Share

Bab 6

Penulis: Isna Arini
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku terbangun karena mendengar suara tangisan. Malam-malam begini siapa yang menangis, apa Husniah?

Kamarku dan kamar tempat dia tidur memang berdampingan dan tanpa pengedap suara. Jika malam hari suasana begitu sepi, pasti akan terdengar suara-suara jika posisinya sedekat ini. Aku bangkit dari tempat tidur, melihat jam analog di ponselku. 3.30 masih terlalu pagi. Kenapa sudah menangis saja.

Bergegas aku pergi ke kamar sebelah, untung saja sudah tidak dikunci lagi. Pelan kubuka pintu kamar tersebut. Tampak olehku gadis itu berbaring di atas sajadah. Apa mungkin dia menangis setelah sholat dan berdoa. Tapi kenapa posisinya berbaring seperti itu.

"Bunda, ajak aku bersamamu," ucapnya sambil terisak-isak.

Pelan kudekati tubuh itu, matanya terpejam. Sepertinya dia ketiduran lalu mengigau. Bibirnya terlihat kering dan pucat. Apa dia sakit?

Dengan keraguan kupegang keningnya, benar saja suhu tubuhnya begitu panas menyengat. Pantas saja dia mengigau. Nyusahin aja, pakai sakit segala. Segera kuraih tubuh mungil itu, aku harus segera membawanya ke dokter. Aku tidak pernah merawat orang sakit, khawatir malah terjadi apa-apa dengannya. Ditambah lagi suhu tubuhnya yang begitu panas.

Kubawa tubuh itu ke mobil tanpa membuka mukenanya. Hanya mukena bagian bawah saja yang aku buka. Selama ini, Husniah tidak pernah memperlihatkan rambutnya padaku, oleh sebab itulah aku tak berani membuka penutup kepalanya.

Segera kulajukan kendaraanku dengan tujuan klinik dua puluh empat jam. Sesampainya di klinik, aku segera membawanya ke UGD. Dia harus segera ditangani. Sebenci apapun aku padanya, di tidak boleh kenapa-kenapa, karena aku bertanggung jawab pada Ibu.

Husniah harus dirawat, dokter bilang gadis itu demam juga dehidrasi, serta kurang nutrisi. Oh astaga ... Apa selama di rumah dia tidak pernah makan, dan saat aku tinggal di kampus kemarin dia juga tidak makan. Aku memang tidak begitu peduli padanya. Saat di rumah aku tidak pernah makan bersamanya. Meskipun gadis itu masak dengan berbagai menu sesuai dengan stock bahan makanan yang aku belikan, tapi tak pernah kudapati dia makan. Aku juga baru merasakan berat badannya yang begitu ringan. Pantas saja semua bajunya terlihat kebesaran, dia hanya punya tulang dan kulit.

Pagi ini aku mendadak ijin tidak masuk kantor dengan alasan sakit. Lita menelponku dengan khawatir, apa aku sakit karena kurang istirahat, sebab waktu istirahatku digunakan untuk menemaninya jalan-jalan. Tentu saja aku tidak menjawabnya karena itu.

Setelah Zuhur kami memutuskan pulang, Husniah tidak mau berlama-lama di klinik. Kondisinya juga membaik setelah habis satu kantong infus.

"Tolong jangan nyusahin aku, jagalah dirimu sendiri. Makan yang banyak, jangan lupa minum air putih, pastikan dirimu tetap sehat. Aku sudah cukup lelah dengan keberadaanmu jangan kau tambah lagi dengan sakit-sakitan," ucapku panjang lebar sepulang kami dari klinik.

Aku berusaha perhatian padanya tapi tetap saja kata-kata pedas yang keluar dari mulutku.

"Maaf," lirihnya.

"Bisamu hanya minta maaf saja, tunjukan dengan perbuatan."

Diam, gadis itu tak lagi mengucapkan sepatah katapun. Aku menghela nafas dalam-dalam.

"Sana istirahat," perintahku.

Husniah berlalu ke dalam kamar, menuruti perintahku tanpa berucap apapun.

Setelah kepergiannya, aku berlalu menuju ke dapur. Menyala kompor dan memasak bubur. Karena bertahun-tahun hidup sendiri, aku terbiasa memasak apapun. Akan kubuatkan bubur untuknya. Perutnya yang mungkin tidak diisi dengan makanan itu harus diberi makanan yang lembut-lembut terlebih dahulu.

