Aluna baru saja sampai di tempat yang di share oleh orang itu. Dan kini Aluna–duduk dengan tenang di sudut ruangan sebuah restoran mewah yang cukup sepi. Hanya ada beberapa orang saja dan privasi akan terjamin.
Tempat ini sepertinya dipilih dengan sangat hati-hati dan jauh dari keramaian–seolah tahu jika Aluna tidak ingin siapa pun tahu tentang pertemuannya kali ini. Tak lama kemudian, seorang pria berwajah tampan dan berkharisma masuk ke ruangan, mengenakan setelan jas hitam. "Akhirnya kau menemuiku juga, Nona Chandra!" Kaisar Amarta, penguasa paling berpengaruh di negeri, selama ini menunggu kesempatan untuk bertemu langsung dengan Aluna, pewaris keluarga Chandra yang dikabarkan menghilang. "Jadi, kamu Kaisar Amarta?” tanya Aluna. “Ya, Nona Chandra. Saya Kaisar Amarta,” jawabnya dengan senyuman lebar. “Orang kepercayaan keluarga Chandra. Saya datang untuk menjelaskan sesuatu yang sangat penting bagi dirimu.” “Orang kepercayaan? Keluarga Chandra?” Aluna merasa kepalanya berputar. “Apa maksudmu? Aku tidak tahu apa-apa tentang keluarga Chandra.” Kaisar mengangguk, seolah memahami kebingungan yang melanda Aluna. “Keluarga Chandra adalah keluargamu, Nona Aluna. Selama ini, saya mencari-cari keberadaanmu atas perintah Almarhum Kakekmu, Chandra Wirando Sadega. Kamu adalah pewaris satu-satunya Almarhum Kakek Chandra yang hilang, lima belas tahun yang lalu.” Hah? Kata-kata itu bagaikan petir menyambar di siang bolong bagi Aluna. Dia terdiam, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Kaisar menarik napas, lalu melanjutkan. “Nona Aluna, nama aslimu adalah Aurelie Maharani Chandra, Nona menghilang ketika berusia sepuluh tahun, saat Nona ikut berburu bersama Kakek Chandra di hutan. Kakek Chandra mencarimu selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada jejak. Dan beliau sudah hampir putus asa.” “Benarkah?” Aluna meragukan, namun rasa ingin tahunya semakin menguat. “Bagaimana kamu bisa yakin bahwa aku adalah pewaris keluarga Chandra?” Kaisar mengeluarkan kalung dari saku jasnya dan meletakkannya di meja. Kalung itu bersinar di bawah cahaya lembut restoran, menggambarkan simbol keluarga Chandra yang khas. “Kalung ini adalah milik Almarhum Kakek Chandra, Aluna. Dan kamu juga memilikinya bukan? Kalung yang kamu pakai adalah pemberian dari almarhum ibumu saat kamu lahir. Ketika saya melihatmu di pertemuan klien beberapa waktu lalu, saya langsung mengenali kalung yang kamu gunakan. Lalu, saya mencari tahu tentang Anda. Ternyata Anda memang pewaris keluarga Chandra. Dan orang yang memberikan kotak tua itu padamu adalah utusanku.” Aluna terhenyak. Ia meraih kalung itu, memandangnya dengan air mata di sudut matanya. “Iya, kalung ini sama persis dengan kalung milikku. Tapi bagaimana bisa? Kenapa aku tidak ingat?” “Menurut informasi, ternyata Nona Chandra mengalami kecelakaan yang mengakibatkan Anda mengalami amnesia.” Kaisar menjelaskan, menatap Aluna dengan serius. “Tapi satu hal yang pasti, saya ingin Nona Chandra kembali melanjutkan bisnis keluarga Chandra sesuai permintaan terakhir sang Kakek.” "Tapi.... " Aluna terihat ragu. Kaisar melihat keraguan di mata Aluna, lantas ia memberikan sebuah dokumen. Aluna membuka