"Mas Hanan perlu sesuatu? Mas!" Panggilan Husniah menarik kesadaranku. Ah, shit! Aku membayangkan hal yang tidak-tidak. Husniah sudah menutupi seluruh tubuhnya kembali. Memakai kardigan dan jilbab segiempat bertengger di kepalanya seperti biasanya. Gadis itu terlihat canggung dengan keberadaanku, pipinya memerah. Pipinya yang mulai berisi, terlihat chubby dan mengemaskan dibalik jilbab yang membalutnya. Oh Hanan, berhentilah berpikir yang tidak-tidak, aku mengumpat diriku sendiri. "Mas Hanan perlu sesuatu?" tanya Husniah lagi. "Aku mau kopi," jawabku asal. Padahal tadi pagi aku sudah meminum kopi dan ini baru jam sembilan. "Lagi?" tanya Husniah memastikan. Mungkin merasa aneh karena dia tahunya aku hanya minum kopi di pagi hari. "Ya." Aku kembali turun dari tempat itu, berlalu meninggalkannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku merasa ada yang aneh di dalam dadaku, masa iya aku jatuh cinta pada gadis itu. Tidak! Dia bukan tipeku. Aku suka wanita modis dan cerdas sepert
"Kak, bisa mampir sebentar gak?" Lirih Husniah pada pria yang belum aku ketahui namanya itu. "Tentu saja, dengan senang hati. Aku ingin bertemu dan berkenalan dengan orang tuamu," sahut pemuda tengil itu. Aku sudah membencinya hanya dengan mendengar suaranya. Husniah dan pria itu masuk ke dalam teras di mana aku sedang menunggu keduanya."Permisi, Om. Nama saya Wisnu," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aku membiarkan tangannya tetap di udara, tak berniat sama sekali menyambutnya. "Om katamu? Aku bukan om-om," seruku tidak suka "Oh, Om bukan ayahnya Nia?" Om lagi! astaga lagi-lagi aku dikira ayah Husniah. "BUKAN!" "Lalu siapa? Saudara, Kakak, atau emang Om?" Aku terdiam, tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan pemuda tengil itu. Aku hanya memandangnya dari ujung kaki hingga kepala. Cara berpakaiannya khas anak muda, celana jeans dan kaos polos yang dibalut jaket kulit. "Saya pembantu di rumah ini, Kak," ucap Husniah menjelaskan siapa dirinya karena
Sejak kejadian malam itu, aku dan Husniah perang dingin. Dia tetap melakukan semuanya seperti biasanya. Namun semakin hari, jadwal kuliahnya terlihat semakin padat. Gadis itu terus saja pulang lebih lambat daripada aku. Lebih sering kulihat dia berjalan kaki, dia tak lagi diantara oleh pemuda itu. Mungkin dia naik angkot yang berhenti di pintu gerbang perumahan ini. Untuk masuk ke dalam komplek perumahan cukup jauh, dan pasti melelahkan. Kenapa dia tidak naik ojek saja. Dia tak pernah lagi terlihat duduk dan mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu seperti dulu, kadang kala kulihat dia merendam kakinya saat aku sudah beranjak masuk ke kamar. Aku pernah melihatnya secara tak sengaja saat hendak mengambil air minum. Apa dia kelelahan? Tak lagi kudapati dia menyetrika di pagi hari saat libur seperti dulu, entah jam berapa Husniah melakukan pekerjaan itu sekarang. Pokoknya sebisa mungkin dia tidak berpapasan denganku di rumah ini. Rumah ini tidaklah besar, tapi untuk bisa bersua dengan
Kenapa semua jadi kacau begini, kuremas rambutku dengan kencang, ingin rasanya ku cabut sekalian. Kepalaku mendadak pusing. Hal yang aku tunggu selama ini adalah menikahi Lita, tapi sekarang aku tidak berniat lagi melakukannya. Aku sudah punya istri, Husniah. Dia istriku dan aku mencintainya, sekarang. Apa Lita akan terluka jika aku menolaknya, apa ayahnya akan memakiku karena mempermainkan anaknya. Selama ini tidak ada istilah pacaran dalam hubunganku dengan Lita. Tidak ada komitmen, kami hanya sering bersama dan sesekali bermesraan. Aku memiliki sesuatu yang bisa kunikmati dengan tenang di rumah, tapi malah memilih wanita yang tanpa ikatan. Benar-benar pria bod0h. "Ayo, Mas," ajak Lita saat waktu pulang sudah tiba. "Kemana?" tanyaku seperti orang beg0"Pulang bareng lalu mampir ke rumahku," jawabannya menjelaskan."Aku tidak bisa, Lita. Maaf ya, aku harus menjemput Husniah. Dia sedang PKL di sebuah perusahaan yang jauh sekali dari rumah kami," tuturku panjang lebar. "Husniah? N