Setelah masakan itu matang aku segera membawanya ke kamar. Saat kubuka pintu, terlihat olehku gadis itu sedang menatap ponselnya dengan pandangan kosong dan air mata menganak sungai. Apa dia melihat foto Bundanya. Jika saat menikah denganku baru satu minggu dia ditinggal pergi oleh Bundanya, maka sekarang ini belum ada satu bulan kepergiaan sang Bunda.

Dia masih dalam masa berkabung, ditinggal satu-satunya orang yang mencintai dan merawatnya dan aku terus saja menyakiti hatinya.

Melihat kedatanganku, gadis itu langsung mengusap air matanya dan menyimpan smartphone miliknya di atas tempat tidur.

"Makanlah." Aku berkata sambil menyodorkan semangkuk bubur padanya.

"Ini sudah sore, sudah waktunya makan lagi," sambungku saat melihatnya ragu-ragu menerima makanan dariku.

Husniah menerima mangkuk tersebut, lalu berdiri dari tempat tidur.

"Terimakasih, aku makan di ruang makan saja," ujarnya sembari melangkah keluar kamar.

Aku mengikuti langkahnya, harus kupastikan gadis itu memakannya agar cepat sembuh dan tidak menyusahkanku. Husniah memakan bubur itu hingga habis, entah suka, lapar atau karena aku terus menatapnya dengan tajam.

"Kenapa baru mau kuliah sekarang, bukankah seharusnya kamu sudah masuk kuliah tahun lalu. Kamu hampir seusia adikku." Aku membuka percakapan setelah gadis itu menyelesaikan makannya.

Husniah menatapku sekilas lalu menunduk kembali, mungkin tidak menyangka aku akan bertanya padanya hal remeh-temeh seperti ini.

"Aku tidak mau meninggalkan Bunda sendirian di rumah. Aku ingin merawatnya. Bunda sakit parah setelah aku lulus SMA," sahut Husniah mulai bercerita.

"Bunda tidak mau ke rumah sakit dan memilih untuk dirawat di rumah saja. Dokter bilang sudah tidak ada harapan lagi, oleh sebab itulah bunda enggan ke rumah sakit dan berobat. Meskipun dokter mengatakan usianya tidak lama lagi, tapi bunda bertahan satu tahun, hingga aku memasuki usia diperbolehkan untuk menikah.

"Sepertinya Bunda tidak ingin aku hidup sendirian, dan pada akhirnya Mas Hanan yang harus menanggung beban itu. Maafkan Bundaku, Mas. Aku janji akan segera mandiri dan pergi dari rumah ini."

Kali ini, gadis itu bicara lancar dan jelas, seperti tanpa beban.

Gadis itu selalu menyebut kata pergi dan mandiri, seakan semua itu adalah hal yang gampang dilakukan.

"Memangnya Bunda sakit apa?" tanyaku.

Belum sempat Husniah menjawab terdengar suara salam dari arah depan. Sepertinya ada tamu, aku segera berlalu meninggalkan gadis itu. Melihat siapa yang datang sore-sore begini.

Setelah pintu gerbang terbuka, tampak di depanku wanita dengan lesung pipi tersenyum padaku.

"Lita, ngapain kamu datang ke sini?" tanyaku tanpa mempersilahkan wanita itu masuk terlebih dahulu.

Di dalam ada Husniah, aku akan mengatakan apa padanya jika dia bertanya tentang gadis itu.

"Aku khawatir padamu, Mas. Katanya sakit makanya aku ke sini buat nengokin. Aku gak di suruh masuk nih?"

"Oh iya, masuklah," ucapku, mempersilahkan dengan enggan.

Wanita itu dengan santai masuk ke dalam rumahku. Dulu sekali, dia pernah datang juga ke sini saat aku sedang sakit juga. Dia tahu aku hidup sendiri, makanya dia tampak santai saja hendak masuk ke dalam rumah.

"Mas, itu siapa?" tanya Lita saat melihat Husniah yang hendak masuk ke dalam kamar.

Mati. Aku mau jawab apa sekarang.

Kami bertiga hanya saling memandang, lidahku kelu, tidak ada kosa kata yang bisa keluar dari mulutku untuk menjawab pertanyaan Lita. Apa iya aku akan mengatakan lagi kalau dia pembantuku. Pasti gadis itu akan bersedih lagi.

