Veronica melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Aluna, cepat siapkan pakaian kerja untuk Betran. Mumpung dia lagi di kamar mandi, dan aku malas melakukannya. Cepat!” perintah Veronica. Aluna menatap Veronica sejenak, merasa jengah, namun tanpa banyak bicara ia bangkit dari kursinya dan mengikuti perintah itu. "Baiklah," jawabnya singkat, berjalan menuju kamar utama tanpa menunjukkan reaksi apapun.Veronica mengikutinya sambil tersenyum sinis, tiba-tiba menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda merah di lehernya. "Oh, lihat ini," katanya, suaranya sengaja dibuat genit, "Setiap malam Betran selalu minta jatah. Bahkan pagi butapun, dia masih meminta aku melayaninya. Katanya aku sangat nikmat, dibandingkan mantan istri pertamanya." Veronica tertawa pelan, menunggu reaksi Aluna.Aluna tetap tenang, tak sekalipun menoleh ke arah Veronica. Ia hanya fokus membuka lemari, mencari pakaian yang biasa dikenakan Betran untuk bekerja.“Ingat, , Veronica. Kamu lagi h
Aluna menatap Veronica dengan pandangan tenang, menarik perlahan tangannya yang dicengkeram. "Kenapa aku senang? Siapa juga yang senang kalau ada masalah di perusahaan? Aku cuma merasa sesuatu berbeda saja," jawab Aluna sambil menaruh tangan di perutnya. Ia terlihat santai agar sang madu tidak curiga. Veronica menyipitkan mata, tidak percaya begitu saja. "Berbeda bagaimana? Jangan bohong! Aku tahu kamu pasti merencanakan sesuatu!"Aluna menghela napas. "Veronica, kamu terlalu berlebihan. Aku baru saja merasakan ada gerakan kecil di perutku. Itu mungkin karena bayiku. Bukan urusanku soal perusahaan Mas Betran. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal seperti itu."Perkataan Aluna membuat Veronica terdiam sejenak. "Gerakan bayi? Kamu serius?" Nada Veronica terdengar skeptis, tetapi matanya sedikit melunak.Aluna mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ya, aku merasakan itu tadi. Itu perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, kalau kamu
"Tidak sama sekali, Kaisar," jawab Aluna apa adanya. "Aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku.""Oh baiklah. Mari, aku antar kamu sampai ke depan," ucap Kaisar, dia sangat ingin sekali Aluna segera mengingat masa kecilya. Aluna mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke luar, ditemani oleh Kaisar. Saat Aluna hendak melangkah ke taksi, kakinya tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan, membuatnya hampir jatuh ke depan. Namun, Kaisar yang berdiri tak jauh darinya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum ia terjatuh. “Aluna, hati-hati!” ucap Kaisar cemas, tangannya erat memegang pinggang wanita itu, menahannya agar tidak terjatuh. Aluna terkejut, kedua tangannya secara refleks bertumpu pada dada Kaisar untuk menjaga keseimbangan. Aluna merasa malu sekaligus kikuk dengan posisi mereka. Namun, saat ia hendak meluruskan tubuhnya, mata mereka bertemu. Kaisar yang tadinya tampak khawatir kini terpaku. Tatapannya yang hangat berubah menjadi dalam, seolah menyelami se