Aku terus melihat satu persatu foto yang dikirim oleh Husniah padaku. Ada beberapa foto dimana aku sedang bermesraan dengan Lita. Bahkan ada foto di mana bibir kami saling menempel. Bisa-bisanya si pemotret ini dapat momen seperti ini, padahal itu hanya ciuman sekilas. Ini adalah momen yang terjadi sudah sangat lama, saat aku pergi dengan Lita di malam Minggu, kami makan bersama di sebuah restoran yang bernuansa romantis. Memilih sport yang jauh dari kebanyakan pengunjung, bagian lebih remang-remang dengan kesan romantis begitu nyata. Lalu terjadi adegan seperti yang di foto ini. Siapa yang memberikan foto-foto ini pada Husniah. Pasti pria bernama Wisnu itu, siapa lagi yang kenal aku dan juga Nia secara bersamaan, hanya dia. Apa karena foto ini juga sikap Husniah begitu berubah padaku. Dulu saat aku galak padanya, masih ada senyuman yang dia tampakkan padaku. Tapi sekarang, tak pernah tersenyum sama sekali padaku.Bagaimana aku akan menjelaskan semua ini pada Husniah. Makin rumit sa
Aku menarik nafas lega saat melihat Husniah hanya mondar mandir di teras sambil bergumam, menyebut nama ibuku dan juga namaku. Ada apa sebenarnya, kenapa dia tampak sangat khawatir. "Ada apa?" Aku bertanya pada Husniah. Gadis itu menatapku, kemudian membuang muka saat melihatku belum memakai baju. Saking paniknya aku hanya memegangnya sejak tadi. "Ibu sakit, aku mau pulang!""Siapa yang bilang, kenapa Ibu atau Bapak tidak menghubungiku." "Bagaimana kamu bisa dihubungi, kalau kamu sibuk memuaskan nafsumu!" serunya sambil berlalu masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya mendorong tubuhku yang menghalangi pintu. Sejak kapan tenaganya jadi kuat begitu. Aku bergegas mengikutinya, dan bertemu dengan Lita yang masih berada di ruang tamu. "Lita kamu pulang duluan ya, aku harus pulang ke kampung. Ibuku sakit," ucapku pada wanita itu. "Kamu yakin mau pulang dengan keadaanmu seperti ini? kepalamu sakit, bahaya berkendara." "Tidak apa-apa, aku bisa. Kamu pulanglah dulu." Lita pulang setel
"Akhirnya seperti ini kamu memperlakukanku, Mas. Seperti ini caramu mengambil mahkota yang sudah aku jaga," lirih Husniah dengan suara bergetar menahan tangisan saat aku hendak mengecup lehernya. Cengkraman tanganku pada kedua tangannya melemah, kesadaranku seakan kembali. "Maafkan aku," ucapku sambil melepas cengkraman tanganku. Husniah mendorong tubuhku yang berada di atasnya. "Aku membencimu, Mas. Sangat membencimu!" seru Husniah sambil berlalu dari hadapanku. Astaga apa yang barusan aku lakukan padanya. Aku menyesali kebodohan yang baru saja aku lakukan. ****"Tolong maafkan saya, Pak. Saya tiba-tiba ada urusan mendadak, ibu saya sakit," terdengar suara Husniah di teras rumah. Aku penasaran dengan siapa dia berbicara. Aku segera berjalan menuju ke depan pintu, tempat paling dekat dengan gadis itu berada namun dia tidak bisa melihatku."Jangan seperti itu, Pak. Beri saya kesempatan. Saya harus ikut wisuda tahun ini." Suara Husniah terdengar memelas.Dia harus wisuda tahun in
