Aku terus melihat satu persatu foto yang dikirim oleh Husniah padaku. Ada beberapa foto dimana aku sedang bermesraan dengan Lita. Bahkan ada foto di mana bibir kami saling menempel. Bisa-bisanya si pemotret ini dapat momen seperti ini, padahal itu hanya ciuman sekilas. Ini adalah momen yang terjadi sudah sangat lama, saat aku pergi dengan Lita di malam Minggu, kami makan bersama di sebuah restoran yang bernuansa romantis. Memilih sport yang jauh dari kebanyakan pengunjung, bagian lebih remang-remang dengan kesan romantis begitu nyata. Lalu terjadi adegan seperti yang di foto ini. Siapa yang memberikan foto-foto ini pada Husniah. Pasti pria bernama Wisnu itu, siapa lagi yang kenal aku dan juga Nia secara bersamaan, hanya dia. Apa karena foto ini juga sikap Husniah begitu berubah padaku. Dulu saat aku galak padanya, masih ada senyuman yang dia tampakkan padaku. Tapi sekarang, tak pernah tersenyum sama sekali padaku.Bagaimana aku akan menjelaskan semua ini pada Husniah. Makin rumit sa
Aku menarik nafas lega saat melihat Husniah hanya mondar mandir di teras sambil bergumam, menyebut nama ibuku dan juga namaku. Ada apa sebenarnya, kenapa dia tampak sangat khawatir. "Ada apa?" Aku bertanya pada Husniah. Gadis itu menatapku, kemudian membuang muka saat melihatku belum memakai baju. Saking paniknya aku hanya memegangnya sejak tadi. "Ibu sakit, aku mau pulang!""Siapa yang bilang, kenapa Ibu atau Bapak tidak menghubungiku." "Bagaimana kamu bisa dihubungi, kalau kamu sibuk memuaskan nafsumu!" serunya sambil berlalu masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya mendorong tubuhku yang menghalangi pintu. Sejak kapan tenaganya jadi kuat begitu. Aku bergegas mengikutinya, dan bertemu dengan Lita yang masih berada di ruang tamu. "Lita kamu pulang duluan ya, aku harus pulang ke kampung. Ibuku sakit," ucapku pada wanita itu. "Kamu yakin mau pulang dengan keadaanmu seperti ini? kepalamu sakit, bahaya berkendara." "Tidak apa-apa, aku bisa. Kamu pulanglah dulu." Lita pulang setel
"Akhirnya seperti ini kamu memperlakukanku, Mas. Seperti ini caramu mengambil mahkota yang sudah aku jaga," lirih Husniah dengan suara bergetar menahan tangisan saat aku hendak mengecup lehernya. Cengkraman tanganku pada kedua tangannya melemah, kesadaranku seakan kembali. "Maafkan aku," ucapku sambil melepas cengkraman tanganku. Husniah mendorong tubuhku yang berada di atasnya. "Aku membencimu, Mas. Sangat membencimu!" seru Husniah sambil berlalu dari hadapanku. Astaga apa yang barusan aku lakukan padanya. Aku menyesali kebodohan yang baru saja aku lakukan. ****"Tolong maafkan saya, Pak. Saya tiba-tiba ada urusan mendadak, ibu saya sakit," terdengar suara Husniah di teras rumah. Aku penasaran dengan siapa dia berbicara. Aku segera berjalan menuju ke depan pintu, tempat paling dekat dengan gadis itu berada namun dia tidak bisa melihatku."Jangan seperti itu, Pak. Beri saya kesempatan. Saya harus ikut wisuda tahun ini." Suara Husniah terdengar memelas.Dia harus wisuda tahun in
POV Nia."Nia ... Sini Nak, bunda mau bicara," panggil Bunda padaku yang sedang asyik membaca di sudut kamarnya. Sejak beberapa hari ini, entah kenapa aku tidak ingin tidur di kamarku sendiri. Aku ingin tidur bersama Bunda. Namun saat wanita yang sudah melahirkanku itu memanggil, sering kali aku tidak enak hati saat mendekati padanya. Bukan apa-apa, aku hanya takut seperti yang terjadi pada ayah dulu, saat ayah banyak berpesan padaku, nyatanya itu adalah pesan terakhirnya. Esoknya, cinta pertamaku itu meninggal dunia. Bunda yang sakit parah tapi ayah yang pergi duluan, seakan mereka sedang merencanakannya janji sehidup semati. Aku sangat terpukul dengan kejadian itu, kehilangan ayah dengan cara mendadak tanpa sakit. "Iya, Bun," sahutku sambil mendekat padanya."Buka laci dan ambil map biru yang ada di dalamnya," Perintah Bunda seraya menunjuk pada nakas yang berada di samping tempat tidurnya. Aku mengikuti perintah Bunda, membuka laci dan mengambil map yang dimaksud olehnya. "Ini