Setelah menyelesaikan pijatan dengan tangan yang hampir mati rasa, Aluna berdiri. Ia mengira tugasnya selesai."Eh mau ke mana?" tanya Veronica. "Mau ke kamar, mau istirahat," jawab Aluna malas. “Enak saja mau istirahat. Eh Aluna, aku lapar. Buatkan aku nasi goreng ala Jepang. Jangan yang biasa-biasa saja. Aku ingin yang mirip seperti di restoran.” Veronica berkata dengan ketus.Aluna menoleh dengan alis terangkat. "Nasi goreng ala Jepang?" tanyanya memastikan, meskipun ia tahu itu hanya alasan Veronica untuk menyulitkannya. Veronica menatapnya dengan sinis. “Iya, pakai bahan-bahan yang segar dan pastikan rasanya enak. Jangan sampai aku kecewa.” Aluna ingin sekali menolak. Tubuhnya sudah terasa lelah, dan sekarang dia harus memasak makanan yang bahkan belum pernah dia buat sebelumnya. Namun, ia tahu, jika ia menolak, Veronica dan Kania pasti akan memperlakukannya dengan lebih buruk. “Baiklah, aku akan buatk
Pukul lima sore, pintu utama rumah terbuka. Betran masuk dengan jas yang masih rapi, membawa tas kerjanya. Langkahnya disambut Veronica yang sudah menunggunya dengan senyuman lebar. “Sayang, kamu pulang cepat hari ini!” seru Veronica dengan nada manja, langsung melingkarkan tangannya ke leher Betran. “Iya, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan kamu, Sayang,” jawab Betran sambil tersenyum lebar. Sejenak ia melupakan masalahnya di perusahaan. Tanpa basa-basi, Veronica mendekatkan wajahnya ke Betran dan mencium bibirnya dengan penuh gairah. Ciuman itu berlangsung lama, disengaja agar terlihat oleh Aluna yang sedang membersihkan meja. Aluna hanya melirik sekilas. Dalam hati, ia bergidik ngeri. “Astaga, tidak bisakah mereka menjaga kemesraan itu di tempat lain? Jijik sekali," gumamnya sambil terus menyibukkan diri. Setelah puas memamerkan kemesraan, Betran melepaskan ciuman dan menoleh ke arah Aluna. “Aluna!” panggilnya dengan nada tegas. Aluna menahan napas se
Aluna duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Rasa pusing yang mendera tadi masih terasa, membuat pikirannya berputar-putar. Ia mencoba mengatur napas, tetapi bayangan yang melintas di benaknya semakin jelas dan sulit diabaikan. Ia melihat seorang lelaki tua dengan wajah ramah, menggenggam tangannya erat. Suara lembutnya memanggil nama yang asing di telinga Aluna tetapi terasa akrab di hati. "Aurelie, jangan sampai tersesat di belakang, ya." "Aurelie?" Aluna bergumam pelan, mengulang nama itu. Matanya berkaca-kaca saat memori itu terus mengalir. Dia berlari kecil di antara pepohonan, mengikuti lelaki tua itu. Mereka sedang berburu, mengumpulkan kayu bakar dan menjerat hewan kecil di hutan. Kakek Chandra, itulah nama lelaki tua itu—dia bisa mengingatnya sekarang. Kakek Chandra adalah sosok yang selalu menjaganya saat kecil, pria dengan tawa renyah dan tangan kokoh yang selalu membantunya mendirikan tenda di hutan. “Kakek...” bisi
Pukul empat pagi, suasana rumah masih sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Aluna membuka matanya perlahan, menyadari dirinya sudah terbangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengelus perutnya. “Sayang, Mommy janji tidak akan membiarkan kamu terpengaruh oleh semua ini. Mommy akan melakukan apa pun supaya kamu lahir sehat,” gumamnya lembut. Setelah mandi singkat, Aluna mengenakan pakaian santai dan melangkah keluar kamar. Dia mengambil ponselnya dan segera menghubungi seorang pembantu bayaran yang biasanya bekerja di sekitar kompleks. "Bu Ratna? Bisa datang ke rumah pagi ini? Saya butuh bantuan untuk menyiapkan sarapan dan beres-beres. Bayarannya nanti saya transfer langsung," kata Aluna dengan nada tegas. Di ujung telepon, Bu Ratna menjawab cepat. "Tentu, Nona Aluna. Saya bisa sampai dalam 20 menit." "Baik. Saya tunggu," balas Aluna sebelum menutup tel
