"Kamu wangi banget sih, Sayang." Aku berkata sembari menyadarkan kepalaku di pundaknya. "Mas ....""Iya, iya." Aku segera menarik diri dari pundaknya, tak mau membuatnya kehilangan kesenangan yang mungkin baru saja diperolehnya dengan ulahku menempel-nempel padanya. "Ngomong-ngomong, sejak si kembar lahir, aku tak pernah bermanja-manja padamu. Aku kangen, loh." Aku coba membujuknya.Hunsiah langsung memutar kepalanya, menatap padaku. "Kamu lebih tua dari pada aku, Mas. Wajar dong kalau aku yang manja, toh dulu kamu pernah manja-manja juga, kan," balas Hunsiah.Hiss, dia membahas usia sekarang. Iya, aku pernah begitu manja padanya pasca bangun dari koma. Aku bagi bayi besar yang dimanjakan oleh istriku. Husniah yang jauh lebih muda daripada aku itu, begitu bersikap dewasa saat itu dan hal itu membuat semakin jatuh cinta. "Oke, aku yang gantian akan memanjakanmu sekarang." "Janji, ya.""Iya," jawabku dengan mantap. "Udah aku lakukan sejak mulai kamu hamil, kan. Bahkan seingatku se
POV Husniah Aku benci, sangat membencinya. Mas Hanan pulang dengan baju yang berbeda. Tadi dia mengatakan akan ke kantor karena ada pekerjaan, berangkat mengunakan baju kerja, tapi tiba-tiba pulang dengan pakaian olahraga. Air mataku semakin meleleh saat membayangkan hal yang tidak-tidak sudah dilakukan Mas Hanan di luar sana, membuatku semakin mengabaikan Atma yang masih tergeletak dengan tangisannya. Benar kata Mas Hanan, Atma lebih kalem daripada saudara kembarnya. Lagi-lagi anak yang jadi korban karena sakit hati dan kesedihan orang tuanya. Aku tidak peduli dengan apa yang dilakukan Mas Hanan untuk menenangkan anak-anaknya, hatiku sendiri sekarang terasa bergemuruh dan tersiksa. Aku memang tidak bisa menjadi ibu yang baik. Dulu aku merasa menjadi wanita yang begitu kuat, tapi kenapa setelah melahirkan, aku jadi seperti ini.Setelah bayi-bayi itu ditenangkan dan dijaga oleh Bibi, Mas Hanan gantian membujukku. Dia menjelaskan yang sebenarnya terjadi, kenapa dia sering pulang mala
POV Hanan"Ayolah, Sayang. Aku mau putri cantik seperti ini." Aku berkata sembari memperlihatkan foto anak Syifa yang tersimpan di galeri ponselku. Bocah perempuan dengan pipi tembam dan bibir mungil, bahasanya kerennya sekarang, gemoy. Kulitnya putih seperti Wisnu, rambutnya lurus dan hitam seperti Syifa, aku juga ingin memilikinya. Anak perempuan cantik seperti mamanya. "Kamu ini pengen anak seperti pengen makanan saja, Mas. Tinggal pesan terus jadi," sahut Hunsiah tanpa peduli pada foto yang aku perlihatkan. Dia hanya menatap sekilas lalu kembali sibuk bermain dengan anak-anaknya. Dia enak sudah ada dua bocah laki-laki yang terlihat begitu sayang dan cinta padanya. Sedangkan aku, belum ada anak gadis yang mengagumiku sebagai papanya, sosok yang katanya cinta pertama bagi anak perempuan. Aku juga ingin dipuja dan dikagumi wanita lain selain istriku. "Kalau kamu mau, pasti juga langsung jadi. Makanya mau yaa hamil lagi," bujukku lagi. "Pantas saja kamu gak mau anterin aku ke dok
Aku pulang di sambut oleh si kembar, tak biasanya tidak ada Husniah bersama mereka. "Mama mana?" tanyaku pada dua bocah yang bergelayut manja di kedua lenganku. Saat mendengar mobilku datang, mereka akan berlarian ke luar dan menyambut kedatanganku. Lalu sama-sama minta di gendong. Di usianya yang ke empat, cukup berat juga mengendong keduanya sekaligus. "Di kamar," jawab Atma. "Mama tidak keluar sejak tadi pagi," timpal Nata. Mereka berdua memang sudah cukup lihai berkomunikasi, mereka bisa diajak berbicara dua arah meskipun dengan logat yang belum sepenuhnya fasih. Ada beberapa huruf yang belum bisa diucapkan dengan benar. "Kalian sudah pada mandi?" "Sudah," jawabnya berbarengan. "Oke, main dulu sendiri yaa. Papa ganti baju dulu," perintahku pada anak-anak itu. Keduanya segera turun dari gendonganku begitu sampai di dalam pintu kamar. Lalu berlarian kembali ke tempat mereka bermain tadi. Aku penasaran dengan Husniah, apa yang terjadi padanya hingga tak mau keluar dari kama