"Woi, beraninya main keroyokan, sama anak kecil lagi!" Seru seorang pria sambil merebut jilbabku dari tangan mereka. Mereka berempat langsung lari meninggalkanku. Tentu saja mereka takut dengan pria itu, dia dijuluki mahasiswa abadi, bad boy, dan entah apa lagi. Dan sekarang dia ada di hadapanku. Memakai baju sesukanya, rambut gondrong dan ciri-ciri yang tidak disukai oleh kebanyakan orang, terutama sepertiku."Nih pakai lagi!" Serunya sambil menyodorkan jilbab itu padaku. Pria itu membuang muka, tidak mau menatap padaku. Saat itu, aku merasa dia pria yang baik. Tak mau melihat sesuatu yang tidak sengaja terbuka di depan matanya. "Terimakasih, Kak," ucapku sambil berlalu dari hadapannya. "Eee tunggu dulu, enak aja main pergi-pergi," cegahnya seraya memegangi ujung bajuku. "Kenapa lagi?" Tanyaku keheranan. "Kamu sudah aku tolong, harus balas budi. Kamu tahu kan siapa aku?" Ya Allah ... apa lagi ini, keluar dari mulut singa masuk mulut harimau. "Kamu tahu tidak siapa aku?" Lagi,
"Gimana, mau gak?" Lagi, Kak Wisnu bertanya Seakan-akan pertanyaan itu tidak main-main, bagaimana bisa dengan entengnya dia ingin menjadikan wanita yang tidak dikenalnya sebagai istri. Pernikahan tanpa saling mengenal berakhir dengan kedukaan. Seperti pernikahanku. Tidak ada kata bahagia sama sekali baik untukku maupun untuk Mas Hanan. "Kamu pikir menikah itu seperti membeli makanan, Kak. Tinggal pesan atau tunjuk yang kita mau.""Lalu?" "Dahlah jangan bahas pernikahan, aku ...." Kugantung ucapanku. "Kamu kenapa?" "Aku pengen cepat balik ke kampus. Ini udah waktunya jam kuliah berikutnya." Pria di sampingku melihat arloji yang ada di tangan kirinya. "Kenapa kamu senang sekali belajar sih?" tanya Kak Wisnu penasaran."Aku pengen cepat lulus dan bekerja. Kalau bisa, aku pengen lulus lebih cepat dari yang seharusnya.""Bisa. Kalau ada cara gak lulus-lulus, otomatis ada cara cepat lulus," sahut Kak Wisnu. "Bagaimana caranya?""Nanti aku kasih tahu, asal kamu mau jadi sopirku?"Hah
Aku ingin meronta saat tangan itu memelukku, tapi apalah daya. Pelukannya semakin erat bahkan sedikit meninggalkan rasa sakit, yang mengisyaratkan kalau Kak Wisnu tidak mau aku menolaknya. "Wihh akhirnya Wisnu bisa dapat cewek juga dengan penampilan seperti ini. Mana ceweknya alim begini," ucap pria dengan kemeja berwarna hitam. Apa maksudnya semua ini. "Kenalin, namanya Husniah artinya indah. Seindah orangnya juga bukan? Kalian gak akan mudah mendapatkan yang seperti ini, limited edition," ucap Kak Wisnu memperkenalkanku. Dia tahu arti namaku dari mana, aku tak pernah mengatakannya. "Kenalin, saya Putra," ujar pria yang menyapa kami sejak awal sambil menyodorkan tangan padaku.Dengan ragu-ragu aku mengulurkan tanganku, tapi sebelum tangan kami bersentuhan, Kak Wisnu langsung meraih tanganku dan mencegahnya. "Hanya gue yang boleh memegang gadis ini." "Jiaah ... Gitu amat Bro!" Seru pria dengan kemeja berwarna navy. Kami tadi memang mendatangi kumpulan pria-pria yang berpakaian
"Sampai kapan kamu akan menjadi benalu bagi Mas Hanan?" Tanya Mbak Lita sore itu saat Mas Hanan belum pulang dari luar kota.Beberapa minggu belakang ini, pria itu memang rajin pulang terlambat dengan alasan lembur dan juga dinas keluar kota."Apa maksudnya, Mbak?" Aku bertanya tidak mengerti."Jangan pura-pura bego. Aku tahu, sebenarnya kamu itu hanya istri dalam buku nikah. Kamu tidak ada di hati Mas Hanan. Di hatinya hanya ada diriku. Untuk apa kamu tetap bertahan di rumah ini kalau bukan jadi benalu buat calon suamiku."Gara-gara keberadaan kamu, hingga kini kami belum bisa menikah. Kau tahu berapa usianya sekarang? hampir tiga puluh enam tahun. Jika kami terus menunda pernikahan, bisa-bisa di atas usia empat puluh tahun tahun Mas Hanan baru memiliki buah hati lalu saat dia sudah masanya pensiun anaknya baru masuk usia SD. "Kamu mau anak Mas Hanan dikira cucunya oleh orang lain. Belum lagi dia sudah tidak produktif dan akan kesulitan untuk memenuhi biaya pendidikan dan kehidupan