🍁 🍁 🍁

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Malika Yasna
indah ceritany
goodnovel comment avatar
Tuti Sulastri
knpa Hanan g jujur aj,klu Nia itu istrinya,sudah,jngn buat Nia menangis trus.....
goodnovel comment avatar
Widya Pratiwi
Suaminya kejam amat yak... Sampe nangis aku bacanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 7

    "Kamu siapa?" Tanya Lita pada Husniah karena tidak mendapatkan jawaban dariku. Gadis itu menatap padaku, entah apa maksud dari tatapan itu. "Saya Nia, Mbak. Pembantu di rumah ini," jawab Husniah sambil tersenyum pada Lita. Aku merasa lega mendengar jawaban dari Husniah tersebut, tapi sudut hatiku yang lain seperti merasa tidak enak. Entah bagaimana rasanya aku tidak bisa mengungkapkannya. "Oh, kalau gitu bawa ini ke belakang. Cuci lalu bawa ke sini lagi, ya," perintah Lita pada Husniah."Biar aku saja, Ta," ucapku menawarkan diri."Kamu ini gimana sih Mas, katanya sakit. Punya pembantu kok malah mau kerjain kerjaan sendiri. Duduk dan kita tunggu saja di ruang tamu," ajak Lita sambil menggandeng tanganku setelah buah-buahan yang dibawanya berpindah tangan. Husniah menatapku sekilas, kemudian berlalu menuju dapur. "Dia yang sakit, bukan aku." Kalimat yang hanya aku ucapkan dalam hati saja. Kami menunggu sambil berbincang, aku merasa Lita sekarang tampak lain. Sepertinya wanita in

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 8

    "Mas Hanan perlu sesuatu? Mas!" Panggilan Husniah menarik kesadaranku. Ah, shit! Aku membayangkan hal yang tidak-tidak. Husniah sudah menutupi seluruh tubuhnya kembali. Memakai kardigan dan jilbab segiempat bertengger di kepalanya seperti biasanya. Gadis itu terlihat canggung dengan keberadaanku, pipinya memerah. Pipinya yang mulai berisi, terlihat chubby dan mengemaskan dibalik jilbab yang membalutnya. Oh Hanan, berhentilah berpikir yang tidak-tidak, aku mengumpat diriku sendiri. "Mas Hanan perlu sesuatu?" tanya Husniah lagi. "Aku mau kopi," jawabku asal. Padahal tadi pagi aku sudah meminum kopi dan ini baru jam sembilan. "Lagi?" tanya Husniah memastikan. Mungkin merasa aneh karena dia tahunya aku hanya minum kopi di pagi hari. "Ya." Aku kembali turun dari tempat itu, berlalu meninggalkannya, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal aku merasa ada yang aneh di dalam dadaku, masa iya aku jatuh cinta pada gadis itu. Tidak! Dia bukan tipeku. Aku suka wanita modis dan cerdas sepert

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 9

    "Kak, bisa mampir sebentar gak?" Lirih Husniah pada pria yang belum aku ketahui namanya itu. "Tentu saja, dengan senang hati. Aku ingin bertemu dan berkenalan dengan orang tuamu," sahut pemuda tengil itu. Aku sudah membencinya hanya dengan mendengar suaranya. Husniah dan pria itu masuk ke dalam teras di mana aku sedang menunggu keduanya."Permisi, Om. Nama saya Wisnu," ucapnya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aku membiarkan tangannya tetap di udara, tak berniat sama sekali menyambutnya. "Om katamu? Aku bukan om-om," seruku tidak suka "Oh, Om bukan ayahnya Nia?" Om lagi! astaga lagi-lagi aku dikira ayah Husniah. "BUKAN!" "Lalu siapa? Saudara, Kakak, atau emang Om?" Aku terdiam, tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan pemuda tengil itu. Aku hanya memandangnya dari ujung kaki hingga kepala. Cara berpakaiannya khas anak muda, celana jeans dan kaos polos yang dibalut jaket kulit. "Saya pembantu di rumah ini, Kak," ucap Husniah menjelaskan siapa dirinya karena

