"Tidak sama sekali, Kaisar," jawab Aluna apa adanya. "Aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku.""Oh baiklah. Mari, aku antar kamu sampai ke depan," ucap Kaisar, dia sangat ingin sekali Aluna segera mengingat masa kecilya. Aluna mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke luar, ditemani oleh Kaisar. Saat Aluna hendak melangkah ke taksi, kakinya tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan, membuatnya hampir jatuh ke depan. Namun, Kaisar yang berdiri tak jauh darinya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum ia terjatuh. “Aluna, hati-hati!” ucap Kaisar cemas, tangannya erat memegang pinggang wanita itu, menahannya agar tidak terjatuh. Aluna terkejut, kedua tangannya secara refleks bertumpu pada dada Kaisar untuk menjaga keseimbangan. Aluna merasa malu sekaligus kikuk dengan posisi mereka. Namun, saat ia hendak meluruskan tubuhnya, mata mereka bertemu. Kaisar yang tadinya tampak khawatir kini terpaku. Tatapannya yang hangat berubah menjadi dalam, seolah menyelami se
Setelah menyelesaikan pijatan dengan tangan yang hampir mati rasa, Aluna berdiri. Ia mengira tugasnya selesai."Eh mau ke mana?" tanya Veronica. "Mau ke kamar, mau istirahat," jawab Aluna malas. “Enak saja mau istirahat. Eh Aluna, aku lapar. Buatkan aku nasi goreng ala Jepang. Jangan yang biasa-biasa saja. Aku ingin yang mirip seperti di restoran.” Veronica berkata dengan ketus.Aluna menoleh dengan alis terangkat. "Nasi goreng ala Jepang?" tanyanya memastikan, meskipun ia tahu itu hanya alasan Veronica untuk menyulitkannya. Veronica menatapnya dengan sinis. “Iya, pakai bahan-bahan yang segar dan pastikan rasanya enak. Jangan sampai aku kecewa.” Aluna ingin sekali menolak. Tubuhnya sudah terasa lelah, dan sekarang dia harus memasak makanan yang bahkan belum pernah dia buat sebelumnya. Namun, ia tahu, jika ia menolak, Veronica dan Kania pasti akan memperlakukannya dengan lebih buruk. “Baiklah, aku akan buatk
Pukul lima sore, pintu utama rumah terbuka. Betran masuk dengan jas yang masih rapi, membawa tas kerjanya. Langkahnya disambut Veronica yang sudah menunggunya dengan senyuman lebar. “Sayang, kamu pulang cepat hari ini!” seru Veronica dengan nada manja, langsung melingkarkan tangannya ke leher Betran. “Iya, aku ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan kamu, Sayang,” jawab Betran sambil tersenyum lebar. Sejenak ia melupakan masalahnya di perusahaan. Tanpa basa-basi, Veronica mendekatkan wajahnya ke Betran dan mencium bibirnya dengan penuh gairah. Ciuman itu berlangsung lama, disengaja agar terlihat oleh Aluna yang sedang membersihkan meja. Aluna hanya melirik sekilas. Dalam hati, ia bergidik ngeri. “Astaga, tidak bisakah mereka menjaga kemesraan itu di tempat lain? Jijik sekali," gumamnya sambil terus menyibukkan diri. Setelah puas memamerkan kemesraan, Betran melepaskan ciuman dan menoleh ke arah Aluna. “Aluna!” panggilnya dengan nada tegas. Aluna menahan napas se