dokumen itu, ia melihat foto-foto kebersamaan ketika Aluna kecil dengan Kakek Chandra. "Aluna, saat ibumu hamil tua, ayahmu kecelakaan lalu meninggal. Ibumu mengalami pendarahan saat itu, kamu lahir belum waktunya. Ibumu meninggal setelah dua hari melahirkan kamu. Karena kondisi Ibumu memburuk." Tak terasa air mata Aluna mengalir. "Jadi?" Kaisar mengangguk. "Jadi, apakah Nona Chandra bersedia melanjutkan bisnis keluarga Chandra?" Aluna terdiam sesaat. Ia ragu, namun ia kembali teringat perlakuan buruk dari suami dan mertuanya membuat ia menghilangkan keraguan itu. Lantas, ia mengangguk, ia tersenyum kecil mencoba menyembunyikan kegugupan di balik senyumnya yang tipis. "Baik. Aku bersedia." "Nah, gitu dong. Saya senang mendengarnya." "Ya, aku pikir ini saatnya, Kaisar. Tapi... Aku membutuhkan bantuanmu," ucap Aluna, ia menggunakan masker dan juga kacamata. Meski tempat ini aman, namun Aluna harus tetap waspada. "Tentu, Nona Chandra. Apapun yang kau butuhkan, aku siap membantu kamu. Tapi katakan dulu, apa bantuan kamu, Nona?" Aluna menatap mata Kaisar dalam-dalam. "Aku ingin belajar bisnis. Tapi lebih dari itu, aku ingin mengelola kekayaan keluarga Chandra dengan caraku sendiri. Dan untuk itu, aku butuh bantuanmu. Namun, ada satu syarat yang sangat penting. Identitasku sebagai pewaris Chandra harus tetap terjaga. Tidak ada seorang pun, termasuk Betran—suamiku. Kau mengerti?" Kaisar mengangguk pasti, "Oke, aku pastikan identitasmu akan tetap terjaga dengan baik, Nona Aluna." "Bagus! Jangan sampai dia tahu, biarkan dia menganggap aku sebagai Aluna, wanita miskin yang menikahinya. Bukan pewaris keluarga Chandra. Belum saatnya mereka tahu siapa aku." Kaisar tersenyum tipis. "Kau benar-benar wanita yang cerdik. Kau ingin tetap menjadi bayangan, namun perlahan meraih kekuasaanmu? Baiklah, aku setuju. Aku akan membantumu belajar bisnis, dan identitasmu akan aman denganku. Tapi.... " "Tapi apa?" tanya Aluna penasaran. "Nona Chandra harus menjadi istriku." *** Setelah cukup bertemu dengan Kaisar, Aluna memutuskan untuk pulang. Tadi ia beralasan pergi ke rumah sakit untuk kontrol kehamilannya. Jika terlalu lama, akan mencurigakan. Namun, saat berjalan melewati kamar utama, Aluna menyadari pintu sedikit terbuka. Di sana, Veronica dan Betran sedang bercumbu panas! "Sayang.... " Suara Veronica tertahan dengan napas yang terengah-engah. "Aku akan berhenti menjadi CEO di perusahaan Martin, aku ingin kamu melanjutkan bisnisku. Aku percaya padamu." Aluna tersenyum sinis saat mendengar itu. "Jadi, Veronica berencana menyerahkan bisnisnya pada Kaisar," pikirnya. "Ini bisa jadi peluang untukku," bisik Aluna tersenyum menyeringai Setelahnya, langkah Aluna pun kembali berayun. Hanya saja saat Aluna hendak menuju kamar, Aluna langsung disambut dengan wajah masam ibu mertuanya yang berkacak pinggang. "Ke mana saja kau?" tanyanya dengan nada ketus. "Pergi tanpa izin, meninggalkan rumah seperti itu. Kau pikir ini tempat tinggal kamu sendiri, hah?" Aluna berusaha untuk memenangkan dirinya agar emosinya tidak terpancing, "Aku habis dari rumah sakit, Ma. Aku merasa tidak enak badan," jawabnya, suaranya lirih namun tetap tenang. "Alasan saja," potong