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 10

    Sejak kejadian malam itu, aku dan Husniah perang dingin. Dia tetap melakukan semuanya seperti biasanya. Namun semakin hari, jadwal kuliahnya terlihat semakin padat. Gadis itu terus saja pulang lebih lambat daripada aku. Lebih sering kulihat dia berjalan kaki, dia tak lagi diantara oleh pemuda itu. Mungkin dia naik angkot yang berhenti di pintu gerbang perumahan ini. Untuk masuk ke dalam komplek perumahan cukup jauh, dan pasti melelahkan. Kenapa dia tidak naik ojek saja. Dia tak pernah lagi terlihat duduk dan mengerjakan tugas kuliahnya di ruang tamu seperti dulu, kadang kala kulihat dia merendam kakinya saat aku sudah beranjak masuk ke kamar. Aku pernah melihatnya secara tak sengaja saat hendak mengambil air minum. Apa dia kelelahan? Tak lagi kudapati dia menyetrika di pagi hari saat libur seperti dulu, entah jam berapa Husniah melakukan pekerjaan itu sekarang. Pokoknya sebisa mungkin dia tidak berpapasan denganku di rumah ini. Rumah ini tidaklah besar, tapi untuk bisa bersua dengan

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 11

    Kenapa semua jadi kacau begini, kuremas rambutku dengan kencang, ingin rasanya ku cabut sekalian. Kepalaku mendadak pusing. Hal yang aku tunggu selama ini adalah menikahi Lita, tapi sekarang aku tidak berniat lagi melakukannya. Aku sudah punya istri, Husniah. Dia istriku dan aku mencintainya, sekarang. Apa Lita akan terluka jika aku menolaknya, apa ayahnya akan memakiku karena mempermainkan anaknya. Selama ini tidak ada istilah pacaran dalam hubunganku dengan Lita. Tidak ada komitmen, kami hanya sering bersama dan sesekali bermesraan. Aku memiliki sesuatu yang bisa kunikmati dengan tenang di rumah, tapi malah memilih wanita yang tanpa ikatan. Benar-benar pria bod0h. "Ayo, Mas," ajak Lita saat waktu pulang sudah tiba. "Kemana?" tanyaku seperti orang beg0"Pulang bareng lalu mampir ke rumahku," jawabannya menjelaskan."Aku tidak bisa, Lita. Maaf ya, aku harus menjemput Husniah. Dia sedang PKL di sebuah perusahaan yang jauh sekali dari rumah kami," tuturku panjang lebar. "Husniah? N

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 12

    Aku terus melihat satu persatu foto yang dikirim oleh Husniah padaku. Ada beberapa foto dimana aku sedang bermesraan dengan Lita. Bahkan ada foto di mana bibir kami saling menempel. Bisa-bisanya si pemotret ini dapat momen seperti ini, padahal itu hanya ciuman sekilas. Ini adalah momen yang terjadi sudah sangat lama, saat aku pergi dengan Lita di malam Minggu, kami makan bersama di sebuah restoran yang bernuansa romantis. Memilih sport yang jauh dari kebanyakan pengunjung, bagian lebih remang-remang dengan kesan romantis begitu nyata. Lalu terjadi adegan seperti yang di foto ini. Siapa yang memberikan foto-foto ini pada Husniah. Pasti pria bernama Wisnu itu, siapa lagi yang kenal aku dan juga Nia secara bersamaan, hanya dia. Apa karena foto ini juga sikap Husniah begitu berubah padaku. Dulu saat aku galak padanya, masih ada senyuman yang dia tampakkan padaku. Tapi sekarang, tak pernah tersenyum sama sekali padaku.Bagaimana aku akan menjelaskan semua ini pada Husniah. Makin rumit sa

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 13

    Aku menarik nafas lega saat melihat Husniah hanya mondar mandir di teras sambil bergumam, menyebut nama ibuku dan juga namaku. Ada apa sebenarnya, kenapa dia tampak sangat khawatir. "Ada apa?" Aku bertanya pada Husniah. Gadis itu menatapku, kemudian membuang muka saat melihatku belum memakai baju. Saking paniknya aku hanya memegangnya sejak tadi. "Ibu sakit, aku mau pulang!""Siapa yang bilang, kenapa Ibu atau Bapak tidak menghubungiku." "Bagaimana kamu bisa dihubungi, kalau kamu sibuk memuaskan nafsumu!" serunya sambil berlalu masuk ke dalam rumah setelah sebelumnya mendorong tubuhku yang menghalangi pintu. Sejak kapan tenaganya jadi kuat begitu. Aku bergegas mengikutinya, dan bertemu dengan Lita yang masih berada di ruang tamu. "Lita kamu pulang duluan ya, aku harus pulang ke kampung. Ibuku sakit," ucapku pada wanita itu. "Kamu yakin mau pulang dengan keadaanmu seperti ini? kepalamu sakit, bahaya berkendara." "Tidak apa-apa, aku bisa. Kamu pulanglah dulu." Lita pulang setel