Putri yang begitu aku inginkan itu akhirnya lahir juga ke dunia. Kulitnya putih seperti salju, bibirnya kecil dan merah seperti darah, bulu matanya yang lentik, rambutnya lurus dan hitam, dia bagikan bidadari. Bukan aku berlebihan hingga mendiskripsikan seperti putri dari negeri dongeng. Tapi bayi itu memang secantik itu, bagiku."Taruh, Mas, jangan digedong terus. Nanti kalau kebiasaan siapa yang repot," ucap Husniah saat melihatku masih saja mengendong bayi yang belum bernama itu. Baru dua kali dua puluh empat jam yang lalu bayi itu terlahir di dunia, dan aku terus saja mengaguminya. Kami masih ada di rumah sakit, di ruang rawat inap. Si kembar ada di rumah dalam pengawasan Ibu dan Bapak. Mereka berdua sengaja datang dari kampung menjelang kelahiran bayi yang dikandung Husniah. "Nanti aku yang bakalan gendong," jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari bayi mungil itu."Kalau kamu kerja?""Nanti ada pengasuhnya."Husniah menghela nafas panjang. Mendengar helaan nafasnya, aku segera
Suara ibu-ibu membaca ayat suci Alquran terdengar di ruang depan. Ibu-ibu pengajian komplek yang datang untuk syukuran rumah baru kami. Anak-anak berada di halaman belakang untuk mengadakan acara ulang tahun putri kami sembari menunggu orang tua mereka yang masih mengadakan pengajian. Husniah, Ibu dan Syifa ada di ruang tengah menemani ibu-ibu di sana, sedangkan aku dan Wisnu menemani anak-anak. Hanya acara sederhana saja, mendoakan agar si kecil Hulya sehat selalu dan bahagia. Kami sengaja melakukan di hari yang sama, sekalian reportnya, begitu yang kami pikirkan. Lagipula tanggal dimana kami pindahan memang tidak jauh-jauh dari tanggal Hulya ulang tahun. Acara berjalan dengan lancar, baik pengajian maupun ulang tahun. Semua orang pulang saat acara selesai di jam empat sore. Tadi kami memulainya sekitar jam dua siang. Tinggallah keluarga kami saja yang ada. Ibu dan Bapak serta Syifa sekeluarga, masih akan menginap di sini.***Tawa anak-anak bergema di ruang bermain. Sengaja aku s
POV Husniah"Om, kenapa gak bikin anak kembar seperti Mama dan Papa, lihat aku gak bisa main dengan mereka. Mereka lebih asyik main berdua saja, bertiga sih dengan Hulya." Nata, putra kecilku yang kini berusia delapan tahun datang dengan wajah cemberut. Pasti dia merasa tersisihkan lagi saat main dengan saudara kembarnya dan juga Queena. Kemarahannya dari semalam masih saja berlanjut hingga pagi hari saat mereka mulai bermain lagi. Kali ini mereka bermain air di kolam renang. Sedangkan aku dan Kak Wisnu mengawasi sambil duduk di kursi yang ada di pinggir kolam."Membuat anak itu bukan seperti membuat adonan kue, Nata. Bikin banyak lalu dibagi dua, jadi deh dua kue dengan besar yang sama," jawab Kak Wisnu. "Memangnya kenapa Om harus punya anak langsung dua," sambung Kak Wisnu, bertanya alasan Nata mengatakan hal seperti itu. "Kalau ada dua, kan aku gak berebut sama Atma. Queena lebih suka main sama Atma," terang Nata."Masa?" tanya Kak Wisnu tak percaya. "Lihat saja sendiri, saat ak
Waktu begitu cepat berlalu, rumah kami yang dulu ramai dengan tawa dan tangisan anak-anak, rumah kami yang dulu berisik dengan derap kaki anak-anak yang berlarian, kini mulai sepi. Hanya ada aku dan Mas Hanan, juga Hulya di rumah yang cukup luas ini. Nata dan Atma, mereka lebih memilih untuk kuliah di luar kota. Lebih tepatnya di kampusku dulu. Katanya, mereka ingin menikmati kampus yang sama dengan kampus dimana mamanya kuliah. Nata memilih untuk mengambil jurusan management bisnis sedangkan Atma memilih jurusan tarbiyah. Mereka kembar identik tapi sangat jauh berbeda sifat maupun keinginannya. Kak Wisnu bilang, Atma dan Nata cerminan aku dan Mas Hanan. Satu kalem dan yang satu bekasaan. Tentu saja aku yang kalem. Nata akan menggantikan papanya di perusahaan keluarga kami, sejak dulu hingga kini dialah yang menjadi wakilku di cabang perusahaan yang dimiliki oleh Kakek. Aku memilih untuk mengabdikan diri menjadi ibu rumah tangga seperti perkataanku dulu. Sedangkan Atma, dia ingin m