Kania, "Kau sehat-sehat saja saat aku lihat terakhir kali. Jangan harap ada yang percaya alasanmu!" Aluna menarik napas panjang. Dia sudah terbiasa dengan sikap Kania. Jadi, mencoba mengabaikannya. "Oh iya. Sekarang di rumah ini sudah tidak ada pembantu. Para pembantu sudah saya pecat. Jadi, kau tahu apa yang harus kau lakukan, kan?" ujar Kania dengan dingin. "Cuci pakaian, bersihkan rumah, dan siapkan makan malam. Kami tidak punya waktu untuk mendengarkan keluhanmu." "Apa?" Aluna syok, tangannya mengepal. Gila! Apakah ini rencana mereka untuk mengusirnya? "Apa? Mau protest?" Aluna menggeleng. Sayangnya, Aluna tak akan kalah sebelum menghancurkan mereka. Oleh karena itu, Aluna sekuat tenaga “melayani” orang-orang tak tahu diri itu. Mulai dari memasak, membersihkan rumah, dan mencuci pakaian. *** Pada pukul sepuluh malam di hari berikutnya, Aluna diam-diam meninggalkan rumah menuju mansion mewah yang seharusnya menjadi tempat tinggalnya. Kaisar, pria yang menjadi mentor bisnisnya, sudah menunggu di sana. "Maaf aku terlambat," kata Aluna dengan suara lembut, mencoba menyembunyikan kelelahan yang dirasakannya setelah seharian diperlakukan seperti pembantu oleh ibu dan selingkuhan suaminya. Kaisar mengangguk. "Tidak apa-apa, Nona Chandra. Saya sudah siap mengajari Anda kapan pun Anda siap." Aluna lantas duduk di kursi yang Kaisar tunjukkan, sementara pria itu dengan sabar mulai menjelaskan strategi bisnis, berbicara tentang angka-angka, pasar, dan peluang investasi. Meskipun fisiknya lelah, Aluna mendengarkan dengan penuh konsentrasi, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Betran. Baginya, ini adalah jalan keluar—satu-satunya cara untuk memulihkan harga dirinya. Namun, seiring berjalannya waktu, kepalanya mulai terasa berat. Pusing mulai menyerang, dan perutnya terasa tidak nyaman. Dia mencoba bertahan, menenangkan diri dengan menarik napas panjang, tetapi saat ia beranjak berdiri tubuhnya mendadak goyah. "Aluna!" Kaisar segera berdiri, tangannya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum dia benar-benar jatuh. Mata mereka bertemu. Dalam keheningan yang mencekam, keduanya pun saling tatap.“Ma–maaf,” ucap Aluna mencoba menepis kecanggungan. Terlebih, wajah tampan Kaisar terlihat begitu dekat, dan dia bisa melihat dengan jelas sorot khawatir di matanya. "Anda tidak apa-apa?" tanya Kaisar masih menahan tubuh Aluna agar tidak terjatuh. Aluna mencoba tersenyum, meskipun dia tahu senyumnya terlihat lemah. "Aku baik-baik saja. Mungkin hanya terlalu lelah.” Kaisar segera membantu Aluna duduk kembali. "Saya akan siapkan air minum dan obat penenang untuk Anda," katanya dengan nada formal, mencoba menghilangkan suasana canggung. Aluna meskipun masih merasa pusing, mengangguk pelan. "Terima kasih, Kaisar." Kaisar lantas berjalan ke dapur kecil di dekat ruang belajar. Saat kembali dengan segelas air dan obat, dia menahan diri untuk tidak memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia tahu bahwa Aluna adalah wanita milik Betran. Meskipun hubungan mereka tidak harmonis, Kaisar tidak boleh melibatkan perasaan pribadi dalam situasi ini. "Minumlah ini, dan pastikan Nona Chandra