Aluna duduk di tepi ranjang, memeluk lututnya. Rasa pusing yang mendera tadi masih terasa, membuat pikirannya berputar-putar. Ia mencoba mengatur napas, tetapi bayangan yang melintas di benaknya semakin jelas dan sulit diabaikan. Ia melihat seorang lelaki tua dengan wajah ramah, menggenggam tangannya erat. Suara lembutnya memanggil nama yang asing di telinga Aluna tetapi terasa akrab di hati. "Aurelie, jangan sampai tersesat di belakang, ya." "Aurelie?" Aluna bergumam pelan, mengulang nama itu. Matanya berkaca-kaca saat memori itu terus mengalir. Dia berlari kecil di antara pepohonan, mengikuti lelaki tua itu. Mereka sedang berburu, mengumpulkan kayu bakar dan menjerat hewan kecil di hutan. Kakek Chandra, itulah nama lelaki tua itu—dia bisa mengingatnya sekarang. Kakek Chandra adalah sosok yang selalu menjaganya saat kecil, pria dengan tawa renyah dan tangan kokoh yang selalu membantunya mendirikan tenda di hutan. “Kakek...” bisi
Pukul empat pagi, suasana rumah masih sunyi, hanya suara detak jam di dinding yang terdengar. Aluna membuka matanya perlahan, menyadari dirinya sudah terbangun lebih awal dari biasanya. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengelus perutnya. “Sayang, Mommy janji tidak akan membiarkan kamu terpengaruh oleh semua ini. Mommy akan melakukan apa pun supaya kamu lahir sehat,” gumamnya lembut. Setelah mandi singkat, Aluna mengenakan pakaian santai dan melangkah keluar kamar. Dia mengambil ponselnya dan segera menghubungi seorang pembantu bayaran yang biasanya bekerja di sekitar kompleks. "Bu Ratna? Bisa datang ke rumah pagi ini? Saya butuh bantuan untuk menyiapkan sarapan dan beres-beres. Bayarannya nanti saya transfer langsung," kata Aluna dengan nada tegas. Di ujung telepon, Bu Ratna menjawab cepat. "Tentu, Nona Aluna. Saya bisa sampai dalam 20 menit." "Baik. Saya tunggu," balas Aluna sebelum menutup tel
Kaisar melirik laporan lain di meja kerjanya. Semua informasi tentang perusahaan Betran, hingga rincian kondisi finansialnya, ada di sana. Tentu saja, ia tidak berniat menghancurkan Betran dalam sekejap. Itu terlalu mudah. Ia ingin Betran merasa perlahan kehilangan segalanya—karier, kekuasaan, dan akhirnya, Aluna.“Semuanya harus berjalan sesuai rencana,” gumamnya lagi sambil menutup laptopnya. “Aku hanya perlu menunggu waktu yang tepat.”Tak lama, asisten pribadinya mengetuk pintu dan masuk. “Tuan Kaisar, ini adalah laporan tambahan tentang hubungan antara Tuan Louis dan perusahaan Martin. Sepertinya mereka memiliki beberapa proyek lain yang juga terancam.”Kaisar membaca laporan itu dengan seksama. “Hancurkan kepercayaan itu secara bertahap. Pastikan Tuan Louis merasa Betran tidak layak menjadi mitra jangka panjang.”“Baik, Tuan Kaisar. Saya akan mengaturnya.”“Bagus.” Kaisar mengembalikan dokumen itu dan kembali menyandarkan tubuhnya d
Aluna mengangguk perlahan. “Iya, aku ingat. Kamu teman masa kecilku, dan aku ingat Kakek Chandra.” Kaisar menatapnya dengan mata yang berkilauan penuh harapan. “Jadi... kamu juga ingat janji kita?” Aluna terdiam sejenak. Matanya menerawang, kembali mengingat hari itu saat Kaisar kecil menggenggam tangannya dengan polos. Janji yang ia buat bersama Kaisar waktu itu memang terekam jelas di pikirannya. Janji untuk menikah kelak dewasa nanti. “Tentu aku ingat,” jawab Aluna akhirnya. “Tapi, Kaisar, itu janji masa kecil. Janji konyol yang dibuat oleh dua anak kecil. Kamu tidak perlu terlalu serius memikirkannya.” Aluna berkata sambil geleng-geleng kepala, ia tersenyum tipis. Kaisar terdiam sejenak, menyembunyikan rasa kecewanya di balik senyuman kecil. “Oh, begitu,” katanya singkat. “Jadi, menurutmu itu hanya janji konyol?” Aluna menatapnya dengan ekspresi bersalah, senyumannya memudar. “Kaisar, maaf jika ucapanku menyinggung perasaan k