POV Nia."Nia ... Sini Nak, bunda mau bicara," panggil Bunda padaku yang sedang asyik membaca di sudut kamarnya. Sejak beberapa hari ini, entah kenapa aku tidak ingin tidur di kamarku sendiri. Aku ingin tidur bersama Bunda. Namun saat wanita yang sudah melahirkanku itu memanggil, sering kali aku tidak enak hati saat mendekati padanya. Bukan apa-apa, aku hanya takut seperti yang terjadi pada ayah dulu, saat ayah banyak berpesan padaku, nyatanya itu adalah pesan terakhirnya. Esoknya, cinta pertamaku itu meninggal dunia. Bunda yang sakit parah tapi ayah yang pergi duluan, seakan mereka sedang merencanakannya janji sehidup semati. Aku sangat terpukul dengan kejadian itu, kehilangan ayah dengan cara mendadak tanpa sakit. "Iya, Bun," sahutku sambil mendekat padanya."Buka laci dan ambil map biru yang ada di dalamnya," Perintah Bunda seraya menunjuk pada nakas yang berada di samping tempat tidurnya. Aku mengikuti perintah Bunda, membuka laci dan mengambil map yang dimaksud olehnya. "Ini
Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg
Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel
Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat
Pesona Istri Season 3 "Nggak gitu juga kali konsepnya Kak Yuan," ucap Queena dengan nada sebal.Sepertinya dia tak suka dengan perkataan yang dilontarkan oleh Yuanita barusan, siapa yang suka dengan perkataan seperti itu. Aku pun tak suka, Queena adalah istriku tak ada yang boleh memilikinya selain diriku. "Aku cuma bercanda mengimbangi perkataan Liam barusan," sahut Yuanita, membela diri.Dua wanita ini nampaknya sulit akur sekarang, Queena yang cemburu pada Yuanita karena dulu kami pernah dekat, dan Yuanita yang cemburu pada Queena karena Liam begitu perhatian pada istriku. Kami berbasa-basi beberapa saat, kurang lebih hanya empat puluh lima menit. Karena kami harus segera pergi ke restoran. William pergi sendiri mengendarai mobilnya, sedangkan aku dan Yuanita akan berkendara di mobil yang sama seperti yang kami katakan tadi. "Aku pergi dulu ya, Sayang," pamitku pada Queena. "Kok Kak Yuanita ikut dengan Abang?" tanya Queena, seperti tak suka. "Liam akan langsung ke kantornya,
Pesona Istri Season 3Aku sudah mulai aktif kembali bekerja di restoran bersama dengan Yuanita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu lagi, bagaimana hubungan dia dengan William. Kulihat mereka baik-baik saja namun hingga detik ini sepertinya tak ada kemajuan dalam hubungan mereka entah kapan mereka akan memutuskan untuk menikah. Biarlah itu bukan urusanku, mereka adalah dua orang dewasa yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. "Bagaimana keadaan Queena?" Tanya William saat aku hendak pulang. "Alhamdulillah sehat dan baik," jawabku. Sejak kejadian Yuanita melihatnya memeluk Queena dan dia marah-marah tidak jelas itu, William lebih banyak menahan diri. Dia tak lagi ingin dekat dengan Queena. Ditambah lagi aku dan istriku pergi ke luar kota, pindah ke rumah Mama dan Papa dalam beberapa bulan. Kupikir, membuat kedekatan Queena dan William tak lagi seperti dulu. "Mau ke sana, kita tengok Mama dan bayinya." Yuanita datang menghampiri kami dengan sebuah usulan. "Kamu mau?" Wil