Pukul 06:30"Aluna! Bangun!"Aluna pun terbangun, ia terkejut saat air dingin mengguyur tubuhnya, membuatnya langsung duduk terpaku, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.Tubuhnya masih lelah setelah semalaman belajar bisnis lewat onlie, ditambah lagi mengerjakan pekerjaan rumah. Di hadapannya berdiri dua sosok Nenek Lampir, siapa lagi kalau bukan Kania dan Veronica, yang kini menatapnya dengan tatapan sinis."Kau pikir ini hotel? Bangun!" hardik Kania, matanya menyipit tajam ke arah Aluna. "Kau lupa, hah? Kalau di rumah ini sudah tidak ada pembantu. Jadi kau harus membuat sarapan. Enak aja jam segini masih tidur."Aluna meraih handuk kecil di tepi tempat tidurnya, mengusap wajah yang masih basah sambil berusaha mengendalikan amarahnya. Namun, sebelum dia bisa berdiri, Veronica sudah mendekat dan meraih rambutnya dengan kasar."Cepat, dasar pemalas! Suamiku harus segera sarapan sebelum berangkat kerja!" Veronica menarik rambut Aluna lebih kuat, membuatnya meringis."Apa tidak
Setelah selesai di klinik, Aluna kembali ke rumah. Setibanya di dalam, dia langsung mengunci pintu dan melangkah ke kamar. Dengan penuh semangat, dia mulai memeriksa berkas-berkas yang diberikan Kaisar. "Ini dia," gumamnya, membuka map berisi dokumen tentang bisnis dan proyek-proyek yang sedang berjalan. Aluna membolak-balik kertas tersebut, berusaha memahami setiap detailnya. Namun, pemikirannya terpecah saat teleponnya bergetar di meja.“Siapa ini?” tanyanya sambil mengambil ponsel dan melihat nama yang tertera. “Kaiser Amartha?” Segera, ia mengangkat telepon, “Ada apa, Kaisar. Kamu mau bahas lagi soal tadi?”"Tidak, Aluna. Aku ingin memberi tahu bahwa perusahaan Martin telah mendapatkan kontrak kerja sama dengan Tuan Louis dari Amerika. Ini berkat bantuan Betran."Aluna terdiam. Kontrak itu bisa menjadi langkah besar bagi Betran dan Veronica. “Berapa besar nilainya?” tanya Aluna, berusaha tetap tenang.“Kontrak ini bisa menguntungkan kedua perusahaan. Nilai totalnya mencapai juta
Dini hari, saat suasana rumah mulai sepi, Aluna mengeluarkan setumpuk berkas yang sempat ia sembunyikan. Ia duduk di atas ranjang, lalu membuka berkas-berkas tersebut. Aluna menatap lembar demi lembar dokumen tersebut dengan hati-hati, mencoba menyerap setiap informasi.Aluna menyambungkan video call dengan Kaisar, berharap bisa mendapatkan penjelasan dari pria itu terkait beberapa detail yang tidak ia pahami.“Halo, Aluna,” sapa Kaisar. “Halo, Kaisar. Maaf ganggu malammu, tapi ada beberapa hal yang ingin kutanyakan,” jawab Aluna sambil tersenyum.“Tidak apa-apa, Aluna. Katakan saja.” Kaisar membalas senyum Aluna, merasa kagum akan semangatnya yang tak kenal waktu. “Bagian mana yang kamu tidak mengerti?”Aluna membuka lembar laporan keuangan yang ada di tangannya. “Aku lihat di sini, pendapatan perusahaan Chandra meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir, tapi ada catatan tentang hutang jangka panjang yang belum diselesaikan. Menurutmu, kenapa perusahaan sebesar Chandra masih mem
