranjang, lalu membuka berkas-berkas tersebut. Aluna menatap lembar demi lembar dokumen tersebut dengan hati-hati, mencoba menyerap setiap informasi.Aluna menyambungkan video call dengan Kaisar, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari pria itu terkait beberapa detail yang tidak ia pahami.“Halo, Aluna,” sapa Kaisar. “Halo, Kaisar. Maaf ganggu malammu, tapi ada beberapa hal yang ingin kutanyakan,” jawab Aluna sambil tersenyum.“Tidak apa-apa, Aluna. Katakan saja.” Kaisar membalas senyum Aluna, merasa kagum akan semangatnya yang tak kenal waktu. “Bagian mana yang kamu tidak mengerti?”Aluna membuka lembar laporan keuangan yang ada di tangannya. “Aku lihat di sini, pendapatan perusahaan Chandra meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, tapi ada catatan tentang hutang jangka panjang yang belum diselesaikan. Menurutmu, kenapa perusahaan sebesar Chandra masih mem
Setelah selesai di klinik, Aluna kembali ke rumah. Setibanya di dalam, dia langsung mengunci pintu dan melangkah ke kamar. Dengan penuh semangat, dia mulai memeriksa berkas-berkas yang diberikan Kaisar. "Ini dia," gumamnya, membuka map berisi dokumen tentang bisnis dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Aluna membolak-balik kertas tersebut, berusaha memahami setiap detailnya. Namun, pemikirannya terpecah saat teleponnya bergetar di meja.“Siapa ini?” tanyanya sambil mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera. “Kaiser Amartha?” Segera, ia mengangkat telepon, “Ada apa, Kaisar. Kamu mau bahas lagi soal tadi?”"Tidak, Aluna. Aku ingin memberi tahu bahwa perusahaan Martin telah mendapatkan kontrak kerja sama dengan Tuan Louis dari Amerika. Ini berkat bantuan Betran."Aluna terdiam. Kontrak itu bisa menjadi langkah besar bagi Betran dan Veronica. “Berapa besar nilainya?” tanya Aluna, berusaha tetap tenang.“Kontrak ini bisa menguntungkan kedua perusahaan. Nilai totalnya mencapai juta
Pukul 06:30"Aluna! Bangun!"Aluna pun terbangun, ia terkejut saat air dingin mengguyur tubuhnya, membuatnya langsung duduk terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Tubuhnya masih lelah setelah semalaman belajar bisnis lewat onlie, ditambah lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Di hadapannya berdiri dua sosok Nenek Lampir, siapa lagi kalau bukan Kania dan Veronica, yang kini menatapnya dengan tatapan sinis."Kau pikir ini hotel? Bangun!" hardik Kania, matanya menyipit tajam ke arah Aluna. "Kau lupa, hah? Kalau di rumah ini sudah tidak ada pembantu. Jadi kau harus membuat sarapan. Enak aja jam segini masih tidur."Aluna meraih handuk kecil di tepi tempat tidurnya, mengusap wajah yang masih basah sambil berusaha mengendalikan amarahnya. Namun, sebelum dia bisa berdiri, Veronica sudah mendekat dan meraih rambutnya dengan kasar."Cepat, dasar pemalas! Suamiku harus segera sarapan sebelum berangkat kerja!" Veronica menarik rambut Aluna lebih kuat, membuatnya meringis."Apa tidak
“Ma–maaf,” ucap Aluna mencoba menepis kecanggungan. Terlebih, wajah tampan Kaisar terlihat begitu dekat, dan dia bisa melihat dengan jelas sorot khawatir di matanya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Kaisar masih menahan tubuh Aluna agar tidak terjatuh. Aluna mencoba tersenyum, meskipun dia tahu senyumnya terlihat lemah. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya terlalu lelah.” Kaisar segera membantu Aluna duduk kembali. "Saya akan siapkan air minum dan obat penenang untuk Anda," katanya dengan nada formal, mencoba menghilangkan suasana canggung. Aluna meskipun masih merasa pusing, mengangguk pelan. "Terima kasih, Kaisar." Kaisar lantas berjalan ke dapur kecil di dekat ruang belajar. Saat kembali dengan segelas air dan obat, dia menahan diri untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu bahwa Aluna adalah wanita milik Betran. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis, Kaisar tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam situasi ini. "Minumlah ini, dan pastikan Nona Chandra
Aluna baru saja sampai di tempat yang di share oleh orang itu. Dan kini Aluna–duduk dengan tenang di sudut ruangan sebuah restoran mewah yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang saja dan privasi akan terjamin. Tempat ini sepertinya dipilih dengan sangat hati-hati dan jauh dari keramaian–seolah tahu jika Aluna tidak ingin siapa pun tahu tentang pertemuannya kali ini. Tak lama kemudian, seorang pria berwajah tampan dan berkharisma masuk ke ruangan, mengenakan setelan jas hitam. "Akhirnya kau menemuiku juga, Nona Chandra!" Kaisar Amarta, penguasa paling berpengaruh di negeri, selama ini menunggu kesempatan untuk bertemu langsung dengan Aluna, pewaris keluarga Chandra yang dikabarkan menghilang. "Jadi, kamu Kaisar Amarta?” tanya Aluna. “Ya, Nona Chandra. Saya Kaisar Amarta,” jawabnya dengan senyuman lebar. “Orang kepercayaan keluarga Chandra. Saya datang untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting bagi dirimu.” “Orang kepercayaan? Keluarga Chandra?” Aluna merasa kepala