Aluna baru saja sampai di rumah ketika suara langkah Kania terdengar mendekat dengan cepat. Tanpa basa-basi, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. PLAK! “Kenapa kamu lama sekali, Aluna?!” bentak Kania dengan wajah penuh amarah. Aluna terpaku, tangannya secara refleks memegang pipi yang mulai memerah. Hatinya mendidih, tapi ia menahan diri. Rasanya ingin sekali membalas tamparan itu, namun ia tahu ini bukan waktu yang tepat. “Aku baru saja dari rumah sakit, Mom. Aku juga butuh waktu untuk mengurus kehamilanku,” jawab Aluna dengan nada datar, mencoba menjaga emosinya. “Alasan! Kalau kamu tahu Veronica sedang mual-mual, kenapa kamu malah santai-santai di luar?!” Kania menunjuk ke arah pintu masuk dengan kasar. “Sekarang, pergi cari rujak! Siapa tahu itu bisa mengurangi rasa mual menantu kesayanganku.” Aluna menghela napas panjang. Ia ingin sekali membantah, tapi percuma saja. Perlawanan hanya akan membuat situasi mak
Aluna duduk di tepi ranjang rumah sakit, menggenggam tangan Kaisar yang terbaring dengan tubuh penuh luka. Matanya sembap karena menangis tanpa henti sejak tadi malam. Selang-selang infus dan alat bantu pernapasan membuat sosok Kaisar terlihat begitu lemah, jauh berbeda dari pria tangguh yang selama ini menjadi pelindungnya. “Kaisar…” bisik Aluna dengan suara serak, nyaris tidak terdengar. “Bangunlah, aku butuh kamu. Kamu yang selalu bilang akan melindungiku, tapi kenapa sekarang malah seperti ini?” Air matanya kembali mengalir deras, membasahi pipinya. Seorang dokter masuk ke ruangan dengan langkah pelan, diikuti oleh seorang perawat. Mereka memeriksa kondisi Kaisar tanpa banyak bicara, memberikan pandangan penuh simpati kepada Aluna sebelum keluar lagi. Aluna mengusap wajahnya dengan kasar, berusaha mengumpulkan keberanian. Pikirannya berkecamuk, tetapi satu hal yang pasti: ia tidak akan membiarkan orang yang menyakiti Kaisar lolos begitu saja. ****Di ruang keluarga mansion,
Esok nya, Kaisar baru saja selesai menghadiri sebuah rapat penting di salah satu vila pribadinya di luar kota. Hari itu, untuk pertama kalinya, ia memutuskan untuk tidak membawa bodyguard. Kaisar bukan orang yang sembarangan, tetapi kadang-kadang ia merasa terlalu banyak pengawalan membuatnya kehilangan privasi. Saat mobilnya melaju di jalanan sepi menuju kota, dua SUV hitam mendadak memotong jalannya. Sopir Kaisar panik, mencoba mundur, tetapi dari belakang sudah muncul mobil lain yang memblokir. Dalam hitungan detik, pintu mobil Kaisar dibuka secara paksa oleh beberapa pria bertopeng. Salah satunya adalah Roy. “Kaisar Amartha, akhirnya aku bisa bertemu langsung denganmu,” Roy berkata dengan nada mengejek, wajahnya tak ditutupi topeng. Kaisar menatap Roy dengan tenang meskipun keadaan jelas berbahaya. “Apa yang kau inginkan?” tanyanya dingin. Roy tersenyum sinis. “Hanya sedikit waktu dan perhatianmu, Tuan Besar. Tapi jangan khawatir, kami akan membawamu ke tempat yang nyaman untu
Dua hari kemudian, Betran berjalan keluar dari sebuah gedung perkantoran dengan wajah muram. Jasnya yang sudah lusuh menunjukkan betapa terpuruknya hidupnya sekarang. Lamaran kerjanya kembali ditolak. Sudah kali keempat dalam minggu ini. Ia tidak bisa lagi mengandalkan koneksi lamanya karena nama Betran telah masuk daftar hitam di hampir semua perusahaan besar, berkat kekuatan Chandra Grup. "Dasar Kaisar," gumam Betran dengan suara penuh amarah saat berjalan menuju mobilnya yang sudah tua. "Dia pikir dia siapa, mengatur seluruh dunia untuk menjatuhkanku? Ini belum selesai." Ia menyalakan mesin mobilnya dan melaju tanpa arah. Hatinya terus bergemuruh, penuh dengan rasa frustrasi dan dendam yang semakin membara. Di tengah perjalanan, teleponnya berdering. Ia mengangkatnya dengan malas tanpa melihat siapa yang menelepon. "Halo?" suaranya terdengar kasar. "Bagaimana hasilnya, Betran?" suara Kania terdengar di seberang. Betran menghela napas, mencoba menahan emosinya. "Ditolak l