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Bab 14

    "Akhirnya seperti ini kamu memperlakukanku, Mas. Seperti ini caramu mengambil mahkota yang sudah aku jaga," lirih Husniah dengan suara bergetar menahan tangisan saat aku hendak mengecup lehernya. Cengkraman tanganku pada kedua tangannya melemah, kesadaranku seakan kembali. "Maafkan aku," ucapku sambil melepas cengkraman tanganku. Husniah mendorong tubuhku yang berada di atasnya. "Aku membencimu, Mas. Sangat membencimu!" seru Husniah sambil berlalu dari hadapanku. Astaga apa yang barusan aku lakukan padanya. Aku menyesali kebodohan yang baru saja aku lakukan. ****"Tolong maafkan saya, Pak. Saya tiba-tiba ada urusan mendadak, ibu saya sakit," terdengar suara Husniah di teras rumah. Aku penasaran dengan siapa dia berbicara. Aku segera berjalan menuju ke depan pintu, tempat paling dekat dengan gadis itu berada namun dia tidak bisa melihatku."Jangan seperti itu, Pak. Beri saya kesempatan. Saya harus ikut wisuda tahun ini." Suara Husniah terdengar memelas.Dia harus wisuda tahun in

Bab terbaru

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    End

    Pesona Istri Season 3 POV Hanan "Selamat ulang tahun Sayang ucapku sambil memberikan sebuket bunga mawar untuknya." Meskipun di rumah ini ada taman bunga mawar, tapi tetap saja memberi bunga padanya selalu membuatnya bahagia. Namun, dia akan berkata tak suka pada bunga yang sudah dipetik. "Terima kasih, Mas," jawabnya tanpa terlihat sedikit pun senyum di wajahnya. Sudah beberapa hari ini Husniah tampak bersedih hati. Aku tahu penyebabnya tak bahagia beberapa hari ini. Sudah hampir dua bulan tak ada dari anak-anaknya yang datang mengunjungi kami baik Hulya yang belum memiliki anak maupun Atma dan Nata yang sudah sibuk dengan keluarga kecilnya ditambah dengan keberadaan anaknya."Kamu rindu pada anak-anak?" tanyaku.Pertanyaanku hanya dijawab Husniah dengan anggukan, seakan dia enggan berbicara. Aku tahu jika dia mengungkapkan isi hatinya, dia akan menangis begitu saja. Entah kenapa di usianya yang tak lagi muda, Husniah semakin melankolis. Kurasa ini terjadi setelah anak-anak perg

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Tujuh

    Pesona Istri Season 3 "Sayang, Abang minta maaf," ucapku, sembari mencoba mendekat padanya lagi. Dia marah tapi tak mau didekati, bagaimana bisa aku menenangkannya. Lebih baik dia memukuliku daripada menjauh dengan tampang seperti itu. "Kenapa minta maaf," ketus Queena. "Udah bikin kamu kesal," balasku. "Sini, kita bicarakan dengan tenang. Kamu mau apa?" Wajah itu masih cemberut, tapi tak lagi menjauhiku hingga jarak kami semakin dekat. "Maaf ya." Lagi aku mengatakan permintaan maaf, entah untuk kesalahan yang mana. Yang penting aku minta maaf saja, mungkin dengan seperti ini dia kan lebih baik. Tanpa dikomando, air mata Queena meluncur melewati pipinya yang terlihat berisi, lalu kemudian berlanjut dengan isakan kecil terdengar di telingaku. "Abang minta maaf," ucapku, lagi, entah untuk yang berapa kali. Aku merengkuh tubuh Queena dalam pelukan. Istriku itu tak menolak dan melawan, dia terisak dalam dekapanku. Biarlah, dia puas menangis setelah puas memukuliku. Biar dia mel

