Share

Bab 2

"Hanan, Ibu memintamu pulang untuk menikah. Ibu sudah menyiapkan semuanya, kamu tinggal menyiapkan diri dan hafalin ijab kabul," ucap wanita yang sudah melahirkan diriku itu.

Aku tiba-tiba saja dihubungi oleh orang tuaku, diminta buru-buru pulang kampung dan tiba-tiba saja dinikahkan. Aku pikir Bapak memintaku untuk pulang segera, karena Ibu kenapa-napa. Wanita dengan usia lebih dari setengah abad itu memang kadang suka tiba-tiba sakit. Aku khawatir.

"Hanan bisa cari istri sendiri, Bu. Tidak perlu dijodoh-jodohkan seperti ini."

"Kapan, mana? Usiamu sudah lewat tiga puluh. Teman-temanmu di sini sudah pada punya anak, ada yang lebih dari satu malahan." Lagi, ibu menyebut hal yang sama setiap kali memintaku menikah.

Bahkan orang tuaku itu mengira aku tidak tertarik pada lawan jenis. Ah, mereka tidak tahu saja aku sudah menaruh hati bertahun-tahun pada teman kantorku.

"Sebentar lagi Hanan akan bawain Ibu menantu."

"Dari dulu sebentar lagi terus, bosan Ibu mendengarnya. Apa kamu mau Ibu meninggal tanpa sempat mengendong cucu," ucap Ibu dengan nada sedih.

Kalau sudah begini, aku memilih untuk tidak mendebat.

"Anak Ibu kan bukan cuma aku, Bu. Ada Syifa juga."

Kusebut nama adik perempuanku, kami hanya dua bersaudara.

"Syifa masih kecil, baru juga kuliah di tahun ke dua. Baru dua puluh tahun."

Jarakku dan adikku memang cukup jauh, sepuluh tahun lebih. Aku memiliki adik saat memasuki Sekolah Menengah Pertama.

"Tapi wanita yang Ibu akan jadikan menantu itu lebih muda lagi dari Syifa, Bu. Baru sembilan belas tahun. Baru mau dua puluh tahun. Dia lebih pantas jadi adikku daripada jadi istriku."

Keinginanku untuk tidak mendebat Ibu tiba-tiba menguap sudah.

"Husniah beda, Han. Dia dewasa di usianya. Lagipula gadis itu yatim piatu. Hidup sebatang kara, tidak ada yang menjaganya. Kasian dia, Han. Bundanya yang merupakan teman Ibu, meninggal seminggu yang lalu. Tidak ada yang menjaganya," terang Ibu panjang lebar.

"Apa semua teman ibu yang anaknya jadi yatim piatu harus aku nikahi?"

"Hanan!" bentak Ibu dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Mas Hanan, Mas!"

Lamunanku buyar mendengar panggilan lembut dari seorang wanita. Lita, wanita yang sudah aku nantikan kesiapannya menikah sejak dua tahun yang lalu itu sedang berdiri di depan mejaku dengan tas selempang tersangkut di bahunya.

"Nglamun aja, udah waktunya pulang. Bisa bareng gak? Aku lagi gak bawa kendaraan," ucap wanita itu sambil tersenyum.

"Bisa, ayo!" sahutku dengan bersemangat.

"Memangnya sudah siap pulang?"

"Sudah."

Aku memang sudah merapikan pekerjaanku sejak tadi, dan menunggu waktu pulang yang tinggal beberapa menit lagi malah membuatku larut dalam lamunan.

"Adikmu udah selesai kuliah, Ta?" tanyaku sambil fokus menyetir.

Kami sudah hampir setengah jalan untuk sampai ke rumahnya.

"Satu tahun lagi, Mas. Kenapa?" Perempuan manis dengan lesung pipi itu balik bertanya.

"Cuma mau tahu saja."

Dulu saat kami berbagi cerita tentang keluarga, wanita itu mengatakan akan siap menikah jika adik laki-lakinya sudah selesai kuliah. Kami memang cukup dekat karena sering pulang kerja bersama. Lita sering menumpang padaku, meskipun arah rumah kami tak sepenuhnya searah. Aku harus berbelok cukup jauh untuk mengantarkan wanita itu hingga sampai depan rumahnya. Tidak masalah bagiku, demi mengambil hatinya.

"Mungkin aku harus mulai mencari pacar yang siap menikah kali ya," ujar Lita sambil tertawa.

"Aku siap menjadi pacarmu dan suamimu, kalau perlu besok juga bisa," sahutku dalam hati.

Ah si@l, aku malah mengingat Husniah. Apa gadis culun itu akan membuatku kehilangan kesempatan bersama dengan wanita pujaan yang aku tunggu dari sejak bertahun-tahun lalu.

Aku menghentikan kendaraan roda empat milikku begitu sampai di depan rumah Lita. Rumah orang tuanya berada di kompleks perumahan. Wanita itu bilang, rumah ini dulu perumahan subsidi jadi luas tanahnya tidak terlalu luas. Namun rumah milik orang tua Lita dibuat menjadi dua lantai begitu cicilannya sudah lunas.

"Mau mampir gak, Mas?" tanya Lita sambil tersenyum.

Menampakkan lesung pipinya yang dalam. Membuatku semakin terpesona saja. Tidak biasanya wanita ini mengajakku mampir. Apa aku ikuti saja kemauannya.

"Ayo, Mas. Sekalian kenalan sama orang tuaku. Mereka suka bertanya siapa temanku yang sering memberi tumpangan padaku."

Ah sepertinya Lita mulai membuka diri. Tanpa berpikir lagi, aku turun dari mobil dan mengikuti wanita itu. Kapan lagi bisa kenalan sama orang tuanya, mungkin inilah saatnya aku pendekatan pada wanita pujaanku ini dan juga orang tuanya.

Gadis kurus di rumahku hanyalah sebuah pajangan, nanti akan aku pindahkan kalau aku menikah dengan Lita

🍁 🍁 🍁

Komen (24)
goodnovel comment avatar
Kasurip Surip
cuiup bagus ceritanya.
goodnovel comment avatar
Inas karim
gimana lanjutan y
goodnovel comment avatar
Rinnypuspita
Aku suka cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status