Setelah kembali ke rumah, Kania melempar tasnya ke sofa dengan kasar. Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh amarah. Langkah-langkahnya menghentak lantai, mempertegas betapa kesalnya dia. Tak lama, Betran muncul dari ruang kerjanya, mendengar kegaduhan yang dibuat oleh ibunya. "Ada apa lagi, Mom?" tanya Betran, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski dia tahu percakapan ini pasti tidak akan menyenangkan. Kania berbalik, menunjuk Betran dengan jari telunjuknya yang bergetar. "Kau tahu apa yang baru saja terjadi padaku, Betran? Kau tahu apa yang wanita itu—Aluna—lakukan padaku?" Betran menghela napas panjang, lalu duduk di sofa, mengusap wajahnya dengan tangan. "Mom, aku sedang sibuk. Jangan bawa masalah ini sekarang." "Sibuk?!" Kania memekik. "Aku dihina, dipermalukan oleh wanita itu, dan kau malah bilang kau sibuk? Kau ini anakku atau bukan, Betran?" Betran berdiri, mencoba menenangkan Kania. "Mom, duduklah dulu. Ceritakan apa yang terjadi." Kania menepis tangan
Setelah Betran pergi, Kaisar mengajak Aluna ke taman. Angin sore berhembus lembut di sekitar taman yang dipenuhi bunga bermekaran. Aluna, yang kini sedang hamil besar, berjalan perlahan di samping Kaisar. Tangannya digenggam erat oleh pria itu, memberikan rasa aman dan nyaman. Kaisar selalu memastikan setiap langkahnya terasa ringan, sesekali menatapnya dengan penuh perhatian.“Kau ingin istirahat sebentar? Kita bisa duduk di bangku dekat air mancur itu,” tanya Kaisar sambil menunjuk sebuah bangku di bawah pohon rindang.“Boleh,” jawab Aluna sambil tersenyum kecil.Namun, belum sempat mereka mencapai bangku itu, langkah Aluna terhenti. Di depannya berdiri Kania, mantan mertuanya, yang kini tampak berbeda dari biasanya. Pakaian mahal yang dulu selalu dikenakan Kania telah tergantikan dengan gaun sederhana. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tapi matanya tetap penuh tekad.“Aluna,” suara Kania bergetar. “Aku ingin bicara.”Aluna menatap Kania dengan dingin, mengangkat dagunya sedikit. “Ad
Kania duduk dengan raut wajah serius di depan Betran. Sejak kehilangan segala-galanya, hanya Kania, ibunya, satu-satunya orang yang masih bisa ia ajak bicara. Meskipun hidup Kania kini juga berantakan, ia tetap merasa ada kesempatan untuk kembali berdiri jika bisa memanfaatkan Aluna. “Betran, kau harus bangkit,” ucap Kania dengan suara penuh tekanan. “Kau tahu Aluna itu masih istri sahmu, kan? Sebelum dia melahirkan dan benar-benar bercerai, kau punya hak penuh atasnya.” Betran yang tengah meminum segelas alkohol menghentikan gerakannya. “Aku sudah mencoba, Mom. Aku sudah datang ke mansionnya. Tapi Aluna dingin seperti batu. Dia tidak akan memaafkanku.” Kania mendengus, menatap Betran dengan sinis. “Kau ini lemah sekali! Tentu saja dia tidak akan langsung menerima kalau kau hanya datang dan merengek. Kau harus punya rencana. Kau harus lebih pintar!” “Rencana apa?” Betran menatapnya dengan malas. “Kaisar Amartha selalu berada di sisinya. Lelaki itu sempurna, kaya, dan berkuasa.