Kaisar melirik laporan lain di meja kerjanya. Semua informasi tentang perusahaan Betran, hingga rincian kondisi finansialnya, ada di sana. Tentu saja, ia tidak berniat menghancurkan Betran dalam sekejap. Itu terlalu mudah. Ia ingin Betran merasa perlahan kehilangan segalanya—karier, kekuasaan, dan akhirnya, Aluna.“Semuanya harus berjalan sesuai rencana,” gumamnya lagi sambil menutup laptopnya. “Aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat.”Tak lama, asisten pribadinya mengetuk pintu dan masuk. “Tuan Kaisar, ini adalah laporan tambahan tentang hubungan antara Tuan Louis dan perusahaan Martin. Sepertinya mereka memiliki beberapa proyek lain yang juga terancam.”Kaisar membaca laporan itu dengan seksama. “Hancurkan kepercayaan itu secara bertahap. Pastikan Tuan Louis merasa Betran tidak layak menjadi mitra jangka panjang.”“Baik, Tuan Kaisar. Saya akan mengaturnya.”“Bagus.” Kaisar mengembalikan dokumen itu dan kembali menyandarkan tubuhnya d
Pukul 00:30Sussana terasa sangat sunyi, dan hanya suara detak jam yang terdengar di kamar Aluna. Dia terbangun karena suara tangisan Baby Alva. Dengan cepat, Aluna bangkit dari tempat tidur dan mendekati ranjang bayi yang ada di sudut kamarnya.“Alva sayang, kenapa?” Aluna menyentuh kening bayi itu, lalu ia terkejut mendapati kening Alva terasa sangat panas. “Astaga, panas sekali…” gumamnya panik.Ia langsung mengambil termometer dari laci samping tempat tidur. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan ujung termometer ke bawah ketiak Baby Alva yang masih menangis.“37,9°… Ini terlalu tinggi!” Suaranya mulai bergetar. Aluna segera mengambil ponselnya, menelepon babysitter yang tidur di kamar sebelah.“ Lina, tolong ke kamar saya sekarang juga! Alva demam tinggi,” katanya cepat.Tak sampai satu menit, babysitter yang bernama Lina muncul dengan wajah cemas. “Ya ampun, Nona. Panasnya tinggi sekali, ya? Kita harus membawanya ke rumah sakit.”“Saya setuju. Tolong siapkan tas bayi dan perl
Malam itu, Mansion Aluna diterangi lampu-lampu taman yang temaram, memberikan suasana hangat meski hati Aluna terasa kacau. Ia tengah duduk di ruang keluarga, memangku Baby Alva yang tertidur lelap di pelukannya. Pandangannya terus tertuju pada wajah mungil itu, meskipun pikirannya melayang jauh. Tiba-tiba, suara bel pintu mengalihkan perhatian Aluna. Seorang pelayan datang dan membisikkan sesuatu. “Nona, Tuan Raja datang.”Jantung Aluna berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan dirinya, lalu menyerahkan Baby Alva kepada babysitter yang sudah menunggu. “Bawa Alva ke kamar, dan pastikan dia nyaman,” ucapnya.Setelah memastikan Baby Alva aman, Aluna berjalan ke ruang tamu. Di sana, Raja sudah berdiri, mengenakan setelan kasual namun tetap memancarkan wibawa. Sorot matanya langsung tertuju pada Aluna, seolah tidak ada yang lain di ruangan itu.“Tuan Raja,” sapa Aluna pelan, mencoba menjaga formalitas meskipun hatinya bergemuruh.“Aluna,” balas Raja, suaranya terdengar lebih lembut da