Pesona Istri Season 3 Aku terbangun saat terdengar suara azan dari ponselku. Malam tadi kami masih tidur dengan nyenyak, Queena juga tidak membangunkanku. Bayi kami pun tidak di bawa ke sini. Perawat bilang, bayi yang baru lahir tidak langsung lapar dan ingin menyusu dari mamanya saat kutanya apa bayi kami tak kelaparan. Aku segera bangun, membersihkan diri dan sholat subuh, setelah itu membangunkan Queena. "Sayang, mau mandi gak?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Sudah jam berapa?" Queena bertanya. "Jam lima lewat." Queena terlihat susah payah saat ingin bangun dari posisinya. Tentu saja, pasti dia masih kesakitan di bagian intimnya. "Ayo abang bopong," kataku sembari mengambil posisi hendak mengangkat tubuhnya. Queena menatap padaku. "Iya deh," sahutnya sambil memamerkan barisan giginya. Kenapa tak minta tolong saja dari tadi. Dengan hati-hati, kuangkat tubuhnya dan kubawa ke kamar mandi. "Mau dimandiin?" tanyaku. "Apaan sih Abang, aku bisa mandi sendiri." Dia menolak
Pesona Istri Season 3 POV Nata Wajah lelah namun tampak bahagia itu tersenyum bahagia saat menatapku. Aku baru saja mengazani bayi kami yang ada di ruang bayi. Sedangkan Queena masih berada di ruang bersalin tadi saat aku tinggalkan untuk melihat bayi kami. Queena melahirkan tanpa persiapan, kami sedang asyik jalan-jalan di mall tapi tiba-tiba dia pecah ketuban. Lalu saat di bawa ke rumah sakit ternyata sudah pembukaan 4 dan semua berjalan dengan cepat. "Bukannya anak pertama katanya perlu lama kontraksi untuk pembukaan." Itu yang aku tanyakan pada dokter saat dikatakan Queena sudah siap melahirkan. "Aku udah mulas dari kemarin, Abang. Tapi aku tahan, makanya tadi sengaja aku ajak Abang jalan-jalan biar rasa sakitnya teralihkan." Ah, Queena, ada-ada saja. Kuat juga dia menahan rasa sakit itu. Tapi mungkin aku dan kedua mertuaku akan jauh lebih khawatir jika tahi sejak kemarin dia mulas tapi bayi baru lahir hari ini. Kembali kukecup kening Queena yang sudah berada di atas kursi
Pesona Istri Season 3POV Hulya Pengantin baru, rumah baru. Begitu pulang dari hotel, aku hanya menginap di rumah Papa dan Mama dua malam. Lalu hanya semalam berada di rumah mertuaku, kemudian suamiku langsung membawaku pergi ke rumah yang dia inginkan untuk menjadi tempat tinggal kami. Sejauh ini, keluarga mertuaku semuanya baik dan sayang padaku. Termasuk adik iparku yang merupakan adik Mas Aslam. Mereka hanya dua bersaudara. Pantas saja kalau suamiku itu begitu memanjakan adik perempuannya. Aku hanya bisa menurut saat Mas Aslam mengajakku tinggal berdua saja, dia memilih rumah minimalis modern untuk menjadi tempat tinggal kami. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, di rumah yang tak terlalu luas sehingga aku bisa selalu melihat keberadaanmu setiap saat. Selain itu, agar kamu tak kesepian jika sendiri karena rumah tak terlalu besar." Itu yang dikatakan Mas Asalm saat pertama kali kami menginjakkan kaki di rumah ini. Terhitung sudah satu minggu kami tinggal
Pesona Istri Season 3 Suasana pagi terasa mulai ramai oleh orang-orang yang hendak pergi bekerja. Dengan senyum lebar, aku menanti kedatangan moda transportasi umum yang sangat ingin aku coba, kereta listrik. Aku dan Mas Aslam akan naik kendaraan umum itu berbarengan dengan orang-orang yang berangkat ke kantor. "Senangnya akhirnya kita bisa naik kereta ini bareng," ucapku seraya menatap ke arah lintasan kereta. Menunggu alat transportasi tersebut datang. "Kenapa harus di jam segini sih, lihat ramai sekali. Kita ini baru menikah, harusnya bersantai di hotel menikmati kebersamaan bukannya malah ikutan berdesakan dengan para karyawan," omel Mas Aslam.Sebenarnya dia tak setuju aku melakukan ini saat ini, khawatir masih lelah setelah kemarin kami sibuk di acara pernikahan. "Ini letak serunya, ikutan berdesakan dengan penumpang lainnya. Kalau sepi mana seru, biar tahu bagaimana hidup sulit," jawabku sekenanya. Mas Aslam hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. "Memangnya gak