Tidak terasa, Kehamilan Aluna sudah memasuki usia delapan bulan. Perutnya membesar, namun ia tetap terlihat anggun dengan balutan gaun rumah berwarna pastel yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Kaisar semakin perhatian. Dia selalu memastikan Aluna tidak kelelahan, bahkan mengatur jadwal pekerjaan Aluna agar tidak terlalu padat. Kaisar memandang perut Aluna dengan senyuman bangga. “Bagaimana hari ini? Bayi kecil kita sudah mulai menendang lagi?” Kaisar bertanya sambil duduk di samping Aluna di sofa besar. Aluna terkekeh kecil. “Bayi ini memang aktif. Setiap malam, dia seperti berlatih menari di perutku.” Kaisar menatap Aluna penuh kasih, lalu mengelus lembut perutnya. “Aku tahu dia bukan anak kandungku, tapi aku akan mencintainya sepenuh hati. Dia adalah anak kita, Aluna. Tidak ada yang bisa mengubah itu.” Senyuman Aluna menghangat. Ia merasa begitu bersyukur memiliki Kaisar di sisinya, seseorang yang tidak pernah mempermasalahkan masa lalu, melainkan fokus pada masa depan m
Hari demi hari berlalu dengan suasana yang kian suram di kehidupan Betran. Setelah insiden histeris yang dialami Veronica, dokter menyarankan agar ia dirawat intensif di rumah sakit jiwa. Keputusan itu berat bagi Betran, tetapi ia tidak punya pilihan lain. Mental Veronica kian memburuk, bahkan tidak lagi mengenali kenyataan. Veronica kini menghabiskan hari-harinya di kamar putih tanpa jendela, sering kali berbicara sendiri sambil memeluk perutnya. “Bayiku akan baik-baik saja… kau akan lihat, Betran. Kita akan jadi keluarga bahagia…” kalimat itu terus diulanginya, seolah menjadi mantra yang menahan pikirannya dari kehancuran total.Di Ruang Direktur Rumah Sakit Jiwa“Veronica akan membutuhkan waktu lama untuk pulih, jika itu memungkinkan,” ujar seorang psikiater yang duduk di hadapan Betran. Betran mengangguk lemah, wajahnya tak lagi memancarkan kebanggaan yang dulu selalu ia tunjukkan. “Lakukan apa pun yang perlu, Dok. Aku hanya ingin dia tidak menderita lagi…” Psikiater itu menata
Di dalam kamar besar mansion mereka, Aluna sedang duduk di sofa sambil memandangi layar laptop. Tangannya dengan lembut mengusap perutnya yang mulai terlihat membesar. Meskipun dunia sudah tahu bahwa ia adalah pewaris tunggal Chandra Group, Aluna memilih untuk tetap bekerja di balik layar, menghindari sorotan media yang terus memburunya.Kaisar masuk ke kamar membawa nampan berisi makanan ringan dan segelas susu hangat. "Sudah kubilang, tidak ada pekerjaan hari ini," ucap Kaisar sambil meletakkan nampan di atas meja. Ia duduk di samping Aluna, menyentuh pundaknya dengan lembut.Aluna tersenyum kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Aku hanya memastikan laporan terakhir dari tim marketing. Tidak lama lagi produk baru kita akan diluncurkan. Aku ingin semuanya sempurna."Kaisar menggeleng pelan. "Aku tahu kamu sangat perfeksionis, tapi kamu juga perlu istirahat. Kamu sedang hamil, Aluna. Semua orang di perusahaan tahu bahwa kamu tetap bekerja keras, bahkan dari balik layar."A