Pukul empat subuh, suasana di kamar terasa begitu sunyi hingga suara langkah kecil Ratu yang tergesa menuju kamar mandi terdengar jelas. Raja, yang biasanya tidur cukup lelap, langsung terbangun mendengar suara muntah dari dalam kamar mandi.“Ratu?” panggil Raja dengan nada penuh kekhawatiran. Ia bergegas menuju kamar mandi, membuka pintunya dan melihat istrinya yang terduduk lemas di lantai. Wajah Ratu pucat, keringat dingin membasahi dahinya.“Aku… mual,” gumam Ratu lemah, tangannya gemetar memegang wastafel untuk mencoba berdiri.Tanpa pikir panjang, Raja segera mengangkat tubuh Ratu dan membawanya kembali ke tempat tidur. “Tunggu di sini, aku akan panggil dokter,” kata Raja sambil meletakkan Ratu dengan hati-hati.“Tidak… tidak usah,” cegah Ratu, memegang lengan Raja dengan sisa tenaganya. “Aku tahu ini kenapa.”“Kamu tahu?” Raja mengernyit, bingung. “Maksudmu apa?”Ratu menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan kekuatannya. “Aku… aku terlambat haid. Coba kamu ambil tes kehamil
Sementara itu, Betran sedang duduk di pojok ruang tahanan saat langkah Kania terdengar memasuki ruang kunjungan. Mata Betran langsung berkilat ketika melihat ibunya. Namun, begitu ia melihat wajah Kania yang pucat dan matanya yang bengkak karena menangis, rasa bersalah kembali menghantamnya.“Mom…” panggil Betran lemah, berdiri dari kursinya.Kania tak kuasa menahan air matanya. Ia bergegas menghampiri putranya dan memeluknya erat. “Betran… lihat kamu sekarang. Kurusan begini. Apa kamu makan dengan benar, nak? Kenapa kamu begini?” Kania menangis tersedu-sedu di bahu Betran.Betran hanya diam. Ia tahu, setiap kata yang ia ucapkan hanya akan menambah luka di hati ibunya. Perlahan ia melepas pelukan itu dan menatap Kania. “Mom, aku baik-baik saja. Jangan menangis seperti ini. Aku yang salah, ini semua salahku. Aku pantas menerima hukuman ini.”“Tidak, tidak, kamu tidak pantas seperti ini!” Kania menggeleng keras, wajahnya penuh dengan air mata. “Kamu hanya salah langkah, Betran! Kamu tid
Raja baru saja memasuki rumah, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Suasana rumah begitu sunyi, namun begitu ia membuka pintu utama, langkahnya langsung terhenti melihat Ratu berdiri di tengah ruang tamu dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tegang, matanya memancarkan amarah yang tak terselubung.“Kamu dari mana saja, Raja?!” bentak Ratu begitu melihat suaminya masuk. Raja melepas jasnya dengan tenang, lalu menggantungnya di dekat pintu. “Aku ada urusan penting di luar. Kenapa harus teriak seperti itu?” balas Raja dengan nada datar, namun tatapannya dingin.“Urusan penting? Tengah malam?!” Ratu melangkah maju mendekatinya, matanya menyipit penuh kecurigaan. “Kamu bahkan tidak menjawab teleponku! Aku sudah meneleponmu belasan kali, Raja! Kamu tahu aku khawatir?”Raja menatap istrinya dengan wajah tanpa ekspresi. “Khawatir? Atau lebih tepatnya, curiga?” Ratu tercekat, tapi dengan cepat ia mengelak. “Aku hanya peduli. Aku istrimu. Wajar kalau aku khawatir ketika suamiku ti
Malam itu, di salah satu kamar hotel berbintang, Raja duduk di sofa, matanya tak lepas memandang Aluna yang sedang berdiri di dekat jendela. Ia masih mencoba mencerna semua yang telah diceritakan Aluna sebelumnya. Keningnya berkerut, pikirannya penuh dengan kebingungan yang bercampur dengan rasa hangat saat berada di dekat wanita itu."Aluna," panggil Raja dengan nada pelan, tetapi tegas.Aluna menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya meski ada gurat kesedihan di matanya. "Iya, Raja?" Raja menghela napas panjang. "Aku... aku masih sulit menerima semua ini. Kamu bilang aku Kaisar, tunanganmu, tapi aku tidak ingat apa-apa. Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?"Aluna berjalan mendekatinya, lalu duduk di sofa di sebelahnya. "Aku juga tidak tahu kenapa kamu bisa kehilangan ingatanmu, Kaisar. Tapi aku yakin, kamu adalah orang yang sama. Aku bisa merasakannya."Raja menatapnya dalam-dalam. "Tapi bagaimana jika aku tidak bisa mengingat apa pun? Bagaimana jika aku tetap menjadi orang yang tid