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Enam

    Pesona Istri Season 3"Nata, Queena pergi meninggalkan Rafka sejak tadi pagi," ucap Tante Syifa dari ujung telepon, ketika aku mengangkat panggilan dari mertuaku tersebut.Mendengar penuturan Tante Syifa, tentu saja membuatku sedikit terkejut. Tadi pagi memang Queena masih marah saat kutinggal pergi kerja. Kali ini bukan masalah postur tubuhnya yang gemuk namun kami bertengkar lagi karena Queena kembali mencurigaiku memiliki kedekatan dengan Yuanita pada hal dia jelas-jelas tahu kalau wanita itu sudah memiliki tunangan. Meskipun sampai sekarang mereka belum berniat untuk menikah. Entah kenapa beberapa hari ini, tidur kami selalu diwarnai dengan pertengkaran. "Quina pergi ke mana, Ma. Dia tak pamit dan meninggalkan Rafka begitu saja. Lalu gimana sekarang keadaan anak itu apakah dia rewel karena tak ada mamanya?" Bertubi-tubi aku bertanya pada mertuaku. Jika di lihat sekarang sudah mulai sore, artinya istriku itu sudah pergi dari rumah cukup lama. Tapi kenapa Tante Syifa baru mengat

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Lima

    Pesona Istri Season 3 "Nggak gitu juga kali konsepnya Kak Yuan," ucap Queena dengan nada sebal.Sepertinya dia tak suka dengan perkataan yang dilontarkan oleh Yuanita barusan, siapa yang suka dengan perkataan seperti itu. Aku pun tak suka, Queena adalah istriku tak ada yang boleh memilikinya selain diriku. "Aku cuma bercanda mengimbangi perkataan Liam barusan," sahut Yuanita, membela diri.Dua wanita ini nampaknya sulit akur sekarang, Queena yang cemburu pada Yuanita karena dulu kami pernah dekat, dan Yuanita yang cemburu pada Queena karena Liam begitu perhatian pada istriku. Kami berbasa-basi beberapa saat, kurang lebih hanya empat puluh lima menit. Karena kami harus segera pergi ke restoran. William pergi sendiri mengendarai mobilnya, sedangkan aku dan Yuanita akan berkendara di mobil yang sama seperti yang kami katakan tadi. "Aku pergi dulu ya, Sayang," pamitku pada Queena. "Kok Kak Yuanita ikut dengan Abang?" tanya Queena, seperti tak suka. "Liam akan langsung ke kantornya,

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Empat

    Pesona Istri Season 3Aku sudah mulai aktif kembali bekerja di restoran bersama dengan Yuanita. Sampai sekarang aku tak pernah tahu lagi, bagaimana hubungan dia dengan William. Kulihat mereka baik-baik saja namun hingga detik ini sepertinya tak ada kemajuan dalam hubungan mereka entah kapan mereka akan memutuskan untuk menikah. Biarlah itu bukan urusanku, mereka adalah dua orang dewasa yang sudah tahu mana yang baik dan mana yang benar. "Bagaimana keadaan Queena?" Tanya William saat aku hendak pulang. "Alhamdulillah sehat dan baik," jawabku. Sejak kejadian Yuanita melihatnya memeluk Queena dan dia marah-marah tidak jelas itu, William lebih banyak menahan diri. Dia tak lagi ingin dekat dengan Queena. Ditambah lagi aku dan istriku pergi ke luar kota, pindah ke rumah Mama dan Papa dalam beberapa bulan. Kupikir, membuat kedekatan Queena dan William tak lagi seperti dulu. "Mau ke sana, kita tengok Mama dan bayinya." Yuanita datang menghampiri kami dengan sebuah usulan. "Kamu mau?" Wil

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Tiga

    Pesona Istri Season 3 Aku terbangun saat terdengar suara azan dari ponselku. Malam tadi kami masih tidur dengan nyenyak, Queena juga tidak membangunkanku. Bayi kami pun tidak di bawa ke sini. Perawat bilang, bayi yang baru lahir tidak langsung lapar dan ingin menyusu dari mamanya saat kutanya apa bayi kami tak kelaparan. Aku segera bangun, membersihkan diri dan sholat subuh, setelah itu membangunkan Queena. "Sayang, mau mandi gak?" Tanyaku sambil mengecup keningnya. "Sudah jam berapa?" Queena bertanya. "Jam lima lewat." Queena terlihat susah payah saat ingin bangun dari posisinya. Tentu saja, pasti dia masih kesakitan di bagian intimnya. "Ayo abang bopong," kataku sembari mengambil posisi hendak mengangkat tubuhnya. Queena menatap padaku. "Iya deh," sahutnya sambil memamerkan barisan giginya. Kenapa tak minta tolong saja dari tadi. Dengan hati-hati, kuangkat tubuhnya dan kubawa ke kamar mandi. "Mau dimandiin?" tanyaku. "Apaan sih Abang, aku bisa mandi sendiri." Dia menolak