Veronica melangkah masuk ke kamar Aluna tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, “Aluna, cepat siapkan pakaian kerja untuk Betran. Mumpung dia lagi di kamar mandi, dan aku malas melakukannya. Cepat!” perintah Veronica. Aluna menatap Veronica sejenak, merasa jengah, namun tanpa banyak bicara ia bangkit dari kursinya dan mengikuti perintah itu. "Baiklah," jawabnya singkat, berjalan menuju kamar utama tanpa menunjukkan reaksi apapun.Veronica mengikutinya sambil tersenyum sinis, tiba-tiba menyingkap rambutnya, memperlihatkan tanda merah di lehernya. "Oh, lihat ini," katanya, suaranya sengaja dibuat genit, "Setiap malam Betran selalu minta jatah. Bahkan pagi butapun, dia masih meminta aku melayaninya. Katanya aku sangat nikmat, dibandingkan mantan istri pertamanya." Veronica tertawa pelan, menunggu reaksi Aluna.Aluna tetap tenang, tak sekalipun menoleh ke arah Veronica. Ia hanya fokus membuka lemari, mencari pakaian yang biasa dikenakan Betran untuk bekerja.“Ingat, , Veronica. Kamu lagi h
Aluna menatap Veronica dengan pandangan tenang, menarik perlahan tangannya yang dicengkeram. "Kenapa aku senang? Siapa juga yang senang kalau ada masalah di perusahaan? Aku cuma merasa sesuatu berbeda saja," jawab Aluna sambil menaruh tangan di perutnya. Ia terlihat santai agar sang madu tidak curiga. Veronica menyipitkan mata, tidak percaya begitu saja. "Berbeda bagaimana? Jangan bohong! Aku tahu kamu pasti merencanakan sesuatu!"Aluna menghela napas. "Veronica, kamu terlalu berlebihan. Aku baru saja merasakan ada gerakan kecil di perutku. Itu mungkin karena bayiku. Bukan urusanku soal perusahaan Mas Betran. Aku sudah tidak peduli lagi dengan hal-hal seperti itu."Perkataan Aluna membuat Veronica terdiam sejenak. "Gerakan bayi? Kamu serius?" Nada Veronica terdengar skeptis, tetapi matanya sedikit melunak.Aluna mengangguk pelan, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. "Ya, aku merasakan itu tadi. Itu perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jadi, kalau kamu
"Tidak sama sekali, Kaisar," jawab Aluna apa adanya. "Aku sama sekali tidak mengingat masa kecilku.""Oh baiklah. Mari, aku antar kamu sampai ke depan," ucap Kaisar, dia sangat ingin sekali Aluna segera mengingat masa kecilya. Aluna mengangguk dan segera melangkahkan kakinya ke luar, ditemani oleh Kaisar. Saat Aluna hendak melangkah ke taksi, kakinya tiba-tiba terpeleset. Tubuhnya hilang keseimbangan, membuatnya hampir jatuh ke depan. Namun, Kaisar yang berdiri tak jauh darinya dengan sigap menangkap tubuh Aluna sebelum ia terjatuh. “Aluna, hati-hati!” ucap Kaisar cemas, tangannya erat memegang pinggang wanita itu, menahannya agar tidak terjatuh. Aluna terkejut, kedua tangannya secara refleks bertumpu pada dada Kaisar untuk menjaga keseimbangan. Aluna merasa malu sekaligus kikuk dengan posisi mereka. Namun, saat ia hendak meluruskan tubuhnya, mata mereka bertemu. Kaisar yang tadinya tampak khawatir kini terpaku. Tatapannya yang hangat berubah menjadi dalam, seolah menyelami se