Seminggu telah berlalu,Hari itu, di ruang rapat utama Chandra Grup, Aluna duduk dengan penuh konsentrasi di kursinya, memeriksa dokumen terakhir yang terkait dengan proyek bersama Grup Gielz. Raja baru saja tiba dengan membawa beberapa dokumen tambahan. Penampilannya seperti biasa, rapi dan karismatik, tetapi ada sesuatu di matanya yang terlihat lebih lembut saat menatap Aluna. "Ini dokumen terakhirnya," kata Raja sambil meletakkan berkas di depan Aluna. Suaranya terdengar tenang, tetapi nada lembut itu mengandung sesuatu yang lebih dari sekadar formalitas profesional. "Terima kasih," balas Aluna singkat. Dia mengambil dokumen itu dan memeriksanya dengan teliti. Raja duduk di seberangnya, memandangi Aluna dengan ekspresi yang sulit ditebak. Setelah beberapa saat, dia akhirnya memecah keheningan. "Aluna, proyek ini benar-benar luar biasa. Saya harus mengakui, ini mungkin kerja sama terbaik yang pernah saya lakukan selama saya menjadi CEO." Aluna tersenyum tipis, tetapi pandang
Di ruang utama Chandra Grup, Aluna sedang duduk di meja kerjanya, menyusun beberapa dokumen penting. Ia berusaha keras untuk tetap fokus, meskipun hari-harinya belakangan ini penuh tekanan. Tiba-tiba, suara langkah kaki yang tergesa-gesa menggema di luar ruangan. Hansen masuk dengan wajah sedikit bingung. "Nona, ada Bu Kania di luar. Dia memaksa ingin bertemu Anda," kata Hansen dengan nada tegas, namun sopan. Aluna menghela napas panjang, mengusap pelipisnya yang mulai berdenyut. "Dia lagi? Biarkan dia masuk." Hansen ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk dan membuka pintu untuk Kania. Wanita itu masuk dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan amarah yang tak tertahan. "Aluna! Sampai kapan kamu akan terus bersikap seperti ini?" seru Kania tanpa basa-basi, suaranya menggema di ruangan yang besar itu. Aluna mendongak, tatapannya tajam. "Apa maksud Anda, Bu Kania?" tanyanya dingin. Kania langsung mendekat, matanya memerah. "Kamu tega sekali! Betran itu ayah kandung Alva!
Ratu melangkah ke dapur dengan langkah tergesa-gesa, hatinya penuh rencana. Dia membuka lemari kecil dan mengeluarkan botol kecil berisi cairan bening. Wajahnya menyiratkan kelegaan saat menuangkan setetes cairan itu ke dalam cangkir teh yang sudah dia buatkan untuk Raja. “Sempurna,” gumamnya sambil membawa cangkir itu ke kamar. Saat dia tiba, Raja sedang duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya seperti biasanya. Dia tampak kelelahan, tetapi tetap memancarkan aura yang tidak bisa diabaikan. “Aku sudah buatkan teh untukmu, Sayang,” kata Ratu lembut, menyerahkan cangkir itu padanya. "Ayo diminum agar kamu lebih rileks."Raja mengangkat wajah dan menatapnya. “Terima kasih.” Dia menerima teh itu tanpa kecurigaan sedikit pun. Ratu duduk di sampingnya, menunggu dengan sabar. Setelah beberapa teguk, Raja mulai merasakan sesuatu yang aneh di tubuhnya. Tubuhnya memanas, darahnya berdesir kencang, dan pikirannya menjadi kabur. “Ratu… ada yang aneh,” gumam Raja dengan suara parau, sam