Aku terbangun karena mendengar suara tangisan. Malam-malam begini siapa yang menangis, apa Husniah? Kamarku dan kamar tempat dia tidur memang berdampingan dan tanpa pengedap suara. Jika malam hari suasana begitu sepi, pasti akan terdengar suara-suara jika posisinya sedekat ini. Aku bangkit dari tempat tidur, melihat jam analog di ponselku. 3.30 masih terlalu pagi. Kenapa sudah menangis saja. Bergegas aku pergi ke kamar sebelah, untung saja sudah tidak dikunci lagi. Pelan kubuka pintu kamar tersebut. Tampak olehku gadis itu berbaring di atas sajadah. Apa mungkin dia menangis setelah sholat dan berdoa. Tapi kenapa posisinya berbaring seperti itu. "Bunda, ajak aku bersamamu," ucapnya sambil terisak-isak. Pelan kudekati tubuh itu, matanya terpejam. Sepertinya dia ketiduran lalu mengigau. Bibirnya terlihat kering dan pucat. Apa dia sakit?Dengan keraguan kupegang keningnya, benar saja suhu tubuhnya begitu panas menyengat. Pantas saja dia mengigau. Nyusahin aja, pakai sakit segala. Sege
"Kamu siapa?" Tanya Lita pada Husniah karena tidak mendapatkan jawaban dariku. Gadis itu menatap padaku, entah apa maksud dari tatapan itu. "Saya Nia, Mbak. Pembantu di rumah ini," jawab Husniah sambil tersenyum pada Lita. Aku merasa lega mendengar jawaban dari Husniah tersebut, tapi sudut hatiku yang lain seperti merasa tidak enak. Entah bagaimana rasanya aku tidak bisa mengungkapkannya. "Oh, kalau gitu bawa ini ke belakang. Cuci lalu bawa ke sini lagi, ya," perintah Lita pada Husniah."Biar aku saja, Ta," ucapku menawarkan diri."Kamu ini gimana sih Mas, katanya sakit. Punya pembantu kok malah mau kerjain kerjaan sendiri. Duduk dan kita tunggu saja di ruang tamu," ajak Lita sambil menggandeng tanganku setelah buah-buahan yang dibawanya berpindah tangan. Husniah menatapku sekilas, kemudian berlalu menuju dapur. "Dia yang sakit, bukan aku." Kalimat yang hanya aku ucapkan dalam hati saja. Kami menunggu sambil berbincang, aku merasa Lita sekarang tampak lain. Sepertinya wanita in
"Mas Hanan perlu sesuatu? Mas!" Panggilan Husniah menarik kesadaranku. Ah, shit! Aku membayangkan hal yang tidak-tidak. Husniah sudah menutupi seluruh tubuhnya kembali. Memakai kardigan dan jilbab segiempat bertengger di kepalanya seperti biasanya. Gadis itu terlihat canggung dengan keberadaanku, pipinya memerah. Pipinya yang mulai berisi, terlihat chubby dan mengemaskan dibalik jilbab yang membalutnya. Oh Hanan, berhentilah berpikir yang tidak-tidak, aku mengumpat diriku sendiri. "Mas Hanan perlu sesuatu?" tanya Husniah lagi. "Aku mau kopi," jawabku asal. Padahal tadi pagi aku sudah meminum kopi dan ini baru jam sembilan. "Lagi?" tanya Husniah memastikan. Mungkin merasa aneh karena dia tahunya aku hanya minum kopi di pagi hari. "Ya." Aku kembali turun dari tempat itu, berlalu meninggalkannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku merasa ada yang aneh di dalam dadaku, masa iya aku jatuh cinta pada gadis itu. Tidak! Dia bukan tipeku. Aku suka wanita modis dan cerdas sepert
"Kak, bisa mampir sebentar gak?" Lirih Husniah pada pria yang belum aku ketahui namanya itu. "Tentu saja, dengan senang hati. Aku ingin bertemu dan berkenalan dengan orang tuamu," sahut pemuda tengil itu. Aku sudah membencinya hanya dengan mendengar suaranya. Husniah dan pria itu masuk ke dalam teras di mana aku sedang menunggu keduanya."Permisi, Om. Nama saya Wisnu," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aku membiarkan tangannya tetap di udara, tak berniat sama sekali menyambutnya. "Om katamu? Aku bukan om-om," seruku tidak suka "Oh, Om bukan ayahnya Nia?" Om lagi! astaga lagi-lagi aku dikira ayah Husniah. "BUKAN!" "Lalu siapa? Saudara, Kakak, atau emang Om?" Aku terdiam, tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan pemuda tengil itu. Aku hanya memandangnya dari ujung kaki hingga kepala. Cara berpakaiannya khas anak muda, celana jeans dan kaos polos yang dibalut jaket kulit. "Saya pembantu di rumah ini, Kak," ucap Husniah menjelaskan siapa dirinya karena