Setelah menyelesaikan pijatan dengan tangan yang hampir mati rasa, Aluna berdiri. Ia mengira tugasnya selesai."Eh mau ke mana?" tanya Veronica. "Mau ke kamar, mau istirahat," jawab Aluna malas. “Enak saja mau istirahat. Eh Aluna, aku lapar. Buatkan aku nasi goreng ala Jepang. Jangan yang biasa-biasa saja. Aku ingin yang mirip seperti di restoran.” Veronica berkata dengan ketus.Aluna menoleh dengan alis terangkat. "Nasi goreng ala Jepang?" tanyanya memastikan, meskipun ia tahu itu hanya alasan Veronica untuk menyulitkannya. Veronica menatapnya dengan sinis. “Iya, pakai bahan-bahan yang segar dan pastikan rasanya enak. Jangan sampai aku kecewa.” Aluna ingin sekali menolak. Tubuhnya sudah terasa lelah, dan sekarang dia harus memasak makanan yang bahkan belum pernah dia buat sebelumnya. Namun, ia tahu, jika ia menolak, Veronica dan Kania pasti akan memperlakukannya dengan lebih buruk. “Baiklah, aku akan buatk
Veronica berdiri di ruang tengah dengan tangan berkacak pinggang, wajahnya memerah karena amarah. Betran berjalan mondar-mandir di depannya, mencoba meredam emosi, tapi jelas ia sudah berada di ambang batas. Aluna berdiri di pojokan dapur, pura-pura sibuk mengelap meja, tapi diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan penuh kepuasan. “Kamu ini benar-benar nggak becus, Betran!” Veronica memulai lagi, suaranya melengking. “Sudah berapa kali aku bilang untuk lebih hati-hati?! Sekarang perusahaan kita sudah bangkrut! Kamu mau makan dari mana nanti? Dari daun-daunan?!”Betran berhenti di tengah langkahnya dan menatap Veronica tajam. “Kamu pikir aku nggak tahu kondisi ini?! Aku yang berada di tengah semua ini, Veronica! Aku yang berusaha keras memperbaiki semuanya! Jadi berhenti menyalahkan aku seolah kamu sama sekali nggak punya andil!” “Andil? Aku?! Oh, lucu sekali, Betran!” Veronica menatapnya dengan ekspresi penuh ejekan. “Aku hanya menjalankan bagianku, dan itu nggak ada hubungan
Dua bulan kemudian, Betran duduk di ruang kerjanya dengan wajah kusut. Tumpukan dokumen berantakan di meja, sementara layar laptop di hadapannya menampilkan laporan keuangan yang terus menunjukkan angka merah. Betran memijat pelipisnya, berusaha berpikir jernih, tapi rasanya otaknya sudah tak mampu lagi. Suara pintu dibanting tiba-tiba membuatnya tersentak. Veronica masuk dengan wajah merah padam, rambutnya sedikit berantakan, seolah ia sudah meluapkan kemarahan pada orang lain sebelum sampai di ruangan ini. “Kamu ini sebenarnya ngurus apa, Betran?!” Veronica langsung melontarkan makian tanpa basa-basi. “Kita kena tipu sampai rugi miliaran, dan kamu cuma duduk di sini kayak orang to--lol?!” Betran mengangkat wajahnya perlahan, tapi tidak langsung menjawab. Ia terlalu lelah untuk meladeni Veronica sekarang. “Jangan diam saja, Betran! Aku tanya kamu! Bagaimana caranya kamu bisa sebodoh ini? Perusahaan keluargaku juga ikut terancam karena kelalaianmu! Kalau sampai bangkrut, kamu
Suasana rumah Betran benar-benar kacau saat Aluna pulang. Ia mencoba berjalan masuk dengan langkah pelan, berharap tidak ada yang menyadari kedatangannya. Namun, langkahnya terhenti begitu mendengar suara Veronica. “ALUNA!” Veronica berdiri di ruang tamu dengan kedua tangan bertolak pinggang, tatapan matanya menyala penuh amarah. Di sampingnya, Kania sudah duduk di sofa dengan ekspresi tajam. Aluna langsung menunduk, mempersiapkan diri menghadapi serangan verbal yang pasti akan datang. “Kamu dari mana saja, hah? Berani-beraninya pergi semalaman tanpa izin! Kamu pikir rumah ini hotel?” Veronica langsung mendekat, suaranya melengking. Kania ikut menimpali. “Jawab, Aluna! Jangan cuma diam seperti patung! Kamu pikir kamu ini siapa, hah?” Aluna menarik napas panjang, mencoba mengendalikan diri agar tidak terpancing emosi. “Aku habis menengok sahabatku yang sakit, Mom. Dia butuh bantuan, makanya saya pergi.” “Sahabat?” Kania mencibir sinis. “Sahabat yang mana? Kamu itu siapa samp
