Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat
Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel
Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg
"Tidur di kamar sebelah, jangan tidur di sini. Aku tidak suka kamu tidur di kamarku," ucapku pada gadis berusia dua puluh tahun, yang baru saja menikah denganku. Kami menikah seminggu yang lalu, setelah itu aku harus membawanya ke kota. Tinggal bersama denganku di kota ini. Bukan tanpa sebab aku tak ingin tidur dengannya. Aku tidak begitu mengenalnya, dan juga tidak menyukainya apalagi menaruh hati padanya. Aku menikah dengannya karena dipaksa oleh Ibu, wanita yang sudah melahirkanku itu tiba-tiba saja memintaku pulang dan menikahi gadis ingusan itu. Bagaimana tidak ingusan, aku yang sudah berusia tiga puluh tiga masa menikah dengan wanita berusia dua puluh tahun. Dia tidak pantas menjadi istriku. Sudahlah kurus, kecil, dan tidak modis sama sekali. Bajunya semua terlihat panjang dan kedodoran di badannya yang mungil dan kurus itu. Setiap hari, kulihat dia memakai rok panjang dan kaos lengan panjang, tak lupa kerudung segi empat yang dilipat kemudian dipakai asal di kepalanya untuk
"Hanan, Ibu memintamu pulang untuk menikah. Ibu sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal menyiapkan diri dan hafalin ijab kabul," ucap wanita yang sudah melahirkan diriku itu. Aku tiba-tiba saja dihubungi oleh orang tuaku, diminta buru-buru pulang kampung dan tiba-tiba saja dinikahkan. Aku pikir Bapak memintaku untuk pulang segera, karena Ibu kenapa-napa. Wanita dengan usia lebih dari setengah abad itu memang kadang suka tiba-tiba sakit. Aku khawatir. "Hanan bisa cari istri sendiri, Bu. Tidak perlu dijodoh-jodohkan seperti ini.""Kapan, mana? Usiamu sudah lewat tiga puluh. Teman-temanmu di sini sudah pada punya anak, ada yang lebih dari satu malahan." Lagi, ibu menyebut hal yang sama setiap kali memintaku menikah. Bahkan orang tuaku itu mengira aku tidak tertarik pada lawan jenis. Ah, mereka tidak tahu saja aku sudah menaruh hati bertahun-tahun pada teman kantorku. "Sebentar lagi Hanan akan bawain Ibu menantu.""Dari dulu sebentar lagi terus, bosan Ibu mendengarnya. Apa kamu mau Ib
Pintu gerbang terbuka begitu aku hendak turun dari mobil. Tampak sosok gadis kurus mendorong pintu beroda itu dengan semangat. Aku urung turun dari kendaraan dan langsung menjalankan mobil masuk ke garasi mobil. "Baru pulang, Mas?" tanya Husniah begitu aku turun dari mobil dan gadis itu kembali menutup pintu gerbang. "Dah tahu nanya!" sahutku sinis. Kenapa hanya dengan melihatnya membuat moodku rusak. Aku memang pulang cukup malam, jam sembilan. Tadi saat mampir ke rumah Lita, orang tua wanita itu malah mengajakku makan malam, lalu tak terasa waktu sudah beranjak malam. Aku pulang dari rumah Lita jam delapan, dan baru sampai rumah satu jam kemudian. "Mas Hanan sudah makan?" tanya Husniah sambil berjalan mengikutiku masuk ke dalam rumah. "Sudah." Krrukkk ... terdengar suara perut gadis itu berbunyi. Bunyi perut yang belum diisi."Kalau kamu lapar, makan saja sana! Lain kali gak usah nungguin aku," seruku sembari berlalu menuju kamar. Aku ingin mandi dan segera beristirahat, bada
"Uang dari mana? Kamu pikir bayar kuliah pakai daun, hah?! Jangan bikin susah!" Seruku menahan emosi.Gadis itu semakin menunduk ketakutan mendengar suaraku yang menggelegar. Sejak pindah ke rumah ini, aku bisa meluapkan emosiku padanya. Hal yang tidak bisa aku lakukan saat kami ada di rumah ibu dulu, selama beberapa hari setelah menikah."Aku bayar sendiri, Mas. Aku memiliki tabungan pendidikan yang bisa dipakai untuk membayar biaya kuliahku hingga selesai. Bunda dan ayah sudah menyiapkan sebelum mereka meninggal." Husniah berkata dengan suara yang begitu kecil sambil mengusap sudut matanya. Aku menarik nafas dalam-dalam, ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku sudah membentaknya. Harusnya dia ini anak kecil saja, aku akan menjaganya seperti adikku, bukan menjaganya sebagai istriku. Dengan cepat kuhabiskan makanan yang ada di piring dan berniat segera pergi bekerja. Sepertinya aku akan lebih nyaman tinggal di kantor daripada di rumah. "Mas, boleh ya," pintanya sambil membuntutiku y
Aku menghabiskan waktu bersama Lita hingga malam. Tidak biasanya wanita itu mengajakku jalan seperti ini. Kami menghabiskan waktu bersama untuk makan, nonton dan berbelanja. Aku tidak peduli harus mengeluarkan banyak uang hari ini, lagian Lita tidak pernah juga memintaku jalan bersamanya. Mungkin seperti yang dia katakan, dia akan mulai mencari pasangan dan apa yang dilakukan ini adalah cara untuk memilih pasangannya. Mengetes apakah aku laki-laki yang baik dan loyal atau pelit. Wanita berprinsip seperti Lita pasti tidak suka pria pelit. Langsung akan dicoret dari list calon suaminya. Lita memang banyak yang suka, tapi wanita itu tidak pernah menjalin komitmen dengan siapapun dengan alasan masih punya adik yang ada dalam tanggungannya. Hanya denganku saja dia tampak nyaman karena aku tak pernah mengungkapkan perasaan. Aku sedang menunggu waktu yang tepat. Mungkin sebentar lagi. "Terimakasih untuk hari ini ya, Mas. Maaf ngajak jalannya mendadak. Sampai ketemu besok di kantor," ucapn