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Dua

    Pesona Istri Season 3 POV Nata Wajah lelah namun tampak bahagia itu tersenyum bahagia saat menatapku. Aku baru saja mengazani bayi kami yang ada di ruang bayi. Sedangkan Queena masih berada di ruang bersalin tadi saat aku tinggalkan untuk melihat bayi kami. Queena melahirkan tanpa persiapan, kami sedang asyik jalan-jalan di mall tapi tiba-tiba dia pecah ketuban. Lalu saat di bawa ke rumah sakit ternyata sudah pembukaan 4 dan semua berjalan dengan cepat. "Bukannya anak pertama katanya perlu lama kontraksi untuk pembukaan." Itu yang aku tanyakan pada dokter saat dikatakan Queena sudah siap melahirkan. "Aku udah mulas dari kemarin, Abang. Tapi aku tahan, makanya tadi sengaja aku ajak Abang jalan-jalan biar rasa sakitnya teralihkan." Ah, Queena, ada-ada saja. Kuat juga dia menahan rasa sakit itu. Tapi mungkin aku dan kedua mertuaku akan jauh lebih khawatir jika tahi sejak kemarin dia mulas tapi bayi baru lahir hari ini. Kembali kukecup kening Queena yang sudah berada di atas kursi

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus Satu

    Pesona Istri Season 3POV Hulya Pengantin baru, rumah baru. Begitu pulang dari hotel, aku hanya menginap di rumah Papa dan Mama dua malam. Lalu hanya semalam berada di rumah mertuaku, kemudian suamiku langsung membawaku pergi ke rumah yang dia inginkan untuk menjadi tempat tinggal kami. Sejauh ini, keluarga mertuaku semuanya baik dan sayang padaku. Termasuk adik iparku yang merupakan adik Mas Aslam. Mereka hanya dua bersaudara. Pantas saja kalau suamiku itu begitu memanjakan adik perempuannya. Aku hanya bisa menurut saat Mas Aslam mengajakku tinggal berdua saja, dia memilih rumah minimalis modern untuk menjadi tempat tinggal kami. "Aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja denganmu, di rumah yang tak terlalu luas sehingga aku bisa selalu melihat keberadaanmu setiap saat. Selain itu, agar kamu tak kesepian jika sendiri karena rumah tak terlalu besar." Itu yang dikatakan Mas Asalm saat pertama kali kami menginjakkan kaki di rumah ini. Terhitung sudah satu minggu kami tinggal

  • Pesona Istri Yang Kuabaikan    Dua Ratus

    Pesona Istri Season 3 Suasana pagi terasa mulai ramai oleh orang-orang yang hendak pergi bekerja. Dengan senyum lebar, aku menanti kedatangan moda transportasi umum yang sangat ingin aku coba, kereta listrik. Aku dan Mas Aslam akan naik kendaraan umum itu berbarengan dengan orang-orang yang berangkat ke kantor. "Senangnya akhirnya kita bisa naik kereta ini bareng," ucapku seraya menatap ke arah lintasan kereta. Menunggu alat transportasi tersebut datang. "Kenapa harus di jam segini sih, lihat ramai sekali. Kita ini baru menikah, harusnya bersantai di hotel menikmati kebersamaan bukannya malah ikutan berdesakan dengan para karyawan," omel Mas Aslam.Sebenarnya dia tak setuju aku melakukan ini saat ini, khawatir masih lelah setelah kemarin kami sibuk di acara pernikahan. "Ini letak serunya, ikutan berdesakan dengan penumpang lainnya. Kalau sepi mana seru, biar tahu bagaimana hidup sulit," jawabku sekenanya. Mas Aslam hanya geleng-geleng kepala mendengar perkataanku. "Memangnya gak

DMCA.com Protection Status