Kaisar memandang Aluna yang tertidur pulas di sampingnya. Ketenangan terpancar di wajah wanita itu, sesuatu yang jarang ia lihat. Tangannya bergerak perlahan, menyibak helaian rambut Aluna yang jatuh menutupi pipinya. Napasnya teratur, matanya terpejam dalam, seolah malam ini ia bebas dari semua beban yang menghimpitnya. Kaisar tersenyum kecil. Tidak ada kebahagiaan yang lebih sederhana baginya selain melihat wanita yang ia cintai tertidur dengan damai di sisinya. “Aluna…” bisiknya lirih, walau ia tahu tak akan ada balasan. Kaisar berbaring telentang, menatap langit-langit kamar. “Aku janji, aku bakal bikin hidupmu lebih baik. Kamu cuma butuh percaya sama aku.” Tanpa sadar, ia meraih tangan Aluna yang tergeletak di sampingnya. Dingin dan lembut. Sesaat kemudian, Kaisar memejamkan matanya. Rasa nyaman itu membuatnya tak butuh lebih dari ini—cukup tidur dengan wanita yang ia cintai. Itu saja.Sementara itu, di kediaman Betran, suasana berbeda jauh dari kedamaian yang dirasakan Aluna.
Malam itu, Aluna melangkah pelan keluar rumah. Udara dingin menyentuh kulitnya, tetapi langkahnya tak terhenti. Di dalam rumah, semuanya sudah terlelap, termasuk Kania dan Veronica yang tadi siang membuatnya bekerja tanpa henti. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya jauh lebih kusut. Ia ingin bertemu Kaisar. Hanya di dekat pria itu ia merasa dihargai, meski hubungan mereka penuh tanda tanya.Setibanya di rumah Kaisar, ia mengetuk pintu dengan lembut. Tak butuh waktu lama bagi Kaisar untuk membukakan pintu. Wajahnya yang tampak segar dan matanya yang berbinar melihat kedatangan Aluna membuat hati wanita itu sedikit tenang.“Kamu datang...” suara Kaisar terdengar hangat, senyum kecil menghiasi wajahnya.“Aku butuh kamu, ” jawab Aluna, suaranya lemah, seperti menyimpan beban berat. Kaisar segera menariknya masuk, menutup pintu, dan memeluk Aluna erat tanpa berkata apa-apa. Hanya melalui pelukan itu, Aluna merasa beban di dadanya sedikit berkurang.“Kenapa malam-malam begini? Kamu kelihatan
Rumah kembali gaduh setelah kepulangan Betran, Kania, dan Veronica. Suara langkah kaki serta perintah bersahut-sahutan membuat Aluna yang berada di dapur langsung bergegas menuju ruang tamu. Tumpukan koper berserakan di dekat pintu masuk. Betran sedang menelepon, wajahnya penuh keseriusan, sementara Kania sudah duduk dengan nyaman di sofa. Veronica, seperti biasa, duduk dengan angkuh sambil menggulir ponsel di tangannya.“Aluna!” panggil Veronica tajam, membuat Aluna segera mendekat.“Ya, Veronica,” jawab Aluna sopan, menundukkan kepala.“Cepat angkat koper-koper ini ke kamar masing-masing. Jangan sampai ada yang lambat atau berantakan. Dan pastikan koperku duluan. Aku tidak mau menunggu!”“Iya, Veronica,” jawab Aluna singkat, segera bergerak mengangkat koper besar Veronica ke atas. Beratnya membuat lengannya gemetar, tapi ia menggigit bibir, berusaha menahan keluhan.Di sofa, Kania melirik sekilas ke arah Aluna, lalu mendesah panjang. “Aluna, selesai dari koper Veronica, kamu langsu