Sejak kejadian malam itu, aku dan Husniah perang dingin. Dia tetap melakukan semuanya seperti biasanya. Namun semakin hari, jadwal kuliahnya terlihat semakin padat. Gadis itu terus saja pulang lebih lambat daripada aku. Lebih sering kulihat dia berjalan kaki, dia tak lagi diantara oleh pemuda itu. Mungkin dia naik angkot yang berhenti di pintu gerbang perumahan ini. Untuk masuk ke dalam komplek perumahan cukup jauh, dan pasti melelahkan. Kenapa dia tidak naik ojek saja. Dia tak pernah lagi terlihat duduk dan mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu seperti dulu, kadang kala kulihat dia merendam kakinya saat aku sudah beranjak masuk ke kamar. Aku pernah melihatnya secara tak sengaja saat hendak mengambil air minum. Apa dia kelelahan? Tak lagi kudapati dia menyetrika di pagi hari saat libur seperti dulu, entah jam berapa Husniah melakukan pekerjaan itu sekarang. Pokoknya sebisa mungkin dia tidak berpapasan denganku di rumah ini. Rumah ini tidaklah besar, tapi untuk bisa bersua dengan
Kenapa semua jadi kacau begini, kuremas rambutku dengan kencang, ingin rasanya ku cabut sekalian. Kepalaku mendadak pusing. Hal yang aku tunggu selama ini adalah menikahi Lita, tapi sekarang aku tidak berniat lagi melakukannya. Aku sudah punya istri, Husniah. Dia istriku dan aku mencintainya, sekarang. Apa Lita akan terluka jika aku menolaknya, apa ayahnya akan memakiku karena mempermainkan anaknya. Selama ini tidak ada istilah pacaran dalam hubunganku dengan Lita. Tidak ada komitmen, kami hanya sering bersama dan sesekali bermesraan. Aku memiliki sesuatu yang bisa kunikmati dengan tenang di rumah, tapi malah memilih wanita yang tanpa ikatan. Benar-benar pria bod0h. "Ayo, Mas," ajak Lita saat waktu pulang sudah tiba. "Kemana?" tanyaku seperti orang beg0"Pulang bareng lalu mampir ke rumahku," jawabannya menjelaskan."Aku tidak bisa, Lita. Maaf ya, aku harus menjemput Husniah. Dia sedang PKL di sebuah perusahaan yang jauh sekali dari rumah kami," tuturku panjang lebar. "Husniah? N
Aku terus melihat satu persatu foto yang dikirim oleh Husniah padaku. Ada beberapa foto dimana aku sedang bermesraan dengan Lita. Bahkan ada foto di mana bibir kami saling menempel. Bisa-bisanya si pemotret ini dapat momen seperti ini, padahal itu hanya ciuman sekilas. Ini adalah momen yang terjadi sudah sangat lama, saat aku pergi dengan Lita di malam Minggu, kami makan bersama di sebuah restoran yang bernuansa romantis. Memilih sport yang jauh dari kebanyakan pengunjung, bagian lebih remang-remang dengan kesan romantis begitu nyata. Lalu terjadi adegan seperti yang di foto ini. Siapa yang memberikan foto-foto ini pada Husniah. Pasti pria bernama Wisnu itu, siapa lagi yang kenal aku dan juga Nia secara bersamaan, hanya dia. Apa karena foto ini juga sikap Husniah begitu berubah padaku. Dulu saat aku galak padanya, masih ada senyuman yang dia tampakkan padaku. Tapi sekarang, tak pernah tersenyum sama sekali padaku.Bagaimana aku akan menjelaskan semua ini pada Husniah. Makin rumit sa
Aku menarik nafas lega saat melihat Husniah hanya mondar mandir di teras sambil bergumam, menyebut nama ibuku dan juga namaku. Ada apa sebenarnya, kenapa dia tampak sangat khawatir. "Ada apa?" Aku bertanya pada Husniah. Gadis itu menatapku, kemudian membuang muka saat melihatku belum memakai baju. Saking paniknya aku hanya memegangnya sejak tadi. "Ibu sakit, aku mau pulang!""Siapa yang bilang, kenapa Ibu atau Bapak tidak menghubungiku." "Bagaimana kamu bisa dihubungi, kalau kamu sibuk memuaskan nafsumu!" serunya sambil berlalu masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya mendorong tubuhku yang menghalangi pintu. Sejak kapan tenaganya jadi kuat begitu. Aku bergegas mengikutinya, dan bertemu dengan Lita yang masih berada di ruang tamu. "Lita kamu pulang duluan ya, aku harus pulang ke kampung. Ibuku sakit," ucapku pada wanita itu. "Kamu yakin mau pulang dengan keadaanmu seperti ini? kepalamu sakit, bahaya berkendara." "Tidak apa-apa, aku bisa. Kamu pulanglah dulu." Lita pulang setel