Malam itu, Aluna duduk di ruang tamu dengan pakaian santai, mencoba menghabiskan waktu dengan membaca novel yang sebenarnya sudah ia baca berkali-kali. Pikirannya melayang-layang, tak bisa benar-benar fokus pada halaman yang ada di tangannya. Tiba-tiba, suara ketukan di pintu membuatnya terperanjat. Ia melirik jam di dinding—sudah lewat pukul sembilan malam. Siapa yang datang di jam seperti ini? Dengan rasa penasaran bercampur sedikit gugup, ia melangkah ke pintu. Saat pintu dibuka, Kaisar berdiri di sana dengan senyuman khasnya, memegang sebuah kotak besar. "Aku tahu kamu suka martabak manis, jadi aku bawakan ini." Aluna menghela napas, antara kesal dan geli. "Kaisar, ini sudah malam. Kenapa kamu datang lagi?" Kaisar masuk begitu saja tanpa menunggu undangan. "Karena aku tahu waktu kita terbatas. Besok Betran pulang, kan?" Aluna memutar matanya, tapi tidak bisa menahan senyum kecil yang mulai terbit di sudut bibirnya. "Kamu memang terlalu tahu jadwal orang." "Ya, begitula
Pagi buta, suasana rumah masih lengang. Aluna terbangun oleh gerakan halus di sisi tempat tidurnya. Ia membuka mata perlahan dan mendapati Kaisar sedang mengenakan kemejanya. Lelaki itu tampak rapi, seperti biasa, namun ada senyuman kecil di wajahnya saat menyadari Aluna memandangnya. “Sudah bangun?” tanya Kaisar dengan nada lembut, sambil menatapnya dari sudut matanya. Aluna hanya mengangguk, matanya masih setengah mengantuk. Namun, ia tidak bisa mengabaikan getaran di dadanya saat melihat lelaki itu bersiap untuk pergi. Kaisar duduk di tepi tempat tidur, tangannya terulur menyentuh wajah Aluna. “Aku harus pergi. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan.” Aluna tidak menjawab. Ia hanya menatap Kaisar, ada sedikit rasa hampa yang mulai merayapi dirinya. Ia tahu bahwa hubungan ini tidak seharusnya terjadi, tapi entah mengapa, ia merasa tidak ingin lelaki itu pergi. Kaisar tersenyum kecil, lalu menunduk. Bibirnya menyentuh bibir Aluna dengan lembut, tapi semakin lama, ciuma
Aluna baru saja menutup pintu ketika ketukan keras kembali terdengar. Jantungnya berdebar. Siapa lagi yang datang malam-malam begini? Ia membuka pintu perlahan, dan di sana, berdiri Kaisar. Wajahnya terlihat serius, namun ada tatapan yang sulit dijelaskan. “Kaisar? Kenapa kau kembali?” Aluna bertanya, suaranya bergetar. Kaisar tidak menjawab. Ia melangkah masuk tanpa izin, menutup pintu di belakangnya. Sebelum Aluna sempat berkata apa-apa, lelaki itu menariknya ke dalam pelukan yang erat. “Aku tidak bisa pergi,” bisik Kaisar di telinganya. “Aku tidak ingin meninggalkanmu malam ini.” Aluna mencoba meronta, meski tubuhnya lemas karena dekapan itu. “Kaisar, kau tidak bisa terus seperti ini. Kalau Betran tahu…” “Aku tidak peduli,” potong Kaisar. Tangannya menguat di pinggang Aluna, matanya menatap lurus ke dalam mata perempuan itu. “Yang kupedulikan sekarang hanya kau.” Sebelum Aluna sempat membalas, Kaisar mengangkat tubuhnya dengan mudah. “Kaisar! Apa yang kau lakukan?” Al